Penulis: Januardo S.P. Sihombing, S.H., M.H., M.A.
Managing Partner SNR Counsellors at Law dan Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Hukum Aset Kripto Indonesia (PKHAKI)
Tidak hanya menjadi salah satu pilihan investasi di masa depan, aset kripto juga berpotensi untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pajak.
Eksistensi pajak berkaitan erat dengan akumulasi keuangan, tapi dalam realisasi praktisnya, pajak turut mengisi berbagai lini pembahasan, terutama di saat krisis pascapandemi Covid-19. Tidak hanya berpaku pada beberapa sektor investasi pada umumnya, instrumen pajak kini diwacanakan akan dikenakan untuk sektor investasi berbasis digital seperti aset kripto.
Masyarakat modern memiliki prinsip yang disebut dengan free flow of information, yang ditandai dengan tingginya pertumbuhan aktivitas e-commerce di Indonesia. Berdasarkan statistik Spire Reasearch and Consulting (2017), jumlah pembeli dalam pasar digital di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2016 terus meningkat pesat. Pada tahun 2013, jumlah pembeli dalam pasar digital di Indonesia 4,6 juta; tahun 2014 menjadi 5,9 juta; tahun 2015 menjadi 7,4 juta; dan tahun 2016 menjadi 8,7 juta.
Maka, fungsi budgetair (fungsi penerimaan negara) dan fungsi regulerend (fungsi mengatur) perlu disinergikan secara konstruktif untuk kesejahteraan rakyat guna menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945, mengingat sumbangsih pajak terhadap APBN yang berada di kisaran 70 persen hingga 80 persen.
Aset kripto
Salah satu bentuk kebijakan fiskal dalam fungsi regulerend adalah pemberian insentif pajak, misalnya kebijakan tax holiday, tax allowance, super deduction ataupun keringanan dalam pengenaan pajak. Secara jangka pendek-menengah, bentuk penyesuaian semacam ini memang berdayaguna bagi jalannya bisnis yang masih rentan, karena membantu kolektabilitas pajak, dalam ruang yang tidak terlalu kaku. Namun, untuk tujuan jangka panjang, ide dan inisiatif baru lebih dibutuhkan sebagai landmark baru dalam mengikuti laju perkembangan zaman.
Pada pertengahan Agustus 2021, Wakil Menteri Perdagangan RI Jerry Sambuaga menyampaikan bahwa transaksi aset kripto melonjak luar biasa, karena penghitungan kenaikan jumlah pelanggan dan kontinuitas transaksi yang signifikan. Per Juli 2021, jumlah pelanggan kripto sudah mencapai 7,4 juta orang. Padahal, pada 2020 jumlahnya di kisaran 4 juta orang. Nilai transaksinya pun mencapai Rp 478,5 triliun hingga Juli 2021, naik signifikan dari 2020 yang angkanya Rp 65 triliun. Sementara itu, transaksi harian perdagangan aset kripto per Juli 2021 mencapai Rp 2,3 triliun, melonjak dari 2020 yang angkanya berada di kisaran Rp 180 miliar.
Wamendag yang memantau perkembangan investasi aset kripto ini menyampaikan bahwa Indonesia terbuka tapi tetap selektif terhadap kegiatan usaha di sektor khusus yang melibatkan aset kripto (crypto asset). Selektif artinya setiap investor aset kripto yang hendak membangun usahanya di Indonesia, harus memahami betul batasan regulasi, kerangka ekonomi, proyeksi keuangan, kewajiban pelaporan, dan lain-lain yang menjadi dinamika khas penjalanan bisnisnya dan berkenan mematuhinya.
Dari sisi pemerintah, implikasinya tentu menjadi jelas. Di hulu, investasi aset kripto yang mampu menarik pengguna aset kripto dalam jumlah besar, maka yang akan diterima pemerintah ialah peningkatan penerimaan negara pasca terbentuknya ekosistem investasi aset kripto di sisi hilir. Hasil konkret yang diharapkan di puncak perkembangan investasi aset kripto di lingkup industri 4.0 ini tidak lain adalah pengenaan pajak yang tepat untuk aset kripto.
Selain memahami poin yang disampaikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sigap menyambut masukan di atas dalam bentuk kajian dan diskusi bersama. Berdasarkan pertimbangan bahwa kebijakan pajak merupakan suatu beleid yang sifatnya teramat kompleks dan sentral, maka perlu dilakukan evaluasi yang cermat untuk mengetahui betul kriteria pengenaan pajak penghasilan (PPh) untuk penentuan transaksi perikatan hukum aspek kripto, bahkan sampai pada kemungkinan penentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sektor jasa penunjang yang terkorelasi dengan aset kripto itu sendiri, yang akan masuk ke dalam kategori jasa kena pajak.
“Win-win solution”
Melihat merebaknya investasi digital dalam bentuk aset kripto, ada baiknya jika para pemangku kepentingan dan pembuat undang-undang berkenan merealisasikan suatu acuan sistemik melalui disiplin peraturan, kebijakan, maupun ekosistem yang mencakup target market dari investasi aset kripto itu sendiri.
Dengan memahami bahwa aset kripto merupakan komoditas yang diminati oleh sebagian besar muda-mudi, maka dapat dikatakan transaksi berbasis virtual bukan lagi sebatas alternatif bisnis dengan omzet variatif, melainkan sebuah instrumen komplementer terhadap fungsi umum pajak sebagai pos atau backbone penerimaan negara.
Fakta ini juga sejalan dengan kepatuhan pajak yang seringkali berbanding terbalik dengan skala pengenaan pajak yang terlalu dimaksimalkan. Jika pajak dikenakan terlalu tinggi, potensi Wajib Pajak (WP) melakukan pengemplangan ke luar negeri, terutama pelaku usaha, akan kian tinggi mengingat transaksi aset kripto ini bersifat borderless menggunakan media teknologi digital. Maka, ada baiknya jika praktik pengenaan pajak diberlakukan dengan moderasi skala yang berujung pada win-win solution antara pemerintah dan WP, untuk membesarkan ekosistem bisnis baru ini sebagai strategi penerimaan pajak negara ke depannya.
Selain penyesuaian terhadap komponen pajak, masukan terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor perdagangan juga tak kalah penting untuk disoroti, sebagai pertimbangan bagi Kemendag RI untuk meningkatkan pendapatan negara yang seyogianya dilakukan secara terbuka dan profesional. Mengingat hakikat aset kripto sebagai komoditas non-mata uang yang berada di dalam lingkup kewenangan Kemendag RI, maka ada baiknya jika beberapa ihwal perizinan yang terkait dapat dipertimbangkan sebagai komponen pengenaan PNBP sektor perdagangan termasuk sektor turunan penunjangnya. Hal ini diperuntukkan sebagai penunjang pembangunan ekosistem aset kripto, dengan kajian ekonomis sebagai strategi pendongkrak penerimaan negara.
Pada akhirnya, tarif pengenaan PPh perlu didesain secara sederhana dan seefisien mungkin, dengan pengenaan tarif PPh Final mengingat lalu lintas transaksi ini berlangsung 24 jam. Model pengenaan, pemungutan, serta pelaporan pajak dengan basis perhitungan tarif PPh final diharapkan memudahkan pelaku di dalamnya.
Potensi penerimaan yang terlihat dari jumlah users yang semakin melonjak dalam satu tahun terakhir itu—dan berpotensi terus melonjak—seiring dengan rencana Kemendag melalui Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) meluncurkan bursa aset kripto di akhir 2021. Sampai saat ini, terdapat 229 jenis aset kripto yang diakui oleh Bappebti. Sementara, untuk menjalankan transaksi bisnis kripto, saat ini telah ada 13 perusahaan pedagang kripto yang terdaftar di Bappebti.
Singkatnya, peluang penerimaan dari aset kripto ini dapat digagas bila fungsi regulerend pajak didahulukan ketimbang fungsi budgetair-nya. Artinya, pemerintah sebaiknya, melalui aturan fiskal, merangsang agar ekosistem aset kripto tumbuh subur terlebih dahulu. Dengan demikian, peluang penerimaan pajaknya pun akan meningkat dengan lebih memadai dalam jangka panjang.
Semoga sinergi antara Kemenkeu dan Kemendag dapat menghadirkan suatu kebijakan yang berdampak positif tidak hanya dari sisi penerimaan pajak, tapi juga dari sisi pembangunan ekosistem aset kripto yang sehat dan maju di Indonesia dalam bingkai aturan hukum yang mencerminkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dengan mengedepankan fungsi regulerend pajak sebagai pisau analisisnya.
You must be logged in to post a comment Login