Serendipitas disadari atau tidak, ada di setiap manusia yang di pengujung hari mau merenungi apa yang dia lakukan di seluruh hari itu.
Banyak orang mencari tujuan hidupnya sejak dia mengenal arti pertanyaan, “Apakah cita-citamu?”
Zaman dahulu, cita-cita ngehits seorang anak SD adalah menjadi dokter, kedua, menjadi insinyur, kemudian ada yang sedikit idealis menyatakan ingin menjadi guru. Zaman sekarang saat ditanya cita-cita, seorang anak SD bisa menjawab, ingin menjadi youtubers, artificial intelligencers, atau pengusaha kaya. Berkembang pesatnya informasi membukakan wawasan generasi muda bahwa di ujung dunia sana, profesi ini menjadi luar biasa, profesi anu berbayaran tinggi, dan itulah kesuksesan.
Mari tarik benang merahnya. Dalam tujuan hidup setiap orang mencapai kesuksesan, terdapat proses dan standar yang berbeda-beda. Orangtua yang sering membawa anaknya saat mengikuti seminar motivasi atau MLM (multi-level marketing) yang menawarkan kesuksesan tanpa perlu pengorbanan dan perjuangan, tanpa disadari menanam konsep yang membekas dan membius. Kemewahan. Sedikit usaha. Kaya itu mudah. Sukses itu perlu.
Hal itu dibuktikan dengan realitas saat mereka beranjak besar, bahwa prestasi tidak selalu mendukung keberlimpahan materi di masa depan. Si A teman sekelas yang dulu bandel, sekarang sudah jadi pengusaha ekspor-impor. Si B yang dulu enggak pernah dapat ranking, sekarang punya industri kertas, makanan dan minuman. Lantas kemudian konsep kesuksesan menjadi goyah saat arti sekolah dipertanyakan. Buat apa sekolah tinggi-tinggi mengejar gelar, kalau nanti penghasilannya lebih rendah dari mereka yang dropout?
Dan kemudian terjadilah proses pencarian besar-besaran dalam diri seseorang, yang memiliki naluri pencapaian secara instan. Hal itu kemudian memicu target tidak terkendali saat mereka mencari. Ketika mendapatkan informasi dan pemahaman bahwa surga bisa diperoleh dengan nyata, maka terjadilah bom bunuh diri satu keluarga. Ketika merasa bahwa hanya kekuasaan yang dapat menyalurkan hasrat pemenuhan materi, maka hilangnya anak manusia dari muka bumi secara misterius sudah bukan hal luar biasa.
Serendipitas bukan itu. Pertengahan abad ke-17, Horace Walpole, seorang penulis Inggris menemukan informasi yang menarik saat meneliti lambang. Penemuan tersebut dia sebut serendipity, dari dongeng “The Three Princess of Serendip”, bahwa sesuatu ditemukan dari hal-hal yang tidak diketahui dan dicari.
Seseorang yang memberanikan diri untuk mendaftar sebagai Wajib Pajak baru dengan tujuan melengkapi persyaratan utang di bank dengan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, bisa saja memperoleh serendipitasnya saat bertemu dengan petugas pajak yang secara bersahabat membeberkan informasi apa dan bagaimana kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hal itu membuka pikirannya tentang bagaimana rekan-rekan sang petugas pajak yang bersahabat itu, berjuang dalam mencari orang-orang yang belum membayar pajak secara benar dan berusaha mengedukasi masyarakat berulang-ulang. Padahal, berita yang dibacanya di media lebih sering tuntutan pemenuhan target tanpa diiringi kesadaran tinggi yang timbul dari masyarakat, untuk membayar pajak. Keluhan masyarakat tentang ketidaktahuan senantiasa beralaskan sosialisasi kurang. Pertanyaannya, apakah saat kelas pajak dan sosialisasi diadakan, mereka yang diundang memiliki tujuan untuk sadar pajak dan datang menghadiri? Tidak tercapainya penerimaan pajak sesuai target, kasus-kasus pajak, menjadi tema hangat yang kalau perlu didiskusikan dalam bentuk debat intelektual di layar kaca yang tujuannya mencari solusi, tapi menampilkan kontroversi dan polemik. Asalnya hanya mencari.
Saat kita melakukan semua dengan sungguh-sungguh dan kerja keras, maka bisa saja terjadi hal-hal menyenangkan yang tadinya tidak diharapkan.
Padahal sederhana saja hidup ini. Saat kita melakukan semua dengan sungguh-sungguh dan kerja keras, maka bisa saja terjadi hal-hal menyenangkan yang tadinya tidak diharapkan. Ide-ide yang kita tuangkan kemudian menjadi tren inovasi yang diikuti seluruh kantor, misalnya. Melayani Wajib Pajak dengan empati, bisa saja tanpa disangka-sangka membuat sang Wajib Pajak menyetor pajaknya dengan nominal tinggi dan keikhlasan tinggi, tentunya. “Baru sekali saya ketemu orang pajak seperti Anda”, demikian kepuasan tercetus dari sang Wajib Pajak. Wow! Apakah ini keterpaksaan? Tidak, ini kesadaran dan kepercayaan. Prinsip habitas—mengubah perilaku dengan kepercayaan, melalui edukasi langsung dan persuasif ke komunitas atau individu. Padahal juga, tadinya semua dilakukan semata karena tugas dan bergulirnya surat imbauan yang harus dihadapi kedua belah pihak.
Hal lain, terbentuknya sinergi dan kerja sama antarlembaga, mungkin saja bertujuan pertukaran data terjalin baik. Namun, prinsip habitas akan membangun kepercayaan bersama sehingga terjadi lebih dari sekadar bertukar data, tapi juga bersama meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Hasil yang luar biasa dan tak terduga menjadi kejutan kecil yang perlu direnungi. Betapa banyak asosiasi dan instansi, kementerian dan kelembagaan yang pernah semeja dalam menandatangani kerja sama, dan tanpa terasa tahun berganti dan batas kerja sama berakhir tanpa ada proses yang bermanfaat. Seandainya pencaharian dilakukan bersama, maka siklus yang terjadi adalah: Kami mencari ini, tetapi menemukan lebih daripada yang dicari. Kami menandatangani perjanjian kerja sama, tapi akhirnya kami bersahabat. Pernahkah berpikir seperti itu di setiap langkah hari-hari?
Tindakan bersahabat sering terdapat pada koloni binatang, kendati terus diabaikan sampai saat terjadinya riset De Wal dalam Calne di buku Batas Nalar, yang menyatakan bahwa perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri terdapat tidak hanya pada monyet dan kera. Lumba-lumba membantu sesama yang terluka dengan berenang di bawahnya, dan bahkan rela terdampar hanya untuk menolong. Binatang pemangsa membawa makanan untuk temannya yang tidak ikut berburu. Dalam ilmu biologis etika, umumnya kelompok binatang yang saling menolong akan hidup lebih tangguh dalam perjuangan hidup, dibandingkan mereka yang hidup terpencil dan semata-mata dipacu oleh kepentingan diri sendiri yang mendesak. Tindakan bersahabat, seyogianya dimiliki manusia.
Menurut De Waal, sintesis empat sifat pada binatang yang menawarkan cetak biru moralitas adalah sifat simpati, sifat internalisasi, sifat timbal balik dan sifat penyesuaian diri dan menghindari konflik. Masing-masing sifat itu merupakan tanggapan nalar terhadap upaya mencapai keseimbangan antara persaingan dan kerja sama. Setiap manusia yang berpikir tentunya sangat tersinggung bila dianggap tidak bernalar.
Kembali pada topik awal. Serendipitas adalah unsur kejutan dari suatu proses yang tidak kita cari. Sesungguhnya, serendipitas—disadari atau tidak—ada di setiap manusia yang di pengujung hari merenungi apa yang dia lakukan di seluruh hari itu.
Maknanya, berjalanlah tanpa pamrih. Setelah itu, berterima kasih pada Tuhan.
Selamat Idul Fitri, maaf lahir batin, dan selamat memperdalam serendipitas.
You must be logged in to post a comment Login