Connect with us

Up Close

Saya punya Simbiosis Adrenalin dan Kemampuan

Novita Hifni

Published

on

Foto : Rivan Fazry
Terang-terangan ia mengaku bermimpi jadi orang kaya. Dalam waktu singkat, mimpinya terwujud lewat keuletan dan kemauan belajar. Tapi ia singgung juga faktor garis tangan.

 

Majalahpajak.net-Proses perjuangan hidup yang keras, berliku, dan penuh tantangan telah menempa Ahmad Sahroni menjadi seorang pengusaha terpandang sekaligus politikus tangguh di pentas nasional yang tetap membumi. Sang pemimpi yang hobi memacu adrenalin di arena balap ini mampu mewujudkan cita-citanya menjadi orang kaya dengan sederet julukan yang disematkan masyarakat padanya sebagai Crazy Rich atau Sultan dari Tanjung Priok. Meski berbagai keinginan telah diraih, sampai sekarang Roni—demikian sapaan akrabnya—tak pernah berhenti bermimpi. Ia ingin menularkan keberanian bermimpi kepada generasi muda.

Pada Selasa pagi (01/03) dalam suasana rintik hujan yang terus mengguyur sepanjang hari, tim redaksi Majalah Pajak mewawancarai kolektor super car yang ramah dan suka bersedekah ini di kediamannya yang berlokasi di permukiman padat penduduk di wilayah Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Roni menceritakan pengalamannya berkecimpung di dunia bisnis mulai dari nol sampai menjadi pengusaha di sejumlah sektor usaha dan terjun ke panggung politik. Kepada kami ia juga membagi pandangannya tentang digitalisasi, green economy, dan tentu saja perpajakan.

Berikut ini petikan obrolan kami.

Sejak kapan Anda memutuskan untuk berbisnis atau menjadi pengusaha?

Awalnya saya tidak mencoba bisnis. Dulu saya bekerja sebagai sopir untuk bos perusahaan minyak dan belajar secara autodidak di dalam bisnis mereka. Kalau mereka sudah mabuk-mabukan, saya disuruh melakukan pekerjaan kantor. Kesibukan melayani pelanggan dan segala macam aspek bisnis mereka itu hubungannya dengan saya sehingga lama-kelamaan saya pintar sendiri.

Baca Juga : Pandemi Bangkitkan Inovasi dan Perilaku Baru

Sewaktu ada masalah dengan para pihak, mereka memberikan kepercayaan itu kepada saya. Jadi, tidak memulai bisnis karena saya menjadi sopir dulu, dipercaya untuk bekerja, lalu menjadi penguasa pekerjaannya, baru kemudian berproses dan berkenalan dengan para klien. Di saat mereka bermasalah itu klien memberikan kepercayaan kepada saya. Itulah awal mula ceritanya. Itu di perusahaan yang sama tempat saya bekerja sebagai sopir. Dan, akhirnya ada peluang kecil untuk mengambil pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan lain. Saya dipercaya untuk menangani urusan menagih piutang ke satu perusahaan BUMN. Akhirnya, saya lolos menjadi pegawai staf operasi dan selanjutnya menjadi manajer operasi. Dalam kurun waktu dua tahun berikutnya saya sudah menjadi direktur di perusahaan yang sama.

Dari situ mulai berproses pada munculnya keberpihakan orang-orang yang ingin mengajak saya dan memberi modal di tahun 2003 untuk bisnis yang sama. Karena menjalani bisnis yang sama, saya bisa mengumpulkan klien-klien yang ada di perusahaan itu. Dan akhirnya perusahaan tempat saya bekerja sebagai sopir itulah yang mendasari saya memiliki perusahaan untuk kemudian menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan. Proses itu berlangsung secara alami karena kliennya adalah orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan tempat saya bekerja itu. Perusahaan ini akhirnya yang saya miliki dan operasikan dari klien-klien yang ada sebelumnya.

Hubungan klien-klien itu tidak lagi dengan perusahaan tapi secara alami berpindah tangan ke saya. Tidak ada proses transaksional. Bos yang dulu saya sopiri masih ada dan sekarang dia mengajar di salah satu sekolah kejuruan di Cilincing, Jakarta Utara. Jadi, masih ada bukti fisiknya.

Sektor usaha apa yang pertama kali Anda tekuni dan bagaimana tantangannya kala itu?

Tantangannya banyak. Pada saat pindah dari perusahaan tempat pertama kali kerja itu pun kita kena tipu oleh partner yang memodali selama setahun. Setelah 2004 saya existing sendiri dan alhamdulillah sampai sekarang terus berjalan. Semuanya berproses dan tidak instan karena bisnis itu secara alami saya dapat ilmunya secara autodidak. Saya menjadi sopir dulu, kerja semrawut sebagai tukang semir sepatu dan ojek payung tanpa dasar gaji berapa. Mau dibayar atau enggak, pokoknya kerja. Prinsip saya dulu begitu. Kalau menyadari bahwa bidang bisnis ini passion saya atau bukan, itu terjadi setelah bisnisnya settle. Dalam memutuskan untuk ekspansi ke bisnis atau perusahaan lain misalnya, saya lebih mengikuti feeling saja. Kalau bisnis itu oke, saya jalani. Sebaliknya kalau dirasa enggak oke, ya jangan. Sewaktu awal bekerja itu, kan, mana ada pikiran kita untuk maju atau mundur. Mau enak atau enggak pokoknya kerja.

Baca Juga : Menambal Jaring Pajak untuk si Kaya
Sejak kapan Anda mulai merambah ke bisnis lain dan sektor mana saja yang digarap?

Pada 2009–2010 saya mulai merambah ke proyek pengadaan barang dan jasa. Di tahun 2012 masuk ke sektor properti dengan membeli apartemen kecil-kecil yang murah dan sesuai kesanggupan kantong. Saat harganya naik, langsung dijual. Kenaikan harga properti itu bisa terbang tinggi. Misalnya, sewaktu dibeli hanya Rp 1,5 miliar, sekarang harganya sudah Rp 10 miliar. Ini memang pas lagi dapat hoki. Intinya mengalir saja.

Jika gagal atau bangkrut, apa hal terpenting yang harus dilakukan seorang pengusaha?

Kalau rugi, ya, sudah jangan diteruskan. Bisnis itu memang berproses. Tapi kalau kelihatan sudah tidak menguntungkan buat apa diteruskan? Cari yang lain. Proses bisnis itu diawali dengan feeling so good. Jadi, jangan semua bisnis disikat, karena belum tentu itu sesuai dengan harapan kita.

Setelah sukses berbisnis atau menjadi pengusaha, Anda terjun pula ke dunia politik. Kenapa?

Ini garis tangan saja. Ada seorang pengusaha tulen tapi tidak bisa berpolitik. Ada orang berpolitik tapi tidak bisa menjadi pengusaha. Nah, kebetulan saya dapat dua-duanya. Awalnya sempat agak bingung, tapi secara alami saya belajar tiga tahun menjadi seorang politikus seperti sekolah tanpa ijazah. Ini bermula dari salah seorang mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang mengajak saya ke dunia politik. Jadi, saya enggak pernah ada niat ingin berpolitik atau jadi seorang pengusaha besar. Kalau mimpi ingin jadi orang kaya, itu memang benar.

Transformasi digital kini menjadi keniscayaan, tak terkecuali di dunia bisnis. Bagaimana Anda melihat tren digitalisasi saat ini?

Trennya bagus sekali. Penerapan teknologi digital yang harusnya mungkin sepuluh tahun mendatang baru dilakukan tapi karena ada pandemi akhirnya maju lebih cepat. Suka tidak suka kita akan berhadapan dengan era digital dan harus mengikutinya. Saya mendukung sekali era digital. Digitalisasi juga memudahkan kegiatan bisnis karena semuanya serba on-line. Kita enggak perlu lagi mendatangi orang walaupun ujung-ujungnya masih harus ditemui. Tapi minimal digitalisasi bisa mengurangi hectic orang untuk berhadapan langsung dengan orang lain. Semua bisa dikerjakan by system.

Apakah digitalisasi itu juga “memaksa” Anda untuk menempuh langkah transformasi digital di bisnis yang Anda geluti?

Enggak, digitalisasi ini proses. Di dunia mana pun sama. Ada yang masih menggunakan cara manual tapi ujung-ujungnya akan beralih ke digitalisasi. Itu semua kaitannya sama dengan berprosesnya hidup menjadikan digitalisasi sebagai yang utama. Tapi nanti, mungkin perjalanannya 20 tahun yang akan datang baru bisa diwujudkan. Kalau dilakukan tahun ini atau sampai 5 tahun mendatang itu berat, karena faktor kesenjangan dan belum adanya pemerataan. Masyarakat yang berada di ujung sana masih menggunakan cara manual. Tapi kalau di pusat kotanya sudah harus menerapkan digitalisasi.

Baca Juga : Gotong Royong, Perencanaan, dan Orang-Orang Terbaik
Anda pencinta automotif, kolektor super car, dan ketua perkumpulan mobil listrik. Saat ini, apa yang paling menarik dari dunia automotif?

Adrenalin. Dunia automotif ini bagian dari kebersamaan bagi yang sama-sama menyukai adrenalin dan memiliki kemampuan. Sampai hari ini saya masih senang balap, tapi karena pandemi untuk sementara berhenti dulu. Mungkin dari DNA-nya memang saya suka adrenalin dan punya kemampuan untuk melakukannya. Tidak semua orang yang memiliki kemampuan itu punya adrenalin. Sebaliknya, ada orang yang punya adrenalin tapi tidak punya kemampuan. Sama halnya menjadi seorang pengusaha dan politikus. Ada pengusaha yang tidak bisa menjadi politikus. Ada yang menjadi politikus tapi mau jadi pengusaha bingung. Ini simbiosis mutualisme yang semua orang mungkin berbeda-beda kemampuannya.

Selain sebagai pasar yang besar, apakah Indonesia akan punya peran yang lebih besar sebagai produsen di industri automotif?

Besar atau tidaknya peranan itu bergantung dari sosok pimpinan negaranya, apakah punya kemauan mengubah dalam konteks mimpi negaranya untuk lebih maju. Ini bergantung pimpinannya, yang di bawah akan mengikuti saja. Sekarang kalau yang di bawah sudah memberikan dukungan dengan segala macam aspek tapi pimpinan negaranya tidak ada kemauan, tetap saja sulit.

Saat ini tren di sektor industri masih melambat. Meski banyak yang mau dikejar, tapi kemampuan SDM-nya masih kurang dalam melakukan proses percepatan untuk mencapai yang lebih luas. Perlu pimpinan yang agak “gila” untuk bisa maju lebih cepat.

Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan kendaraan listrik?

Bagus. Semua pemimpin dunia sudah teken kesepakatan untuk mewujudkan Program Go Green di tahun 2030. Program itu muncul pelan-pelan. Indonesia masih dalam tahapan mempelajari, sementara negara lain sudah menerapkan. Ini bergantung keseriusan dan kemauan pemimpinnya karena akan terkait juga dengan bisnis. Kalau masuk dalam tahapan go green, maka bisnis yang existing sekarang akan mati. Transisi go green masih panjang prosesnya. Mungkin 20 tahun lagi transisi ini bisa berjalan.

Sebagai pengusaha, seperti apa pandangan Anda tentang go green?

Bagus sekali. Komitmen go green dan tren digitalisasi itu tidak mengharuskan orang untuk head to head karena sistem yang jalan. Kalau sistemnya sudah jalan, secara tidak langsung pasti go green juga dapat terwujud. Coba pikirkan, terciptanya Program Go Green yang mengurangi kegiatan SDM dari bertatapan langsung karena semuanya sudah by system. Upaya menempatkan sistem dalam tahapan digitalisasi itulah yang menciptakan go green. Nantinya orang tidak perlu lagi isi bensin dan cukup isi baterai, pembayaran transaksi sudah pakai online. Itu bagian dari tujuan untuk menciptakan go green, mengurangi polusi udara. Contoh sederhana bisa dilihat sewaktu awal pandemi. Langit Jakarta begitu bersih karena berkurangnya polusi udara seiring pembatasan kegiatan masyarakat. Itu adalah satu bagian dari terciptanya tujuan go green.

Apakah di lingkup bisnis yang Anda jalankan sudah mulai menerapkan go green?

Program Go Green itu berproses dan tidak bisa instan. Contohnya pajak, sekarang semuanya berproses by online. Pelan-pelan akan menerapkan sistem big data. Semua orang tidak bisa lari dalam proses menuju digitalisasi. Dengan digitalisasi, petugas pajak tidak perlu lagi datang marah-marah atau menakut-nakuti WP. Kalau tidak bayar pajak, maka otomatis akan kena penalti yang harus diselesaikan. Aturan di jalan raya juga begitu, tilang tidak perlu lagi ketemu orangnya karena cukup melayangkan surat tilang kepada pelanggar lalu lintas. Itulah yang dinamakan sistem layanan yang melalui proses digitalisasi.

Sekarang NIK dalam proses menjadi layanan terintegrasi untuk semua urusan seperti pendidikan, kesehatan, dan jual-beli. Kalau layanannya sudah terpusat di satu sistem, tentu jadi lebih mudah. Petugas pajak tidak pusing lagi kerjanya karena sudah by system. Sama halnya dengan yang dilakukan Bank Indonesia (dulu, sekarang oleh OJK) dalam sistem pembuatan kartu kredit. Kalau pemiliknya bermasalah, dia tidak bisa membuat kartu kredit baru sebelum menyelesaikan masalahnya.

Baca Juga : Demi Kebijakan Berkeadilan, Perempuan harus Dilibatkan
Menurut Anda, apakah Indonesia sudah siap untuk sepenuhnya menerapkan go green di sektor energi?

Masih perlu waktu sampai 20 tahun yang akan datang dan ini tidak mudah. Keseriusan pimpinan tertinggi negara sangat menentukan proses menuju go green. Semua orang akan melalui prosesnya, bukan hanya saya saja. Oleh karena ujungnya akan menjadi digitalisasi dan go green, mereka akan merambah dengan cara masing-masing di bisnisnya. Yang pasti pokok tujuannya adalah go green.

Program Go Green yang pertama dan utama adalah masalah mobil listrik. Nantinya pabrikan tidak lagi memakai bahan bakar minyak. Itu pun waktunya masih lama. Kita masih menyelaraskan hasil bumi yang ada di sektor energi yang tidak akan pernah ada habisnya. Kalau mengurangi penggunaan energi fosil memang iya, sama halnya dengan upaya penegakan hukum terkait narkotika yang tidak akan pernah habis. Narkotika pasti akan ada terus, tapi proses pemberantasannya pelan-pelan.

Pada prinsipnya semua hal apa pun bentuknya akan melalui proses menuju apa yang kita mau. Visi dan misi dunia tahun 2030 sama-sama ingin menyelaraskan Program Go Green. Tiap negara punya cara sendiri untuk menyelaraskan program itu. Sementara pemimpin negara yang menandatangani kesepakatan, kan, dalam lima tahun mendatang sudah beda lagi presidennya. Jadi, mungkin dan tidak mungkin, bergantung pemimpinnya.

Anda menjalani peran sebagai pengusaha sekaligus politikus di DPR. Apakah tidak terjadi konflik kepentingan antara sisi Anda sebagai pengusaha dan sisi lain sebagai legislator yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat?

Konflik kepentingan pasti ada. Semua manusia pasti mempunyai konflik kepentingan, tapi bagaimana konflik kepentingan itu dimaknai dengan hal-hal yang positif. Misalnya, interest orang terhadap bisnis saya. Pasti orang akan mendekat ke saya untuk mendapatkan interest. Ini bergantung saya, apakah tertarik dalam proses itu atau enggak. Jadi, bagaimana cara kita menggunakan kekuasaan yang dimiliki dalam perspektif yang baik atau tidak. Kalau untuk yang baik, maka asas kepentingannya bukan pada kelompok, melainkan kepentingan bersama yang bisa berguna bagi banyak orang. Jangan asas kepentingan untuk kekuasaan yang menghalalkan segala cara, itu tidak boleh. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana konflik kepentingan itu dibawa pada posisi yang positif.

Adakah pengalaman Anda sebagai legislator dalam memperjuangkan kepentingan rakyat yang berseberangan dengan bisnis pribadi?

Untungnya saya punya bisnis yang terpisah dan tidak terkait hubungan dengan masyarakat langsung. Jadi, saya tidak punya kepentingan yang akhirnya bisa merugikan masyarakat. Saya enggak mau merugikan masyarakat. Hal terpenting dari bisnis itu jangan berbuat jahat dengan orang. Kalau bisnis secara normal, kan, oke. Bisnis yang berhubungan dengan masyarakat itu misalnya di sektor dagang dengan membuat restoran atau bisnis kecil-kecilan berupa warung. Kalau saya buat satu bisnis dagang dengan skala lebih besar yang terkait dengan bisnis mereka, bisa kacau nanti karena menutup pendapatan orang lain.

Adakah rencana bisnis yang masih ingin Anda wujudkan di masa depan?

Bisnis orang ke depannya nanti berbeda-beda, tidak semua berpikir sama. Yang pasti perkembangan digitalisasi akan semakin luar biasa karena percepatan modernisasi teknologi tiap bulan dan tahun itu super dahsyat. Jadi, yang menjalankan bisnis digital ke depan pasti mumpuni. Untuk saat ini saya tidak bermimpi menjadi pemain di bisnis digital. Biarkan bisnis itu mengalir dalam feeling saja. Kalau bisnis jeruk oke, ya, jalani saja. Tidak semua bisnis kita “makan”.

Kebetulan saya punya passion di sektor energi. Orang bilang nanti minyak bumi tidak akan dipakai lagi, tapi kapan waktunya tidak ada yang bisa memastikan. Itu masih panjang prosesnya. Selama minyak dan gas masih berproduksi dan orang masih hidup di dunia, maka bahan bakar fosil itu akan tetap digunakan sekalipun pencapaian target bisnis go green-nya ada. Bisnis energi minyak enggak akan pernah hilang. Sekarang harga batu bara malah naik terus.

PLN mau dibuatkan Program Go Green harus bertahap dan prosesnya panjang. Yang penting tujuannya untuk menerapkan go green itu ada. Tinggal bergantung bagaimana mengelolanya dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Apalagi di Indonesia, ada 273 juta orang yang harus dipikirkan dan itu jelas tidak mudah.

Apa pandangan Anda tentang pajak saat ini?

Dari dulu orang sering menilai pajak itu menakutkan, tapi sekarang sudah lebih humanis. Pertahankan apa yang sekarang menjadi nilai-nilai humanisme itu dengan memberikan informasi terkait pajak. Menggugah orang untuk bayar pajak itu tidak gampang, karena dari dulu orang sudah ditakut-takuti terus dan bukan diberi ilmu atau pengetahuan tentang pajak. Sekarang sudah era digital. Orang dikirimi surat dan diingatkan melalui aplikasi. Pelayanan awalnya pada Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mendapatkan satu data. Jadi, sekarang orang pakai HP sudah pakai nama sendiri dan tidak boleh lagi mengatasnamakan orang lain. Itulah yang menjadi dasar untuk bagaimana orang tidak bisa lagi menghindari kewajiban pajaknya.

Dan pelayanan pajak juga harus memperbaiki kekurangannya dengan cara humble dan imbauan yang baik. Jangankan orang lain, saya pun diberi imbauan. Tapi tidak seperti dulu, petugas pajak kirim surat ketika ada temuan. Walaupun temuannya ternyata tidak ada, kita harus menyelesaikan atas surat yang sudah dikirim. Kalau seperti sekarang memberikan imbauan melalui telepon misalnya ada kekurangan bayar, ini suatu bentuk pelayanan pajak yang humanis. Cara humanis seperti ini yang dibutuhkan.

Jika pemerintah hendak meningkatkan pelayanan sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak, apa saja yang masih perlu diperbaiki?

Yang pertama-tama harus diperbaiki itu sumber daya manusia (SDM). Petugas pajak yang baru belum mempunyai pengalaman, maka harus diberikan pelajaran tentang bagaimana menjadi pelayan pajak yang baik. Panggil ahli sales untuk mengajarkan tentang bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Kalau dalam diri SDM-nya sudah muncul karakter sales yang baik, dengan sendirinya sistem akan terbantu. Itulah simbiosis mutualisme.

Baca Juga : Pesan Perubahan Sepenggal Adegan

Menjadi pelayan itu kan enggak enak karena sering dimaki-maki dan dimarahi. Kalau pelayanan sudah baik, ketegasan akan muncul dalam sistem. SDM yang mumpuni akan mengimbau WP dengan caranya. Kalau cara petugas dalam mengimbau WP tidak mumpuni, pasti sistemnya dia langgar. Sistem akan mengikuti SDM yang sudah mumpuni. Kalau sistem sudah canggih tapi SDM-nya jelek, percuma saja. Membenahi SDM ini perlu upaya ekstra. Panggil ahli kepribadian untuk mengajari pegawai. Itu perlu, agar orang pajak jangan hanya fokus mengejar penerimaan. Belum tentu attitude semua pegawai sama. Apalagi pegawai pajak yang resmi tentu harus punya attitude, Jangan hanya bisa marah dan menekan orang. Kita tidak bisa menghindari adanya oknum di situ.

Bagaimana pandangan Anda terkait Program Pengampunan Sukarela yang digulirkan pemerintah?

Bagus sekali. Berikan satu momentum kepercayaan bahwa tax amnesty (TA) ini adalah bagian dari kegiatan sukarelawan untuk negara. Saya nanti ikut TA di bulan April 2022. Sebagai sukarelawan, yang penting saya bayar pajak ke negara. Pesannya, jangan lagi mencari kesalahan orang lain karena sukarelawan ini adalah bagian dari upaya membantu kepentingan negara. Jangan mencari kesalahan orang lain dengan dibukanya TA. Itu salah besar. Banyak yang mau ikut TA asalkan pemerintah menjamin bahwa mereka tidak akan diperiksa lagi.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Up Close

Tak Berkiblat ke Untung Berlipat

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Riva Fazry

 

Sintesa Group tumbuh menjadi perusahaan terkemuka dengan ragam lini bisnis strategis yang tak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga pada keberlangsungan manusia dan lingkungan.

 

Tahun 1919 menjadi tahun penting bagi perjalanan panjang PT. Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group. Bermula dari perusahaan keluarga yang mengelola bisnis perkebunan karet bernama N.V Handelbouw en Cultuur Maatschappij yang dibangun oleh Oey Kim Tjiang, kini Sintesa Group telah berhasil menjadi perusahaan terkemuka yang memiliki empat pilar bisnis utama, yakni properti, energi, produk industri, dan produk konsumen.

Kesuksesan Sintesa Group itu tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Shinta Widjaja Kamdani yang tak lain adalah cucu Oey Kim Tjiang. Dengan kata lain, Shinta adalah generasi ketiga di perusahaan keluarga itu, setelah sebelumnya pada 1959 bisnis keluarga itu diturunkan kepada Johnny Widjaja, ayah Shinta

Tahun 1999, Shinta mendapatkan estafet kepemimpinan dari sang ayah. Namun, kepercayaan itu tidak diberikan begitu saja. Shinta bahkan harus memulai karier sebagai karyawan di perusahaan orangtuanya sendiri. Itu adalah cara sang ayah mendidik Shinta untuk pengusaha andal.

Saat diserahkan kepada Shinta, perusahaan-perusahaan yang dikembangkan sang ayah masih berjalan sendiri-sendiri, tanpa manajemen yang terpadu. Maka, pekerjaan rumah terbesar Shinta saat itu adalah melakukan restrukturisasi, mengonsolidasikan dalam satu holding company, yang kini dikenal dengan nama Sintesa Group.

Di bawah payung besar Sintesa Group itulah Shinta mulai mengelompokkan lini[1]lini usaha mereka yang ada. Kini, Sintesa Group memiliki 17 anak perusahaan yang setidaknya memperkerjakan lebih dari 4000 karyawan, baik outsourcing maupun karyawan tetap.

Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang energi adalah PT Meppo-Gen. Perusahaan ini berdiri tahun 2005 dengan fokus bisnis menyediakan pasokan listrik melalui pembangkit listrik berbahan dasar gas. Saat ini Meppo-Gen sebagai independent power producer mengoperasikan pembangkit listrik berkapasitas 110 MW di Gunung Megang, Muara Enim, Sumatera Selatan. Meppo-Gen menjadi perusahaan ramah lingkungan dengan konsisten mengadopsi Clean Development Mechanism (CDM) sebagai bagian dari sertifikasi pengurangan emisi gas buang yang dicanangkan oleh PBB.

Shinta mengaku, pembangunan usaha di bidang energi baru terbarukan memang penuh tantangan. Selain memakan biaya tinggi, sektor ini juga perlu sumber daya manusia dan teknologi yang mumpuni. Tak kalah penting adalah dukungan pemerintah dari sisi insentif dan kepastian regulasinya. Sejauh apa kiprah Shinta dalam mengembangkan Shintesa Group dan harapannya tentang sektor industri energi baru terbarukan?

Berikut ini petikannya

Sintesa Group kini sudah berusia 100 tahun atau satu abad dan terus berkembang. Bisa diceritakan seperti apa profil Sintesa Group dari sejak berdiri hingga kini?

Awalnya Sintesa Group dimulai oleh kakek saya (Oey Kim Tjiang). Pada 1919, beliau mendirikan perkebunan karet di Kota Tigaraksa (Tangerang). Makanya nama perusahaan waktu masih nama Belanda, NV Handelsbouw en Cultuur Maatschaapij. Kemudian, dikenal dengan nama Tigaraksa karena berada di Kota Tigaraksa.

Kakek saya mulai perkebunan karet pada 1919. Kemudian, tahun 1959.ayah saya masuk ke business trading, membawa produk-produk dari luar negeri masuk ke Indonesia. Nah, itu menjadi cikal bakal. PT Tigaraksa adalah cikal bakalnya Sintesa.

Jadi Tigaraksa itu awalnya perusahaan, kemudian masuk ke trading. Kami kerja sama dengan banyak sekali perusahaan asing, kami bawa produk ke Indonesia. Waktu itu juga ada perusahaan multinasional seperti Johnson & Johnson, Time-Warner, Wyeth-Ayerst Sterling, BASF of Germany, dan lain-lain. Waktu itu mereka belum bisa masuk langsung sendiri ke Indonesia, jadi membawa partner dari Indonesia.

Kemudian, dengan berjalannya waktu, bisnis pun berkembang. Kami dalam proses perkembangan perusahaan, mulai diversifikasi. Jadi, keluar dari bisnis trading, kemudian masuk ke dalam bisnis properti, masuk ke industri, mulai berkembang.

Saya mulai memimpin Sintesa itu di tahun 1999. Ini menarik karena kurun waktu (setiap fase perkembangan perusahaan) itu 40 tahun. Sebenarnya masing-masing waktu tahun itu enggak direncanakan sebelumnya. Kebetulan saja waktunya itu pas genap 40 tahun.

Saya sebenarnya sudah masuk di perusahaan ini dari saya masih kecil. Karena walaupun saya masih sekolah waktu itu, sudah suruh bantu kerja di perusahaan keluarga. Kemudian, saya juga kerja untuk perusahaan lain. Namun, waktu saya kembali ke Indonesia, lulus sekolah saya langsung berkecimpung (di perusahaan keluarga) dan mulai dari anak[1]anak perusahaan.

Jadi, di dalam 40 tahun berikutnya, di 1999 itu kemudian saya melihat bagaimana caranya kami bisa mengonsolidasikan anak-anak perusahaan yang ada. Makanya kami setup holding company, Sintesa investmen holding company namanya Sintesa Group.

Kemudian kami mulailah memperkuat struktur organisasi. Kami mulai dengan good governance yang lebih kuat. Setelah saya bekerja begitu lama di perusahaan keluarga—10 tahun—saya juga melihat banyak spirit enterpreuner, kewirausahaan. Waktu itu banyak perdebatan untuk bagaimana ke depannya perusahaan yang lain-lain kelompok ini. Di situlah kita mulai merencanakan transformasi bisnis dari bisnis keluarga kepada bisnis yang lebih professional management.

Di situ kami mulai merestrukturisasi organisasi kami bawa dengan visi misi, dengan culture dan dasar sistem KPI (Key Performance Indicator) dan lain-lain yang sebelumnya mungkin belum pernah ada. Kami bentuk juga organisasi di holding kami, ada executive committee dan lain[1]lain. Jadi, memang kepemimpinannya juga berubah. Ini yang menjadi awal kami bagaimana mentransformasi dari sebuah perusahaan keluarga menjadi manajemen yang lebih professional.

Saat ini Sintesa Group memiliki empat pilar bisnis. Ada consumer product, industry product, property dan clean energy. Nah di sini kami juga kemudian memfokuskan bahwa secara kelompok usaha kami tidak mau hanya memikirkan dari segi profit, tapi juga people and planet. Makanya kami selalu dasarnya Sintesa Group itu visinya sustainable excelent company. Itulah fase terakhir yang akan terus kami kembangkan untuk bagaimana Sintesa bisa menjadi sustainable excelent company.

Dari keempat pilar usaha itu sampai saat ini ada berapa anak perusahaan dan berapa karyawannya?

Saat ini total ada 17 perusahaan. Kami ada lebih dari 2.700 karyawan. Selain itu ada juga yang kontrak outsourcing. Yang karyawan (tetap) itu 2.700-anlah, tapi kalau total semuanya ada 4000-an mungkin.

Tadi Anda bilang mulai memimpin Sintesa di tahun 1999. Artinya, saat itu Indonesia tengah berada di tahun-tahun krisis moneter dan ekonomi. Bagaimana kondisi Sintesa saat itu?

Kebetulan perusahaan kami cukup konservatif. Kalau perusahaannya agresif tentu saja kondisi finansial itu krisis, dengan devaluasi rupiah yang saat itu begitu tinggi, ya pasti kenalah. Semua pasti terdampak. Namun, karena kami dari levelnya tidak begitu tinggi jadi enggak terlalu terpengaruh seperti banyak perusahaan besar lainnya. Jadi, terdampak, iya, dan kami harus mencari model yang terbaik untuk bisa keluar dari krisis, tentu saja yang terpenting adalah manajemen cashflow, dan itu yang kami utamakan.

Ada aset-aset juga yang terdampak, tapi pasti pentingnya saya rasa kita semua belajar bahwa krisis pada waktu itu membuat kita mulai berpikir, kita mau bawa ke mana perusahaan ini? Bagaimana perusahaan bisa terus resiliensi? Karena kadang-kadang kita operating business as ussual, tapi kita lupa bahwa ada hal[1]hal kunci. Bisa saja krisis itu terjadi kapan saja dan bisa ada monetary tightening, inflasi, dan lain-lain yang kita enggak biasa kontrol. Jadi, ini yang kemudian kita lebih membangun resiliensi perusahaan. Di sinilah kami benar-benar melihat bahwa planning—saat kita merencanakan itu harus ada kisi-kisi kita memastikan bahwa perusahaan itu harus balance, baik dari segi portofolio maupun dari segi cash flow.

Kalau kita liat memang banyak perusahaan sangat agresif, apalagi kalau generasi ketiga biasanya lebih agresif. Ya kebetulan saya di sini saya belajar bahwa saya rasa kita harus mengimbangi. Di sinilah kami memastikan bahwa Sintesa Group itu tumbuh tidak harus berkali[1]kali lipat, tapi harus stabil. Dengan kata lain, kami mesti long-lasting, mesti berkelanjutan. Oleh karenanya kami harus bangun resiliensi, dan mesti menjaga, make sure bahwa kami menyeimbangkan portofolio kami untuk ada yang short term dan long term. Ya, semoga kita bisa terus langgeng.

Untuk unit usaha sektor energi bersih apa saja produk yang dibuat oleh Sintesa?

Sebenarnya kami mulai—ini kan awalnya bukan bidang usaha kami. Pada waktu itu memang kami lihat peluang di bisnis kelistrikan itu tinggi, dan kami mulai belajar untuk masuk ke dalam infrastruktur juga. Nah, kami ada peluang waktu itu mengambil alih gas power plant partgas. Waktu itu Meppo-Gen kami mulai di Sumatera Selatan, Muara Enim. Nah dari situ kita mulai melihat—kebetulan saya, kan, championing renewable energi, dan lain-lain—apa sih opportunity yang ada? Kami mulai masuk ke geothermal energy kemudian kami lihat solar, dan lain-lain.

Dari yang Anda alami, apa saja kendala menjalankan usaha di bidang energi baru terbarukan ini?

Pertama, kita biasanya masih fossil fuel karena murah, gitu kan? Jadi, dari segi pricing competitiveness-nya bagaimana? Apalagi fossil fuel kita disubsidi. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dari segi harga? Kedua, kalau kita lihat (dari sisi) teknologi, memang teknologi ini sekarang, kan, sudah banyak sekali. Nah, Indonesia ini harus bisa terus menyerap teknologi yang kompetitif. Jadi, inovasi yang keluar ini harus bisa diimbangi dengan kapasitas yang kita ada juga di Indonesia. Jadi, kalau kita mau membawa teknologi masuk, bagaimana kita bisa mengadopsi dengan teknologi yang ada.

Saya juga melihat bahwa jelas regulasi sangat berperan. Selama regulasinya, kebijakannya belum kondusif, ya enggak mungkinlah. Kita mau apa juga susah. Kita mau usung jargon transisi energi juga susah—sekarang, kan, masih di DPR.

Mungkin terakhir yang menjadi kendala adalah people. Jadi, people ini kita melihat bahwa job yang berhubungan dengan teknologi baru ini harus dipikirkan. Transisinya tidak hanya dari segi transisi energi biasa, tapi transisi energi yang berkeadilan yang mempertimbangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat terdampak di setiap tingkatan perjalanan transisi energi. Sebab, akan banyak sekali berdampak pada pekerjaan.

Dan financing, saya rasa cost funding financing itu juga menjadi kunci. Availablity mungkin banyak untuk climate financing, tapi cost-nya seperti apa, itu harus dipikirkan. Dibutuhkan juga insentif dari pemerintah. Kalau kita lihat sekarang, tentu saja kita tahu di negara maju banyak juga kendala dari segi scarcity gas, dan lain-lain. Balik lagi, oh coal kita malah diminati, mau dibeli negara lain. Nah, itu kan hal-hal yang memang sangat sulit. Pada satu sisi kita mau masuk ke dalam energi bersih, mau masuk ke dalam net zero, tapi pada sisi yang lain kita juga harus melihat economic equality yang ada di Indonesia. Sebab, ekonominya, kan, tetap harus tumbuh. Jadi, ini semua harus jadi perhitungan.

Dengan kondisi dan kendala yang ada tadi, apa kemudian yang menjadi fokus dan target Sintesa Group ke depan, terutama jika dikaitkan dengan rencana pemerintah untuk fokus pada pengembangan energi bersih?

Kami komitmen untuk terus mendorong(energi bersih). Kita ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dan Sintesa sudah komit sebagai sustainable excelent company untuk pengadopsi poin[1]poin di dalam SDGs untuk diintegrasikan ke dalam model bisnis Sintesa. Dan itu termasuk dalam invesment side-nya. Nah, kami memiliki investment matrix yang masuk ke dalam impact investing dan itu hubungannya juga dengan green investment. Jadi, kami sudah komit dan ini yang mau kami masuki. Oleh karenanya, kami jelas di dalam energi bersih, baru dan terbarukan. Jadi, jelas kami akan berminat, yang pasti peluang ada tapi kita juga harus jelas dan prudent juga. Maksudnya, ya kami mau, tapi do we have the capacity? Pada akhirnya, kan, modeling-nya juga harus jalan.

Jadi, kalau ngikutin apa yang sekarang kami planning, ini masuk dalam portofolio kami. Namun, seberapa cepat ini bisa jalan, ini tergantung kendala di lapangan. Geotermal saja banyak lingkungan komunitas (masyarakat) enggak tahu kalau itu energi bersih—malah disangka mau jadi kayak Lapindo, dan lain-lain. Itu berarti sosialisasi dan edukasinya perlu berjalan. Jadi, it will take time dan kita harus sabar. Kadang kita sudah mau ini, mau itu, tapi pada dasarnya bagaimana keadaannya? Apakah ini memungkinkan? Jadi, kami perlu waktu, tapi jelas itu salah satu yang akan menjadi concern kami ke depan, rencana kami untuk mau terus berinvestasi di area ini

Apa saran Anda untuk pemerintah agar sektor energi baru terbarukan ini benar[1]benar bisa terealisasi, mampu menarik minat investor dan sebagainya?

Ada dua hal. Pertama, pajak sudah pasti, kan, fiskalnya. Namun, kita juga punya yang namanya energy transition mechanism, ada platform juga yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Keuangan, jadi itu sudah jelas, clear, insentif-insentif yang bisa didapatkan. Kedua, juga financing. Kalau kita lihat memang—tadi saya katakan cost of funding. Jadi, interest rate, apakah pada green investment ini kita bisa mendapatkan interest rate yang lebih kompetitif dibandingkan dengan proyek-proyek biasa? Jadi, untuk green investment ini, termasuk energi baru terbarukan, kalau investasi di situ apakah perbankan bisa memberikan kita dengan bunga yang lebih murah, misalnya kayak gitu. Ini yang mungkin dasar-dasar insentif yang perlu ada.

Yang tak kalah penting juga, tadi, support dari pemerintah, misalnya, sosialisasi. Kami ini, kan mengembangkan proyek geotermal. Itu harus ada dukungan pemerintah untuk lingkungan, untuk lain-lain, supaya komunitas itu enggak sembarang, mereka akan against investasi di proyek-proyek semacam ini kan? Nah ini perlu dukungan dari pemerintah juga. Jadi, insentif tidak hanya sekadar nilai insentif pajak atau apa, tapi juga yang nonfiskal juga sangat penting.

Anda sudah lama di Apindo, sekitar 20 tahun. Bagaimana Anda melihat iklim berusaha di Indonesia saat ini dan ke depan di tengah situasi global yang ada sekarang?

Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang ada, cukup bersyukur. Dibandingkan dengan situasi global saat ini, ekonomi kita masih salah satu yang paling baik. Cuma permasalahan utama buat Indonesia saat ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab, kalau kita lihat dari investasi yang masuk, ini sudah mengarah ke target padat modal. Setiap Rp 1 triliun investasi di tahun 2013, itu menyerap 4000-an tenaga kerja. Namun, di tahun 2023 sekarang itu turun hampir seperempat—hanya 1000-an tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi. Ini kita mesti berhati-hati karena Indonesia punya bonus demografi. Jangan sampai tenaga kerja yang masuk itu tidak bisa diterima oleh industri. Jadi, ini harus menjadi perhatian kita bagaimana bisa menciptakan cukup lapangan pekerjaan dengan tren investasi yang masuk lebih kepada padat modal.

Kemudian, kita juga lihat dari adopsi teknologi. Itu, kan, juga sangat memengaruhi otomatisasi, dengan digitalisasi, kita enggak perlu orang sebanyak itu. Banyak perusahaan yang sudah streamlining, bisa otomatisasi. Itu pasti akan memengaruhi juga. Jenis pekerjaan yang dibutuhkan saat ini juga agak beda. Kita sudah masuk ke high skills, sementara Indonesia masih low skills. Ini hal-hal yang harus jadi perhatian kita.

Kita juga harus lihat positioning Indonesia sebagai negara tujuan investasi, dari segi pengupahan, cost of doing business dan lain-lain. Kita bisa berdaya saing atau enggak? Ini hal-hal yang harus jadi perhatian. Jadi, menurut saya Indonesia is on the right tract, pertumbuhan ekonomi baik,

perkembangan secara macro prudential kita positif, tapi ini ada pekerjaan rumah yang menjadi momok. Ini bisa menjadi kendala kalau enggak kita perhatikan

Kalau kita mau mencapai Indonesia emas 2045, mau jadi nomor 4 negara terbesar di dunia, ya ini pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Apakah kita bisa lebih mengembangkan UMKM yang lebih mapan untuk meningkatkan kewirausahaan mereka? Sebab, kalau kita enggak bisa menciptakan lapangan kerja berarti kita harus menciptakan pekerjaan itu sendiri melalui para wirausaha ini.

Nah, pendidikan juga menjadi faktor penting karena link and match-nya, apa yang keluar dari pendidikan harus masuk bisa diserap oleh industri. Jadi, ini juga dengan adanya perubahan cara kerja, pekerjaan masa depan harus jadi perhatian buat Indonesia. Dunia pendidikan juga harus melihat bagaimana karakter industri. Kita banyak masuk vokasi, tapi skill-nya enggak cukup banyak.

Continue Reading

Up Close

Memimpin Itu Meng-‘Handayani’

W Hanjarwadi

Published

on

Shinta Kamdani CEO Sintesa Group
Foto: Riva Fazry

Baginya, memimpin bukanlah sekadar memberi perintah. Memimpin juga berarti mengakomodasi kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.

 

“Wah, Majalah Pajak, ya? Kebanyakan orang yang diwawancara Majalah Pajak pasti ketakutan. Mereka menyangka mau dikejar pajak,” seloroh Shinta Widjaja Kamdani saat menyambut kami di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Menara Duta, Jalan H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat sore (5/5/23). Mendengar kelakar itu kami pun tertawa.

Kami mafhum. Mengenakan blus hijau cerah berpadu celana panjang warna lemon, Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group itu tampak anggun dan energik. Wajahnya tak mencerminkan kelelahan sedikit pun, meski sudah seharian berkutat dengan pekerjaan, dari rapat ke rapat yang sudah tentu menyita waktu dan pikirannya. Maklum, ia adalah pemilik sekaligus pemegang tampuk pimpinan tertinggi PT Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group.

Sintesa Group, perusahaan investasi strategis terkemuka yang mengelola beragam portofolio bisnis di seluruh Indonesia ini bisa dibilang salah satu perusahaan tertua di negeri ini. Pada usianya yang kini genap mencapai satu abad, Sintesa Group telah menjadi rumah bagi 17 perusahaan di bawahnya dan menaungi setidaknya 2.700 orang karyawan.

Kepiawaian Sinta Kamdani mengelola bisnis tak perlu diragukan lagi. Ia pernah mendapatkan pengakuan dunia atas banyak perannya dalam komunitas bisnis karena semangat dan karyanya yang luar biasa dalam isu-isu keberlanjutan dan pemberdayaan perempuan. Berkat upayanya itu, Shinta Kamdani dinobatkan sebagai 20 Most Powerful Women 2022 oleh Fortune Indonesia. Ia juga mendapat penghormatan dari Forbes sebagai The Asia Corporate Excellence & Sustainability (ACES) Woman Entrepreneur of The Year pada 2019, Asia’s 50 Powerful Businesswomen pada 2012, 2013, dan 2016; 30 CEO Terbaik 2015 versi Business Indonesia Award; dan masih banyak lagi pengakuan yang melekat pada diri perempuan yang lahir di Jakarta pada tahun 1967 itu. Misalnya, ia dipilih oleh PBB sebagai salah satu dari 30 pemimpin perusahaan global untuk bergabung dengan Global Investors for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih untuk menjabat sebagai Ketua B20 Indonesia selama Presidensi Indonesia pada KTT G20 2022 lalu.

Baca Juga: Data Adalah Senjata Melawan Masalah

Sejak lama Shinta memang memegang keyakinan bahwa hidupnya harus selalu berdampak untuk kepentingan orang lain. Tak heran, ia juga pernah menerima penghargaan sebagai Komandan Bintang Kutub oleh Raja Carl XVI Gustaf dari Swedia dan Komandan Ordo Leopold dari Belgia atas keterlibatannya dalam meningkatkan hubungan ekonomi.

Tiga prinsip

Shinta adalah anak tertua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan pengusaha Indonesia Johnny Widjaja dan Martina Widjaja. Dari sang ayah ia banyak belajar ilmu bisnis, sementara dari sang ibu, ia belajar tentang ilmu sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.

“Saya datang dari latar belakang keluarga yang menekuni bidang bisnis. Kebetulan ayah saya sangat dominan bisnis. Namun, ibu saya ke sosial. Jadi, selain berbisnis, saya juga diajarkan untuk kerja sosial, harus dekat dengan komunitas, lingkungan dan lain[1]lain,” kata Shinta.

Shinta mengaku, sejak kecil sudah terbiasa dibawa ke kantor oleh sang ayah. Pada usia 13 tahun, ia bahkan sudah mulai ikut bekerja. Pada saat liburan sekolah, ia pun memanfaatkan waktunya untuk bekerja. Kebiasaan itu juga ia lakukan saat tengah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.

“Waktu saya di luar negeri, sambil sekolah saya juga sambil bekerja. Jadi, saya selalu tahu bahwa pada akhirnya saya akan bekerja dan melanjutkan usaha keluarga—kebetulan saya juga dari keluarga yang enggak punya anak laki-laki. Jadi, ya sudah, dengan sendirinya, anak perempuan harus jalanin usaha,” tutur lulusan Barnard College of Columbia University, New York pada tahun 1989; dan Harvard Business School Executive Education, Amerika Serikat pada 2002 itu. “Saya beruntung sekali mendapatkan banyak kesempatan, pengalaman, juga hidup berkecukupan, saya rasa bekerja itu adalah bagian dari hidup saya.”

Meski berlatar belakang dari keluarga mapan yang memiliki perusahaan, Shinta mengaku tetap meniti kariernya dari bawah sebagai karyawan. Ia tidak serta merta langsung menduduki jabatan strategis di perusahaan orangtuanya. Ayahnya ingin mendidiknya bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ia harus memperjuangkannya.

“Orangtua saya itu saklek, bahwa kita harus mulai dari bawah. Hidup itu tidak hanya begitu saja diberikan tetapi kita harus fight for it,” tutur Shinta.

Dalam menjalani hidupnya, Shinta memiliki tiga prinsip, yaitu purpose (tujuan), perseverance (ketekunan), dan passion (kecintaan terhadap bidang yang ditekuni).

Dalam konteks bisnis, purpose itu ia wujudkan dengan membangun bisnis yang berkelanjutan. Tidak semata[1]mata berorientasi pada profit, tapi juga membangun bisnis yang berdampak positif bagi lingkungan dan komunitas.

Sementara itu, kecintaan terhadap bidang yang ditekuni menurut Shinta akan menjadi motivator penting terutama ketika dihadapkan banyak tantangan, bahkan kegagalan. Bekerja dengan penuh passion, menurut Shinta juga dapat menghadirkan banyak ide baru serta pembelajaran dan kegigihan mencapai tujuan.

Adapun ketekunan, menurut Shinta adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan bisnis. Hanya mereka yang tekun melakukan eksperimen dan mau belajar dari kegagalan-kegagalan yang dihadapilah yang akan mencapai tujuannya. “Semua itu perlu kerja keras. Kita enggak pernah tahu, apa yang kita miliki sekarang, kapan saja itu bisa diambil dari kita,” ujar pendiri Koalisi Bisnis Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan (IBCWE) dan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) itu.

Baca Juga: Komunikasi dan Konsistensi Menjadi Kunci

Nilai 4E

Dalam menjalani usaha, Shinta juga selalu menekankan pentingnya memiliki sikap kemandirian dan selalu membumi. Hal itu juga yang sejak ia kecil selalu ditanamkan oleh kedua orangtuanya,

“Kita harus tahu dan sadar diri. Kaki kita harus ada di bumi. Karena kadang-kadang kita lupa. Kalau hidup terlalu enak, terlalu gampang, kita melayang-layang,” kata Shinta.

Hal lain tak kalah penting menurut Shinta adalah memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekitar. Nilai-nilai hidup yang ia dapatkan dari orangtua dan pengalamannya itu kemudian ia refleksikan menjadi corprate value di Sintesa Group yang ia sebut dengan 4E— empathy (kepedulian), empowerment (memberdayakan), excellent (memberikan yang terbaik) dan entrepreneurship (menumbuhkan jiwa kewirausahaan terhadap karyawan). Semua nilai itu kemudian ia proyeksikan sebagai visi bisnis untuk menjadikan perusahaan sebagai sustainable excellence company.

Dalam memimpin perusahaan, Shinta juga menerapkan prinsip kepemimpinan yang melayani. Artinya, pemimpin bukan hanya bertindak sebagai bos yang otoriter dalam memberikan perintah, tetapi juga melayani kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.

“Konsep leadership saya, servant leadership. Jadi, sistem kepemimpinannya agak beda—demokrasinya lebih jalan. Jadi, decision making-nya juga enggak hanya di saya,” ujar Shinta.

Kini, Shinta telah dikaruniai empat orang anak dari pernikahannya dengan Irwan Kamdani. Selain memimpin perusahaan, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi bisnis dan sosial.

Ia tercatat sebagai Wakil Ketua Koordinator III Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Koordinator Regional untuk Asia-Pasifik dan Anggota Dewan Eksekutif Kamar Dagang Internasional (ICC), Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD). Ia akan terus berkiprah turut membangun negeri melalui caranya sendiri, yakni membangun bisnis yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi lingkungan dan sosial.

Continue Reading

Up Close

Data Adalah Senjata Melawan Masalah

Novita Hifni

Published

on

Foto: Riva Fazry

 

Majalahpajak.net – Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal di daerah agar tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyambut baik UU ini sebagai suatu terobosan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggairahkan berbagai sektor usaha.

Dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak di ruang kerjanya, Gedung Balai Kota Bogor, Kamis (22/09), ia menyampaikan berbagai hal positif dari konsep UU HKPD meski di fase awal penerapannya akan mengurangi Pendapatan Asli Daerah. Politikus Partai Amanat Nasional yang memasuki periode kedua kepemimpinan di Kota Hujan ini memaparkan berbagai strategi kebijakan berbasis data dan inovasi layanan digital Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor selama pandemi Covid-19 sehingga Kota Bogor mampu pulih lebih cepat. Ia juga bicara tentang program penguatan sektor UMKM, peluang ekonomi dari Forum Presidensi G20, dan manfaat keberadaan Presiden RI yang saat ini menetap di Istana Bogor.

Berikut ini petikan wawancaranya.

Bagaimana evaluasi Anda tentang dampak pandemi terhadap perekonomian dan tingkat kesejahteraan di Kota Bogor? Sektor-sektor mana saja yang paling terdampak dan bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menyokong kegiatan bisnis agar tetap bertahan?

Kami melakukan dua kali survei di tahun 2020 dengan Nanyang Technology University Singapura dan 2021 dengan Institut Pertanian Bogor. Keduanya menghasilkan temuan sama terkait angka-angka dampak pandemi untuk kemudian mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang terpukul dan seberapa besar dampaknya. Data hasil survei menunjukkan bahwa 70 persen lebih warga Kota Bogor terdampak pandemi dan mengalami penurunan penghasilan. Hampir 40 persen warga kehilangan pekerjaannya. Sektor-sektor yang terpuruk adalah perdagangan dan jasa. Restoran, kafe, mal, toko-toko sangat terpukul waktu pandemi.

Tapi di 2021, kami menemukan hal yang membangkitkan optimisme yaitu ada bidang-bidang yang justru berkembang di masa pandemi, seperti urban farming, on-line shop, termasuk juga industri makanan sehat, alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan lainnya. Data dari dua survei ini menjadi acuan bagi kami untuk merumuskan strategi.

Kami berkolaborasi dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan berbagai pihak untuk fokus pada peluang yang tercipta. Pada 2020 kami menjalankan Program Bogor Berkebun yang membidik urban farming.

Ketika pandemi sedang berat, kemudian ada orang beralih kegiatannya ke taman, mengelola tanaman di pekarangan yang terbatas. Maka kami membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menciptakan apps (aplikasi) Bogor Berkebun. Jadi warga bisa masuk dan daftar ke apps, nanti dikirimi pupuk, benih, dan lainnya. Kemarin saya mempresentasikan aplikasi itu dalam rangkaian acara G20 di Bandung dan mendapat apresiasi dari salah satu lembaga pangan di Eropa karena mereka mengikuti juga pergerakan dari Bogor Berkebun. Perputaran uangnya lumayan dan kami dibantu juga oleh Bank Indonesia. Jadi, ini memberikan banyak multiplier effect berupa sufficient di daerah tertentu, menurunkan inflasi dan menguatkan kebersamaan. Sekarang muncul tren di kalangan mahasiswa untuk menekuni urban farming.

Kami juga melakukan pendampingan, coaching, terhadap UMKM yang prospektif. Ada hasil kajian yang mencatat bahwa komoditas yang mengalami booming seperti dekorasi rumah-tangga. Ini menjawab fakta kenapa IKEA dan sejumlah perusahaan furnitur mengalami booming. Di masa pandemi, orang berkegiatan di rumah saja. Akhirnya, kami adakan pelatihan bagi warga yang terdampak untuk diarahkan ke sana.

Yang ketiga adalah wisata tematik. Kami menghidupkan kawasan wisata tematik di beberapa titik seperti Bogor Selatan, Kampung Percak, dan Tajur Sindangsari. Itu semua merupakan hasil analisis karena saya selalu percaya bahwa menghadapi perang harus dengan data. Maka Covid-19 itu juga adalah tentang mengolah dan menganalisis semua data yang kemudian dikumpulkan untuk merumuskan kebijakan.

Seperti apa program dan kegiatan Pemkot Bogor dalam mendorong pengembangan sektor UMKM agar lebih berdaya saing?

Kami bekerja sama dengan HIPMI dan Dinas UMKM untuk memfasilitasi warga terdampak pandemi untuk dilatih. Misalnya ada kerajinan kulit, bambu, bahkan ada yang mengerjakan peti mati. Jadi, melihat demand yang ada saat itu, maka kami beri pelatihan di sektor yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk aplikasi, kami meluncurkan Program Bogor Hits yang targetnya ke anak-anak muda. Ada berbagai bidang usaha seperti kuliner dan kriya yang hasil karyanya kami kurasi untuk dimasukkan ke platform Bogor Hits. Ini adalah platform khas Bogor yang terintegrasi mulai dari kurasi, coaching, juga membantu penetrasi pasar. Dari kolaborasi di program ini kami banyak menemukan keajaiban bahwa sebetulnya tidak perlu dana dari APBD.

Kami bisa kerja sama dengan para pelaku fintech, Shopee, Tokopedia yang punya konsep dan anggaran untuk melakukan pembinaan. Mereka juga senang kalau mitra-mitra UMKM bisa masuk ke pasar.

Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Kota Bogor saat ini? Apa saja tantangannya?

Data survei mengungkapkan dampak pandemi telah mengakibatkan sebanyak 70 persen warga Kota Bogor mengalami penurunan penghasilan, bahkan ada yang sampai nol. Sebanyak 42 persen karyawan mengangggur dan terkena PHK. Lalu 57 persen warga terpaksa menggunakan tabungan untuk bertahan hidup, sementara 30 persen responden mencairkan investasi untuk bertahan hidup. Angka pengangguran meningkat jadi 12,68 persen. Tenaga harian lepas termasuk yang sangat terdampak. Maka jika di awal pandemi kami menerapkan pembatasan yang ketat, tapi perlahan kami longgarkan. Setelah saya turun langsung, ini ibarat kita menembak nyamuk pakai meriam. Jadi tidak seimbang. Begitu kegiatan ditutup total, dampaknya sangat dahsyat. Terutama buruh berpenghasilan harian itu yang tidak bisa makan.

Waktu itu kami sempat meluncurkan Program Jaringan Keluarga Asuh Kota yang mendapat apresiasi dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini karena di tengah keterbatasan APBD untuk bantuan sosial (bansos) kami merumuskan satu sistem untuk warga bisa saling membantu melalui crowd funding. Jadi, warga yang tidak dapat bansos didata, diverifikasi, lalu dimasukkan di aplikasi. Kalau ada warga yang punya dana Rp 500 ribu–Rp 1 juta mau membantu, dia bisa cari tempat kediaman warga terdampak pandemi lewat aplikasi dan langsung transfer Rp 1 juta untuk dua bulan atau Rp 500 ribu untuk satu bulan. Program ini untuk mengatasi keterbatasan anggaran daerah dan membidik buruh harian lepas. Selama setahun kami fight menjalankan program itu.

Alhamdulillah, Bogor termasuk kota yang recover cepat karena berbagai langkah yang kami lakukan adalah berbasis data. Angka kemiskinan sempat anjlok di minus 0,41, tapi masih di atas Jawa Barat yang ketika pandemi mencapai minus 2,52. Sementara angka kemiskinan secara nasional minus 2,07. Tahun 2021 kami sudah recover di angka 3,76 di atas Jawa Barat dan nasional. Cepatnya pemulihan itu karena tulang punggung ekonomi ada di sektor UMKM, urban farming, wisata alam, dan program bansos.

Adakah program khusus untuk menyiapkan generasi Z (kelahiran 19962009) Kota Bogor agar mereka mampu memanfaatkan teknologi digital untuk kepentingan mereka dan kemajuan kotanya?

Kami mempunyai Program Taruna Digital yang berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memberikan pelatihan digital marketing. Lalu kami juga membentuk Komunitas Pemuda Kreatif (Reka Bogor). Kami bangunkan tempat untuk komunitas-komunitas agar bisa diskusi, saling berbagi mengasah kreativitas melalui Bogor Creative Center dalam upaya pemulihan ekonomi. Untuk mereka yang suka platform digital bisa memanfaatkan Bogor Hits.

Sektor-sektor ekonomi apa saja yang menjadi unggulan dan berkontribusi besar bagi Kota Bogor, bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menjaga kesinambungan pertumbuhan sektor-sektor unggulan tersebut?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021 ada lima sektor ekonomi utama di Kota Bogor yaitu sektor industri pengolahan, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, transportasi dan pergudangan. Sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha Kota Bogor. Share terbesar terhadap PDRB menurut lapangan usaha terutama dari sektor perdagangan dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dengan nilai 19,52 persen. Maka kami mengidentifikasi, melakukan pendampingan dan saya minta juga supaya targetnya betul-betul selektif.

Selama ini kegiatan pelatihan kerap kali jatuhnya hanya pada lingkungan saudara dan kerabat. Sementara pelatihnya juga tidak terlalu memberikan motivasi dan hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Maka kami ubah paradigmanya agar betul-betul menyasar pada orang-orang yang potensial untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, bukan hanya orang-orang yang membutuhkan kegiatan untuk menambah penghasilan melalui pelatihan.

Desain APBD juga kami buat seperti itu. Kalau selama ini, misalnya anggaran di Kemenaker atau Dinas UMKM sebesar Rp 500 juta untuk dibelikan peralatan menjahit, saya ubah konsepnya, karena program pelatihan bukan memberikan lapangan pekerjaan tapi menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, efeknya lebih masif.

Pemkot Bogor dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menjalin kolaborasi dalam program unggulan pengembangan desa wisata di Kecamatan Bogor Selatan pada Maret 2021. Bagaimana perkembangan pelaksanaannya sejauh ini?

Kelurahan Mulyaharja di Kecamatan Bogor Selatan berdasarkan data merupakan salah satu kawasan yang termasuk paling miskin di Kota Bogor. Alamnya indah, tapi karena kepemilikan terhadap lahannya sudah berubah maka banyak warganya menjadi buruh lepas dan kuli bangunan. Mereka tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Begitu muncul pandemi, dampaknya dahsyat sekali karena tidak ada lagi pekerjaan. Tapi semenjak kami intervensi dengan anggaran dana hibah dari APBD kurang dari Rp 3 miliar, kami bentuk kelompok masyarakat dan menggandeng berbagai pihak untuk memberikan pelatihan termasuk dari Kemenparekraf. Dampaknya luar biasa. Total wisatawan yang berkunjung ke kawasan agro edu wisata organik Ciharashas Mulyaharja sampai Juli 2022 sebanyak 76 ribu pengunjung. Pemasukan dari tiket masuk dalam seminggu bisa mencapai Rp 20 juta. Berbagai sektor usaha kini berkembang di kawasan wisata itu mulai dari kuliner, kerajinan, juga ada pelatihan bidang usaha on-farm dan off-farm seperti padi organik, peternakan, dan perikanan.

Konsepnya adalah wisata edukasi untuk belajar dan melihat pertanian organik sembari ngopi, makan, atau trekking. Kemarin kami juga baru menggandeng suatu perusahaan yang bergerak di bidang travel untuk melatih dan mengidentifikasi potensi hidden gems dari mutiara tersembunyi yang bisa dijual. Kami latih anak-anak muda di kelurahan itu untuk bisa menjadi tenaga marketing.

Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 membuka banyak peluang pasar dan potensi ekonomi. Bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam memetik manfaat dari forum global tersebut?

Spirit dan tema besar G20 kami tangkap dalam hal kolaborasi dan inovasi di kalangan generasi muda melalui beberapa kegiatan seperti Youth20. Kegiatan untuk anak-anak muda kreatif itu diselenggarakan di Alun-alun Kota Bogor yang berkolaborasi dengan pemerintah provinsi. Lalu ada Mayors Retreat yang dihadiri para wali kota dari negara-negara G20. Kami membawa mereka untuk melihat potensi ekonomi kreatif di Bogor dan juga ke Kebun Raya. Ini dampaknya bisa membukakan jaringan dan potensi kerja sama di bidang tanaman dan ekonomi kreatif . Kami juga mendapatkan keuntungan dari okupansi hotel, kunjungan wisata, dan lainnya. Jadi ada keuntungan jangka pendek dan panjang.

Digitalisasi saat ini menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Seperti apa program Pemkot Bogor dalam mendukung transformasi digital?

Satu hal yang menjadi masterpiece dan layanan digital andalan di Kota Bogor adalah Mal Pelayanan Publik. Kami belajar dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur di tahun 2018. Tapi hari ini Mal Pelayanan Publik yang kami bangun menjadi rujukan nasional karena sudah seperti di luar negeri. Masyarakat bisa daftar pakai apps sehingga tidak perlu antre ketika mengurus berbagai keperluan, mulai dari paspor, perpanjangan Kartu Tanda Penduduk, juga akad nikah.

Untuk public compliance, kami melakukan inovasi melalui sistem yang memungkinkan warga menyampaikan aduan terhadap berbagai problem di Kota Bogor yaitu Sistem Berbagi Aduan dan Saran (Simbada). Aduan yang disampaikan seperti jalan bolong, tempat sampah penuh akan langsung masuk ke instansi terkait. Sistem ini membuat dinas-dinas pemkot terus bergerak merespons aduan warga. Adapun secara umum berdasarkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), tahun 2021 Kota Bogor berpredikat baik.

Kami melakukan inovasi e-SPPT sebagai solusi untuk mengurangi keborosan tiap tahun ketika mencetak tagihan pajak. Sistem ini menghemat banyak uang negara karena tidak perlu mencetak lagi dan langsung sampai. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan meningkat signifikan khususnya di Semester 1 2021 sebesar Rp 159,25 miliar. Berkat inovasi layanan yang memperluas kanal pembayaran lewat kemitraan dengan berbagai pihak, warga punya banyak opsi dan jadi lebih mudah. Inovasi ini masuk dalam Top 45 Inovasi Pelayanan Publik 2022 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Melalui UU HKPD, pemerintah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak. Bagaimana pandangan Anda terhadap UU HKPD tersebut dan langkah yang ditempuh dalam menggali potensi ekstensifikasi pajak di wilayah Kota Bogor?

UU HKPD ini terobosan yang luar biasa dan konsepnya bagus karena targetnya adalah meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Banyak daerah yang sangat bergantung kepada bantuan pemerintah pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak seberapa. Ada hal positif di UU ini, misalnya penambahan pajak sewa apartemen kondominium, penambahan pajak di usaha katering, penambahan definisi pajak reklame berjalan, juga ada bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk daerah yang lebih banyak.

Dalam catatan kami memang ada beberapa pajak yang saat ini berpotensi mengurangi pendapatan, seperti pajak kos-kosan yang dihilangkan, tarif parkir yang turun, juga tarif pajak bioskop dan pergelaran musik yang dikurangi. Namun, kami melihatnya in the long term dampaknya bagus karena untuk menggairahkan sektor-sektor usaha tadi. Tarif parkir memang turun dari 30 persen menjadi 10 persen, tapi targetnya ke depan adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jadi, ini konsepnya bagus untuk meningkatkan kemandirian walaupun di fase-fase awal cenderung bagi beberapa daerah bisa mengurangi PAD.

Bagaimana tingkat kesadaran pajak di masyarakat Kota Bogor saat ini, apa saja upaya yang dilakukan Pemkot Bogor dalam meningkatkan kesadaran pajak?

Ada dua hal yang menentukan efektivitas pajak, yakni sosialisasi dan transparansi. Sosialisasi itu sejauh mana warga bisa paham bahwa mereka punya kewajiban, apa saja kewajibannya dan caranya bagaimana. Ini kami koordinasikan dengan aparatur di wilayah kecamatan, RT/RW, tokoh masyarakat, termasuk Wajib Pajak seperti pengusaha restoran dan hiburan. Adapun terkait transparansi, warga harus yakin bahwa uang pajak ini akan kembali ke mereka. Kami menciptakan satu sistem terkait dua hal ini. Bagi lurah yang target pajaknya tercapai dan ini bisa dimonitor secara real time oleh wali kota, akan diberikan reward. Misalnya Kelurahan Katulampa tercapai target pajaknya, maka kami akan beri reward senilai Rp 350 juta. Silakan pak lurah bersama warga mengajukan proposal akan digunakan untuk kebutuhan apa. Jadi, langsung dimanfaatkan seperti membuat jembatan, posyandu, jalan setapak. Ketika pak lurah semangat untuk mendorong kepatuhan pajak, dia akan umumkan kelurahannya mencapai target dan mendapat reward. Ini bentuk transparansi.

Pemkot Bogor juga mencantumkan APBD secara on-line yang dapat diakses di website. Warga bisa melihat alokasi belanja sampai unit terkecil. Jadi, bisa tenang membayar pajak karena anggaran dijamin transparan dan akan kembali ke rakyat. Saya selalu mengatakan, “Uang rakyat harus memberikan manfaat, uang rakyat jangan mampir ke kantong pejabat.”

Dalam momentum 77 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini, pemerintah mengusung tema Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Menurut Anda, apa yang dibutuhkan agar Indonesia dapat pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat?

Kuncinya adalah di politik dan pemerintahan. Kalau politik stabil dan pemerintahan kondusif, maka semuanya akan bergerak cepat. Banyak yang menyampaikan tentang pentingnya kebersamaan. Sekarang ini civil society dan swasta itu berkembang cepat dan sudah terbiasa kolaborasi, tapi apakah pemerintah siap beradaptasi? Kalau aparat penegak hukum masih korup dan politikusnya konflik sengkarut tentu tidak bisa juga. Semua investor akan menunggu. Komunitas anak-anak muda sekarang tumbuh menjadi generasi yang siap menyambut masa depan. Jadi jangan dikembalikan ke masyarakat. Kalau pemerintahan dan aparat penegak hukum semuanya clear, betapa kita bisa menghemat banyak sekali anggaran pembangunan untuk rakyat. Kalau kita tidak rukun dengan kantor pajak, polisi, dan lainnya, untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat tidak akan terjadi.Sementara pihak swasta sudah menunggu. Semuanya wait and see.

Anda memimpin kota yang saat ini menjadi tempat kediaman Presiden RI. Adakah manfaat dari keberadaan presiden di Kota Bogor?

Tentu ada. Hari kedua di sini, beliau memanggil saya. Saya sampaikan bahwa kami senang sekali beliau tinggal di sini. Tapi kalau berkenan kami ingin agar Kota Bogor sama indahnya seperti indahnya Istana dan Kebun Raya. Kalau di dalam itu hijaunya karena tanaman, di luar jangan hijau karena angkot. Jadi, kami ingin sekali dibantu. Dari situlah saya banyak sekali berkomunikasi dengan beliau. Jalur pedestrian seputar Istana Bogor dan Kebun Raya sepanjang 4,3 km itu adalah hasil proposal saya ke Pak Jokowi. Kemudian fly over yang melintas di Jalan RE Martadinata untuk memecahkan persoalan macet juga hasil lobi saya ke beliau. Jadi, keberadaan beliau di sini juga harus memberikan manfaat. Itu bentuk manfaat secara fisik. Sementara manfaat yang bersifat nonfisik, saya selalu sampaikan ketika berbicara di berbagai forum internasional dengan memperkenalkan diri sebagai Wali Kota Bogor, kota yang secara de facto merupakan capital city of Indonesia. Bogor juga mendapatkan international exposure karena banyak tamu negara yang berkunjung ke sini.

Continue Reading

Populer