Connect with us

BEHIND THE NUMBERS

Satu Semester Lima Insentif

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Istimewa

Meluasnya dampak Covid-19 ke banyak sektor usaha memaksa pemerintah merevisi peraturan untuk memberikan perluasan insentif pajak.

 

Saat pandemi Covid-19 mulai merebak pada awal Maret lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengambil langkah cepat merespons menurunnya produktivitas para pelaku usaha akibat pemberlakuan pembatasan wilayah di berbagai daerah. Respons itu salah satunya diberikan melalui kebijakan insentif perpajakan. Diawali dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 (PMK 23 Tahun 2020) tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Covid-19.

Dalam perjalanannya, dengan mempertimbangkan dinamika dampak wabah bagi dunia usaha, PMK 23 Tahun 2020 pun direvisi dengan menerbitkan PMK Nomor 44 Tahun 2020. Revisi PMK terbaru ini memuat perluasan insentif pajak bagi setiap Wajib Pajak yang akan diberi insentif. Jika PMK 23 Tahun 2020 hanya memuat empat stimulus fiskal, PMK 44 Tahun 2020 menambahnya dengan insentif PPh Final 0,5 persen Pajak Ditanggung Pemerintah. Pemberian insentif ini akan berlangsung selama enam bulan, yakni mulai dari April 2020 hingga September 2020. Di bawah ini kami rangkumkan lima insentif itu.

Baca Juga: Menjaga Keberlanjutan Fiskal di masa “New Normal”

Relaksasi PPh 21

Relaksasi PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP)—bagi pekerja di seluruh sektor industri manufaktur yang berpenghasilan sampai Rp 200 juta per tahun—dengan nilai ditanggung diperkirakan senilai Rp 8,6 triliun. Dalam PMK 23, sektor manufaktur tertentu meliputi sebanyak 440 klasifikasi lapangan usaha (KLU); dan WP KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Sementara dalam PMK 44, sektor tertentu menjadi 1.062 KLU; WP KITE; dan WP Kawasan Berikat.

Penerima insentif adalah pegawai dengan kriteria menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang memiliki kode KLU tertentu; telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE atau telah mendapatkan izin terkait Kawasan Berikat (Penyelenggara, Pengusaha, atau PDKB/Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat); memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); ada masa pajak yang bersangkutan menerima/memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

PPh Pasal 21 DTP harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pegawai; dikecualikan dari Insentif PPh Pasal 21 DTP dalam hal penghasilan pegawai berasal dari APBN/APBD dan telah ditanggung pemerintah PPh Pasal 21-nya berdasarkan ketentuan perpajakan.

PPh Final UMKM

Insentif pajak bagi pelaku usaha UMKM yaitu PPh Final 0,5 persennya ditanggung pemerintah. Sesuai PMK 44 Tahun 2020, insentif diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan dikenai PPh Final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018.

Baca Juga: PP 23 Tahun 2018, Insentif Pajak untuk UMKM (Part II)

Penerima insentif adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan dikenai PPh Final berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2018; memiliki Surat Keterangan berdasarkan PMK-44/PMK.03/2020; menyampaikan Laporan realisasi PPh Final ditanggung pemerintah paling lambat tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak.

Mekanisme pemberian insentif, yakni dalam hal Surat Keterangan telah terkonfirmasi, Pemotong/Pemungut pajak tidak melakukan pemotongan/pemungutan PPh pada saat pembayaran. Atas PPh Final ditanggung Pemerintah tersebut Pemotong/Pemungut pajak wajib membuat SSP/cetakan kode billing yang dibubuhi cap/tulisan “PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44 /PMK.03/2020”.

“Pemberian insentif berlangsung selama enam bulan, yakni mulai dari April 2020 hingga September 2020.”

Pembebasan PPh 22 Impor

Sesuai PMK 44 Tahun 2020, pembebasan PPh 22 Impor diberikan kepada sektor tertentu (431 KLU); Wajib Pajak KITE; Wajib Pajak Kawasan Berikat. Besar penundaan diperkirakan senilai Rp 8,15 triliun. Sektor tertentu (431 KLU).

Penerima insentif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria memiliki kode KLU tertentu sebagaimana Lampiran I PMK 44 Tahun 2020; telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau telah mendapatkan izin terkait Kawasan Berikat (Penyelenggara, Pengusaha, atau PDKB/Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat); mengajukan Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB).

Pengurangan angsuran PPh Pasal 25

Sesuai PMK 44 Tahun 2020, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30 persen diberikan kepada Wajib Pajak Sektor tertentu (846 KLU); Wajib Pajak KITE; Wajib Pajak Kawasan Berikat.

Baca Juga: Insentif Pajak di Tengah Wabah

Penerima insentif adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria memiliki kode KLU tertentu sebagaimana Lampiran N PMK 44 Tahun 2020; telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau telah mendapatkan izin terkait Kawasan Berikat (Penyelenggara, Pengusaha, atau PDKB/Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat); menyampaikan pemberitahuan pengurangan sebesar 30%dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang.

Pengembalian Pendahuluan PPN

Pengembalian Pendahuluan PPN sebagai PKP berisiko rendah bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi paling banyak Rp 5 miliar. Wajib Pajak yang menerima insentif adalah yang memenuhi kriteria memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) tertentu (WP pusat maupun cabang) sebagaimana Lampiran I PMK; telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau telah mendapatkan izin terkait Kawasan Berikat (Penyelenggara, Pengusaha, atau PDKB/Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat).

Pemberian insentif berlaku bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria dan menyampaikan SPT Masa PPN LB dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah; SPT Masa PPN (termasuk pembetulan SPT Masa PPN) yang diberikan pengembalian pendahuluan meliputi Masa Pajak sejak berlakunya PMK ini, sampai dengan Masa Pajak September 2020, dan disampaikan paling lama 31 Oktober 2020.

Baca Juga: Sekarang Insentif, Besok Kontribusi

BEHIND THE NUMBERS

“Stick and Carrot” Penyelaras APBD-APBN

Ruruh Handayani

Published

on

Foto: Istimewa

 

Pemerintah pusat, lewat insentif hingga teguran, memotivasi pemerintah daerah untuk memaksimalkan belanja daerah. Sejumlah daerah patut dijadikan inspirasi.

 

Majalahpajak.net – Pemerintah terbilang berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 dengan menahan kontraksi ekonomi di tahun 2020 yang hanya sebesar -2,07 persen year on year (yoy). Salah satu kunci keberhasilan Indonesia mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi pemerintah selama pandemi, yang juga mendorong peningkatan pada komponen konsumsi rumah tangga dan investasi.

Sejumlah dana yang sedianya dianggarkan untuk pos-pos reguler dibelokkan (refocusing) ke urusan yang lebih urgen: menjaga kesehatan dan ekonomi di seluruh lapisan masyarakat, lantaran virus korona menyerang tak pandang bulu. Semua sektor usaha mulai dari UMKM hingga perusahaan kakap juga mesti dibantu agar pulih bersama.

Dukungan daerah

Upaya pemulihan ekonomi tentu akan lebih efektif apabila pemerintah daerah berperan aktif, karena mereka yang paham betul seberapa cepat perputaran roda ekonomi masyarakat di wilayah itu dan bagaimana pandemi merangseknya. Untuk itu, mengacu kepada esensi desentralisasi, tak berlebihan jika dalam upaya pemulihan ekonomi ini daerah punya kewenangan dan proporsi tersendiri.

Kebijakan yang diambil pemerintah tersebut didasarkan pada Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Sementara dalam tatanan pemerintah daerah (pemda), ada Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 yang mewajibkan pemda memprioritaskan penggunaan APBD untuk antisipasi dan penanganan dampak penularan Covid-19.

Pemda diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan APBD. Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut mampu memaksa Pemda melakukan rasionalisasi APBD dengan mengurangi pos belanja modal dan belanja barang/jasa minimal 35 persen dari pagu anggaran sebelumnya.

Mereka harus mengalihkannya untuk tiga program utama, yaitu kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan jaring pengaman sosial (social safety net).

Lambat

Meski anggaran telah siap untuk digelontorkan dan diskresi diberikan untuk kepala daerah, dana tentu harus dipakai seefisien dan seefektif mungkin. Tidak ada tempat untuk pemborosan atau penggunaan anggaran yang tidak memberikan kontribusi dalam penanganan pandemi dan dalam mengungkit ekonomi.

Namun, bukan waktunya juga kepala daerah menyimpan anggaran terlalu lama dan masyarakat terus kesulitan menghadapi dampak pandemi. Sayangnya, pengelolaan anggaran yang buruk banyak terjadi di daerah. Mereka masih mengelola APBD selama wabah Covid-19 ini secara business as usual.

Hal ini juga seringkali disinggung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Ia masygul, lantaran mengetahui banyak daerah yang belum gerak cepat membelanjakan anggaran yang sudah digelontorkan untuk membantu kepentingan rakyat dan pemulihan ekonomi di daerah. Jokowi melihat realisasi penyerapan APBD sangat bervariasi, artinya setiap daerah memiliki kecepatan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Pemerintah Pusat dan Daerah Sinergi untuk Pemulihan Ekonomi Pascapandemi

“Ini situasinya betul-betul situasi yang luar biasa sulitnya. Mengendalikan dua hal yang ini—ekonomi dan kesehatan—betul-betul harus terjaga dengan baik. Enggak bisa lagi kita kerja dengan SOP (standard operating procedure) normal, enggak bisa. Ini kita harus kerja dengan SOP yang shortcut, yang ada terobosannya. Jadi, anak buah ajak untuk masuk ke sana, biar cepat kerja kita,” ucap Jokowi saat memberikan pengarahan kepada para gubernur mengenai percepatan penyerapan APBD tahun 2020, Rabu (15/7).
Ia pun menekankan agar realisasi APBD ini menjadi konsentrasi harian bagi para kepala daerah baik untuk pengadaan barang dan jasa, belanja modal, dan bansos. Menurutnya, itu sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah, dan menjaga kelangsungan daya beli serta konsumsi rumah tangga.

Di lain kesempatan, Jokowi menyebut target ekonomi nasional didapat dari agregat kumpulan pertumbuhan ekonomi yang ada di provinsi, kabupaten, dan kota. Jadi, seluruh gubernur, bupati, dan wali kota memiliki tanggung jawab yang sama dalam berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Ia beranggapan kalau transfer dari pusat ke daerah terus mengendap di bank dan tidak secara cepat dibelanjakan, tak heran kalau laju pertumbuhan ekonomi daerah tersendat. Masalah klasik ini memang terus berulang dan jadi salah satu tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di tanah air.

Bahkan di situasi pandemi, pola anggaran masa krisis tidak berbeda dengan pola saat kondisi ekonomi normal. Seharusnya, realokasi anggaran dapat dilakukan secepat mungkin.

“Akhir Maret saya lihat di perbankan daerah ada Rp 182 triliun, tidak semakin turun, semakin naik, naik 11,2 persen. Artinya, tidak segera dibelanjakan. Bagaimana pertumbuhan ekonomi di daerah mau naik, kalau uangnya disimpan di bank?” ucapnya saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Indonesia tahun 2021, Rabu (28/4).

“Stick and carrot”

Jokowi tak menutup mata dan mengapresiasi daerah yang telah berhasil melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dengan baik, dengan berbagai upaya dan inovasinya. Sebaliknya, ia juga tak segan-segan menyebut daerah yang belum optimal menyelenggarakan keuangan daerah. Penyebutan daerah-daerah itu diyakininya dapat memotivasi kepala daerah agar segera membelanjakan anggaran yang ada.

Sementara Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati yang juga kerap gemas akan lambatnya realisasi penyerapan anggaran daerah mengemukakan, pihaknya akan mengatur dana transfer ke daerah (TKD) sesuai kemampuan daerah masing-masing. Hal ini, menurutnya, untuk merespons masih banyaknya dana pemerintah daerah yang diparkir di bank.

Setelah ada peraturan menteri keuangan (PMK), setoran dana dari pemerintah pusat nantinya mengacu pada kebutuhan pemda. Menurutnya, sinergi dan gerak langkah kebijakan APBN dan APBD belum berjalan secara optimal, sehingga perlu dilakukan penguatan dalam menjaga sinergi dan kesinambungan fiskal.

Katanya, tantangan-tantangan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal berakibat kepada output atau outcome yang belum optimal dan sangat timpang di berbagai daerah.

“Ini (terjadi) meskipun kita sudah melakukan transfer ke daerah sejak 2004 berdasarkan formula untuk mengurangi ketimpangan berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah,” ungkapnya.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga memberikan reward berupa Dana Insentif Daerah (DID) kepada pemda yang mencapai penyerapan tertinggi, untuk memunculkan ide dan inovasi baru di daerah. Insentif yang tertera dalam PMK Nomor 140 tahun 2022 ini diberikan kepada 125 daerah yang terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota.

Tentunya, DID bertujuan untuk memacu pemda agar terus melakukan perbaikan kinerja dan daerah berlomba mengakselerasi belanja daerahnya. Di tahun ini, pemerintah telah menganggarkan DID sebesar Rp 7 triliun. DID tidak diperkenankan dipakai untuk mendanai gaji, honorarium, serta perjalanan dinas.

Setali tiga uang, sentilan kerap disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada kepala daerah. Ia meminta agar pemda segera melakukan percepatan dalam merealisasikan APBD tahun 2021 dengan program-program padat karya, sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Menyelaraskan Kebijakan Pusat dan Daerah

“Ini untuk bisa melompat ke angka tujuh persen tidak mungkin pemerintah pusat saja yang bergerak, pemda harus bergerak. Oleh karena itu, tolong belanjakan, diatur ritme belanja di daerah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Tito mengingatkan agar realisasi APBD tidak ditumpuk di akhir tahun, dan meminta Kemenkeu mentransfer dana ke daerah berbasis kinerja pemda.

“Jadi, kalau kinerjanya ternyata belanjanya tidak bergerak, lebih baik transfernya ditahan dulu, supaya dibelanjakan dulu, kalau seandainya sudah mulai mendekati mulai berkurang baru transfer,” ujarnya.

Untuk pemda yang berprestasi, Kementerian Dalam Negeri memberikan penghargaan kepada 45 pemda atas realisasi APBD tertinggi tahun anggaran 2021.

Apresiasi juga diberikan bagi daerah yang memiliki realisasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi di tahun anggaran yang sama dan realisasi belanja daerah tertinggi. Dalam rangkaian Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Keuangan Daerah Tahun 2022 itu, Tito mengungkapkan bahwa meredanya pandemi harus dijadikan momentum oleh para kepala daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing maupun secara nasional.

Fokus

Ada tiga kategori penghargaan yang diberikan yakni Realisasi Pendapatan Daerah Tertinggi, Realisasi Belanja Daerah Tertinggi, dan Peningkatan PAD Tertinggi. Tito menuturkan, daerah yang tercantum pada kategori Realisasi Belanja Daerah Tertinggi, belum tentu menjadi daerah dengan Realisasi Pendapatan Daerah Tertinggi.

Nah, salah satu provinsi yang konsisten mendapat penghargaan untuk ketiga kategori tersebut adalah Provinsi Bengkulu (Bengkulu). Ia dinobatkan sebagai peringkat pertama dalam kategori Realisasi Peningkatan PAD dari tahun 2020 hingga 2021.

Bengkulu juga dinobatkan sebagai pemerintah provinsi (pemprov) dengan realisasi Belanja Daerah Tertinggi (ketiga) tahun 2021, dan sebagai pemda dengan realisasi Pendapatan Daerah tertinggi (kelima) dari tahun 2020 hingga 2021.

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Bengkulu sempat mengalami kontraksi akibat pandemi. Namun, keadaan itu berbalik pada 2021 seiring dengan menurunnya kasus pandemi Covid-19 dan meningkatnya aktivitas masyarakat.

Lebih dari itu, Rohidin mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan perekonomian di daerahnya antara lain kebijakan arah anggaran, penyaluran Perlinsos, infrastruktur, juga inovasi layanan yang diikuti target pendapatan yang logis.

Kekuatan ekonomi di Bengkulu, lanjutnya, ditopang oleh sektor riil, yakni UMKM dan pertanian rakyat. Pada level desa, Bengkulu bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan pendampingan. Tujuannya, agar kebijakan anggaran bisa fokus pada peningkatan ekonomi, termasuk menjalankan program padat karya.

Secara khusus, APBD Bengkulu Tahun Anggaran (TA) 2021 selalu dilakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap target realisasi pendapatan, rasionalisasi belanja daerah serta penyesuaian terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat, sehingga kegiatan pemerintah pusat dan daerah dapat sinkron, terutama dalam penanganan Covid-19, seperti penanganan bidang kesehatan, dampak ekonomi dan jaring pengaman sosial.

“Terhadap penanganan pandemi di ketiga sektor tersebut berbagai upaya telah dilakukan dengan tetap memerhatikan asas efektif, efisien, dan akuntabel serta memerhatikan ketersediaan anggaran yang ada,” sebut Rohidin.

Selanjutnya, kebijakan dalam perubahan APBD TA 2021 dilaksanakan dengan tetap mengacu pada visi dan misi gubernur serta prioritas pembangunan Bengkulu, sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah Perubahan (RKPD-P) Tahun 2021.

“Dalam APBD-P Tahun Anggaran 2021, kebijakan-kebijakan tersebut dimasukkan ke dalam Rancangan Perubahan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS-P) Tahun Anggaran 2021 serta direalisasikan ke dalam program dan kegiatan masing-masing SKPD,” paparnya.

Hal ini, dimaksudkan agar program dan kegiatan di dalam perubahan APBD Tahun Anggaran 2021 dapat mengakomodasi pencegahan, penanganan dan pemulihan ekonomi daerah selama pendemi Covid-19 ini.

Bengkulu juga berhasil menurunkan inflasi secara drastis dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dari angka 5 persen pada 2016 menjadi 2,42 persen pada 2021. Penurunan ini berkat kestabilan harga barang dan jasa yang terjaga sepanjang tahun.

Kemudian, PDRB Per Kapita Bengkulu meningkat. Pertumbuhan Ekonomi meningkat sebesar 3,24 persen di tahun 2021, dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya minus 0,002 persen.

Penanganan kemiskinan di Bengkulu, menurut Rohidin, telah menunjukkan hasil yang baik. Penduduk miskin tahun 2021 menjadi 14,43 persen, turun dari 15,30 persen di tahun 2020.

Adapun provinsi lain yang punya realisasi pendapatan tertinggi lainnya adalah Gorontalo, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Papua Barat. Sementara provinsi dengan realisasi belanja daerah tertinggi lainnya dimiliki oleh Papua Barat, Jawa Barat, Lampung, dan Kepulauan Riau. Lalu, provinsi lain yang melakukan peningkatan PAD tertinggi yakni Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Papua, dan Jawa Barat.

Komitmen dan konsistensi

Di tingkat kabupaten, Bojonegoro menempati peringkat pertama dalam realisasi pendapatan daerah tertinggi. Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah mengungkapkan, target pendapatan Bojonegoro pada 2021 mencapai Rp 4,2 triliun, tetapi pada akhir tahun berhasil memperoleh Rp 5,9 triliun atau 138 persen dari target pendapatan daerah yang ditetapkan dalam perubahan APBD Tahun Anggaran 2021.

Peningkatan realisasi pendapatan ini menurutnya tidak lepas dari upaya seluruh pihak, khususnya Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Bojonegoro dan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) penyumbang penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Anna mengungkapkan, upaya itu dilakukan melalui penyederhanaan sistem pembayaran daring seperti QRIS dan e-commerce untuk mempermudah pelayanan kepada Wajib Pajak.

Secara rinci, Bapenda Bojonegoro mendapat realisasi pendapatan pajak mencapai Rp 136 miliar, di atas target sebesar Rp 112 miliar. PAD Bojonegoro juga tercatat mencapai Rp 952 miliar, atau melampaui target sebesar Rp 912 miliar. Kota Jati ini juga menerima penghargaan sebagai Kabupaten Terinovatif pada Tahun 2021 dari Kemendagri di ajang Innovative Government Award (IGA).

Hal ini semakin membuktikan jika inovasi telah menjadi aspek utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Bojonegoro. Inovasi daerah yang dilaporkan kepada Kemendagri terkait segala bentuk inovasi daerah, baik dalam bentuk inovasi tata kelola pemerintahan daerah, inovasi pelayanan publik, dan inovasi daerah lainnya sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Untuk kabupaten yang mendapat realisasi belanja daerah tertinggi adalah Gayo Lues. Kabupaten ini menjadi satu-satunya daerah di Provinsi Aceh dengan realisasi anggaran pendapatan dan belanja kampung (APBK) tertinggi. Gayo Lues memiliki anggaran belanja daerah di 2021 mencapai Rp 901,135 miliar. Padahal sebagaimana tercantum dalam Qanun Nomor 3 tahun 2020, Gayo Lues hanya punya pendapatan daerah sebesar Rp 883, 135 miliar yang terdiri dari pendapatan asli, transfer, dan lain-lain.

Karena itu, Bupati Gayo Lues Muhammad Amru menyambut baik usulan Mendagri tentang tambahan DID bagi daerah yang mempunyai prestasi dalam pengelolaan belanja APBK 2021 secara baik dan efektif.

“Keberhasilan Kabupaten Gayo Lues menjadi kabupaten di Provinsi Aceh yang terbaik dalam capaian ini tidak terlepas berkat dukungan semua SKPK yang bekerja secara efektif dan maksimal dalam pengelolaan anggaran, serta penyampaian laporannya sehingga capaian ini dapat kita wujudkan bersama,” ucapnya.

Amru juga menyebutkan bahwa keberhasilan Gayo Lues di tahun 2021 tentunya menjadi tantangan di tahun ini, sehingga prestasi yang ditorehkan bisa dipertahankan dan ditingkatkan.

“Walaupun di masa-masa yang sulit dan keterbatasan saat sekarang ini, namun kami yakin dan percaya keterbatasan bukan penghambat kita untuk berprestasi di tingkat nasional dalam bidang apa pun termasuk masalah laporan realisasi keuangan,” papar Amru.

Banyak capaian signifikan lainnya yang ditorehkan oleh Gayo Lues pada 2021 seperti perolehan WTP dari BPK, meningkatnya pelayanan publik, meningkatnya CMS yang dikelola oleh inspektorat, serta capaian realisasi keuangan 2021 yang terbaik di Aceh dan nasional.

Sementara itu, Bangli di Provinsi Bali merupakan kabupaten yang mendapat apresiasi peringkat pertama pada realisasi peningkatan PAD tertinggi. Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta mengatakan, penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah pusat atas kinerja pemda yang penilaiannya dilakukan berdasarkan pada data Laporan Realisasi Anggaran yang dilaporkan setiap bulannya.

Ia mengungkapkan, pelaksanaan APBD pada TA 2021 merupakan tahun terberat dan tersulit, karena masih merebaknya pandemi Covid-19. Namun kabupaten ini, toh, mampu meraihnya dengan baik.

“Kegigihan serta kerja keras kita bersama dengan semangat Jengah Membangun Bangli dalam rangka mewujudkan Bangli Era Baru, kita dapat melalui semua rintangan yang ada. Baik dalam rangka merealisasikan pendapatan daerah maupun belanja daerah yang sudah direncanakan dalam APBD tahun anggaran 2021,” ungkapnya.

Ia menambahkan, untuk meningkatkan realisasi PAD yang sudah ditargetkan dalam APBD, pihaknya melakukan berbagai langkah strategis di antaranya melakukan sosialisasi secara berkala kepada Wajib Pajak, digitalisasi pajak dan retribusi untuk menghindari kebocoran dan meningkatkan transparansi, melakukan pemetaan.

“Selain itu, kami juga lakukan pengembangan dan pengawasan potensi pajak dan retribusi secara intensif, memberikan reward dan punishment terhadap Wajib Pajak dengan membentuk Tim Wasjak,” imbuhnya.

Bangli sejatinya diposisikan sebagai kawasan konservasi di Bali. Dengan bentang pegunungan dan hutan yang cukup luas, Bangli diakui sebagai penghasil oksigen alami yang juga menjadi incaran destinasi wisatawan berkat danau batur dan kawasan Kintamani.

Baca Juga: Menakar Proporsi Dana Perimbangan

Selain itu, Sedana Arta juga menggagas kerja sama dengan kabupaten lain di Bali untuk memanfaatkan 447 sumber air di Bangli supaya mendapatkan kompensasi imbal jasa lingkungan hidup. Menurutnya, berpedoman dengan aturan yang sudah ada, daerah-daerah pemanfaat jasa lingkungan hidup—termasuk air—dimungkinkan untuk memberikan imbal jasa kepada daerah penyedia jasa yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama. Hal ini diyakininya menjadi salah satu unsur pengungkit PAD Bangli hingga saat ini.

Inovasi

Di tatanan pemerintahan kota, Blitar di Jawa Timur memborong tiga kategori penghargaan, baik peringkat pertama pada realisasi pendapatan daerah tertinggi, peringkat kelima di kategori realisasi belanja daerah tertinggi, dan peringkat pertama realisasi peningkatan PAD tertinggi.

Wali Kota Blitar Santoso mengemukakan, prestasi ini merupakan hasil dari kinerja kolektif seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) didukung komitmen kepala daerah dan DPRD untuk melaksanakan APBD secara keseluruhan. Terutama, untuk pengendalian pendapatan dan belanja daerah.

Penghargaan ini, kata Santoso, sebagai bentuk apresiasi atas komitmen dalam memenuhi aturan dan persyaratan serta penjadwalan yang telah ditentukan baik pendapatan daerah, belanja daerah, maupun peningkatan PAD.

“Untuk pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, dana transfer dan lain-lain pendapatan yang sah memang ada ketentuan dan persyaratan. Seluruh OPD komitmen untuk memenuhi persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Apalagi dana transfer ada aturan, jadwal, dan persyaratan yang harus dipenuhi dan secara nyata dapat dipenuhi lewat kerja bersama,” ucapnya.

Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa Pemkot Blitar melalui OPD masih tetap konsisten dalam upayanya peningkatan perluasan sumber-sumber pendapatan daerah, terlebih di masa pandemi.

“Terkait PAD, tetap dilakukan dengan upaya inovasi yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan metode yang tepat. Hasilnya positif, masyarakat tetap patuh dalam memenuhi kewajiban dalam membayar kewajiban pajaknya dan retribusi daerah,” sambungnya.

Selain itu pihaknya juga terus meningkatkan pelayanan pembayaran secara elektronik/tunai yang memengaruhi tingkat kepercayaan, kemudahan, kecepatan masyarakat dalam memenuhi kewajiban membayar pajak dan retribusi daerah.

Kunci lainnya dalam memperoleh penghargaan ini adalah pengendalian intensifikasi dan ekstensifikasi yang dipimpin oleh Sekda dalam realisasi setiap periodenya, dan kecepatan pemecahan masalah di lapangan.

Dari sisi inovasi, Blitar punya tujuh inovasi program yang dicetuskan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Blitar di antaranya program Audisi Pengembangan Wirausaha (Abang Wira) pada Dinas Koperasi dan UM, Audisi Pengembangan Marketing Online (Abang Marko), dan Audisi Pengembangan Informal (Abang Informal).

Adapun kota lain yang punya realisasi pendapatan tertinggi lainnya adalah Magelang, Madiun, Batu, dan Tanjung Pinang. Lalu kota dengan realisasi belanja daerah tertinggi lainnya dimiliki oleh Tasikmalaya, Sukabumi, Kotamobagu, dan Banjar. Sementara, kota lain yang melakukan peningkatan PAD tertinggi yakni Tomohon, Denpasar, Tangerang, dan Bukit Tinggi.

 

“Mengendalikan dua hal yang ini—ekonomi dan kesehatan—betul-betul harus terjaga dengan baik. Enggak bisa lagi kita kerja dengan SOP (standard operating procedure) normal.

Presiden RI Joko Widodo

Continue Reading

BEHIND THE NUMBERS

Skema Pinjaman Likuiditas untuk UMKM

Novita Hifni

Published

on

Foto: Ilustrasi

Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan berkoordinasi untuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Seperti apa mekanisme subsidi untuk debitur UMKM?

 

Pemerintah melalui Menteri Keuangan dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 28 Mei 2020 telah menandatangani Keputusan Bersama Nomor 265/KMK.010/2020 dan nomor SKB-1/D.01/2020 tentang Koordinasi Pelaksanaan Penempatan Dana dan Pemberian Subsidi Bunga dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Sinergi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan OJK dalam menjalankan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 agar dapat memperlancar koordinasi kedua institusi. Melalui koordinasi yang terjalin baik, pemberian informasi dari OJK kepada Kemenkeu terkait penempatan dana dan pemberian subsidi bunga sebagai pelaksanaan Program PEN dapat berlangsung optimal, khususnya dalam penetapan bank peserta, penempatan dana/perpanjangan penempatan dana pada bank peserta, serta pemberian subsidi bunga.

Keputusan bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan 31 Desember 2021. Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 87,59 triliun untuk ditempatkan di bank peserta atau bank jangkar (anchor) sebagai bagian dari Program PEN.

Baca Juga: Sambut Normal Baru, OJK Terbitkan Stimulus Lanjutan untuk Perbankan

Untuk pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi korona ini, OJK mendukung program pemerintah untuk memberikan subsidi bunga kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dan melakukan penempatan dana kepada bank peserta. Dana tersebut untuk memberikan dukungan likuiditas kepada bank umum, BPR dan perusahaan pembiayaan yang telah melakukan restrukturisasi kredit menurut ketentuan POJK 11/POJK3/2020 dan/atau memberikan tambahan kredit modal kerja.

Koordinasi

Kemenkeu dan OJK melakukan koordinasi dalam penetapan bank peserta. Dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan kedua institusi, koordinasi melalui beberapa tahap.

Pertama, Kemenkeu akan menyampaikan permintaan informasi kepada OJK mengenai bank yang dapat menjadi bank peserta dengan kriteria sebagaimana tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020. Kedua, OJK akan menyampaikan informasi mengenai bank yang telah memenuhi kriteria menjadi bank peserta kepada Kemenkeu, yang sekaligus berfungsi sebagai persetujuan dari OJK, dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah permintaan informasi diterima oleh OJK. Ketiga, Menteri Keuangan akan menetapkan bank peserta berdasarkan informasi dan persetujuan dari OJK.

Untuk koordinasi dan pemberian informasi yang terkait dengan pelaksanaan penempatan dana dan/atau perpanjangan penempatan dana pada bank peserta, ada beberapa proses yang dilakukan. Pertama, dalam melakukan penilaian atas proposal penempatan dana dari bank peserta, Kemenkeu akan menyampaikan permintaan informasi mengenai proposal penempatan dana dari bank peserta kepada OJK. Informasi tentang proposal penempatan dana dari bank peserta ini memuat sejumlah hal, mulai dari peringkat komposisi hasil asessment tingkat kesehatan bank peserta dan/atau bank pelaksana, jumlah kepemilikan Surat Berharga Negara, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia, Sukuk Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah dan jumlah dana pihak ketiga, data restrukturisasi kredit/pembiayaan yang telah dilakukan oleh bank peserta dan bank pelaksana dan nilai penundaan cicilan pokok selama maksimum 6 (enam) bulan hingga informasi terkini terkait kinerja bank peserta dan/atau bank pelaksana.

Kedua, informasi tersebut akan disampaikan oleh OJK kepada Kemenkeu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah permintaan informasi dari Kemenkeu dan data dari bank diterima oleh OJK.

Ketiga, Kemenkeu menyetujui atau menolak proposal penempatan dana/perpanjangan penempatan dana dari bank peserta dengan mempertimbangkan informasi dari OJK. Keempat, Kemenkeu akan menyampaikan informasi mengenai jumlah, jangka waktu, dan tanggal penempatan dana (settlement) dan/atau perpanjangan penempatan dana pada bank peserta kepada OJK dengan menggunakan sarana elektronik dan/atau surat dalam waktu paling lambat lima hari kerja.

Baca Juga: OJK–DJP Kerja Sama Akses Data Bank

Adapun koordinasi dan pemberian informasi yang terkait dengan pemberian subsidi bunga melalui sejumlah tahap. Pertama, OJK menyampaikan informasi mengenai debitur UMKM di perbankan, perusahaan pembiayaan, PT Permodalan Nasional Madani (Persero), dan PT Pegadaian (Persero) yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Kedua, informasi mengenai debitur UMKM di perbankan dan perusahaan pembiayaan merupakan data yang terdapat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola oleh OJK, sedangkan informasi mengenai debitur UMKM di PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan PT Pegadaian (Persero) merupakan informasi dari kedua perusahaan tersebut yang disertai surat pernyataan direksi mengenai kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

Ketiga, Kemenkeu akan menggunakan informasi yang disampaikan OJK sebagai dasar pemberian subsidi bunga.

Pinjaman likuiditas

Kemenkeu telah menyiapkan skema pinjaman likuiditas yang menggunakan dana pemerintah dan ditempatkan di bank peserta atau lazim disebut bank jangkar. Skema ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional.

OJK mendukung program pemerintah untuk memberikan subsidi bunga kepada debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah memenuhi kriteria.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengemukakan, skema penyangga likuiditas berbeda dengan pasar uang atau pinjaman antarbank yang umum terjadi. Likuiditas bersumber dari dana pemerintah dengan bunga yang tentu lebih rendah dari suku bunga pasar. Jaminan bagi bank yang membutuhkan likuiditas ini berupa kredit yang direstrukturisasi.

Ia menjelaskan, bank-bank yang menjadi bank jangkar berhak untuk mengenakan margin (risk-adjusted return) untuk likuiditas yang disalurkan kepada bank atau perusahaan pembiayaan sehingga skemanya bersifat business to business.

“Pemerintah bersama OJK sudah menandatangani SKB terkait tata cara pemberian informasi dalam rangka penempatan dana,” jelas Wimboh dalam konferensi video, Kamis (4/6).

Untuk penyangga likuiditas ini, imbuhnya, pemerintah melalui Kemenkeu masih perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Penempatan Dana dan juga Nota Kesepahaman (NK) antara OJK dan Bank Indonesia terkait Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK).

“Dana itu bersifat darurat. Yang bisa meminjam likuiditas dari bank jangkar adalah bank yang tingkat Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) di bawah enam persen. Kalau masih ada surat berharga atau surat utang belum boleh,” papar Wimboh.

Bank jangkar

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional mengatur tentang penempatan dana untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan. Meski demikan, tidak semua bank bisa menjadi bank peserta atau bank jangkar.

Baca Juga: Mulai Agustus, Himbara Merdeka Melakukan Validasi dan Pendaftaran NPWP Nasabah

Bank jangkar merupakan bank yang menerima penempatan dana pemerintah dan wajib menyediakan dana bagi bank pelaksana atau yang membutuhkan dana untuk keperluan restrukturisasi kredit.

Dalam siaran pers Kemenkeu dan OJK, Kamis (11/6) terdapat beberapa kriteria penunjukan bank jangkar. Pertama, harus merupakan bank umum yang berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia dan minimal 51 persen sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia.

Kedua, bank harus masuk kategori sehat berdasarkan penilaian kesehatan bank oleh OJK.  Ketiga, bank yang ditunjuk harus termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar di Indonesia. Keempat, harus memiliki investment grade menurut rating yang dikeluarkan paling kurang oleh dua lembaga pemeringkat nasional dan atau internasional yang berbeda dan telah diakui oleh OJK.

Kelima, tingkat kesehatan minimal Peringkat Komposit 2 (PK 2) yang telah diverifikasi oleh OJK. Keenam, bersedia menandatangani syarat dan ketentuan menjadi bank peserta.

Jika kriteria ini telah dipenuhi, OJK akan melakukan kajian untuk kemudian mengajukan bank tersebut menjadi bank peserta kepada Kemenkeu.

Selanjutnya, berdasarkan informasi yang disampaikan OJK, Kemenkeu akan menyampaikan pemberitahuan kepada direktur utama calon bank peserta untuk mengajukan kesediaan memenuhi persyaratan administratif.

Baca Juga: Menjaga Keberlanjutan Fiskal di masa “New Normal”

 

Continue Reading

BEHIND THE NUMBERS

Bikin Likuid meski Ada Covid

Ruruh Handayani

Published

on

Foto: Istimewa

Pemerintah memberikan wewenang khusus kepada perusahaan dan lembaga penjamin sebagai bagian dari pelaksana pemulihan ekonomi nasional.

Pada 31 Maret lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) RI No. 1 tahun 2020 sebagai langkah cepat dan luar biasa untuk merespons keadaan masyarakat dan dunia usaha yang terdampak pandemi Covid-19, baik dari sisi kesehatan dan finansial, sekaligus memulihkan perekonomian nasional.

Dalam aturan itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) disebut sebagai salah satu pelaksana Perppu bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan penanganan masalah solvabilitas bank; serta yang berwenang melakukan tindakan lain seperti penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia, penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan atau pinjaman kepada pemerintah.

Baca Juga: DPR Sepakat, Perppu Stabilitas Ekonomi untuk Penanganan Covid-19 jadi Undang-Undang

LPS juga berkuasa melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain bank sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal, dengan sejumlah pertimbangan, tentu saja.

Selain itu, LPS juga berhak merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pelaksanaan kewenangan LPS juga tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Aturan ini menjelaskan lebih detail mengenai sumber dana PEN, pengambil kebijaksanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pelaporan, hingga pengawasan dan evaluasi program.

Penjamin bank

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menekankan bahwa kerja sama antara pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS sangat penting dalam keberhasilan PEN. Salah satu program yang telah dilaksanakan pemerintah yakni penempatan dana pemerintah sebesar Rp 30 triliun kepada empat bank pelat merah, yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk.

Selain untuk menguatkan likuiditas perbankan selagi menjalankan tugas pemerintah, bank-bank ini juga memiliki keleluasaan untuk merestrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak pandemi Covid-19.

Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyatakan kesiapan LPS menjamin keempat bank ini, jika ditetapkan sebagai bank gagal. Jaminan ini diberikan karena perbankan pelat merah ini merupakan perbankan yang sehat dan mengikuti ketentuan Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

Baca Juga: Bank Permata Andil dalam Program Penjaminan Kredit Modal Kerja Bagi UMKM

“Bank-bank ini mengikuti ketentuan UU PPKSK, tidak ada opsi untuk melakukan likuidasi. Dengan demikian LPS wajib melakukan penyelamatannya,” jelas Halim dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (29/6).

Namun, sebelum mengarah ke sana (fungsi penyelamatan), Halim mengatakan LPS telah menyiapkan langkah mitigasi risiko, salah satunya penempatan dana sejak awal diarahkan kepada bank yang sehat dan kuat tersebut. Selain itu, LPS juga dapat melakukan langkah antisipasi dalam bentuk pemeriksaan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Penjamin UMKM

Tak ubahnya dengan LPS, PT Jaminan Kredit Indonesia atau Jamkrindo juga ikut terlibat dalam program PEN melalui melalui penjaminan kredit modal kerja untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah menunjuk Jamkrindo sebagai penjamin pelaku usaha UMKM atas kredit modal kerja yang diberikan oleh perbankan.

Saat ini, jumlah UMKM yang telah terhubung ke lembaga pembiayaan formal mencapai 60,6 juta pelaku.

Sebagai mitra strategis perbankan, Jamkrindo akan menjamin 80 persen dari tunggakan pokok dan/atau bunga atau dari maksimal sebesar plafon pinjaman program PEN yang direalisasikan, dan pemerintah menanggung Imbal Jasa Penjaminan (IJP) yang dibayarkan kepada lembaga penjamin.

Adapun program kredit modal kerja ini terbuka untuk UMKM yang telah terhubung kepada lembaga pembiayaan baik perbankan, koperasi, atau lembaga wakaf mikro. Saat ini, jumlah UMKM yang telah terhubung ke lembaga pembiayaan formal mencapai 60,6 juta pelaku. (UMKM yang mendapatkan program modal kerja—sesuai aturan yang di tetapkan PMK 71 Tahun 2020—dapat berbentuk perseroan, koperasi, maupun badan usaha, dan tidak masuk dalam daftar hitam nasional.)

Syarat lainnya, plafon pinjaman maksimal Rp 10 miliar, dan hanya diberikan oleh satu penerima penjaminan. Pinjaman yang dijamin adalah pinjaman yang sertifikat pinjamannya diterbitkan paling lambat 30 November 2021. Sedangkan, tenor pinjaman maksimal tiga tahun.

Direktur Utama PT Jamkrindo Randi Anto mengatakan, Jamkrindo mendukung penuh program PEN karena Indonesia perlu akselerasi pemulihan ekonomi untuk pihak-pihak yang terdampak pandemi Covid-19.

Baca Juga: Insentif Pajak di Tengah Wabah

“Kami sangat antusias atas kepercayaan yang diberikan pemerintah untuk terlibat dalam pemulihan ekonomi, khususnya sebagai Lembaga Penjamin Kredit. Kami akan mendukung pelaku UMKM dalam menjalankan bisnisnya,” papar Randi saat acara HUT ke-50 Jamkrindo yang dihelat secara virtual, Kamis (2/7).

Untuk memuluskan tugas Jamkrindo, pemerintah telah memberikan stimulus sebesar Rp 3 triliun melalui penyertaan modal negara (PMN). PMN ini merupakan bagian dari suntikan modal terkait kemampuan modal untuk melakukan penjaminan sekaligus menjaga gearing ratio 20 kali, sehingga penjaminan maksimal Rp 60 triliun. Gearing ratio adalah perbandingan antara total nilai penjaminan dengan ekuitas lembaga penjamin pada waktu tertentu.

Awal Juli lalu, Jamkrindo dan pemerintah telah menandatangani perjanjian kerja sama yang disusul dengan kerja sama Jamkrindo dengan bank penyalur kredit modal kerja untuk UMKM di program PEN. Hingga saat ini, ada 13 bank yang ditunjuk sebagai penyalur kredit modal kerja UMKM, di antaranya BRI, Bank Mandiri, BJB, Bank Jatim, dan BCA.

“Penugasan pemerintah ini kami jalankan sebaik-baiknya, seperti halnya kami menjamin program kredit usaha rakyat atau KUR yang sampai saat ini masih terus berlangsung,” ujar Randi dalam keterangan pers, Selasa (7/7).

Baca Juga: Total Dana PEN Capai Rp 641,17 triliun, Ini Rincian Peruntukannya

 

Continue Reading

Populer