Connect with us

Recollection

‘Tsunami Gayus’ dan Langgam Penghibur sang Fiskus

Aprilia Hariani K

Published

on

Gayus adalah sejarah kelam yang tak akan pernah bisa dihapus. Namun, ia juga setitik hikmah untuk saling menguatkan dan terus berbenah.

The night seems to fade

But the moonlight lingers on

There are wonders for everyone

The stars shine so bright

Demikian petikan lagu “Kingston Town” karya UB40 yang diaransemen ulang dan dinyanyikan Iqbal Alamsjah dalam album perdananya yang dirilis 2010 silam. Iqbal—begitu lelaki kelahiran Jakarta ini biasa disapa—memang bukanlah musisi tanah air sekondang Chrisye, Broery Marantika atau penyanyi kawakan lainnya. Namun, soal kualitas suara, ia tak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti, penyanyi senior sekelas Dewi Yull pun mau berduet dan merilis album bersamanya.

Bagi lelaki yang sejak tahun 2014 hingga 2017 menjabat Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik (humas) Kementerian Pariwisata ini, menyanyi bukan saja sarana menyalurkan hobi, tapi juga menyeimbangkan otak kanannya. Sebelum hijrah ke Kementerian Pariwisata, Iqbal bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak tahun 1990 dengan jabatan terakhir sebagai Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak.

Ide Iqbal untuk mengaransemen lagu UB40 itu bukan tanpa alasan. Selain ia memang hobi tarik suara, kala itu ia ingin menghibur rekan-rekan sejawatnya yang terpukul ketika mencuatnya kasus Gayus Tambunan. Seperti kita tahu, tahun 2010 silam, Kementerian Keuangan dan DJP terpukul dengan kasus suap itu. Kala itu banyak pegawai pajak yang malu dan terluka karena dedikasi mereka ternodai. Peristiwa itu sungguh menyakitkan. Namun, selalu ada hikmah positif di balik sebuah bencana. Kasus itu menjadi momentum revitalisasi reformasi birokrasi, tidak saja bagi DJP, tapi bagi banyak institusi pemerintah lainnya.

“Situasi saat itu, kami (pegawai pajak) seperti terkena bencana tsunami. Kami semua ‘sakit perut’, tsunami gara-gara Gayus,” kisahnya seraya mengelus dada.

Bagaimana tidak, Iqbal ingat betul, dampak kasus Gayus telah menyerang mental para fiskus. Bahkan, untuk turun dari angkutan umum di depan Kantor Pusat DJP pun pegawai pajak malu.

“Karena kernet bus selalu bilang, halte depan kantor adalah halte Gayus. ‘Gayus turun, Gayus turun, Gayus turun,’” kata Iqbal.

Menyulut semangat

Perih dan pahit yang melanda institusinya inilah yang memantik semangat Iqbal untuk menghibur dan menyulut semangat rekan-rekan sejawatnya melalui musik. Seperti kata filsuf Yunani Phytagoras, bermusik adalah sebuah jalan untuk membersihkan roh sehingga pada masa sang filsuf itu, musik begitu dimuliakan.

“Saya bikin album ini tidak lain untuk menetralisasi keadaan teman-teman. Bukan sok, ya. Saya hanya ingin menghibur teman-teman dengan musik supaya mereka tidak terfokus pada perbuatan (kasus) yang tidak mereka lakukan,” ucap pria yang pernah menjabat Kabid P2humas Kanwil DJP Jawa Timur Tahun 2008 ini.

Selain lagu UB40, dalam album perdananya itu, Iqbal juga mendendangkan lagu “What a wonderful World”— Louis Armstrong, “The Way it Used to Be”— Engelbert Humperdinck, dan lagu lokal “Manusia “ milik Radja. Ia berharap lagu-lagu itu dapat memantik semangat teman-temannya.

“Seperti kata hadis, khoirunnas anfa’uhum linnas. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama,” jelasnya.

Sebagai Direktur P2Humas kala itu, adanya kasus itu membuat Iqbal pun harus tanah menghadapi hantaman berita miring dari berbagai media nasional maupun internasional. Iqbal dituntut cermat dan tepat memberi penjelasan menghadapi serbuan pertanyaan para jurnalis setiap harinya, bahkan setiap menit melalui pesan singkat yang masuk ke ponselnya.

Kala itu, ia pun akhirnya membuat program edukasi perpajakan untuk wartawan setiap hari Jumat, sekaligus untuk mengakomodasi para wartawan dalam menghimpun informasi dari Ditjen Pajak secara akurat dan faktual.

“Bukan untuk soal kasus itu saja. Tapi saya juga jelaskan ke wartawan kerangka kerja prosedur masing-masing Direktorat. Kenapa Wajib Pajak (WP) ini diperiksa, ada kriterianya. Bagaimana WP Keberatan, bagaimana banding ke pengadilan, dan lain-lain. Teman-teman (wartawan) kami beri penjelasan yang benar supaya menulisnya juga benar,” ungkapnya.

“Gelombang tsunami” itu rupanya tak berakhir begitu saja. Di luar pagar kantor, mentalnya juga diuji dengan harus menghadapi ratusan demonstran. Momen perih ini berlangsung nyaris setiap hari selama empat bulan.

”Stres, pusing, seperti tsunami. Tapi, prinsip saya, ke mana-mana kami harus dapat memberikan penjelasan yang benar kepada para stakeholders, bukan hanya bentuk pembelaan,” kata Kasubdit Sarana Tenaga Penyuluhan Direktorat Penyuluhan Perpajakan DJP tahun 2002 ini.

Meski demikian, di balik semua gelombang yang menerjang, Iqbal tetap bersyukur ada hikmahnya. “Mungkin jika tidak ada ‘tsunami’ itu, album ini tidak ada,” kata pria yang hobi cocok tanam tabulampot ini.

Untuk para pegawai Ditjen Pajak, Iqbal berpesan agar selalu ingat akan seruan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar bekerja dengan profesional dan tahan godaan.

Anak Betawi

Kecintaan Iqbal pada musik sebenarnya bermula dari sebuah piringan hitam milik ayahnya, H. M. Djamin Ali. Hampir saban hari lagu-lagu lawas diputar di rumahnya, di daerah Tanah Abang Jakarta.

“Setiap hari lagu ‘Fatwa Pujangga’ diputar, kami menyanyi bersama. Suka duka, nyanyi. Eh, hidup ini enjoy aji, cuy ,” ungkap penyuka rompi kulit ini dengan logat Betawinya.

“Semua yang kukatakan rasanya tak berlebihan. Lalu bagaimana agar dapat yakinkan hatimu. Namun bila kau ragukan, sudah jangan kau paksakan. Setidaknya kau telah tahu segalaku untukmu…” lanjut Iqbal melantunkan lagu “Segala Untukmu” dalam album The Legend Reborn yang ia rilis bersama Dewi Yull pada awal 2018 lalu.

Bakat menyanyi Iqbal itu rupanya tercium oleh ayahnya. Apalagi saat itu ia juga gemar menikmati pertunjukan sebuah teater di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini. Khawatir tercebur ke dunia seni kian dalam, ayahnya dengan tegas melarang Iqbal menjadi musisi ataupun seniman. Alasannya klasik—kehidupan seniman yang cenderung dianggap tak terjamin secara ekonomi.

“Mending sekolah dulu,” kata Iqbal menirukan perkataan ayahnya waktu itu.

Kecemasan ayahanda dipatuhi oleh Iqbal. Ia sadar, musik memang sudah ada dalam sukmanya, tapi ia juga percaya, tak harus jadi musisi untuk dapat bermusik. Karenanya, ia kemudian fokus pada pendidikan dengan masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

“Di STAN itu sistem gugur, ketat sistem belajarnya. Tantangan kitalah untuk mengikutinya. Tapi, nyanyi bisa dilakukan di mana saja. Musik tidak terbatas ruang,” ujarnya, sebelum kembali mendendangkan lagu “Kharisma Cinta” dari album keduanya. “Cinta sungguh indah cintamu… Walaupun terasa hampa jika engkau tiada…”

Kerja kerasnya pun mengantarkannya menjadi seorang sarjana/Diploma IV. Di tahun 1990, ia menjabat sebagai Kepala Subseksi Pemeriksaan (UPPP) Bandar Lampung. Kemudian, di tahun 1996, ia meraih beasiswa di Vanderbilt University, Amerika Serikat.

Prinsip saya, ke mana-mana kami harus dapat memberikan penjelasan yang benar kepada para stakeholders, bukan hanya bentuk pembelaan.

Titik balik

Dua puluh empat tahun mengabdi di Ditjen Pajak mengantarkan Iqbal pada suatu keputusan tak biasa. Tepat tahun 2014, ia memilih pindah haluan dengan melamar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf). Alasannya sederhana. Kepada Menteri Parekraf saat itu, Mari Elka Pangestu, yang mewawancarainya, Iqbal menjawab ia ingin memaksimalkan otak kanannya. Selain itu, ingin menjembatani anak-anak muda yang kreatif agar bisa mengali potensi mereka.

Syahdan, Iqbal diterima dan menjabat sebagai Direktur Ekonomi kreatif berbasis Desain dan Iptek (EKMDI). Iqbal, mengingat momen itu sebagai sebuah titik balik seorang anak Betawi yang cinta seni. Di bawah nakhodanya, sejumlah program yang memopulerkan istilah ekonomi kreatif pun terbangun. Misalnya, dalam hal mencipta lagu, paradigmanya bukan sekadar budaya atau seni, tapi juga mengandung esensi ekonomi kreatif. Ia juga fokus mendorong film animasi dan komik, buku fiksi dan nonfiksi, audio video, dan periklanan cetak maupun digital.

Dalam perjalanannya, rezim pemerintah pun berganti. Menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK, Dr. Arief Yahya Msc sebagai Menteri Pariwisata, mendaulat Iqbal menjadi Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik (humas) Kementerian Pariwisata 2014–2017. Di sinilah kembali titik balik ia temui. Jabatan yang mempertemukannya lagi dengan awak media. Tahun lalu, Iqbal bahkan mampu mengantarkan Kementerian Pariwisata meraih dua penghargaan di ajang Anugerah Media Humas 2017 yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Bakohumas. Pada tahun yang sama ia juga memperkenalkan nama panggungnya sebagai Billy Collomero dan meluncurkan album The Legend Reborn hasil duetnya dengan Dewi Yull. Nama panggung Billy Collomerro diusulkan oleh si pencipta lagu, Harry Tasman.

Tahun ini masa pensiun Billy Collomerro telah tiba. Namun, bukan berarti jiwa seninya ikut purna. Ia masih ingin merilis Album religi pop rock bersama Ian Antono (Godbless). Ia juga berniat merilis buku motivasi untuk memberi semangat para pensiunan pegawai negeri sipil untuk berkarya di bidang apa pun.

“Kita lihat saja Haji Muhidin (Latief Sitepu) jadi pemain sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Usia 66 tahun, pensiunan Kementerian Perhubungan jadi aktor antagonis terbaik,” sebut Doktor Marketing Strategik lulusan Universitas Padjajaran tahun 2007 ini.

Recollection

Titik Balik Meraih Visi

Novita Hifni

Published

on

Foto: Riva Fazry

Ia sikapi dengan sabar kecaman publik terhadap institusi tempatnya mengabdi seraya fokus menebar “customer experience” yang baik kepada WP.

 

Ia sikapi dengan sabar kecaman publik terhadap institusi tempatnya mengabdi seraya fokus menebar “customer experience” yang baik kepada WP.

Menurut Ary, sapaan akrabnya, upaya mengubah peradaban selalu memerlukan generasi muda yang memiliki pemahaman pajak dari sisi ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Maka, harus ada upaya untuk menyiapkan mereka. Dan, menyiapkan generasi adalah sebuah langkah panjang yang harus dilakukan dan tidak boleh terlambat.

Sebagai pegawai pajak, ia ingin mendukung DJP mewujudkan kepatuhan sukarela melalui edukasi dan pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, masyarakat dan pemangku kepentingan melalui customer experience di semua lini.

Pegawai pajak yang sempat aktif sebagai anggota Dewan Kesejahteraan Masjid Salahuddin Kantor Pusat DJP periode 2011– 2018 ini mulai bekerja di DJP sejak 1992. Kala itu, Ary ditempatkan di Seksi Pendataan dan Penilaian, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Langsa, Aceh. Tugas pertamanya adalah membantu kegiatan pendataan objek PBB serta melakukan penilaian objek pajak perkebunan.

“Pekerjaan pendataan pertama kali di lokasi tambak itu penuh tantangan karena cuacanya yang panas terik dan jauh dari tempat makan,” kata Ary, mengenang tugas pertamanya sebagai pegawai pajak.

Saat itu, ia harus melakukan pendataan di daerah tambak yang amat luas dan kerap dilanda pasang-surut air laut, dengan cuaca yang tidak bersahabat, plus lokasinya yang terpencil.

Ary termotivasi bekerja di DJP setelah mengikuti pendidikan kedinasan di Kementerian Keuangan dan terpilih sebagai mahasiswa yang melaksanakan pembelajaran di Malang. Belakangan ia baru mengetahui bahwa pendidikan tersebut merupakan kerja sama antara Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK) Kementerian Keuangan RI dan Institut Teknologi Mara Malaysia.

“Pendidikan di Malang itu untuk membentuk tenaga-tenaga penilai yang saat itu masih tergolong profesi baru di Indonesia dan sumber daya manusianya masih terbatas,” jelas Ary.

Setelah menamatkan kuliah di BPLK spesialisasi PBB-Penilai pada 1994, ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang S1 Jurusan Manajemen Ekonomi Konsentrasi Penilaian di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta tahun 2000. Kemudian, pada 2006, ia menyelesaikan S2 Bidang Teknik Geomatika di Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM.

Baca Juga: Sederhanakan Tata Kelola Keuangan Negara, Kemenkeu Susun PMK Pengelolaan Anggaran

Meniti karier

Enam tahun setelah mengawali kariernya, Ary diangkat sebagai pejabat fungsional Penilai PBB. Dan, berikutnya, sejak 2007, ia mulai menjabat sebagai kepala seksi—mulai dari Kepala Seksi Pendataan dan Penilaian, Kepala Seksi Pelayanan, Kepala Seksi Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Kepala Seksi Dukungan Penyuluhan, Kepala Seksi Ekstensifikasi, Kepala Seksi Pengawasan II, hingga kini menjadi Kepala Seksi Bimbingan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan di Kanwil DJP Kepulauan Riau.

Ia bertugas memberi bimbingan dan memantau pelaksanaan kebijakan teknis pelayanan dan konsultasi pajak, melakukan penyeragaman penafsiran ketentuan perpajakan, dan mengelola pengaduan Wajib Pajak mengenai pelayanan dan teknis perpajakan. Tugas lain yang tak kalah penting adalah melaksanakan pelayanan yang menjadi wewenang Kantor Wilayah DJP.

Bersama timnya, ia menjalin komunikasi dan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan agar program dan kegiatan DJP dapat terlaksana dengan baik. Ia menuturkan, pengalaman dalam membangun kolaborasi selama bertugas di Direktorat Penyuluhan dan Pelayanan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Kantor Pusat DJP, merupakan pelajaran yang amat berharga. Saat itu, pelaksanaan Program Inklusi Kesadaran Pajak yang diinisiasi beberapa tahun sebelumnya, sudah memasuki tahap awal pelaksanaan.

Keberhasilan program tersebut, terangnya, memerlukan dukungan dari pihak eksternal yang bergerak di bidang pendidikan. Dukungan eksternal itu, yakni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Universitas Terbuka.

Melalui upaya yang konsisten dan menyeluruh, institusinya berhasil membangun kerja sama dengan empat kementerian, satu lembaga negara, dan satu universitas penyelenggara pendidikan jarak jauh terbesar di Indonesia.

Di balik suksesnya kerja sama ini, setidaknya dua kejadian yang membekas di memori Ary. Pertama, saat pertama kali berhubungan dengan direktorat yang menangani pendidikan tinggi di Kemenristekdikti. Melalui berbagai pendekatan, ia dan tim akhirnya berhasil bertemu dengan Paristiyanti Nurwardani, Direktur Pembelajaran, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Setelah menjelaskan latar belakang dan tujuan dengan singkat, ia bertanya terkait pelaksanaan kerja sama.

“Di luar dugaan, beliau memberikan jawaban terkait seberapa cepat DJP bisa merealisasikan kerja sama ini. Pertemuan yang dijadwalkan hanya sepuluh menit akhirnya berlangsung hampir satu jam,” ungkapnya.

Pengalaman berkesan lainnya adalah saat DJP akan melaksanakan penandatanganan perpanjangan nota kesepakatan (memorandum of understanding/MoU) dan MoU baru. Kesepakatan itu melibatkan Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kemenag, Kemendagri, LIPI dan Universitas Terbuka. Ary menuturkan, kehadiran para pemimpin tertinggi baru terkonfirmasi beberapa jam menjelang Hari-H.

Baca Juga: Kemenkeu: Per Mei 2023, Penerimaan Pajak Capai Rp 830,29 Triliun

Sore hari menjelang Hari-H, ia bersama tim berkunjung ke Kemenristekdikti untuk mengonfirmasi kehadiran Menteri Ristekdikti dan mendapat jawaban bahwa sang menteri sudah ada jadwal kegiatan lain sehingga tidak bisa hadir. Mereka pergi dengan lemas. Namun, sebelum meninggalkan kantor Kemenristekdikti, ia dan tim mampir ke bagian humas dan bertemu dengan Kepala Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik, Kemenristekdikti, Nada Marsudi. Setelah mendengar cerita singkat mereka, kepala biro langsung menelepon ajudan Menteri Ristekdikti. Dengan nada emosi, kepala biro tersebut menyampaikan agar sekretariat pimpinan Menristekdikti memberikan prioritas perhatian kepada jajaran Kementerian Keuangan, sembari “mengancam” bahwa Kemenristekdikti bisa bermasalah dengan anggaran kegiatan pendidikan tinggi jika tidak bisa mengakomodasi kepentingan Kementerian Keuangan.

“Dalam hati saya salut dengan diplomasi Kepala Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik, Kemenristekdikti, Nada Marsudi. DJP harusnya mempunyai orang-orang seperti ini sebagai ambassador,” akunya.

Ary melihat pentingnya peran duta DJP semacam ini. Para duta ini harus memiliki pemahaman tugas-fungsi DJP dan Kemenkeu, sehingga bisa membantu sesuai tugas-fungsi masing-masing pemangku kepentingan. Selain pemahaman, imbuhnya, mereka juga perlu memberi customer experience yang baik sehingga dapat membangun loyalitas.

Ia bersyukur, Program Inklusi yang semula dirintis sejawatnya, yakni Sanityas Jukti Prawatyani, dan dilanjutkan oleh Aan Almaidah Anwar, sekarang kian matang dikelola Inge Diana Rismawanti bersama tim yang berkompeten di Direktorat P2Humas dan direktorat terkait lainnya.

Titik balik

Menghadapi tekanan publik terhadap institusi DJP yang marak belakangan ini setelah kasus penganiayaan oleh anak pejabat DJP dan hebohnya transaksi mencurigakan senilai Rp 300-an triliun, Ary memilih menyikapinya dengan sabar. Ia percaya, semua permasalahan sudah ditangani oleh aparat penegak hukum secara baik dan adil. Masih ada ribuan pegawai DJP yang mempunyai dedikasi tinggi kepada institusi DJP dan ini yang harus menjadi perhatian utama. Ia berharap kasus ini menjadi masukan bagi DJP dan juga semua pihak untuk melakukan perbaikan dalam berbagai bidang.

“Ini merupakan ujian bagi institusi dan personel DJP. Semoga hal ini menjadi titik balik kita sebagai institusi yang kredibel dan dipercaya oleh Wajib Pajak, masyarakat dan pemangku kepentingan,” ujarnya.

Ia bersama rekan-rekannya tetap tegar dan terus membangun kepercayaan diri dengan melaksanakan tugas pokok dalam pencapaian target penerimaan 2023 secara optimal. Peningkatan pelayanan terus ia lakukan untuk memberi customer experience yang baik kepada WP maupun pemangku kepentingan lain, sekaligus mendukung program pembiayaan pembangunan. Ia yakin upaya ini akan membuahkan loyalitas yang tinggi dari WP dan masyarakat luas kepada institusi DJP.

“Customer experience dapat dilakukan di semua lini tugas dan fungsi DJP, mulai dari kehumasan dan kerja sama, edukasi, pelayanan, pengawasan, penegakan hukum, maupun hubungan dengan pihak ketiga melalui fungsi pendukung di bagian umum,” terang Ary.

Baca Juaga: Jokowi: Kawal Kualitas Belanja Keuangan Negara agar Tepat Sasaran

Continue Reading

Recollection

Berhumaslah dari Hati

Novita Hifni

Published

on

Foto: Riva Fazry

Kehidupan keras dan penuh disiplin sebagai anak tentara menempanya menjadi profesional kehumasan tangguh. Belum pensiun meski usia sudah 78 tahun.

 

Bekerjalah dari hati. Pesan bijak ini terucap dari seorang profesional di bidang kehumasan yang telah berkarier selama lebih dari 47 tahun. Keikhlasan menjalani tugas itu pula yang menggelorakan semangat Aminuddin Nurdin sehingga tampak seakan tak pernah lelah, tetap bugar, dan masih terus berkarya di usianya yang menginjak 78 tahun. Menurut Am, sapaan akrabnya, pubic relations harus memegang teguh kepercayaan yang diamanahkan, menjalin pergaulan yang luas, belajar multidisplin ilmu, kreatif, dan berusaha mencapai hasil terbaik.

“Seorang public relations yang bagus itu dekat dengan banyak kalangan dan harus bicara tepat waktu. Persahabatan yang luas sangat membantu kita dalam bekerja. Terbukti sampai umur 78 tahun saya masih diberi kepercayaan,” tutur Am kepada Majalah Pajak di ruang kerjanya, di Gedung The East, Mega Kuningan, Jakarta, Senin (13/03/2023).

Selesai meraih sarjana muda dari Universitas Padjajaran, Bandung tahun 1968, pria berdarah Minang ini melamar menjadi asisten dosen. Honor sebagai tenaga pengajar digunakannya untuk membantu ayah sehingga tak lagi membebani keluarga. Gelar sarjana berhasil diraihnya pada 1971 dan diberi kepercayaan menjadi sekretaris bidang akademis.

Am mengawali karier profesionalnya di bidang kehumasan pada 1975 ketika diterima di perusahaan Astra yang menempatkannya di Public Relations Section. Saat itu, manajemen Astra memperbolehkannya untuk tetap mengajar di setiap akhir pekan. Sementara pihak kampus juga memandang praktik kehumasan sebagai pengalaman yang penting untuk ditularkan ke mahasiswa. Jadilah dua pekerjaan dijalaninya sekaligus, sebagai Section Head External Relations Astra yang berkedudukan di Jakarta dan menjadi dosen di Bandung setiap akhir pekan.

Peristiwa Malari di tahun 1974 yang turut memengaruhi reputasi Astra menjadi tantangan pertama baginya. Saat itu bahan komunikasi seperti video dan slide show belum lazim digunakan. Am berinisiatif mengusulkannya ke perusahaan, agar masyarakat lebih mudah memahami Astra. Alhasil, kumpulan foto kegiatan perusahaan dan perekaman suara untuk melengkapi tampilan gambar benar-benar membantu komunikasinya kepada masyarakat. Seiring tanggung jawab dan kesibukan yang kian bertambah, ia makin fokus di Astra dan mulai 1984 tak lagi mengajar di kampus.

Baca Juga: Jadi Insinyur Mesin Kehumasan

“Saya bekerja di Astra selama 36 tahun sampai pensiun, lalu diperpanjang lagi 11 tahun. Setelah dari Astra, Triputra Group memanggil saya di bagian corporate communications mulai 2011 sampai sekarang,” paparnya.

Perannya ketika masih di Astra hingga saat ini di Triputra tak sebatas menjalin komunikasi dengan pihak luar. Am menekankan insan public relations (PR) harus bisa memahami dan masuk ke semua bidang untuk turut serta membantu ketika ada permasalahan. Maka, ia juga turut membantu bidang marketing yang terkait dengan penjualan produk, masalah keuangan dengan cara membantu lewat pasar modal, maupun menyelesaikan persoalan legal lewat komunikasi yang baik sehingga tak menjadi besar.

Dari posisi Section Head Public Relations Astra, ia menapaki kariernya yang terus meningkat sebagai manager, general manager, senior manager, lalu menjadi wakil corporate public affair dan dipromosikan lagi menjadi senior vice president serta dipindahkan ke lantai 6—satu lantai dengan jajaran direksi. Berbagai fasilitas yang disediakan perusahaan untuk level direksi seperti kendaraan operasional yang mewah juga turut dinikmatinya.

Pencapaian ini merupakan suatu kebanggaan yang menjadi bukti keberhasilannya dalam meningkatkan reputasi perusahaan sehingga Astra dikenal sebagai korporasi yang sangat memerhatikan konsumen dan peduli dengan permasalahan di masyarakat.

Anak komandan

Semasa kecil hingga kelas V sekolah dasar, Am sempat menjalani hidup yang serba berkecukupan sebagai anak dari seorang komandan tentara di Padang. Ketika terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, keluarganya harus pindah ke sebuah kampung di Bukittinggi. Semua fasilitas dan kenyamanan pun hilang. Untuk menghidupi keluarga, ibunya menjual barang-barang berharga yang masih tersisa.

Kehidupan yang semakin sulit akhirnya membuat ayahnya mengambil keputusan untuk memboyong keluarga pindah ke Bandung pada 1963. Untuk menafkahi keluarga, ayahnya membuka usaha bengkel di Jalan Cihampelas. Saat itu, anak ke-4 dari 10 bersaudara ini masih duduk di kelas II SMA dan menjalani kehidupan yang tidak mudah hingga menjadi mahasiswa Unpad. Pulang kuliah harus ditempuhnya dengan berjalan kaki sejauh 14 km dari Ciumbuleuit lantaran tak ada uang untuk bayar opelet. Selesai kuliah, ia langsung membantu ayahnya di bengkel.

Disiplin dalam menuntut ilmu benar-benar diterapkan oleh sang ayah. Jika ketahuan tidak sekolah, ayahnya akan marah dan langsung memperingatkan.

“Ayah saya sangat mementingkan pendidikan. Walaupun untuk makan saja sulit, tapi itu tidak melemahkan hati. Saya tetap sekolah dengan baik sampai jadi sarjana,” kenang Am.

Terinspirasi TP Rahmat

Am bergabung ke Grup Triputra sejak 2011 yang dipimpin oleh mantan CEO Astra, Teddy Permadi Rahmat. Banyak inspirasi yang ia peroleh dari sosok TP Rahmat selama puluhan tahun membantu sang CEO. Teddy sangat berpengaruh dalam perjalanan karier Am dan menjadi panutannya dalam mengajarkan kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab. Perhatiannya kepada bawahan begitu istimewa. Bantuan untuk universitas dan berbagi ke kalangan masyarakat yang membutuhkan juga kerap dilakukannya. Kebaikan Teddy yang dengan tulus dan sigap membantu pengobatan istrinya hingga ke Australia selalu ia kenang.

Am mengatakan, seorang karyawan harus bisa menempatkan diri dan menghargai pemimpin di tempatnya bekerja. Meski atasan tidak selamanya benar,  karyawan harus tetap menghargai dan jangan menggunjingkan kekurangannya di belakang. Jika sudah bekerja yang terbaik dan bersikap sopan santun, ia meyakini nantinya atasan dengan sendirinya akan memberikan kenaikan pangkat untuk karyawan.

“Efek komunikasi itu berbahaya. Terkadang atasan digunjingkan di belakang. Satu orang menyeletuk, kariernya akan terhambat selamanya,” pesan Am.

Bekerja keras hingga larut malam kerap dilakukannya dan terkadang membawa pulang pekerjaan kantor yang harus segera selesai seperti membuat konsep di rumah. Karya dan prestasi yang ditorehkan akhirnya membawa kariernya terus meningkat. Am juga turut berperan dalam menginisiasi pembangunan Masjid Astra di kawasan Sunter, ditugaskan Direksi Astra untuk mendirikan Museum dan Perpustakaan Astra, membangun kantor serta galeri Yayasan Dharma Bhakti Astra.

Tangani kasus

Dalam perjalanan kariernya yang panjang, berbagai tantangan dalam menangani kasus pernah dilaluinya dan menjadi pengalaman berharga. Ketika menghadapi kasus pembebasan lahan di Sunter, Jakarta Utara yang akan dipakai untuk perluasan pabrik mobil Astra, berbagai persoalan muncul mulai dari harga jual warga yang tidak sewajarnya hingga keterlibatan para perantara. Praktik pemalsuan surat-surat tanah juga semakin menambah rumit penyelesaian. Namun dengan jam terbang yang sudah teruji, ia bersama tim mampu menyelesaikan semua permasalahan dengan komunikasi yang bersahabat.

Pengalaman pelik lainnya adalah kasus Bank Summa. Saat itu Presiden Direktur PT Astra International Tbk TP Rahmat menugaskannya untuk menyelesaikan kasus ini. Am harus meredam aksi para nasabah yang protes menyusul keputusan pemerintah untuk melikuidasi Bank Summa dan kasus ini merembet ke Grup Astra. Hal ini terjadi karena kedekatan pemilik Bank Summa dengan Grup Astra sehingga muncul anggapan bahwa Bank Summa adalah salah satu anak usaha Grup Astra. Padahal, kedua entitas bisnis ini adalah badan hukum yang berbeda dan memiliki tanggung jawab hukum yang berbeda. Am berhasil menangani kasus ini lewat komunikasi yang baik secara terus menerus.

Baca Juga: Gandeng Tangan, Berbagi Peran

Susun visi

Di Triputra Group, ia turut berperan dalam menyosialisasikan pelaksanaan dasar-dasar penerapan di bidang tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Am menulis GCG sebagai syarat mutlak dalam membangun sebuah sistem dan struktur perusahaan yang berkelanjutan.

Dalam pandangannya, komunikasi merupakan faktor paling mendasar pada penerapan GCG khususnya dalam membangun hubungan yang harmonis antara komisaris, direksi, dan para pemangku kepentingan. Am memaparkan GCG sebagai seperangkat hubungan antara pemegang saham, pengurus, kreditur, pemerintah, dan karyawan dalam mencapai kesepakatan tentang hak dan kewajiban mereka. GCG adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan baik dan transparan.

Ia juga telah menyusun visi, misi, objektif, dan strategi di bidang corporate communication dengan tujuan dan program yang jelas. Dua visi utamanya yaitu, pertama, Triputra Group sebagai korporasi yang memiliki reputasi dan citra positif baik secara keuangan dan manajemen maupun dalam tanggung-jawab sosial dengan menerapkan GCG dan etika bisnis. Kedua, menjadi corporate communication yang profesional, berintegritas, dan memiliki semangat untuk selalu mencapai yang terbaik.

Ia melihat pentingnya komunikasi yang dijalankan perusahaan dalam membangun kepercayaan (trust) dan reputasi yang baik terhadap manajemen, produk, dan pelayanan. Untuk itu ia selalu menjaga hubungan yang baik dengan kalangan media. Ia tempatkan wartawan sebagai sahabat, agar terjalin hubungan yang erat dan bersifat kekeluargaan. Menurutnya, senang menjalin hubungan secara kekeluargaan sudah menjadi karakter orang Indonesia yang senang menjalin hubungan secara kekeluargaan.

Menurut Am, praktisi PR harus senantiasa mengikuti dan memahami perkembangan ekonomi, sosial, politik nasional maupun global. Mereka harus belajar dari berbagai kasus yang terkait dengan masalah komunikasi dan teknik penanganannya tanpa berimplikasi negatif terhadap perusahaan. Yang tak kalah penting, imbuhnya, praktisi PR harus lebih membuka cakrawala pengetahuannya melalui berbagai pelatihan ilmu komunikasi level internasional sehingga mampu berpikir secara global dan siap go international.

Continue Reading

Recollection

“Narima” Jadi Peramu Titik Temu

Aprilia Hariani K

Published

on

Gunawan Pribadi Asisten Deputi Fiskal pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian)

Gemar kumpul dan bergaul, Gupri amat menikmati tugasnya kini: mengharmonisasikan kepentingan pelbagai pihak ke dalam rancangan peraturan.

Beberapa pekan terakhir di ujung tahun 2021, Gupri, panggilan karib Gunawan Pribadi, disibukkan dengan berbagai pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) dan rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) mengenai pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kebijakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan kebijakan insentif perpajakan sehubungan pandemi Covid-19. Untungnya, Majalah Pajak, tetap dapat berbincang dengannya di sela kesibukannya sebagai Asisten Deputi Fiskal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian).

“Kemarin itu zoom meeting seharian penuh. Pagi hari membahas klaster Pajak Penghasilan (PPh) dengan Direktorat Peraturan Perpajakan II, siangnya hingga sore membahas klaster Ketentuan Umum Perpajakan dengan Direktorat Peraturan Perpajakan I. Peraturan pemerintah untuk dua klaster ini memang harus diprioritaskan karena akan berlaku mulai 1 Januari 2022,” kata Gupri di Gedung Ali Wardhana, Kantor Kemenko Perekonomian, pada Selasa pagi (21/1).

Ia menjelaskan, penyusunan PP dan PMK terkait UU HPP, antara lain harus melibatkan Kementerian Sekretaris Negara, Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan beberapa kementerian/lembaga lainnya. Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selaku pemrakarsa mengerahkan seluruh unit eselon I, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan Biro Hukum.

Salah satu peraturan turunan UU HPP yang sudah terbit adalah mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Reformasi fiskal

Ia mengungkap, sejatinya rencana mereformasi peraturan perpajakan telah dibahas sebelum pandemi Covid-19 melanda. Kala itu, pemerintah memandang perlu melakukan reformasi dari sisi regulasi demi meningkatkan pelayanan dan pengawasan pajak untuk menciptakan kepatuhan sukarela. Pasalnya, rasio pajak Indonesia yang cenderung menurun sejak 2012 hingga 2017. Kemenkeu mencatat, rasio pajak Indonesia sebesar 14 persen (2012); 13,60 persen (2013); 13,10 persen (2014); 11,60 persen (2015); 10,80 persen (2016); 10,70 persen (2017).

Gupri menekankan, reformasi fiskal merupakan bagian untuk mewujudkan Visi Indonesia Maju 2045. Prospek ekonomi 2045 yang dituju pemerintah, yakni pendapatan per kapita mencapai 29.300 dollar AS, Indonesia masuk dalam empat besar ekonomi dunia, struktur perekonomian yang lebih produktif, dan sektor jasa yang maju.

Selain itu, pemerintah juga sedang dalam proses pembangunan core tax system atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Secara simultan, pemerintah memperkuat reformasi struktural lewat sistem Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA).

“Bahwa kemudian UU Cipta Kerja dan UU HPP terbit setelah pandemi Covid-19, tidak semata-mata dipicu oleh pandemi, melainkan untuk reformasi fiskal yang telah direncanakan sebelumnya,” kata Gupri.

“Sementara penerbitan UU HPP karena juga momentumnya adalah kita punya ruang di Prolegnas untuk pembahasan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Kita manfaatkan itu dengan format omnibus law, yaitu memuat juga perubahan UU PPh (Pajak Penghasilan) dan UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dalam RUU KUP. Dalam proses pembahasan dengan DPR, nama RUU KUP kemudian diubah menjadi RUU HPP.”

Gupri lantas menyinggung tentang putusan judicial review Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.

Judicial review ini merupakan tantangan pertama dan utama dari pelaksanaan UU HPP. Karena konstruksi UU HPP mengikuti pola omnibus law UU Cipta Kerja, dikhawatirkan UU HPP dapat dinyatakan inkonstitusional bersyarat juga sebagaimana putusan MK terhadap UU Cipta Kerja. Adapun secara materi atau substansi, saya tidak melihat adanya tantangan yang berarti karena secara umum kebijakan-kebijakan yang diatur telah disepakati bersama dengan DPR,” jelas Gupri.

Insentif pajak

Selain itu, ia juga turut terlibat dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu dan PMK Nomor 130 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

Intinya, menurut Gupri, pemerintah berupaya meningkatkan daya tarik investasi, baik penanaman modal asing maupun dalam negeri demi mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai sasaran Indonesia Maju.”

“RPJMN 2020-2024 mengharapkan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun dengan kontribusi pertumbuhan investasi rata-rata 7 persen per tahun. Target pertumbuhan investasi ini perlu didukung dengan insentif fiskal dan insentif nonfiskal,” kata Gupri.

Saat ini ia tengah mengumpulkan dan mengharmonisasikan masukan-masukan kementerian/lembaga (K/L) terkait dalam rangka mengevaluasi aturan dan efektivitas tax llowance.

“Berdasarkan pengalaman, evaluasi insentif tax allowance adalah tugas yang berat. Kami harus mengoordinasikan KL-KL yang berbeda keinginan dan kepentingannya. Kami sudah memulai proses evaluasi dengan mengadakan kick off meeting,” kata Gupri.

Menurut kajian BKF, tax allowance bukanlah alasan utama berinvestasi di Indonesia. “Kami pun melakukan monev (monitoring dan evaluasi) dengan melakukan kunjungan ke beberapa perusahaan yang mendapatkan insentif. Informasi yang kami dapatkan, alasan mereka berinvestasi di Indonesia adalah karena pasar Indonesia besar,” ungkap Gupri.

Namun, di sisi lain, beberapa K/L tetap menginginkan perluasan tax allowance. “Mereka berdalih selalu ditanya calon investor mengenai insentif apa yang ditawarkan Indonesia. Jadi, ya inilah tugas kami ke depan, mengharmoniskan pandangan, kepentingan, dan masukan seluruh stakeholders,” ungkap Gupri.

Ia juga ikut menyusun insentif fiskal lainnya, seperti PMK Nomor 128 tentang 2019 tentang Super Deduction untuk Kegiatan Vokasi dan PMK Nomor 153 Tahun 2020 tentang Super Deduction untuk Kegiatan Penelitian dan Pengembangan. Insentif super deduction vokasi diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan vokasi. Sedangkan, super deduction litbang diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang.

Berawal dari DJP

Kepiawaian Gupri mengharmonisasikan sejumlah kepentingan tertempa sejak ia berkarier di DJP. Saat ditempatkan di Direktorat Hubungan Perpajakan Internasional tahun 2000, ia mulai belajar berkoordinasi secara lintas lembaga dan negara untuk mendukung pembentukan dan pelaksanaan P3B. Ditambah lagi, saat diamanahi tugas sebagai Kepala Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II BKF, Gupri menjadi Senior Advisor to Executive Director World Bank (2010–2013), menjadi salah satu wakil pemerintah Indonesia. Di sana, alumnus University of Southern California ini bertugas membuat analisis dan memberikan masukan kepada executive director dalam pengambilan keputusan.

“Executive Director itu mewakili pemerintah suatu negara atau negara-negara selaku pemegang saham World Bank. Di World Bank terdapat 25 executive directors yang mewakili 189 negara anggota. Seluruh keputusan World Bank harus disetujui oleh board of executive directors. Jadi, secara organisasi, kedudukan board of executive directors itu berada di atas Presiden World Bank,” kenang Gupri.

Selesai penugasan di sana, ia kembali berdinas di BKF sebagai Kepala Bidang Perpajakan Internasional. Hingga akhirnya, mulai Mei 2017, ia melabuhkan kariernya di Kemenko Perekonomian melalui proses open bidding.

“Dari sisi pekerjaan, saya senang bekerja di Kemenko Perekonomian. Ibarat baju, baju Kemenko Perekonomian itu lebih lega, tidak kekecilan ukurannya. Kemenko Perekonomian memberikan pengetahuan dan wawasan yang luas. Itu penting bagi saya,” kata Gupri,

Pekerjaannya saat ini otomatis membuatnya bertemu dengan banyak pihak, tambah banyak teman, sekaligus tambah banyak jenis pekerjaan.

“Ibarat makan di restoran padang, hidangan pekerjaannya sangat banyak. Saya bisa memilih apa yang saya suka, bisa juga sekadar mencicipi, meskipun ada juga yang suka atau tidak suka harus saya makan,” kata Gupri.

Semasa remaja, pria kelahiran Semarang, 14 Agustus 1968 ini ternyata juga sudah piawai dalam bersosialisasi. Gupri tidak hanya bergaul dengan teman sebaya, tetapi juga lintas generasi di lingkungan rumah.

“Di kampung saya di Semarang ada tanah lapang. Setiap sore semua orang, tua-muda, besar-kecil, kumpul di situ. Saya selalu hadir. Sore bermain di lapangan, malam kumpul-kumpul ngobrol. Besoknya ada ujian pun, saya tetap hadir kumpul-kumpul, meskipun sambil bawa buku untuk belajar. Ada tetangga yang heran, ‘Kamu ini dolan (main) terus, tapi bisa masuk SMP favorit, masuk SMA favorit,’” kenang alumnus SMAN 3 Semarang ini.

Orangtua Gupri juga menanamkan nilai untuk selalu rida dan bersyukur dengan segala ketetapan Sang Khalik. Tantangan, risiko, dan konsekuensi berpindah-pindah penugasan merupakan bagian dari dinamika kehidupan yang dijalaninya dengan lapang dada.

“Ibu mengajarkan saya untuk narima ing pandhum (ikhlas terhadap segala anugerah). Mungkin karena prinsip narima itu, saya merasa nyaman-nyaman aja berpindah-pindah instansi—meskipun harus berubah-ubah penghasilan juga,” ujarnya sembari tertawa.

Continue Reading

Populer