Up Close
Temani Milenial Bela Negara

Published
1 tahun agoon
By
Novita Hifni
MAJALAHPAJAK.NET – Merintis perusahaan konsultan pajak yang fokus pada klien dari kalangan pengusaha milenial, di masa pandemi yang penuh ketidakpastian, Founder dan CEO PT Lima Sekawan Indonesia atau Kantor Konsultan Hive Five Sabar Lumban Tobing tertantang untuk terus belajar dan berinovasi.
Bersama empat rekannya semasa kuliah, ia mengembangkan bisnisnya sebagai one stop business solution dengan visi untuk turut berkontribusi bagi negara. Dosen perpajakan di berbagai universitas yang rutin berolahraga dan beribadah ini tak pernah mematok tarif biaya untuk jasa konsultasi yang diberikan kepada klien. Komitmennya adalah mendampingi klien dalam membangun bisnis sejak awal berdiri, bertumbuh, bahkan di masa sulit. Ia meyakini, sesuatu yang disampaikan dengan hati akan diterima dengan hati pula.
Dalam perbincangan dengan Majalah Pajak di Jakarta, Rabu (27/07), ia menyampaikan pengalamannya dalam membangun bisnis, melakukan pendekatan dan menumbuhkan kesadaran pajak di kalangan pebisnis milenial, tantangan konsultan pajak di era digital, hingga harapannya dalam momentum 77 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Berikut ini petikan perbincangan kami.
Bagaimana Kantor Konsultan Hive Five ini dirintis?
Pada awal 2019, saya bertemu dengan empat teman semasa kuliah. Mereka yang baru kembali dari melanjutkan studi di Australia ini mempunyai bisnis, tapi tidak mengerti sama sekali tentang perpajakan di Indonesia dan minta bantuan saya. Sebelumnya saya sudah bekerja di kantor konsultan pajak selama enam tahun. Maka kami bangun perusahaan berbadan hukum, yakni PT Lima Sekawan Indonesia yang menempatkan saya sebagai founder dan mereka sebagai komisaris. Melalui perusahaan ini kami ingin turut berkontribusi ke negara. Pada 6 Januari 2019, kami membuat brand perusahaan dengan nama Hive Five dan saya yang mengoperasikan bisnisnya.
Seperti apa layanan yang diberikan Hive Five untuk para klien dan bagaimana inovasinya ketika di masa pandemi?
Awalnya kami berkantor di Kelapa Gading, Jakarta dengan menyewa ruko dan jumlah klien masih sedikit. Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk kemudahan berusaha. Banyak orang yang ingin membuka usaha, tapi tidak mengerti bagaimana memulai dan menjalankan usahanya. Jadi, kami mengedukasi dan membimbing anak-anak muda yang mau buka usaha mulai dari legalitas pendirian usaha, laporan keuangan, branding, membuat website, hingga kewajiban perpajakannya. Kantor kami jadi one stop business solution mulai dari membuat badan hukum usahanya karena memang banyak pebisnis yang tidak ada legalitas usahanya. Padahal ada kewajiban perpajakan yang berbeda antara Orang Pribadi dan Badan. Kalau punya usaha, bentuklah badan hukum karena dari segi perbankan pun untuk dapat fasilitas kredit akan jauh lebih mudah.
Tagline perusahaan—One Stop Business Solution—kami perkenalkan pada Maret 2020. Untuk membantu memasarkan produk usaha, kami buatkan branding usaha, sampai mereka benar-benar bisa punya usaha yang bagus. Akhirnya bisnis kami makin besar. Sampai saat ini saya terus mengembangkan skill, pengetahuan, dan juga jaringan usaha melalui promosi digital dan edukasi.
Bisnis ini berdiri setahun sebelum pandemi. Kami sempat mengalami kondisi yang paling parah saat baru satu tahun berdiri di 2020 sudah muncul pandemi sementara fondasi bisnis belum kuat. Tapi puji Tuhan, dalam kondisi seperti itu justru usaha kami bisa berkontribusi bagi jenis-jenis usaha yang baru muncul seperti alat kesehatan, hand sanitizer, dan masker. Kami bantu dari segi perizinan usahanya. Ketika bisnis hotel, restoran dan banyak lagi lainnya meredup di saat pandemi, bisnis baru justru bertumbuh dan perlu legalitas. Apalagi kalau terkait dengan obat-obatan yang dijual ke masyarakat. Lalu bagaimana pengurusan proses Badan Pengujian Obat dan Makanan (BPOM), mereka tidak mengerti. Banyak yang kami bantu untuk pendirian usaha mereka di bidang masker. Jadi, omzet usaha kami justru naik ketika pandemi.
Kami edukasi juga mereka dari segi perpajakannya. Memang tidak semua diberikan fasilitas insentif pembebasan pajak oleh pemerintah, termasuk perusahaan-perusahaan baru itu tidak diberi insentif. Hanya sektor-sektor yang terdampak langsung yang menerima fasilitas insentif. Akhirnya, banyak yang tadinya tidak usaha di sektor tertentu lalu mengalihkan bisnisnya. Jadi, selama 2020–2021 kinerja usaha kami justru bagus.
Masalah lainnya adalah terkait penyewaan ruang kantor, mereka tidak sanggup bayar sewa ruko. Saat itu mereka juga tidak perlu ke kantor lagi karena pandemi. Jadi hanya butuh kantor untuk legalitas usaha. Maka kami siapkan kantor-kantor virtual. Kami proses semua proses legalitas usaha mereka secara on-line. Pengiriman dokumen, tanda tangan dokumen yang harus di hadapan notaris, kami buatkan supaya mereka tidak perlu ke kantor notaris karena selama pandemi tutup. Kami siapkan tim untuk bergerak ke lapangan untuk keperluan tanda tangan legalitas usaha mereka dan pengurusan on-line lainnya. Saat itu kami langsung berinovasi karena kalau tetap bertahan secara konvensional, usaha kami sudah tutup seperti perusahaan-perusahaan lain. Kondisi yang sulit di masa pandemi ini memaksa kami untuk inovasi.
Baca Juga: Kupas Tuntas Pajak UMKM dan Perusahaan
Usaha kami tetap bertahan, tidak ada pengurangan karyawan bahkan merekrut karyawan baru. Memang karyawan kami bekerja dari rumah, tapi kami bangun sistem agar tetap bisa bekerja optimal di masa pandemi. Akhirnya, banyak klien yang kami edukasi dari aspek prosedur perpajakan karena saat itu SPT tetap dilaporkan. Tidak ada peraturan perpajakan yang menghapus pelaporan SPT karena ada pandemi. Apalagi semua sudah beralih ke on-line karena kantor pajak pun tutup atau dibatasi. Akhirnya, banyak orang yang tidak mengerti cara mengurus pajak dari sebelumnya konvensional secara manual, lalu karena sudah disyaratkan harus mulai sistem on-line. Saat itulah kami hadir. Pelaporan dan perhitungan pembayaran melalui on-line terus naik sampai hari ini.
Jadi, layanan yang diberikan semakin luas dan tidak hanya di bidang perpajakan saja?
Awalnya kami fokus di pajak. Tapi saya lihat ini peluang cukup besar. Kalau hanya pajak saja yang dibahas tanpa mengedukasi bisnis, orang enggak ada yang mau. Tapi kalau sudah mengajari sejak dari mendirikan usaha, menyediakan ruang kantor, mengajari laporan keuangan untuk penjualan, branding, omzet mereka secara tidak langsung akan naik. Bisnisnya bertumbuh sehingga pajak yang dibayar ke negara akan lebih besar. Kalau hanya menangani ujungnya saja, yaitu pajaknya, sementara bisnis mereka tidak jalan tentu percuma. Hal yang terpenting itu basis data perpajakan dulu. Jangan mengejar target pajak. Bagaimana perusahaan mau bayar pajak dalam kondisi rugi dan ekonomi tidak bertumbuh. Semua harus selaras. Situasi ekonomi harus kondusif, kebijakan pemerintah harus mengarah ke pertumbuhan ekonomi yang baik, sehingga ending-nya pada tax.
Banyak pebisnis yang tidak sanggup bayar sewa ruko untuk jangka waktu minimal 2–3 tahun, sementara bisnisnya belum tentu jalan. Kasihan mereka, modalnya sangat terbatas. Menghadapi persoalan ini, solusi yang kami tawarkan adalah paket pendirian usaha dan penyediaan ruang kantor sehingga tidak perlu sewa kantor mahal. Cukup sewa kantor Rp 2 juta per bulan di office tower di lokasi bonafide seperti Office 18 atau Equity Tower SCBD Sudirman dan itu resmi, mereka pun bisa menjadi PKP. Dulu, tahun 2016–2017 tidak bisa seperti itu. Pemerintah masih melihat kantor virtual ini sebelah mata. Kantor pajak tidak menyetujui pengukuhan PKP kalau kantor virtual. Akhirnya terbit surat edaran dirjen pajak yang memperbolehkan badan usaha untuk mendapat persetujuan PKP dengan kantor virtual. Saya apresiasi kantor pelayanan pajak agar jangan terlalu kaku dalam menerapkan aturan. Ini poin pentingnya.
Apa dampak dari kebijakan kantor pajak yang terlalu kaku dalam menerapkan aturan terkait kantor virtual terhadap pelaku bisnis?
Dulu untuk mendapat pengukuhan sebagai PKP aturannya memang harus ada kantor fisiknya. Petugas pajak melakukan survei keberadaan kantor usaha selama minimal satu tahun sewa, misal di ruko. Kalau aturannya seperti itu, bagaimana orang mau berbisnis dengan modal terbatas? Sedangkan ke depannya belum tentu juga bisnisnya bertahan dan bisa tumbuh karena di dunia bisnis tidak ada yang pasti. Akhirnya pelaku usaha tidak dikukuhkan sebagai PKP, padahal mereka mau jual barang/jasa ke badan pemungut, misalnya ke lawan transaksi yang butuh faktur pajak dari mereka. Mereka tidak bisa jual barang itu karena tidak PKP. Sedangkan lawan transaksi mereka yang membeli barang ini mensyaratkan PKP dengan mengeluarkan faktur pajak. Jadi, bisnis sudah terhambat karena kebijakan yang sangat kaku dari kantor pajak dengan mengharuskan ada kantor secara fisik. Padahal, dengan kantor virtual saja bisnis mereka bisa jalan, buat faktur pajak, dan pungut PPN untuk negara. Dengan adanya peraturan dirjen yang memperbolehkan kantor virtual untuk dikukuhkan sebagai PKP, saya yakin penerimaan dari PPN akan naik. Pengusaha bisa punya kantor virtual dan menjalankan bisnis, buka faktur pajak dan pungut PPN yang masuk ke negara.
Kalau DJP tidak beradaptasi dalam situasi ini, kondisinya akan seperti ini terus dan menghambat bisnis. Padahal, pemerintah selalu komitmen untuk menghadirkan kemudahan berusaha. Bereskan dulu di bagian hulunya ini jika ingin meningkatkan pemasukan ke kas negara. Sekarang layanan pajak sudah pakai e-faktur, dulu secara manual. Mungkin masih ada faktur pajak fiktif, tapi sekarang sulit karena sudah terdeteksi semua di server DJP. Bahwa ada faktur pajak yang dibuka dari PT A dan dijual ke PT B. Kalau PT A tidak melaporkan dengan benar akan terdeteksi di PT B. Apalagi jika PT B ini perusahaan besar, sehingga bisa cross-check siapa pembeli dan penjualnya.
Di situasi ekonomi yang tidak mudah dan penuh ketidakpastian, kebijakan harus lentur. Kalau terlalu kaku, bisnis tidak bisa jalan. Hal itu juga yang kami lakukan di Hive Five, harus lentur. Dari segi harga pun oke. Bahkan kalau pun keuntungan yang kami dapatkan sedikit tidak masalah, yang penting bisnisnya jalan dulu. Walau pun margin keuntungan kami turun, tapi banyak manfaatnya bagi bisnis yang dijalankan klien.
Menurut Anda, apa saja peran dan ruang lingkup yang dijalankan oleh konsultan pajak?
Ruang lingkup konsultan pajak sangat luas. Pertama, menjadi mitra pemerintah khususnya DJP dan sebagai jembatan penghubung kantor pajak ke Wajib Pajak (WP). Sebenarnya sampai saat ini ada gap antara kantor pajak dan WP. Ini terjadi karena persepsi masyarakat yang belum ada trust seratus persen pada kantor pajak dan melihat masih ada perilaku pejabat yang korupsi. Bahkan waktu kasus Gayus merebak, sempat muncul slogan untuk tidak bayar pajak karena masyarakat merasa dikhianati. Pengusaha sudah memberikan sebagian laba usahanya yang menjadi hak negara. Namun jangan disalahgunakan, karena untuk dapat laba ini tidak mudah. Maka, saya sangat setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi agar jangan beli produk-produk luar negeri dengan uang yang ditarik dari PPh 21 karyawan dan PPh Badan.
Tidak mudah untuk mengubah paradigma masyarakat tentang pajak. Ini perlu ada pendekatan dan edukasi. Maka kami sebagai tax consultant adalah mitra dan jembatan dari KPP. Tolong kami diberi kesempatan untuk bicara dan menyampaikan, karena WP mungkin tidak mau langsung bicara dengan fiskus apalagi dalam hal pemeriksaan. Kami sebagai mitra DJP akan lebih pas untuk menyampaikan karena selama ini WP lebih suka bicara dengan kami daripada dengan KPP. Ini sangat nyata. Dari ratusan klien yang kami kelola, mereka lebih nyaman konsultasi dengan saya daripada dengan fiskus. Artinya trust terhadap kantor pajak masih belum pulih. Mereka punya jembatan lewat kami. Jadi, peran konsultan pajak sangat luas dalam mengubah paradigma WP terhadap pajak. Kami harus hadir menjadi jembatan dan mitra untuk WP. Pastinya hak-hak WP harus dilindungi dan hak-hak DJP pun kami hormati. Kewajiban WP kami lakukan, namun kewajiban DJP juga tolong dilakukan. Permasalahannya WP tidak tahu apa yang jadi hak dan juga kewajibannya. Maka peran kami untuk mengedukasi mereka. Ini sangat dibutuhkan ke depan.
Pola edukasi seperti apa yang sebaiknya diterapkan dalam menumbuhkan kesadaran pajak di kalangan pengusaha milenial?
Edukasi pajak sangat penting diberikan sejak kecil dan kita dalam hal ini terlambat. Selama ini pelajar dari tingkat sekolah dasar tidak pernah diajari tentang pajak, bahkan masih banyak mahasiswa fakultas ekonomi yang tidak memahami pajak. Ini sangat tragis. Aspek pertama yang perlu diperhatikan dalam mengedukasi pebisnis milenial tentang kewajiban pajak adalah melihat skala bisnisnya dulu. Cara edukasi ke bisnis pemula dengan bisnis yang sudah berkembang pesat pasti beda. Perlu pendekatan persuasi ke pebisnis pemula. Di sini peran konsultan pajak menjadi penting untuk membantu mengurusi pajak para pebisnis pemula. Kalau semua milenial mau buka usaha dan tidak ada yang jadi konsultan, lantas siapa yang mengurusi pajaknya? Target kami memang lebih fokus ke kalangan pebisnis muda yang baru merintis usaha. Bukan yang sudah berjalan lama dan dari segi perpajakannya sudah patuh. Jadi yang perlu dibimbing adalah kelompok anak muda. Dengan bonus demografi Indonesia, generasi muda ini merupakan harapan bangsa ke depan.
Baca Juga: Hive Five Permudah Legalitas Badan Usaha dan Tingkatkan Kepatuhan Perpajakan
Kalau perusahaan-perusahaan besar, dari segi kepatuhan sudah baik, laporan keuangan sudah diaudit oleh kantor akuntan publik dan sudah menjadi perhatian khusus dan top priority oleh KPP. Tapi di luar itu banyak bermunculan yang membuka bisnis baru. Ini jadi tantangan untuk melakukan pendekatan karena mereka belum teredukasi sejak di bangku kuliah. Apalagi setelah mereka menjalankan bisnis dengan segala risiko ketidakpastian, di sini peran kami sebagai konsultan pajak menjadi sangat penting untuk para pebisnis pemula. Kami harus kawal bisnis ini sejak kecil untuk selanjutnya bisa berkembang menjadi semakin besar. Jangan setelah bisnisnya besar, baru pajaknya diperiksa. Kejadian seperti ini banyak dijumpai, setelah perusahaan berjalan sepuluh tahun dan mencapai omzet besar, pajaknya baru diperiksa. Pengusaha bingung, akhirnya bisnis dipailitkan karena dia tidak punya kemampuan untuk melunasi utang pajaknya. Tapi kalau dibimbing sejak usahanya masih kecil dengan omzet masih Rp 100 juta lalu bisnisnya makin besar, dia sudah terbiasa dan teredukasi dengan kewajiban perpajakannya. Jadi, pengusaha tidak hanya berpikir tentang omzet besar tapi juga kewajiban pajaknya. Ini harus sejalan dan perlu dikawal dengan baik.
Kita juga harus hadir di setiap komunitas yang melibatkan anak-anak muda dan milenial, seperti komunitas olahraga, pencinta mobil mewah, dan sosialita. Menyampaikan pajak melalui komunitas sebagai sahabat tentu akan lebih mengena dibanding secara formal di kantor pajak.
Maka kita harus hadir di komunitas pebisnis muda untuk edukasi pajak yang bisa berkontribusi untuk bangsa ini. Ini yang saya lihat hingga saat ini belum banyak dilakukan oleh KPP. Kantor pajak menyampaikan edukasinya selama ini masih kaku seperti mengirim surat atau e–mail saja. Kalau penyampaiannya melalui semua komunitas, saya yakin ini luar biasa dampaknya terhadap kepatuhan. Kesadaran pajak itu dibangun bukan hanya dengan cara dipanggil, disurati, atau diinterogasi seperti di kantor polisi. Ini masukan saya untuk DJP.
Apa yang menjadi tantangan konsultan pajak dalam menjalankan perannya?
Pastinya terkait banyaknya bisnis yang baru bermunculan dan belum tersentuh oleh pajak, contohnya investasi kripto. Sebenarnya kripto sudah cukup lama, tapi aturan perpajakannya baru diterbitkan. Artinya selama ini terjadi loss penerimaan pajak dari bisnis kripto. Konsultan pajak harus bisa mendalami sektor-sektor tertentu yang belum disentuh oleh pajak karena regulasinya belum jelas. Pajak ini dipungut berdasarkan undang-undang (UU). Kalau dipungut tidak berdasarkan UU, itu namanya perampasan. Jadi, konsultan pajak adalah harus bisa melihat dengan jernih dan baik, menelusuri sektor-sektor yang belum tersentuh oleh pajak. Jangan hanya menangani bisnis yang sudah jelas. Bahkan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pun baru dibuat peraturannya dan ternyata kontribusinya cukup besar sewaktu pandemi karena semua orang belanja melalui on-line. Dengan perkembangan digitalisasi sekarang banyak sekali bermunculan bisnis baru melalui on-line yang belum bisa disentuh. Padahal di situ yang justru besar peran dan potensi ekonominya. Maka, perlu pelatihan yang cukup dan pendidikan berkelanjutan untuk bisa menyentuh sektor-sektor yang belum tersentuh oleh pajak. Memang butuh kerja sama dan dukungan DJP juga. Bukan hanya konsultan pajak yang perlu belajar, DJP juga harus terus belajar. Sehingga sewaktu diskusi bisa melihat masalah di titik yang sama.
Bagaimana strategi bisnis yang Anda jalankan, apa yang menjadi keunikan dan keunggulan Hive Five dibandingkan konsultan pajak yang lain?
Kami ingin membantu penerimaan negara. Hive Five merupakan one stop business solution. Intinya solusi satu pintu untuk segala urusan bisnis, tidak hanya bidang perpajakan tapi mendampingi pengusaha kecil dari mulai mengurus legalitas usaha, branding, hingga menjadi besar dan tidak lupa pada kewajiban pajaknya. Inilah yang membedakan kami dengan konsultan pajak lain yang hanya fokus di perpajakan saja. Saya sangat percaya bahwa kita tidak akan pernah bisa menerima pendapatan maksimal kalau bisnisnya saja tidak dikawal dari awal. Kita tidak akan bisa petik buah yang manis kalau dari pohonnya pun kita tidak tanam dengan baik. Hive Five menjadi pintu masuk mereka untuk memulai bisnis. Jadi dari awal bisnis mereka kami rawat, siram, beri pupuk, berbuah, dan buah inilah yang diambil oleh negara.
Kami cukup banyak membina pengusaha milenial, total ada 15.000 perusahaan yang sudah kami bangun. Memang tidak semua bisa survive di tengah pandemi, ada juga sekitar sepuluh persennya yang tidak bisa berlanjut. Sedangkan yang 90 persennya masih terus bertumbuh. Maka kami tidak pernah mematok tarif biaya, bahkan jasa yang kami berikan itu berdasarkan omzet yang dicapai klien. Kami mengikuti pergerakan bisnisnya. Saat omzet mereka turun, tarif jasa kami juga akan diturunkan. Kami menyesuaikan jasa yang diberikan terhadap pertumbuhan omzet mereka. Para klien ini kami dampingi saat omzetnya besar bahkan saat mereka dalam kondisi sulit. Kami melayani jasa ini dengan hati. Sesuatu yang disampaikan dari hati pasti akan diterima dengan hati juga.
Pajak merupakan wujud dari bela negara. Apa pandangan Anda tentang hal itu?
Bela negara adalah wujud kita mencintai bangsa ini. Sesuatu yang dicintai pasti dibela. Cara membelanya dengan menyerahkan apa yang menjadi hak negara dan jangan merampasnya. Pajak itu jelas hak negara. Kalau kita tidak menyerahkan haknya, berarti kita merampas haknya. Secara tidak langsung kita tidak mencintai bangsa ini.Kalau itu disadari bersama, tidak akan ada lagi penggelapan atau pengemplang pajak. Jadi, orang yang tidak membayar pajak itu secara tidak langsung merampas hak negara dan itu sudah dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar.
Bagaimana Anda memaknai Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77 tahun?
Kita sangat mensyukuri kemerdekaan yang merupakan hasil pengorbanan para pahlawan. Saat ini kita sudah tidak perlu mengorbankan nyawa untuk negara. Cukup memberikan apa yang menjadi hak negara dan jangan merampasnya. Kita juga kita harus belajar untuk menyerahkan apa yang kita punya. Contoh saya punya kemampuan di bidang pendidikan. Cara saya mensyukuri kemerdekaan ini adalah dengan menciptakan mahasiswa berprestasi untuk bisa menopang negara dari segi sumber daya manusia. Begitu pula dengan peran saya sebagai konsultan pajak. Melalui upaya saya mendampingi para pengusaha dalam membangun bisnis dan menumbuhkan kepatuhan pajak, secara tidak langsung saya ikut berkontribusi untuk negara.
Reporter/Redaktur


Sintesa Group tumbuh menjadi perusahaan terkemuka dengan ragam lini bisnis strategis yang tak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga pada keberlangsungan manusia dan lingkungan.
Tahun 1919 menjadi tahun penting bagi perjalanan panjang PT. Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group. Bermula dari perusahaan keluarga yang mengelola bisnis perkebunan karet bernama N.V Handelbouw en Cultuur Maatschappij yang dibangun oleh Oey Kim Tjiang, kini Sintesa Group telah berhasil menjadi perusahaan terkemuka yang memiliki empat pilar bisnis utama, yakni properti, energi, produk industri, dan produk konsumen.
Kesuksesan Sintesa Group itu tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Shinta Widjaja Kamdani yang tak lain adalah cucu Oey Kim Tjiang. Dengan kata lain, Shinta adalah generasi ketiga di perusahaan keluarga itu, setelah sebelumnya pada 1959 bisnis keluarga itu diturunkan kepada Johnny Widjaja, ayah Shinta
Tahun 1999, Shinta mendapatkan estafet kepemimpinan dari sang ayah. Namun, kepercayaan itu tidak diberikan begitu saja. Shinta bahkan harus memulai karier sebagai karyawan di perusahaan orangtuanya sendiri. Itu adalah cara sang ayah mendidik Shinta untuk pengusaha andal.
Saat diserahkan kepada Shinta, perusahaan-perusahaan yang dikembangkan sang ayah masih berjalan sendiri-sendiri, tanpa manajemen yang terpadu. Maka, pekerjaan rumah terbesar Shinta saat itu adalah melakukan restrukturisasi, mengonsolidasikan dalam satu holding company, yang kini dikenal dengan nama Sintesa Group.
Di bawah payung besar Sintesa Group itulah Shinta mulai mengelompokkan lini[1]lini usaha mereka yang ada. Kini, Sintesa Group memiliki 17 anak perusahaan yang setidaknya memperkerjakan lebih dari 4000 karyawan, baik outsourcing maupun karyawan tetap.
Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang energi adalah PT Meppo-Gen. Perusahaan ini berdiri tahun 2005 dengan fokus bisnis menyediakan pasokan listrik melalui pembangkit listrik berbahan dasar gas. Saat ini Meppo-Gen sebagai independent power producer mengoperasikan pembangkit listrik berkapasitas 110 MW di Gunung Megang, Muara Enim, Sumatera Selatan. Meppo-Gen menjadi perusahaan ramah lingkungan dengan konsisten mengadopsi Clean Development Mechanism (CDM) sebagai bagian dari sertifikasi pengurangan emisi gas buang yang dicanangkan oleh PBB.
Shinta mengaku, pembangunan usaha di bidang energi baru terbarukan memang penuh tantangan. Selain memakan biaya tinggi, sektor ini juga perlu sumber daya manusia dan teknologi yang mumpuni. Tak kalah penting adalah dukungan pemerintah dari sisi insentif dan kepastian regulasinya. Sejauh apa kiprah Shinta dalam mengembangkan Shintesa Group dan harapannya tentang sektor industri energi baru terbarukan?
Berikut ini petikannya
Sintesa Group kini sudah berusia 100 tahun atau satu abad dan terus berkembang. Bisa diceritakan seperti apa profil Sintesa Group dari sejak berdiri hingga kini?
Awalnya Sintesa Group dimulai oleh kakek saya (Oey Kim Tjiang). Pada 1919, beliau mendirikan perkebunan karet di Kota Tigaraksa (Tangerang). Makanya nama perusahaan waktu masih nama Belanda, NV Handelsbouw en Cultuur Maatschaapij. Kemudian, dikenal dengan nama Tigaraksa karena berada di Kota Tigaraksa.
Kakek saya mulai perkebunan karet pada 1919. Kemudian, tahun 1959.ayah saya masuk ke business trading, membawa produk-produk dari luar negeri masuk ke Indonesia. Nah, itu menjadi cikal bakal. PT Tigaraksa adalah cikal bakalnya Sintesa.
Jadi Tigaraksa itu awalnya perusahaan, kemudian masuk ke trading. Kami kerja sama dengan banyak sekali perusahaan asing, kami bawa produk ke Indonesia. Waktu itu juga ada perusahaan multinasional seperti Johnson & Johnson, Time-Warner, Wyeth-Ayerst Sterling, BASF of Germany, dan lain-lain. Waktu itu mereka belum bisa masuk langsung sendiri ke Indonesia, jadi membawa partner dari Indonesia.
Kemudian, dengan berjalannya waktu, bisnis pun berkembang. Kami dalam proses perkembangan perusahaan, mulai diversifikasi. Jadi, keluar dari bisnis trading, kemudian masuk ke dalam bisnis properti, masuk ke industri, mulai berkembang.
Saya mulai memimpin Sintesa itu di tahun 1999. Ini menarik karena kurun waktu (setiap fase perkembangan perusahaan) itu 40 tahun. Sebenarnya masing-masing waktu tahun itu enggak direncanakan sebelumnya. Kebetulan saja waktunya itu pas genap 40 tahun.
Saya sebenarnya sudah masuk di perusahaan ini dari saya masih kecil. Karena walaupun saya masih sekolah waktu itu, sudah suruh bantu kerja di perusahaan keluarga. Kemudian, saya juga kerja untuk perusahaan lain. Namun, waktu saya kembali ke Indonesia, lulus sekolah saya langsung berkecimpung (di perusahaan keluarga) dan mulai dari anak[1]anak perusahaan.
Jadi, di dalam 40 tahun berikutnya, di 1999 itu kemudian saya melihat bagaimana caranya kami bisa mengonsolidasikan anak-anak perusahaan yang ada. Makanya kami setup holding company, Sintesa investmen holding company namanya Sintesa Group.
Kemudian kami mulailah memperkuat struktur organisasi. Kami mulai dengan good governance yang lebih kuat. Setelah saya bekerja begitu lama di perusahaan keluarga—10 tahun—saya juga melihat banyak spirit enterpreuner, kewirausahaan. Waktu itu banyak perdebatan untuk bagaimana ke depannya perusahaan yang lain-lain kelompok ini. Di situlah kita mulai merencanakan transformasi bisnis dari bisnis keluarga kepada bisnis yang lebih professional management.
Di situ kami mulai merestrukturisasi organisasi kami bawa dengan visi misi, dengan culture dan dasar sistem KPI (Key Performance Indicator) dan lain-lain yang sebelumnya mungkin belum pernah ada. Kami bentuk juga organisasi di holding kami, ada executive committee dan lain[1]lain. Jadi, memang kepemimpinannya juga berubah. Ini yang menjadi awal kami bagaimana mentransformasi dari sebuah perusahaan keluarga menjadi manajemen yang lebih professional.
Saat ini Sintesa Group memiliki empat pilar bisnis. Ada consumer product, industry product, property dan clean energy. Nah di sini kami juga kemudian memfokuskan bahwa secara kelompok usaha kami tidak mau hanya memikirkan dari segi profit, tapi juga people and planet. Makanya kami selalu dasarnya Sintesa Group itu visinya sustainable excelent company. Itulah fase terakhir yang akan terus kami kembangkan untuk bagaimana Sintesa bisa menjadi sustainable excelent company.
Dari keempat pilar usaha itu sampai saat ini ada berapa anak perusahaan dan berapa karyawannya?
Saat ini total ada 17 perusahaan. Kami ada lebih dari 2.700 karyawan. Selain itu ada juga yang kontrak outsourcing. Yang karyawan (tetap) itu 2.700-anlah, tapi kalau total semuanya ada 4000-an mungkin.
Tadi Anda bilang mulai memimpin Sintesa di tahun 1999. Artinya, saat itu Indonesia tengah berada di tahun-tahun krisis moneter dan ekonomi. Bagaimana kondisi Sintesa saat itu?
Kebetulan perusahaan kami cukup konservatif. Kalau perusahaannya agresif tentu saja kondisi finansial itu krisis, dengan devaluasi rupiah yang saat itu begitu tinggi, ya pasti kenalah. Semua pasti terdampak. Namun, karena kami dari levelnya tidak begitu tinggi jadi enggak terlalu terpengaruh seperti banyak perusahaan besar lainnya. Jadi, terdampak, iya, dan kami harus mencari model yang terbaik untuk bisa keluar dari krisis, tentu saja yang terpenting adalah manajemen cashflow, dan itu yang kami utamakan.
Ada aset-aset juga yang terdampak, tapi pasti pentingnya saya rasa kita semua belajar bahwa krisis pada waktu itu membuat kita mulai berpikir, kita mau bawa ke mana perusahaan ini? Bagaimana perusahaan bisa terus resiliensi? Karena kadang-kadang kita operating business as ussual, tapi kita lupa bahwa ada hal[1]hal kunci. Bisa saja krisis itu terjadi kapan saja dan bisa ada monetary tightening, inflasi, dan lain-lain yang kita enggak biasa kontrol. Jadi, ini yang kemudian kita lebih membangun resiliensi perusahaan. Di sinilah kami benar-benar melihat bahwa planning—saat kita merencanakan itu harus ada kisi-kisi kita memastikan bahwa perusahaan itu harus balance, baik dari segi portofolio maupun dari segi cash flow.
Kalau kita liat memang banyak perusahaan sangat agresif, apalagi kalau generasi ketiga biasanya lebih agresif. Ya kebetulan saya di sini saya belajar bahwa saya rasa kita harus mengimbangi. Di sinilah kami memastikan bahwa Sintesa Group itu tumbuh tidak harus berkali[1]kali lipat, tapi harus stabil. Dengan kata lain, kami mesti long-lasting, mesti berkelanjutan. Oleh karenanya kami harus bangun resiliensi, dan mesti menjaga, make sure bahwa kami menyeimbangkan portofolio kami untuk ada yang short term dan long term. Ya, semoga kita bisa terus langgeng.
Untuk unit usaha sektor energi bersih apa saja produk yang dibuat oleh Sintesa?
Sebenarnya kami mulai—ini kan awalnya bukan bidang usaha kami. Pada waktu itu memang kami lihat peluang di bisnis kelistrikan itu tinggi, dan kami mulai belajar untuk masuk ke dalam infrastruktur juga. Nah, kami ada peluang waktu itu mengambil alih gas power plant partgas. Waktu itu Meppo-Gen kami mulai di Sumatera Selatan, Muara Enim. Nah dari situ kita mulai melihat—kebetulan saya, kan, championing renewable energi, dan lain-lain—apa sih opportunity yang ada? Kami mulai masuk ke geothermal energy kemudian kami lihat solar, dan lain-lain.
Dari yang Anda alami, apa saja kendala menjalankan usaha di bidang energi baru terbarukan ini?
Pertama, kita biasanya masih fossil fuel karena murah, gitu kan? Jadi, dari segi pricing competitiveness-nya bagaimana? Apalagi fossil fuel kita disubsidi. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dari segi harga? Kedua, kalau kita lihat (dari sisi) teknologi, memang teknologi ini sekarang, kan, sudah banyak sekali. Nah, Indonesia ini harus bisa terus menyerap teknologi yang kompetitif. Jadi, inovasi yang keluar ini harus bisa diimbangi dengan kapasitas yang kita ada juga di Indonesia. Jadi, kalau kita mau membawa teknologi masuk, bagaimana kita bisa mengadopsi dengan teknologi yang ada.
Saya juga melihat bahwa jelas regulasi sangat berperan. Selama regulasinya, kebijakannya belum kondusif, ya enggak mungkinlah. Kita mau apa juga susah. Kita mau usung jargon transisi energi juga susah—sekarang, kan, masih di DPR.
Mungkin terakhir yang menjadi kendala adalah people. Jadi, people ini kita melihat bahwa job yang berhubungan dengan teknologi baru ini harus dipikirkan. Transisinya tidak hanya dari segi transisi energi biasa, tapi transisi energi yang berkeadilan yang mempertimbangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat terdampak di setiap tingkatan perjalanan transisi energi. Sebab, akan banyak sekali berdampak pada pekerjaan.
Dan financing, saya rasa cost funding financing itu juga menjadi kunci. Availablity mungkin banyak untuk climate financing, tapi cost-nya seperti apa, itu harus dipikirkan. Dibutuhkan juga insentif dari pemerintah. Kalau kita lihat sekarang, tentu saja kita tahu di negara maju banyak juga kendala dari segi scarcity gas, dan lain-lain. Balik lagi, oh coal kita malah diminati, mau dibeli negara lain. Nah, itu kan hal-hal yang memang sangat sulit. Pada satu sisi kita mau masuk ke dalam energi bersih, mau masuk ke dalam net zero, tapi pada sisi yang lain kita juga harus melihat economic equality yang ada di Indonesia. Sebab, ekonominya, kan, tetap harus tumbuh. Jadi, ini semua harus jadi perhitungan.
Dengan kondisi dan kendala yang ada tadi, apa kemudian yang menjadi fokus dan target Sintesa Group ke depan, terutama jika dikaitkan dengan rencana pemerintah untuk fokus pada pengembangan energi bersih?
Kami komitmen untuk terus mendorong(energi bersih). Kita ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dan Sintesa sudah komit sebagai sustainable excelent company untuk pengadopsi poin[1]poin di dalam SDGs untuk diintegrasikan ke dalam model bisnis Sintesa. Dan itu termasuk dalam invesment side-nya. Nah, kami memiliki investment matrix yang masuk ke dalam impact investing dan itu hubungannya juga dengan green investment. Jadi, kami sudah komit dan ini yang mau kami masuki. Oleh karenanya, kami jelas di dalam energi bersih, baru dan terbarukan. Jadi, jelas kami akan berminat, yang pasti peluang ada tapi kita juga harus jelas dan prudent juga. Maksudnya, ya kami mau, tapi do we have the capacity? Pada akhirnya, kan, modeling-nya juga harus jalan.
Jadi, kalau ngikutin apa yang sekarang kami planning, ini masuk dalam portofolio kami. Namun, seberapa cepat ini bisa jalan, ini tergantung kendala di lapangan. Geotermal saja banyak lingkungan komunitas (masyarakat) enggak tahu kalau itu energi bersih—malah disangka mau jadi kayak Lapindo, dan lain-lain. Itu berarti sosialisasi dan edukasinya perlu berjalan. Jadi, it will take time dan kita harus sabar. Kadang kita sudah mau ini, mau itu, tapi pada dasarnya bagaimana keadaannya? Apakah ini memungkinkan? Jadi, kami perlu waktu, tapi jelas itu salah satu yang akan menjadi concern kami ke depan, rencana kami untuk mau terus berinvestasi di area ini
Apa saran Anda untuk pemerintah agar sektor energi baru terbarukan ini benar[1]benar bisa terealisasi, mampu menarik minat investor dan sebagainya?
Ada dua hal. Pertama, pajak sudah pasti, kan, fiskalnya. Namun, kita juga punya yang namanya energy transition mechanism, ada platform juga yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Keuangan, jadi itu sudah jelas, clear, insentif-insentif yang bisa didapatkan. Kedua, juga financing. Kalau kita lihat memang—tadi saya katakan cost of funding. Jadi, interest rate, apakah pada green investment ini kita bisa mendapatkan interest rate yang lebih kompetitif dibandingkan dengan proyek-proyek biasa? Jadi, untuk green investment ini, termasuk energi baru terbarukan, kalau investasi di situ apakah perbankan bisa memberikan kita dengan bunga yang lebih murah, misalnya kayak gitu. Ini yang mungkin dasar-dasar insentif yang perlu ada.
Yang tak kalah penting juga, tadi, support dari pemerintah, misalnya, sosialisasi. Kami ini, kan mengembangkan proyek geotermal. Itu harus ada dukungan pemerintah untuk lingkungan, untuk lain-lain, supaya komunitas itu enggak sembarang, mereka akan against investasi di proyek-proyek semacam ini kan? Nah ini perlu dukungan dari pemerintah juga. Jadi, insentif tidak hanya sekadar nilai insentif pajak atau apa, tapi juga yang nonfiskal juga sangat penting.
Anda sudah lama di Apindo, sekitar 20 tahun. Bagaimana Anda melihat iklim berusaha di Indonesia saat ini dan ke depan di tengah situasi global yang ada sekarang?
Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang ada, cukup bersyukur. Dibandingkan dengan situasi global saat ini, ekonomi kita masih salah satu yang paling baik. Cuma permasalahan utama buat Indonesia saat ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab, kalau kita lihat dari investasi yang masuk, ini sudah mengarah ke target padat modal. Setiap Rp 1 triliun investasi di tahun 2013, itu menyerap 4000-an tenaga kerja. Namun, di tahun 2023 sekarang itu turun hampir seperempat—hanya 1000-an tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi. Ini kita mesti berhati-hati karena Indonesia punya bonus demografi. Jangan sampai tenaga kerja yang masuk itu tidak bisa diterima oleh industri. Jadi, ini harus menjadi perhatian kita bagaimana bisa menciptakan cukup lapangan pekerjaan dengan tren investasi yang masuk lebih kepada padat modal.
Kemudian, kita juga lihat dari adopsi teknologi. Itu, kan, juga sangat memengaruhi otomatisasi, dengan digitalisasi, kita enggak perlu orang sebanyak itu. Banyak perusahaan yang sudah streamlining, bisa otomatisasi. Itu pasti akan memengaruhi juga. Jenis pekerjaan yang dibutuhkan saat ini juga agak beda. Kita sudah masuk ke high skills, sementara Indonesia masih low skills. Ini hal-hal yang harus jadi perhatian kita.
Kita juga harus lihat positioning Indonesia sebagai negara tujuan investasi, dari segi pengupahan, cost of doing business dan lain-lain. Kita bisa berdaya saing atau enggak? Ini hal-hal yang harus jadi perhatian. Jadi, menurut saya Indonesia is on the right tract, pertumbuhan ekonomi baik,
perkembangan secara macro prudential kita positif, tapi ini ada pekerjaan rumah yang menjadi momok. Ini bisa menjadi kendala kalau enggak kita perhatikan
Kalau kita mau mencapai Indonesia emas 2045, mau jadi nomor 4 negara terbesar di dunia, ya ini pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Apakah kita bisa lebih mengembangkan UMKM yang lebih mapan untuk meningkatkan kewirausahaan mereka? Sebab, kalau kita enggak bisa menciptakan lapangan kerja berarti kita harus menciptakan pekerjaan itu sendiri melalui para wirausaha ini.
Nah, pendidikan juga menjadi faktor penting karena link and match-nya, apa yang keluar dari pendidikan harus masuk bisa diserap oleh industri. Jadi, ini juga dengan adanya perubahan cara kerja, pekerjaan masa depan harus jadi perhatian buat Indonesia. Dunia pendidikan juga harus melihat bagaimana karakter industri. Kita banyak masuk vokasi, tapi skill-nya enggak cukup banyak.

Baginya, memimpin bukanlah sekadar memberi perintah. Memimpin juga berarti mengakomodasi kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.
“Wah, Majalah Pajak, ya? Kebanyakan orang yang diwawancara Majalah Pajak pasti ketakutan. Mereka menyangka mau dikejar pajak,” seloroh Shinta Widjaja Kamdani saat menyambut kami di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Menara Duta, Jalan H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat sore (5/5/23). Mendengar kelakar itu kami pun tertawa.
Kami mafhum. Mengenakan blus hijau cerah berpadu celana panjang warna lemon, Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group itu tampak anggun dan energik. Wajahnya tak mencerminkan kelelahan sedikit pun, meski sudah seharian berkutat dengan pekerjaan, dari rapat ke rapat yang sudah tentu menyita waktu dan pikirannya. Maklum, ia adalah pemilik sekaligus pemegang tampuk pimpinan tertinggi PT Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group.
Sintesa Group, perusahaan investasi strategis terkemuka yang mengelola beragam portofolio bisnis di seluruh Indonesia ini bisa dibilang salah satu perusahaan tertua di negeri ini. Pada usianya yang kini genap mencapai satu abad, Sintesa Group telah menjadi rumah bagi 17 perusahaan di bawahnya dan menaungi setidaknya 2.700 orang karyawan.
Kepiawaian Sinta Kamdani mengelola bisnis tak perlu diragukan lagi. Ia pernah mendapatkan pengakuan dunia atas banyak perannya dalam komunitas bisnis karena semangat dan karyanya yang luar biasa dalam isu-isu keberlanjutan dan pemberdayaan perempuan. Berkat upayanya itu, Shinta Kamdani dinobatkan sebagai 20 Most Powerful Women 2022 oleh Fortune Indonesia. Ia juga mendapat penghormatan dari Forbes sebagai The Asia Corporate Excellence & Sustainability (ACES) Woman Entrepreneur of The Year pada 2019, Asia’s 50 Powerful Businesswomen pada 2012, 2013, dan 2016; 30 CEO Terbaik 2015 versi Business Indonesia Award; dan masih banyak lagi pengakuan yang melekat pada diri perempuan yang lahir di Jakarta pada tahun 1967 itu. Misalnya, ia dipilih oleh PBB sebagai salah satu dari 30 pemimpin perusahaan global untuk bergabung dengan Global Investors for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih untuk menjabat sebagai Ketua B20 Indonesia selama Presidensi Indonesia pada KTT G20 2022 lalu.
Baca Juga: Data Adalah Senjata Melawan Masalah
Sejak lama Shinta memang memegang keyakinan bahwa hidupnya harus selalu berdampak untuk kepentingan orang lain. Tak heran, ia juga pernah menerima penghargaan sebagai Komandan Bintang Kutub oleh Raja Carl XVI Gustaf dari Swedia dan Komandan Ordo Leopold dari Belgia atas keterlibatannya dalam meningkatkan hubungan ekonomi.
Tiga prinsip
Shinta adalah anak tertua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan pengusaha Indonesia Johnny Widjaja dan Martina Widjaja. Dari sang ayah ia banyak belajar ilmu bisnis, sementara dari sang ibu, ia belajar tentang ilmu sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.
“Saya datang dari latar belakang keluarga yang menekuni bidang bisnis. Kebetulan ayah saya sangat dominan bisnis. Namun, ibu saya ke sosial. Jadi, selain berbisnis, saya juga diajarkan untuk kerja sosial, harus dekat dengan komunitas, lingkungan dan lain[1]lain,” kata Shinta.
Shinta mengaku, sejak kecil sudah terbiasa dibawa ke kantor oleh sang ayah. Pada usia 13 tahun, ia bahkan sudah mulai ikut bekerja. Pada saat liburan sekolah, ia pun memanfaatkan waktunya untuk bekerja. Kebiasaan itu juga ia lakukan saat tengah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.
“Waktu saya di luar negeri, sambil sekolah saya juga sambil bekerja. Jadi, saya selalu tahu bahwa pada akhirnya saya akan bekerja dan melanjutkan usaha keluarga—kebetulan saya juga dari keluarga yang enggak punya anak laki-laki. Jadi, ya sudah, dengan sendirinya, anak perempuan harus jalanin usaha,” tutur lulusan Barnard College of Columbia University, New York pada tahun 1989; dan Harvard Business School Executive Education, Amerika Serikat pada 2002 itu. “Saya beruntung sekali mendapatkan banyak kesempatan, pengalaman, juga hidup berkecukupan, saya rasa bekerja itu adalah bagian dari hidup saya.”
Meski berlatar belakang dari keluarga mapan yang memiliki perusahaan, Shinta mengaku tetap meniti kariernya dari bawah sebagai karyawan. Ia tidak serta merta langsung menduduki jabatan strategis di perusahaan orangtuanya. Ayahnya ingin mendidiknya bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ia harus memperjuangkannya.
“Orangtua saya itu saklek, bahwa kita harus mulai dari bawah. Hidup itu tidak hanya begitu saja diberikan tetapi kita harus fight for it,” tutur Shinta.
Dalam menjalani hidupnya, Shinta memiliki tiga prinsip, yaitu purpose (tujuan), perseverance (ketekunan), dan passion (kecintaan terhadap bidang yang ditekuni).
Dalam konteks bisnis, purpose itu ia wujudkan dengan membangun bisnis yang berkelanjutan. Tidak semata[1]mata berorientasi pada profit, tapi juga membangun bisnis yang berdampak positif bagi lingkungan dan komunitas.
Sementara itu, kecintaan terhadap bidang yang ditekuni menurut Shinta akan menjadi motivator penting terutama ketika dihadapkan banyak tantangan, bahkan kegagalan. Bekerja dengan penuh passion, menurut Shinta juga dapat menghadirkan banyak ide baru serta pembelajaran dan kegigihan mencapai tujuan.
Adapun ketekunan, menurut Shinta adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan bisnis. Hanya mereka yang tekun melakukan eksperimen dan mau belajar dari kegagalan-kegagalan yang dihadapilah yang akan mencapai tujuannya. “Semua itu perlu kerja keras. Kita enggak pernah tahu, apa yang kita miliki sekarang, kapan saja itu bisa diambil dari kita,” ujar pendiri Koalisi Bisnis Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan (IBCWE) dan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) itu.
Baca Juga: Komunikasi dan Konsistensi Menjadi Kunci
Nilai 4E
Dalam menjalani usaha, Shinta juga selalu menekankan pentingnya memiliki sikap kemandirian dan selalu membumi. Hal itu juga yang sejak ia kecil selalu ditanamkan oleh kedua orangtuanya,
“Kita harus tahu dan sadar diri. Kaki kita harus ada di bumi. Karena kadang-kadang kita lupa. Kalau hidup terlalu enak, terlalu gampang, kita melayang-layang,” kata Shinta.
Hal lain tak kalah penting menurut Shinta adalah memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekitar. Nilai-nilai hidup yang ia dapatkan dari orangtua dan pengalamannya itu kemudian ia refleksikan menjadi corprate value di Sintesa Group yang ia sebut dengan 4E— empathy (kepedulian), empowerment (memberdayakan), excellent (memberikan yang terbaik) dan entrepreneurship (menumbuhkan jiwa kewirausahaan terhadap karyawan). Semua nilai itu kemudian ia proyeksikan sebagai visi bisnis untuk menjadikan perusahaan sebagai sustainable excellence company.
Dalam memimpin perusahaan, Shinta juga menerapkan prinsip kepemimpinan yang melayani. Artinya, pemimpin bukan hanya bertindak sebagai bos yang otoriter dalam memberikan perintah, tetapi juga melayani kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.
“Konsep leadership saya, servant leadership. Jadi, sistem kepemimpinannya agak beda—demokrasinya lebih jalan. Jadi, decision making-nya juga enggak hanya di saya,” ujar Shinta.
Kini, Shinta telah dikaruniai empat orang anak dari pernikahannya dengan Irwan Kamdani. Selain memimpin perusahaan, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi bisnis dan sosial.
Ia tercatat sebagai Wakil Ketua Koordinator III Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Koordinator Regional untuk Asia-Pasifik dan Anggota Dewan Eksekutif Kamar Dagang Internasional (ICC), Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD). Ia akan terus berkiprah turut membangun negeri melalui caranya sendiri, yakni membangun bisnis yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi lingkungan dan sosial.
Up Close
Data Adalah Senjata Melawan Masalah

Published
1 tahun agoon
10 Oktober 2022By
Novita Hifni
Majalahpajak.net – Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal di daerah agar tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyambut baik UU ini sebagai suatu terobosan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggairahkan berbagai sektor usaha.
Dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak di ruang kerjanya, Gedung Balai Kota Bogor, Kamis (22/09), ia menyampaikan berbagai hal positif dari konsep UU HKPD meski di fase awal penerapannya akan mengurangi Pendapatan Asli Daerah. Politikus Partai Amanat Nasional yang memasuki periode kedua kepemimpinan di Kota Hujan ini memaparkan berbagai strategi kebijakan berbasis data dan inovasi layanan digital Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor selama pandemi Covid-19 sehingga Kota Bogor mampu pulih lebih cepat. Ia juga bicara tentang program penguatan sektor UMKM, peluang ekonomi dari Forum Presidensi G20, dan manfaat keberadaan Presiden RI yang saat ini menetap di Istana Bogor.
Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana evaluasi Anda tentang dampak pandemi terhadap perekonomian dan tingkat kesejahteraan di Kota Bogor? Sektor-sektor mana saja yang paling terdampak dan bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menyokong kegiatan bisnis agar tetap bertahan?
Kami melakukan dua kali survei di tahun 2020 dengan Nanyang Technology University Singapura dan 2021 dengan Institut Pertanian Bogor. Keduanya menghasilkan temuan sama terkait angka-angka dampak pandemi untuk kemudian mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang terpukul dan seberapa besar dampaknya. Data hasil survei menunjukkan bahwa 70 persen lebih warga Kota Bogor terdampak pandemi dan mengalami penurunan penghasilan. Hampir 40 persen warga kehilangan pekerjaannya. Sektor-sektor yang terpuruk adalah perdagangan dan jasa. Restoran, kafe, mal, toko-toko sangat terpukul waktu pandemi.
Tapi di 2021, kami menemukan hal yang membangkitkan optimisme yaitu ada bidang-bidang yang justru berkembang di masa pandemi, seperti urban farming, on-line shop, termasuk juga industri makanan sehat, alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan lainnya. Data dari dua survei ini menjadi acuan bagi kami untuk merumuskan strategi.
Kami berkolaborasi dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan berbagai pihak untuk fokus pada peluang yang tercipta. Pada 2020 kami menjalankan Program Bogor Berkebun yang membidik urban farming.
Ketika pandemi sedang berat, kemudian ada orang beralih kegiatannya ke taman, mengelola tanaman di pekarangan yang terbatas. Maka kami membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menciptakan apps (aplikasi) Bogor Berkebun. Jadi warga bisa masuk dan daftar ke apps, nanti dikirimi pupuk, benih, dan lainnya. Kemarin saya mempresentasikan aplikasi itu dalam rangkaian acara G20 di Bandung dan mendapat apresiasi dari salah satu lembaga pangan di Eropa karena mereka mengikuti juga pergerakan dari Bogor Berkebun. Perputaran uangnya lumayan dan kami dibantu juga oleh Bank Indonesia. Jadi, ini memberikan banyak multiplier effect berupa sufficient di daerah tertentu, menurunkan inflasi dan menguatkan kebersamaan. Sekarang muncul tren di kalangan mahasiswa untuk menekuni urban farming.
Kami juga melakukan pendampingan, coaching, terhadap UMKM yang prospektif. Ada hasil kajian yang mencatat bahwa komoditas yang mengalami booming seperti dekorasi rumah-tangga. Ini menjawab fakta kenapa IKEA dan sejumlah perusahaan furnitur mengalami booming. Di masa pandemi, orang berkegiatan di rumah saja. Akhirnya, kami adakan pelatihan bagi warga yang terdampak untuk diarahkan ke sana.
Yang ketiga adalah wisata tematik. Kami menghidupkan kawasan wisata tematik di beberapa titik seperti Bogor Selatan, Kampung Percak, dan Tajur Sindangsari. Itu semua merupakan hasil analisis karena saya selalu percaya bahwa menghadapi perang harus dengan data. Maka Covid-19 itu juga adalah tentang mengolah dan menganalisis semua data yang kemudian dikumpulkan untuk merumuskan kebijakan.
Seperti apa program dan kegiatan Pemkot Bogor dalam mendorong pengembangan sektor UMKM agar lebih berdaya saing?
Kami bekerja sama dengan HIPMI dan Dinas UMKM untuk memfasilitasi warga terdampak pandemi untuk dilatih. Misalnya ada kerajinan kulit, bambu, bahkan ada yang mengerjakan peti mati. Jadi, melihat demand yang ada saat itu, maka kami beri pelatihan di sektor yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk aplikasi, kami meluncurkan Program Bogor Hits yang targetnya ke anak-anak muda. Ada berbagai bidang usaha seperti kuliner dan kriya yang hasil karyanya kami kurasi untuk dimasukkan ke platform Bogor Hits. Ini adalah platform khas Bogor yang terintegrasi mulai dari kurasi, coaching, juga membantu penetrasi pasar. Dari kolaborasi di program ini kami banyak menemukan keajaiban bahwa sebetulnya tidak perlu dana dari APBD.
Kami bisa kerja sama dengan para pelaku fintech, Shopee, Tokopedia yang punya konsep dan anggaran untuk melakukan pembinaan. Mereka juga senang kalau mitra-mitra UMKM bisa masuk ke pasar.
Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Kota Bogor saat ini? Apa saja tantangannya?
Data survei mengungkapkan dampak pandemi telah mengakibatkan sebanyak 70 persen warga Kota Bogor mengalami penurunan penghasilan, bahkan ada yang sampai nol. Sebanyak 42 persen karyawan mengangggur dan terkena PHK. Lalu 57 persen warga terpaksa menggunakan tabungan untuk bertahan hidup, sementara 30 persen responden mencairkan investasi untuk bertahan hidup. Angka pengangguran meningkat jadi 12,68 persen. Tenaga harian lepas termasuk yang sangat terdampak. Maka jika di awal pandemi kami menerapkan pembatasan yang ketat, tapi perlahan kami longgarkan. Setelah saya turun langsung, ini ibarat kita menembak nyamuk pakai meriam. Jadi tidak seimbang. Begitu kegiatan ditutup total, dampaknya sangat dahsyat. Terutama buruh berpenghasilan harian itu yang tidak bisa makan.
Waktu itu kami sempat meluncurkan Program Jaringan Keluarga Asuh Kota yang mendapat apresiasi dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini karena di tengah keterbatasan APBD untuk bantuan sosial (bansos) kami merumuskan satu sistem untuk warga bisa saling membantu melalui crowd funding. Jadi, warga yang tidak dapat bansos didata, diverifikasi, lalu dimasukkan di aplikasi. Kalau ada warga yang punya dana Rp 500 ribu–Rp 1 juta mau membantu, dia bisa cari tempat kediaman warga terdampak pandemi lewat aplikasi dan langsung transfer Rp 1 juta untuk dua bulan atau Rp 500 ribu untuk satu bulan. Program ini untuk mengatasi keterbatasan anggaran daerah dan membidik buruh harian lepas. Selama setahun kami fight menjalankan program itu.
Alhamdulillah, Bogor termasuk kota yang recover cepat karena berbagai langkah yang kami lakukan adalah berbasis data. Angka kemiskinan sempat anjlok di minus 0,41, tapi masih di atas Jawa Barat yang ketika pandemi mencapai minus 2,52. Sementara angka kemiskinan secara nasional minus 2,07. Tahun 2021 kami sudah recover di angka 3,76 di atas Jawa Barat dan nasional. Cepatnya pemulihan itu karena tulang punggung ekonomi ada di sektor UMKM, urban farming, wisata alam, dan program bansos.
Adakah program khusus untuk menyiapkan generasi Z (kelahiran 1996–2009) Kota Bogor agar mereka mampu memanfaatkan teknologi digital untuk kepentingan mereka dan kemajuan kotanya?
Kami mempunyai Program Taruna Digital yang berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memberikan pelatihan digital marketing. Lalu kami juga membentuk Komunitas Pemuda Kreatif (Reka Bogor). Kami bangunkan tempat untuk komunitas-komunitas agar bisa diskusi, saling berbagi mengasah kreativitas melalui Bogor Creative Center dalam upaya pemulihan ekonomi. Untuk mereka yang suka platform digital bisa memanfaatkan Bogor Hits.
Sektor-sektor ekonomi apa saja yang menjadi unggulan dan berkontribusi besar bagi Kota Bogor, bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menjaga kesinambungan pertumbuhan sektor-sektor unggulan tersebut?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021 ada lima sektor ekonomi utama di Kota Bogor yaitu sektor industri pengolahan, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, transportasi dan pergudangan. Sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha Kota Bogor. Share terbesar terhadap PDRB menurut lapangan usaha terutama dari sektor perdagangan dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dengan nilai 19,52 persen. Maka kami mengidentifikasi, melakukan pendampingan dan saya minta juga supaya targetnya betul-betul selektif.
Selama ini kegiatan pelatihan kerap kali jatuhnya hanya pada lingkungan saudara dan kerabat. Sementara pelatihnya juga tidak terlalu memberikan motivasi dan hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Maka kami ubah paradigmanya agar betul-betul menyasar pada orang-orang yang potensial untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, bukan hanya orang-orang yang membutuhkan kegiatan untuk menambah penghasilan melalui pelatihan.
Desain APBD juga kami buat seperti itu. Kalau selama ini, misalnya anggaran di Kemenaker atau Dinas UMKM sebesar Rp 500 juta untuk dibelikan peralatan menjahit, saya ubah konsepnya, karena program pelatihan bukan memberikan lapangan pekerjaan tapi menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, efeknya lebih masif.
Pemkot Bogor dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menjalin kolaborasi dalam program unggulan pengembangan desa wisata di Kecamatan Bogor Selatan pada Maret 2021. Bagaimana perkembangan pelaksanaannya sejauh ini?
Kelurahan Mulyaharja di Kecamatan Bogor Selatan berdasarkan data merupakan salah satu kawasan yang termasuk paling miskin di Kota Bogor. Alamnya indah, tapi karena kepemilikan terhadap lahannya sudah berubah maka banyak warganya menjadi buruh lepas dan kuli bangunan. Mereka tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Begitu muncul pandemi, dampaknya dahsyat sekali karena tidak ada lagi pekerjaan. Tapi semenjak kami intervensi dengan anggaran dana hibah dari APBD kurang dari Rp 3 miliar, kami bentuk kelompok masyarakat dan menggandeng berbagai pihak untuk memberikan pelatihan termasuk dari Kemenparekraf. Dampaknya luar biasa. Total wisatawan yang berkunjung ke kawasan agro edu wisata organik Ciharashas Mulyaharja sampai Juli 2022 sebanyak 76 ribu pengunjung. Pemasukan dari tiket masuk dalam seminggu bisa mencapai Rp 20 juta. Berbagai sektor usaha kini berkembang di kawasan wisata itu mulai dari kuliner, kerajinan, juga ada pelatihan bidang usaha on-farm dan off-farm seperti padi organik, peternakan, dan perikanan.
Konsepnya adalah wisata edukasi untuk belajar dan melihat pertanian organik sembari ngopi, makan, atau trekking. Kemarin kami juga baru menggandeng suatu perusahaan yang bergerak di bidang travel untuk melatih dan mengidentifikasi potensi hidden gems dari mutiara tersembunyi yang bisa dijual. Kami latih anak-anak muda di kelurahan itu untuk bisa menjadi tenaga marketing.
Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 membuka banyak peluang pasar dan potensi ekonomi. Bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam memetik manfaat dari forum global tersebut?
Spirit dan tema besar G20 kami tangkap dalam hal kolaborasi dan inovasi di kalangan generasi muda melalui beberapa kegiatan seperti Youth20. Kegiatan untuk anak-anak muda kreatif itu diselenggarakan di Alun-alun Kota Bogor yang berkolaborasi dengan pemerintah provinsi. Lalu ada Mayors Retreat yang dihadiri para wali kota dari negara-negara G20. Kami membawa mereka untuk melihat potensi ekonomi kreatif di Bogor dan juga ke Kebun Raya. Ini dampaknya bisa membukakan jaringan dan potensi kerja sama di bidang tanaman dan ekonomi kreatif . Kami juga mendapatkan keuntungan dari okupansi hotel, kunjungan wisata, dan lainnya. Jadi ada keuntungan jangka pendek dan panjang.
Digitalisasi saat ini menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Seperti apa program Pemkot Bogor dalam mendukung transformasi digital?
Satu hal yang menjadi masterpiece dan layanan digital andalan di Kota Bogor adalah Mal Pelayanan Publik. Kami belajar dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur di tahun 2018. Tapi hari ini Mal Pelayanan Publik yang kami bangun menjadi rujukan nasional karena sudah seperti di luar negeri. Masyarakat bisa daftar pakai apps sehingga tidak perlu antre ketika mengurus berbagai keperluan, mulai dari paspor, perpanjangan Kartu Tanda Penduduk, juga akad nikah.
Untuk public compliance, kami melakukan inovasi melalui sistem yang memungkinkan warga menyampaikan aduan terhadap berbagai problem di Kota Bogor yaitu Sistem Berbagi Aduan dan Saran (Simbada). Aduan yang disampaikan seperti jalan bolong, tempat sampah penuh akan langsung masuk ke instansi terkait. Sistem ini membuat dinas-dinas pemkot terus bergerak merespons aduan warga. Adapun secara umum berdasarkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), tahun 2021 Kota Bogor berpredikat baik.
Kami melakukan inovasi e-SPPT sebagai solusi untuk mengurangi keborosan tiap tahun ketika mencetak tagihan pajak. Sistem ini menghemat banyak uang negara karena tidak perlu mencetak lagi dan langsung sampai. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan meningkat signifikan khususnya di Semester 1 2021 sebesar Rp 159,25 miliar. Berkat inovasi layanan yang memperluas kanal pembayaran lewat kemitraan dengan berbagai pihak, warga punya banyak opsi dan jadi lebih mudah. Inovasi ini masuk dalam Top 45 Inovasi Pelayanan Publik 2022 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Melalui UU HKPD, pemerintah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak. Bagaimana pandangan Anda terhadap UU HKPD tersebut dan langkah yang ditempuh dalam menggali potensi ekstensifikasi pajak di wilayah Kota Bogor?
UU HKPD ini terobosan yang luar biasa dan konsepnya bagus karena targetnya adalah meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Banyak daerah yang sangat bergantung kepada bantuan pemerintah pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak seberapa. Ada hal positif di UU ini, misalnya penambahan pajak sewa apartemen kondominium, penambahan pajak di usaha katering, penambahan definisi pajak reklame berjalan, juga ada bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk daerah yang lebih banyak.
Dalam catatan kami memang ada beberapa pajak yang saat ini berpotensi mengurangi pendapatan, seperti pajak kos-kosan yang dihilangkan, tarif parkir yang turun, juga tarif pajak bioskop dan pergelaran musik yang dikurangi. Namun, kami melihatnya in the long term dampaknya bagus karena untuk menggairahkan sektor-sektor usaha tadi. Tarif parkir memang turun dari 30 persen menjadi 10 persen, tapi targetnya ke depan adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jadi, ini konsepnya bagus untuk meningkatkan kemandirian walaupun di fase-fase awal cenderung bagi beberapa daerah bisa mengurangi PAD.
Bagaimana tingkat kesadaran pajak di masyarakat Kota Bogor saat ini, apa saja upaya yang dilakukan Pemkot Bogor dalam meningkatkan kesadaran pajak?
Ada dua hal yang menentukan efektivitas pajak, yakni sosialisasi dan transparansi. Sosialisasi itu sejauh mana warga bisa paham bahwa mereka punya kewajiban, apa saja kewajibannya dan caranya bagaimana. Ini kami koordinasikan dengan aparatur di wilayah kecamatan, RT/RW, tokoh masyarakat, termasuk Wajib Pajak seperti pengusaha restoran dan hiburan. Adapun terkait transparansi, warga harus yakin bahwa uang pajak ini akan kembali ke mereka. Kami menciptakan satu sistem terkait dua hal ini. Bagi lurah yang target pajaknya tercapai dan ini bisa dimonitor secara real time oleh wali kota, akan diberikan reward. Misalnya Kelurahan Katulampa tercapai target pajaknya, maka kami akan beri reward senilai Rp 350 juta. Silakan pak lurah bersama warga mengajukan proposal akan digunakan untuk kebutuhan apa. Jadi, langsung dimanfaatkan seperti membuat jembatan, posyandu, jalan setapak. Ketika pak lurah semangat untuk mendorong kepatuhan pajak, dia akan umumkan kelurahannya mencapai target dan mendapat reward. Ini bentuk transparansi.
Pemkot Bogor juga mencantumkan APBD secara on-line yang dapat diakses di website. Warga bisa melihat alokasi belanja sampai unit terkecil. Jadi, bisa tenang membayar pajak karena anggaran dijamin transparan dan akan kembali ke rakyat. Saya selalu mengatakan, “Uang rakyat harus memberikan manfaat, uang rakyat jangan mampir ke kantong pejabat.”
Dalam momentum 77 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini, pemerintah mengusung tema “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Menurut Anda, apa yang dibutuhkan agar Indonesia dapat pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat?
Kuncinya adalah di politik dan pemerintahan. Kalau politik stabil dan pemerintahan kondusif, maka semuanya akan bergerak cepat. Banyak yang menyampaikan tentang pentingnya kebersamaan. Sekarang ini civil society dan swasta itu berkembang cepat dan sudah terbiasa kolaborasi, tapi apakah pemerintah siap beradaptasi? Kalau aparat penegak hukum masih korup dan politikusnya konflik sengkarut tentu tidak bisa juga. Semua investor akan menunggu. Komunitas anak-anak muda sekarang tumbuh menjadi generasi yang siap menyambut masa depan. Jadi jangan dikembalikan ke masyarakat. Kalau pemerintahan dan aparat penegak hukum semuanya clear, betapa kita bisa menghemat banyak sekali anggaran pembangunan untuk rakyat. Kalau kita tidak rukun dengan kantor pajak, polisi, dan lainnya, untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat tidak akan terjadi.Sementara pihak swasta sudah menunggu. Semuanya wait and see.
Anda memimpin kota yang saat ini menjadi tempat kediaman Presiden RI. Adakah manfaat dari keberadaan presiden di Kota Bogor?
Tentu ada. Hari kedua di sini, beliau memanggil saya. Saya sampaikan bahwa kami senang sekali beliau tinggal di sini. Tapi kalau berkenan kami ingin agar Kota Bogor sama indahnya seperti indahnya Istana dan Kebun Raya. Kalau di dalam itu hijaunya karena tanaman, di luar jangan hijau karena angkot. Jadi, kami ingin sekali dibantu. Dari situlah saya banyak sekali berkomunikasi dengan beliau. Jalur pedestrian seputar Istana Bogor dan Kebun Raya sepanjang 4,3 km itu adalah hasil proposal saya ke Pak Jokowi. Kemudian fly over yang melintas di Jalan RE Martadinata untuk memecahkan persoalan macet juga hasil lobi saya ke beliau. Jadi, keberadaan beliau di sini juga harus memberikan manfaat. Itu bentuk manfaat secara fisik. Sementara manfaat yang bersifat nonfisik, saya selalu sampaikan ketika berbicara di berbagai forum internasional dengan memperkenalkan diri sebagai Wali Kota Bogor, kota yang secara de facto merupakan capital city of Indonesia. Bogor juga mendapatkan international exposure karena banyak tamu negara yang berkunjung ke sini.

Mengenal Hak dan Kewajiban Pajak Bagi UMKM

Libatkan 3 Perguruan Tinggi, Kanwil DJP Jaktim Kembali Gelar Ruang Belajar Pajak

Survei OJK: Kinerja Perbankan Tetap Optimis di Tengah Volatilitas Global dan Dinamika Makroekonomi Domestik

Mengenal Karakteristik Instrumen SVBI dan SUVBI dari Bank Indonesia

BCA Bagi Dividen Interim Tunai Sebesar Rp 5,23 Triliun

Sosialisasikan Program “Self Assessment”, P3HPI dan Universitas Esa Unggul Gelar Seminar dan Pelatihan Perpajakan

Dorong UMKM Naik Kelas, Tax Center Gunadarma Adakan “Workshop” Standarisasi Mutu dan Rantai Pasok

Kanwil DJP Jakbar Adakan Kegiatan Kite Belajar Pajak di Universitas Esa Unggul

3 Oknum Pegawai Pajak Jadi Tersangka Korupsi, Kanwil DJP Sumsel Babel Buka Suara

Gelar Tax Gathering 2023, Kanwil DJP Jakarta Khusus Beri Penghargaan Kepada 45 Wajib Pajak Patuh
Populer
-
Breaking News2 bulan ago
Peringati HUT ke-8, AKP2I Dorong Kepatuhan dan Integritas Konsultan Pajak
-
Breaking News3 bulan ago
Semarakkan HUT IKPI ke-58, IKPI Cabang Bekasi Gelar “5K Fun Walk”
-
Breaking News3 bulan ago
Rayakan HUT IKPI ke-58, IKPI Kembangkan Konsultan Pajak Kompeten dan Berintegritas
-
Breaking News2 bulan ago
Kecerdasan Buatan Bantu Pengelolaan Pajak
-
Breaking News2 bulan ago
KKP: Aplikasi E-PIT Integrasikan Layanan Hulu-Hilir Perikanan Tangkap dalam 1 Sistem
-
Breaking News2 bulan ago
Tingkatkan Potensi Pajak Daerah, Pemkab Bogor Hadirkan Layanan LAPOR PAK
-
Breaking News2 bulan ago
Gandeng Perhimpunan INTI, Kanwil DJP Jakbar dan Jaksus Gelar Seminar Pajak Bagi Investor
-
Breaking News2 bulan ago
Menko Airlangga: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Kunci Optimalisasi Pemberdayaan UMKM
You must be logged in to post a comment Login