Daya ungkit ekonomi desa bergantung pada kekuatan dan inisiatif program BUMDes dan kelincahannya menggaet pihak lain.
Sejatinya, saat ini banyak desa yang telah berhasil mandiri, berdaya, dan menyejahterakan penduduknya karena roda perekonomian berputar, dan menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes). Dan boleh dibilang, kemajuan desa ini hasil dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Aturan ini memberi otonomi desa berdasar hak rekognisi dan subsidiaritas dalam wadah NKRI. Pemerintah desa (Pemdes) memiliki kewenangan untuk menentukan program dan merencanakan keuangan yang terbaik bagi desanya, sesuai dengan potensi juga kearifan lokal yang dimiliki.
Masyarakat desa yang selama ini hanya menjadi penonton, lebih dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya salah satunya melalui pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), saat ini ada 51.134 BUMDes dari total 74.953 desa.
Sebanyak 43 BUMDes di antaranya bahkan dibentuk saat pandemi Covid-19 di tahun 2020. Fakta lain, sepanjang tahun 2015–2020 sebanyak Rp 4,2 triliun dana desa dimanfaatkan sebagai modal BUMDes; dan pada periode yang sama BUMDes berhasil menambah pundi-pundi PADes sebesar Rp 1,1 triliun.
Dengan data itu, sudah semestinyalah kepala desa menyadari pentingnya keberadaan BUMDes sebagai pengungkit PADes, sehingga bisa melakukan studi kelayakan bisnis bagi terbentuknya BUMDes. Salah satu BUMDes yang cukup berhasil menyejahterakan warganya adalah BUMDes Tunas Mandiri di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta.
BUMDes yang dibentuk sejak 2016 ini memiliki empat unit usaha yaitu pariwisata, ekonomi desa (simpan-pinjam), pengelolaan dan pengolahan sampah, dan grosir sembako. Direktur BUMDes Tunas Mandiri Ahmad Nasrodin menuturkan, pengelolaan dan pengolahan sampah merupakan unit usaha yang pertama kali mendapat kucuran dana desa.
Saat pembukaan Tempat Pengolahan Sampah-Reduce Reuse Recycle (TPS3R) di tahun 2017, BUMDes mengajukan dana sebesar Rp 95 juta ke Pemdes yang kemudian dibelanjakan di tahun berikutnya. Sementara unit usaha ekonomi desa simpan pinjam membutuhkan dana desa sebesar Rp 49 juta untuk membantu permodalan ibu-ibu pelaku usaha mikro, seperti penjual tempe, peyek, dan lain-lain yang tidak memiliki akses perbankan.
Dari empat unit usaha ini, hanya pariwisata yang tidak perlu dana dari Pemdes. Desa Wisata Nglanggeran telah menjadi salah satu magnet wisata di Jawa Tengah dengan wisata andalan Gunung Api Purba dan paket wisata Live In.
Kolaborasi
Awalnya, banyak yang meremehkan, karena desa ini hanya mengandalkan “jualan” dari gunung api yang tersusun dari batuan andesit. Namun, berkat keuletan dan kerja sama antarwarga, juga kekuatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), desa ini menghasilkan omzet miliaran rupiah per tahunnya (hingga tahun 2019) dan menyerap ratusan tenaga kerja dari penduduk lokal.
Pendapatan desa dari pariwisata semakin meningkat ketika PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF memberikan relaksasi pembiayaan homestay pada 2019. Pembiayaan ini berupa pinjaman yang dikembalikan penuh dengan bunga tiga persen hingga tuntas, dan tenor berdasarkan kesepakatan pemilik rumah dan SMF.
BUMN ini menyiapkan plafon senilai Rp 1,6 miliar untuk membiayai pengembangan 87 homestay secara bertahap. Nasrodin menyebut, hingga saat ini ada 31 pemilik homestay yang memanfaatkan dana untuk menambah kamar atau merenovasi rumahnya agar memenuhi standar program Live In yang telah ditetapkan.
Setelah dana diberikan kepada pemilik rumah, BUMDes dan Pokdarwis melakukan pendampingan hingga pembangunan rumah selesai, untuk menghindari penyelewengan dana. Desa Nglanggeran juga bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk Program Pengembangan Destinasi Wisata Nglanggeran, yang dilaksanakan selama tiga tahun, yakni sejak 2020 hingga 2022.
Melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), BI juga memberikan dana pembangunan glamorous camping (glamping) Kedung Kandang yang bertaraf internasional. BUMDes juga akan menerapkan konsep syariah di glamping yang pembangunannya sudah mencapai 50 persen ini.
“Penginapan ini akan memakai sistem syariah, tapi bukan berarti pengunjungnya harus umat Muslim. Misalnya untuk pembuatan kamar mandi dipisah antara perempuan dan pria. Lalu, apa yang kami hidangkan semisal daging ayam, maka cara potong ayamnya harus halal (sesuai ajaran Islam),” ujar Nasrodin kepada Majalah Pajak melalui sambungan telepon, Minggu (24/1).
Kini, Nasrodin bersama timnya tengah membudidaya larva atau maggot lalat hitam sebagai alternatif mata pencaharian di saat pendapatan usaha pariwisata turun hingga 70 persen. Nasrodin mengklaim telah mendapat omzet sebanyak Rp 2,4 juta setelah dua bulan berjalan.
Ia juga bekerja sama dengan PT Sari Husada untuk pembelian limbah sebagai pakan larva. Harapannya, warga desa mau belajar dan ikut membudidaya larva ini agar mendapat penghasilan tambahan dan ekonomi desa kembali meningkat.
Desa juara
Contoh lain adalah Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur yang dulu identik sebagai desa miskin dan kumuh. Desa ini berhasil menyulap bekas galian kapur menjadi kawasan wisata. Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim menuturkan, sebelum jadi desa dengan omzet miliran saat ini, semua pihak termasuk bank meremehkannya.
“Tidak ada yang melirik kami saat itu. Sudah miskin tak punya rasa percaya diri, lagi. Namun, dengan model usaha yang jelas kami bisa meyakinkan warga untuk investasi dan pakai jaminan tanah saya untuk dapat pinjaman dari bank sekitar Rp 500 juta dari bank di Jawa Timur,” ujarnya di sebuah webinar bertajuk Menggali Potensi Permodalan BUMDes, Kamis (3/12/20).
Dari usaha wisata itu pemasukan desa pelan-pelan meningkat. Pada 2018, desa ini mampu mendulang Pades sekitar Rp 575,7 juta, dan meningkat Rp 929 juta di tahun 2019. Hingga Oktober 2020, Pades mencapai Rp 1,4 miliar dan menyumbang 68 persen keuangan desa.
Abdul Halim berpesan, memajukan ekonomi desa saat ini bukan hal yang mustahil asal ada kemauan serta komunikasi dengan semua elemen masyarakat. Menurutnya, kunci penting ada pada model bisnis yang jelas dan SDM yang akan mengelolanya.
Desa ini juga menyabet juara 1 Desa BRIlian 2020 yang dihelat PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Program Desa BRIlian merupakan kegiatan inkubasi kawasan perdesaan yang berlangsung sejak September–Desember 2020, untuk membantu pemulihan perekonomian desa akibat pandemi.
Sebanyak 125 desa terpilih mengikuti pelatihan dan program peningkatan kapasitas secara daring, sebelum dinilai untuk menentukan 10 desa paling unggul. Kesepuluh desa terpilih kemudian mendapat pendampingan khusus dari BRI bekerja sama dengan Bumdes.id selama 3 bulan. Selain itu, 10 desa tersebut akan menjadi Duta Desa BRILian untuk Program Desa BRILian 2021.
Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengatakan, program Desa BRILian yang akan dilanjutkan di tahun 2021 ini merupakan bukti komitmen BRI sebagai salah satu bank BUMN terbesar untuk terus mengembangkan kawasan perdesaan, dan mendorong warga serta pengurus desa agar selalu berinovasi demi peningkatan kesejahteraan.
You must be logged in to post a comment Login