Connect with us

Taxmen

Yang Penting tetap Semangat dan Pandai Adaptasi

Ruruh Handayani

Published

on

Foto: Rivan Fazry

 

Teknologi yang dimiliki DJP saat ini memungkinkan fiskus bekerja efektif dan melayani Wajib Pajak tanpa perlu tatap muka.

 

Tanggal 3 Juni 2018—jelang peringatan Hari Pajak Nasional pertama pada 14 Juli 2018, Majalah Pajak mewawancarai mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi. Saat itu, ia mengutarakan mimpinya bahwa kelak akan ada masa Wajib Pajak (WP) tidak akan bertemu lagi dengan fiskus untuk mengurus kewajiban perpajakan mereka, karena segala sesuatunya bisa diselesaikan melalui on-line.

“Sama sekali tidak ada yang namanya urusan pajak harus ketemu orang pajak. Bahkan, pemeriksaan pun nanti (fiskus) enggak perlu ketemu WP. Jika data sudah kumpul, nanti kami kirim e-mail, menurut hitungan fiskus sekian, yang menurut kamu keberatan, tulis saja (di e-mail). Saya nagih saja, sudah selesai. Wong, bayar pajak juga bukan di kantor pajak—nyetor ke bank,” tutur Dirjen Pajak tahun 2016–2017 ini kala itu.

Kini, selang dua tahun kemudian—walau terjadi di saat yang tidak mengenakkan, mimpi itu jadi nyata. Sejak pandemi Covid-19 merangsek Indonesia pada Maret lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terpaksa menutup semua jenis pelayanan pajak secara tatap muka dan menggantinya dengan pelayanan serbadaring, demi mencegah penyebaran virus korona. Pelayanan tatap muka baru dijalankan kembali pada 15 Juni 2020 dengan tatanan normal baru.

Baca Juga: Lapor Awal, Lebih Nyaman

Kami pun kembali bertemu wicara dengannya pertengahan Juni lalu. Rupanya, setelah memasuki masa purnabakti per 1 Desember 2017, Ken selalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Saat ini, ia bekerja sebagai staf akunting di sebuah perusahaan batu bara di bilangan SCBD, Senayan, Jakarta Selatan. Selain itu, ia dan teman-temannya juga mengelola sebuah restoran dan kafe di area Senopati dan Gunawarman, Jakarta Selatan.

Pemilik gelar Master of Science in Tax Auditing di Opleidings Institute Financien, Den Haag, Belanda ini mengatakan, sudah saatnya pelayanan serbadaring dilaksanakan—ada atau tidaknya pandemi Covid-19. Sebab, produk dari DJP adalah pelayanan dan penegakan hukum (law enforcement) yang tidak memerlukan kehadiran fisik atau tatap muka, berbeda dengan perusahaan yang menghasilkan barang, sehingga proses kerjanya memerlukan kehadiran fisik.

“Terbukti, kan, sekarang? Saya dulu enggak tahu akan ada Covid-19 ini. Tapi, dalam situasi apa pun, ke depan yang namanya work from home bisa kita lakukan. Dulu kita bisa telekonferensi, sekarang bisa (pakai) Zoom. Apa saja bisa dilakukan oleh DJP dengan on-line, kecuali proses pemeriksaan (dokumen dan wawancara),” ungkapnya kepada Majalah Pajak saat ditemui di kantornya di bilangan SCBD, Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (19/6).

Ken menambahkan, dalam proses pemeriksaan, tahapan wawancara dan pemeriksaan dokumen akan lebih efektif jika dilakukan secara langsung atau tatap muka. Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disebutkan bahwa pemeriksa bisa masuk ke ruangan dokumen WP selama diperlukan untuk pemeriksaan. Sesi wawancara juga akan lebih efektif kalau dilakukan tatap muka. Sebab, jika melalui video telekonferensi, penyidik akan kesulitan memerhatikan gestur WP dengan saksama.

Penyuka musik jazz ini yakin kalau sistem dan sumber daya manusia yang dipunya DJP saat ini mampu memenuhi keperluan perpajakan WP dengan baik. Ken yang pernah menjabat sebagai Direktur Informasi Perpajakan tahun 2003–2006 ini menjelaskan, DJP merintis sistem perpajakan sejak tahun 1983 menggunakan teknologi dan perangkat yang sangat terbatas, tak laju dan canggih seperti sekarang. Namun, DJP tetap keep up dengan perubahan zaman dan mengikuti perkembangan teknologi.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Memunculkan Cara Kerja Baru dalam Bidang Bisnis

Masyarakat tak perlu khawatir, karena DJP tak akan memajaki WP Badan yang merugi atau WP Orang Pribadi yang memiliki penghasilan tidak kena pajak.

“Teman-teman DJP saat ini selalu beradaptasi dengan teknologi, kalau enggak, ya, enggak bisa. Dengan virus saja mereka bisa beradaptasi, apalagi kalau enggak ada? Menurut saya anak-anak (fiskus) sekarang bagus. Beda dengan zaman saya, masih merintis fondasi. Ternyata semakin hari semakin bagus dan berkelanjutan.”

Asas daya pikul

Keberhasilan program Amnesti Pajak dilanjutkan dengan terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, diharapkan banyak pihak sebagai era baru sistem perpajakan yang berkeadilan, komprehensif, dan transparan. Kedua terobosan besar yang terjadi di masa kepemimpinan Ken ini juga menambah banyak basis data baru yang digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan pencapaian target penerimaan pajak di masa mendatang.

Ken menyebut, basis data yang diterima dan dikumpulkan untuk dianalisis dan difilter terlebih dahulu secara khusus karena tidak semua data berkualitas dan bisa digunakan. Pun dengan data yang diperoleh fiskus selama proses penggalian potensi dan pengawasan. Ken mengungkapkan DJP memiliki war room untuk menganalisis data WP.

“DJP punya data center atau war room yang isinya anak-anak muda yang setiap hari memonitoring transaksi apa pun dari situ, meskipun terdiri dari berbagai macam data. Masuk dulu, kemudian nanti dianalisis, kemudian dikonfirmasi, kemudian diklarifikasi lagi. Benar-benar disaring datanya. Nah, itu yang dipakai,” klaim pria kelahiran Malang 8 November 1957 ini.

Sosok ramah yang selalu bergaya kekinian ini juga mengatakan masyarakat tak perlu khawatir pemerintah akan membebani rakyat dengan pajak yang memberatkan di masa pandemi ini. Karena, DJP tak akan memajaki WP Badan yang merugi, atau WP Orang Pribadi yang memiliki penghasilan tidak kena pajak.

Baca Juga: Agar Bisnis Tetap Atraktif di Tengah Pandemi—Simulasi Skenario, Litigasi “Force Majeure”

Di sisi lain, pemerintah juga berupaya membantu masyarakat dengan menebar insentif perpajakan, dan bantuan sosial untuk berbagai pihak yang terdampak. Maka, sudah sewajarnya masyarakat dan pemerintah bergotong-royong agar bisa lepas dari tekanan pandemi Covid-19.

“Dalam keadaan begini pasti income-nya turun, kemudian biayanya pasti naik. Dalam undang-undang pajak juga disebutkan adanya daya pikul (tarif pajak progresif). Semakin kaya seseorang, semakin banyak bayar pajaknya. Kalau penghasilannya Rp 4,5 juta sebulan, ya, enggak kena. Itu yang dimaksud gotong royong.”

Ken pun sadar, betapa beratnya tugas pejabat-pejabat—termasuk Dirjen Pajak—yang bertugas saat ini. Sebab, musibah yang sedang terjadi bukanlah krisis keuangan, melainkan krisis kemanusiaan. Ken juga menyelipkan pesan agar setiap insan fiskus tetap semangat menjalani tugas, dan mampu beradaptasi dengan keadaan.

“Saat menjadi Dirjen, saya selalu berbicara soal platform. Platform apa pun di dunia ini pasti waktu. Dalam setiap waktu itu pasti ada proses yang akan menjadikan hasil. Jadi, nanti ada waktunya pandemi ini akan berakhir juga. Kalau kita ingat, Flu Spanyol di tahun 1918, akhirnya hilang juga. Yang penting teman-teman DJP tetap semangat dan harus bisa beradaptasi. Adaptasi dengan situasi apapun—mau teknologi, penyakit, atau virus,” pungkasnya.

Baca Juga: Core Tax System” Teknologi Terintegrasi untuk Memudahkan Fiskus dan Wajib Pajak

Taxmen

Semua sudah harus Berubah

Heru Yulianto

Published

on

Foto: Rivan Fazry

Pajak digital bisa menjadi sumber baru pendapatan negara. Regulasi yang tepat diperlukan untuk memberikan rasa keadilan bagi setiap pelaku usaha.

 

Revolusi Industri 4.0 atau Four Industrial Revolution (4IR) tidak hanya berpotensi luar biasa dalam mengubah industri, tapi juga mengubah aspek kehidupan manusia khususnya dalam cara bertransaksi.

Kini orang sudah mulai berubah dari berjual-beli secara konvensional menjadi ke cara daring (dalam jaringan). Selain banyak memberikan keuntungan, perdagangan secara daring dirasa lebih praktis, bisa dilakukan di mana saja, dan hemat waktu.

Dan melihat trennya yang kian meningkat, pemerintah melihat pajak digital sebagai salah satu sumber potensial pendapatan negara. Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Sistem Elektronik guna meningkatkan pendapatan negara lewat pajak.

Melalui aturan ini, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) seperti layanan streaming musik dan film seperti Netflix, dan Sportify. Pengenaan pajak tersebut berlaku sejak 1 Juli 2020 mendatang. Pengenaan PPN ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku usaha khususnya antara pelaku di dalam negeri maupun di luar negeri, serta antara usaha konvensional dan usaha digital.

Baca Juga: E-Commerce” antara Celah dan Tantangan

Hal senada juga disampaikan oleh Dirjen Pajak 1998–2000 Abdul Anshari Ritonga kepada Majalah Pajak di Perguruan Al Anshar, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Senin (15/06). Ia berpendapat, untuk menciptakan rasa adil, alangkah baiknya jika perdagangan melalui sistem daring dikenai pajak.

“Tentang e-commerce, baru kemarin keluar surat edarannya dibuat itu bahwa itu dikenakan pajak walaupun di luar negeri. Maka hukum dunia itu berubah, yang dulu namanya yurisdiksi fisik ke yurisdiksi virtual. Mau keadilan dengan pajak? Itu yang selama ini saya teriak. Enggak adil dong, yang konvensional jual biasa kena PPN, ini karena transaksi Rp 100 miliar hanya karena on-line enggak kena. Maka saya katakan itu harus kena,” ungkap pria kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 30 September 1943 ini.

Tantangan ekonomi digital

Anshari memaparkan ekonomi digital dapat digolongkan menjadi empat. Pertama, electronic commerce (e-commerce), yakni transaksi yang dilakukan di dunia maya, paperless, semua aktivitas (penawaran, pemesanan, dan pembayaran) dilakukan secara on-line tanpa terdokumentasi secara fisik. Hal ini sangat berpengaruh bagi pajak terkait sistem PPN dan PPnBM.

Kedua, electronic market (e-market) berupa aktivitas layanan berbasis internet, layanan transaksi elektronik via market place seperti Tokopedia, Bukalapak, dan jasa transportasi berbasis over the top (OTT) seperti Gojek dan Grab yang dilakukan melalui internet dan berbentuk virtual.

Ketiga, electronic business (e-business) merupakan pengendalian perusahaan virtual jarak jauh dengan skema mendirikan perusahaan berbentuk special purposes vehicle, conduit company, pass through company dan paper box company. Dan yang keempat adalah mata uang digital untuk bertransaksi secara virtual atau cryptocurrency.

Baca Juga: Ekonomi Digital: Indonesia Dapat Apa?

Keempat, cakupan ekonomi digital tersebut sangat memengaruhi dan berperan dalam perkembangan teknologi saat ini dan masa mendatang. Mulai dari pengadaan faktor produksi, pengelolaan, pengendalian proses produksi dalam perusahaan, dan pemasaran hasil produksi semua sudah menggunakan sistem daring.

Selain itu, sistem kerja juga berubah, tidak harus terikat disiplin waktu, semua berorientasi pada efisiensi dan efektivitas produk. Menurutnya, inilah yang menjadi tantangan pendidikan di masa kini dan masa depan, yaitu mempersiapkan angkatan kerja dan entrepreneur yang mumpuni untuk mengikuti perkembangan teknologi.

“Mutlak, apalagi dengan adanya perubahan yang ada sekarang—perubahan ilmu yang bernama era 4.0—mutlak semua harus belajar. Universitas sekarang sudah harus berubah cara sekolahnya dan cara berpikirnya. Itu tantangannya,” jelasnya.

Harus berubah

Anshari berpendapat untuk mengantisipasi dan mengikuti era ekonomi digital, Indonesia harus melakukan perubahan atau penyesuaian dalam bidang hukum, metode, administrasi, dan peraturan yang mendukung dan saling terkait.

Kini, pemerintah melalui omnibus law sedang merancang aturan untuk mengenakan pajak bagi perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di Indonesia, seperti Netflix, Spotify, termasuk Google, Facebook, Amazon, yang selama ini bukan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Nantinya, definisi BUT akan diubah dari semula berdasarkan keberadaan fisik kantornya di Indonesia, menjadi berdasar atas kegiatan ekonomi yang dijalankan di Indonesia. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan itu dapat tersentuh regulasi pajak.

Oleh karena itu, pria yang pernah menjabat Staf Ahli Menteri Keuangan tahun 2009 ini berharap ada aturan dari pemerintah untuk mengubah UU KUP melalui omnibus law.

Baca Juga: Mengintip Pajak E-Commerce di Berbagai Negara

“Sudah harus berubah—berubah dasar hukumnya, berubah pengertian penghasilan. Makanya kita tunggu saja omnibus law itu. Jadi, wait and see,” pungkasnya.

Continue Reading

Taxmen

Sekarang Insentif, Besok Kontribusi

Aprilia Hariani K

Published

on

Foto: Rivan Fazry

Ditjen Pajak ingin Hari Pajak jadi momentum gotong-royong memulihkan ekonomi. Bagaimana caranya?

 

Tepat 75 tahun silam, 14 Juli 1945, kata pajak digaungkan oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman Wediodiningrat dalam pembahasan soal keuangan negara. Usulan Radjiman tertuang dalam draf Undang-Undang Dasar Pasal 23 Bab VII pada butir kedua yang berbunyi, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.

Kini, pajak merupakan tulang punggung negara. Dan peran pajak kian penting di tengah upaya pemerintah menangani dampak badai Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan meluncurkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, dalam situasi serbasulit sekarang ini, pajak berperan ganda dalam menjaga kesehatan sekaligus mendorong ekonomi agar mampu bertahan melalui aneka insentif pajak. Ia mengajak masyarakat bergotong royong saling menuturkan peran pajak sebagai instrumen pemulihan ekonomi nasional, semangat yang juga tertuang menjadi tema peringatan Hari pajak 14 Juli 2020, “Bangkit bersama pajak dengan semangat gotong royong.”

“Kita ingin Hari pajak sebagai momen edukasi, kita terus meluncurkan literasi. Ini bukan program baru; kita lebih mengintensifkan, bercerita tentang keberadaan instrumen pajak sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional. Bagaimana masyarakat bergotong rotong, ini terus kita bahasakan,” kata Suryo, kepada Majalah Pajak, di ruang kerjanya, Jumat (3/7).

Baca Juga: Pajak dari Masa ke Masa

Teknisnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi awak media dan masyarakat umum untuk berkisah melalui seyembara penulisan artikel dan lomba poster.

Aneka insentif

Dalam penanganan Covid-19, aneka stimulus sudah dilakukan. Menurut Suryo, seluruh rangkaian kebijakan yang telah terbit itu mencerminkan peran ganda pajak. Sehingga, pemahaman yang harus dibangun adalah bagaimana instrumen pajak dapat menjaga ekonomi agar tetap tangguh, agar efek domino—pengangguran kemiskinan, dan sebagainya—tidak semakin luas.

“Harapan besarnya, kan, bisnis kembali normal. Pajak itu, kan, ekor ekonomi. Harapannya, kan, setelah ekonomi tumbuh, pajak juga mengalami perbaikan. Di dimensi kita, bagaimana kita menjaga kondisi kesehatan dan kondisi bisnis. Kita kemudian bercerita pajak hadir untuk itu,” papar Suryo.

Dalam PEN, pemerintah mengalokasikan insentif usaha sebesar Rp 120,61 triliun, yang meliputi insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) Rp 25,66 triliun; pembebasan PPh Pasal 22 Impor Rp 14,75 triliun; diskon 30 persen PPh Pasal 25 Rp 14,4 triliun; dan percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 5,8 triliun.

Rangkaian kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020. PMK ini melampirkan 1.062 klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang berhak menerima aneka insentif pajak, di antaranya perdagangan, manufaktur, dan sebagainya.

Suryo mengungkap, 93 persen WP melakukan pemberitahuan dan disetujui memanfaatkan insentif pajak. Prosedur pemberitahuan atau pemanfaatan insentif pajak ini dilakukan melalui situs resmi DJP (pajak.go.id).

“Istilahnya pada saat mereka memberitahukan, kita cocokkan KLU-nya. Kedua, persyaratannya cuma SPT tahun sebelumnya sudah dimasukin belum. Kita cuma mau minta report-nya. Fungsinya untuk merekam berapa, sih, manfaat yang diterima masyarakat. Enggak perlu verifikasi (penilaian). Karena semua proses melalui sistem—submit, masuk sistem, jebret, keluar (notifikasi). Enggak ada anggota (pegawai pajak) ngecek-ngecek. Sebetulnya enggak ada yang susah,” jelasnya.

Baca Juga: Insentif Pajak di Tengah Wabah

Selain itu, ada fasilitas penurunan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen sebesar Rp 20 triliun, tambahan insentif PPh Pasal 21 DTP senilai Rp 14 triliun, dan cadangan stimulus lainnya sebesar Rp 26 triliun.

“Strategi saya, ‘Manfaatkan (insentif pajak) supaya bisnis bergerak. Nanti kalau sudah sehat, kontribusi’. Itu, kan, gotong royong namanya.”

Sayangnya, hingga 29 Juni 2020, realisasi pemanfaatan aneka insentif usaha ini masih sekitar 10,14 persen. Padahal menurut Suryo, DJP sudah mendakwahkan manfaat ini melalui asosiasi dunia usaha dan berbagai media sosial.

“Kita manfaatkan semua saluran sebetulnya. Sehari saja berapa asosiasi kita ceritakan. Terus setiap Wajib Pajak punya saluran e-mail, berapa kali kita blast informasi melalui e-mail. Kita cerita ada manfaat, ada insentif, ada kemudahan dari pemerintah, silakan dimanfaatkan,” kata dia.

Kendati tak memiliki target tertentu, Suryo berharap Wajib Pajak dapat memanfaatkan segala fasilitas pajak. Apalagi, melalui Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 72, pemerintah telah memperpanjang beberapa insentif pajak yang semula berakhir September menjadi akhir tahun 2020.

“Kalau bisa, semuanya bisa memanfaatkan. Maknanya apa? Semakin banyak insentif pajak termanfaatkan, berarti situasi ekonomi bergerak lebih cepat. Misalnya, PPh 21 semakin banyak report, berarti pegawainya masih (perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja). Semakin banyak PPh 22 impor yang dibebaskan, berarti importasinya makin banyak,” jelas Suryo.

Di bulan Juni, terbit pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2020 yang mengatur jenis kegiatan yang mendapatkan fasilitas PPh, seperti produksi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, sumbangan dalam rangka penanganan Covid-19, penugasan di bidang kesehatan, penyediaan harta untuk digunakan dalam penanganan Covid-19, dan pembelian kembali saham di bursa efek.

Baca Juga: Core Tax System” Teknologi Terintegrasi untuk Memudahkan Fiskus dan Wajib Pajak

Selanjutnya, secara khusus, UMKM juga mendapat insentif pajak berupa PPh Final DTP sebesar Rp 2,40 triliun. Suryo menyebut, per 3 Juni 2020 sudah sekitar 200 ribu UMKM yang memanfaatkan fasilitas ini, terbilang kecil mengingat UMKM yang terdaftar di DJP mencapai kisaran 2,3 juta.

“Betul, UMKM banyak yang belum memanfaatkan. Perlu lebih disosialisasikan, sehingga dapat dikapitalisasi berapa yang dimanfaatkan. Ini salah satu kewajiban kita dan teman-teman (menyosialisasikan), makanya gotong royong. Yuk, kita cerita deh lintas ke kementerian. Kita paralel dengan program lain, seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat). Satu paket kita bercerita,” harap Suryo.

Namun, tetap saja DJP harus melakoni perannya sebagai penggali penerimaan negara yang tahun ini ditarget Rp 1,198 triliun dari semula Rp 1,254 triliun.

“Jadi, fokus kita sekarang stabilisasi ekonomi. Walaupun kita enggak bisa ninggalin, tetap ya, ngumpulin. Angel tho, (susah kan)? Strategi saya, ‘Manfaatkan (insentif pajak) supaya bisnis bergerak. Nanti kalau sudah sehat, kontribusi’. Itu, kan, gotong royong namanya,” imbuhnya.

Strategi lain DJP adalah menerapkan PPN 10 persen atas pembelian produk digital dari luar negeri yang dipungut oleh pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), seperti diatur dalam PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Ada enam perusahaan yang ditunjuk DJP untuk memungut PPN ini, yakni Amazon Web Services Inc, Google Asia Pasific Pte. Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International B.V, dan Spotify AB.

“Pengenaan PPN pada dasarnya bagaimana kita memberikan level playing field. Saya nonton film Rambo lewat TV Kabel di Indonesia, saya bayar PPN. Saya nonton Rambo lewat Netflix contohnya, enggak bayar PPN. Adil enggak?” ujar Suryo.

Baca Juga: Apa itu Single Login DJP?

Continue Reading

Populer