Topic
Satu Peta ke Kemandirian

Published
1 tahun agoon

Dengan Making Indonesia 4.0, pemerintah bersinergi membangun industri prioritas untuk menunjang kemandirian bangsa. Sektor apa saja yang mendapat prioritas?
MAJALAHPAJAK.NET – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah merancang Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era fourth industrial revolution (4IR) atau revolusi industri 4.0. Sasaran tersebut memerlukan langkah kolaboratif yang melibatkan institusi pemerintahan, asosiasi, pelaku industri, hingga akademisi.
Peta jalan Making Indonesia 4.0 memberikan arah dan strategi yang jelas bagi pergerakan industri Indonesia di masa yang akan datang, termasuk di lima sektor yang menjadi fokus dan sepuluh prioritas nasional dalam memperkuat struktur perindustrian Indonesia. Untuk itu, sektor industri nasional perlu banyak berbenah, terutama dalam aspek penguasaan teknologi. Ingat, teknologi adalah penentu daya saing di era Industri 4.0.
Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan roadmap adalah internet of things, artificial intelligence, human–machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D printing.
Revolusi industri
Perlu diketahui, revolusi industri generasi pertama ditandai oleh penggunaan mesin uap untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan. Kemudian, generasi kedua, melalui penerapan konsep produksi massal dan mulai dimanfaatkannya tenaga listrik. Dan, generasi ketiga, ditandai dengan penggunaan teknologi otomasi dalam kegiatan industri.
Pada revolusi industri keempat, terjadi lompatan besar bagi sektor industri. Di sini, teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan sepenuhnya, tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai industri sehingga melahirkan model bisnis yang baru dengan basis digital guna mencapai efisiensi yang tinggi dan kualitas produk yang lebih baik.
Baca Juga: Strategi Calon Raksasa Ekonomi
Indonesia akan berfokus pada beberapa industri prioritas untuk penerapan awal teknologi ini, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan busana, automotif, kimia, elektronika, farmasi, dan alat kesehatan. Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, industri ini dipilih menjadi fokus setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran Produk Domestik Bruto (PDB), perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar.
“Ketujuh sektor ini memberikan kontribusi sebesar 70 persen dari total PDB (Pendapatan Domestik Bruto) manufaktur, 65 persen ekspor manufaktur, dan menyerap 60 persen pekerja industri,” ungkapnya.
Sebagai contoh, industri makanan dan minuman merupakan penyumbang terbesar dalam sektor manufaktur nasional. Sementara sektor manufaktur menyumbang sekitar 17,34 persen untuk sektor manufaktur. Bahkan, sektor manufaktur diproyeksikan mencapai 20 persen di tahun 2024. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,2 juta tenaga kerja pada tahun 2021.
Industri prioritas
Fokus pemerintah pada industri prioritas tersebut diimplementasikan dalam pelbagai program.
Pertama, industri makanan dan minuman. Pemerintah menilai, industri makanan dan minuman nasional selama ini belum dimanfaatkan secara optimal karena keterkaitan hulu-hilir belum secara efisien terjadi. Di sini masih terjadi missed match antara petani, industri antara penyedia bahan baku, dan industri hilir makanan dan minuman.
Sampai saat ini, lebih dari 60 persen kebutuhan bahan baku industri makanan dan minuman masih berasal dari impor. Itu terjadi terutama karena bahan baku industri makanan dan minuman dalam negeri masih berasal dari petani, peternak, dan nelayan yang belum menggunakan manajemen modern. Alhasil, tidak ada kepastian jaminan suplai bahan baku, harga, kualitas maupun delivery time.
Maka, Kemenperin bersinergi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendorong dibangunnya pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan yang mampu mengelola dari hulu sampai ke industri hilir dengan memanfaatkan teknologi dan mekanisasi pertanian, penggunaan bibit unggul, dan teknologi digital menuju Industrial Revolution 4.0 (IR 4.0). Dalam pengembangannya, Kemenperin juga mendorong penggunaan teknologi IR 4.0 baik di level hulu (pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan), pengolahan, perdagangan, dan logistik maupun penyimpanan.
Salah satu prioritas nasional dalam penerapan IR 4.0 adalah pembentukan ekosistem inovasi dengan misi utamanya adalah meningkatkan kemampuan research, development, design (RD and D) dengan membangun ekosistem yang melibatkan Kemenristek, perguruan tinggi, dan sektor swasta. Pada saat ini sedang didirikan Pusat Inovasi dengan konsep “Making Indonesia 4.0” di Jakarta dan beberapa Light House IR 4.0 di perusahaan dan di balai penelitian dan pengembangan di lingkungan Kemenperin.
Selain itu, Kemenperin juga telah bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun Pusat Pengembangan Kompetensi Industri Kakao Terpadu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang merupakan implementasi dari konsep Making Indonesia 4.0 yang mencakup aspek produksi, pemberdayaan lokal, edukasi, dan agrowisata.
Tidak hanya itu, Kemenperin turut bersinergi dengan Siemens mengembangkan aplikasi Control Performance Analytics (CPA) berbasis cloud technology membantu optimasi Proportional Integral Derivative (PID) controller yang dapat meningkatkan efisiensi proses produksi dan menghemat biaya operasional perusahaan industri makanan dan minuman. Aplikasi CPA ini akan diimplementasikan di empat perusahaan Light House IR 4.0, yaitu PT Sugar Labinta, PT Kalbe Morinaga, PT Indolakto, dan PT Mayora.
Kemenperin pun diberlakukan kebijakan insentif investasi teknologi untuk memberikan insentif kepada pemain industri dan investor asing yang menerapkan konsep Making Indonesia 4.0 berupa super deduction tax litbang berdasarkan PMK Nomor 153 Tahun 2020.
Kemenperin mendorong pengembangan SDM industri makanan dan minuman yang difokuskan kepada peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk beradaptasi dengan teknologi industri 4.0. Salah satu inisiasi yang telah dilakukan adalah pelatihan manager and engineer, transformasi industri 4.0 masing-masing sebanyak 40 orang di bidang industri makanan dan minuman. Fokus pemerintah di industri makanan dan minuman juga seirama dengan salah satu prioritas dunia dalam mewujudkan ketahanan pangan, setidaknya telah tertuang dalam pembahasan Presidensi G20 Indonesia.
Kedua, bidang kesehatan. Di tengah pandemi Covid-19 pemerintah melalui Kemenperin bertekad untuk turut mewujudkan kemandirian Indonesia dalam bidang kesehatan. Kemenperin mendorong sektor industri farmasi dan alat kesehatan untuk meningkatkan produktivitasnya.
Agus menjelaskan bahwa sektor kesehatan sudah dimasukkan ke dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan ke depannya. Langkah strategis yang dijalankan, antara lain pelaksanaan kebijakan substitusi impor 35 persen pada tahun 2022, yang salah satunya didukung melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
“Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo, kita harus bertransformasi menjadi negara yang mandiri di bidang kesehatan, baik untuk alat kesehatan maupun obat-obatan,” jelasnya.
Sedangkan untuk menguatkan struktur industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan produk impor, pemerintah mendorong pengoptimalan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
“Kemenperin akan mendukung percepatan upaya tersebut, dengan cara menilai penghitungan TKDN di masing-masing sektor. Misalnya di sektor farmasi, cara menghitung nilai TKDN yang awalnya menggunakan metode cost-based, saat ini sudah diubah menjadi processed based. Setelah adanya perubahan tersebut, ternyata ada kenaikan nilai TKDN rata-rata sekitar 15 persen,” tambahnya.
Sedangkan, untuk produk-produk alat kesehatan, Kemenperin juga akan sesuaikan cara menghitung nilai TKDN-nya.
“Saat ini penghitungan nilai TKDN-nya masih cost-based (daftarnya meliputi alat kerja, modal kerja dan tenaga kerja). Nantinya akan kami sesuaikan dengan yang disebut full costing, yaitu kombinasi antara cost-based dengan desain, logistik, serta R and D,” imbuhnya.
Seiring upaya tersebut, nilai TKDN rata-rata akan ditargetkan lebih dari 43 persen pada tahun 2021, dan naik menjadi 50 persen pada 2024. Sasaran ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
“Selanjutnya, jumlah produk yang memiliki sertifikat TKDN sekurang-kurangnya ditargetkan sebanyak 7.000 produk pada tahun 2021, dan akan meningkat menjadi 8.400 produk pada 2024,” ujar Menperin.
Agus melanjutkan, terdapat 79 produk prioritas alat kesehatan dalam negeri yang diupayakan dapat dimanfaatkan dalam belanja APBN di bidang kesehatan.
“Beberapa produk tersebut telah memiliki nilai TKDN di atas 40 persen, yang artinya produk-produk dalam negeri ini wajib dibeli dan produk impor dilarang untuk dibeli,” tegasnya.
Adapun produk-produk itu antara lain adalah nasal oxygen cannula, lampu periksa, alat suntik, trolley emergency, meja dan kursi medis, microbiological specimen collection, hypodermic single lumen needle, patient examination glove, surgical apparel, infusion set, sharp container, blood storage ref/freezer, alcohol swab, hospital bed electric, kasa hidrofil, wheeled stretcher, patient transfer powered, meja operasi, implan ortopedi, instrumen bedah, kantung urine, serta disinfektan general purpose.
“Sebanyak 79 produk-produk prioritas ini baru tahap awal, selanjutnya dapat ditambah secara bertahap sampai maksimal sesuai kebutuhan pengguna produk dalam negeri. Tahun ini, Kemenperin akan memberikan fasilitasi sertifikasi TKDN secara gratis untuk sekurang-kurangnya 9.000 produk. Semoga kesempatan ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin oleh produsen dalam negeri,” terangnya.
Ketiga, pengembangan industri tekstil dan produk tekstil melalui industri 4.0; Langkah ini bertujuan meningkatkan daya saing industri tekstil dalam negeri dengan memanfaatkan teknologi yang mampu memproduksi tekstil sandang maupun tekstil untuk kebutuhan yang lebih spesifik.
Pada tahun 2022, Kemenperin melanjutkan program pemberian insentif potongan harga mesin untuk mengembangkan industri ini. Hingga kini terdapat 10 perusahaan industri tekstil yang memanfaatkan program ini melalui Perjanjian Pemberian Penggantian Potongan Harga (P4H). Kemenperin juga fokus dalam pemberian insentif pembelian mesin bagi industri penyempurnaan kain dan industri pencetakan kain, serta pada mesin/peralatan dengan teknologi 4.0 seperti artificial intelligence, internet of things, augmented reality/virtual reality, advanced robotics, 3D printing dan machine to machine communication.
“Hal ini agar perusahaan industri TPT dapat menggunakan mesin dan peralatan lebih modern, efisien, hemat energi, serta lebih ramah lingkungan. Untuk menunjang peningkatan daya saing sektor industri tekstil, Kemenperin berkontribusi dalam penciptaan SDM industri yang terlatih dan kompeten, salah satunya melalui pendidikan vokasi,” ujarnya.
Keyakinan pasar
Suksesnya implementasi Making Indonesia 4.0 diperkirakan akan mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1–2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5 persen sampai 6–7 persen pada periode 2018–2030. Industri manufaktur berkontribusi sebesar 21–26 persen PDB pada tahun 2030. Pertumbuhan PDB ini digerakkan oleh kenaikan signifikan pada ekspor netto, di mana Indonesia diperkirakan akan mencapai 5–10 persen rasio ekspor terhadap PDB pada tahun 2030.
Selain kenaikan pada produktivitas, Making Indonesia 4.0 menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 7–19 juta, baik di sektor manufaktur maupun nonmanufaktur, pada tahun 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tahun 2021 tumbuh sebesar 3,69 persen, lebih tinggi dibanding capaian tahun 2020 yang mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Lapangan Usaha Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 10,46 persen. Sementara dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 24,04 persen. PDB per kapita Indonesia meningkat menjadi Rp 62,2 juta atau setara dengan 4.349,5 dollar AS, lebih tinggi dari PDB per kapita sebelum pandemi yang sebesar Rp 59,3 juta di 2019.
Di sisi produksi, pertumbuhan tertinggi terjadi pada lapangan usaha jasa kesehatan dan kegiatan sosial, yakni mencapai 10,46 persen pada tahun lalu. Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen ekspor barang dan jasa, yaitu sebesar 24,04 persen pada tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai total PDB Indonesia atas dasar harga berlaku (ADHB) tahun 2021 mencapai Rp 16,97 kuadriliun. Sektor lapangan usaha yang menjadi penyumbang terbesar bagi PDB nasional tahun 2021 adalah sektor pengolahan dengan nilai total Rp 3,27 kuadriliun (19,25 persen), diikuti sektor pertanian dengan nilai total Rp 2,25 kuadriliun (13,28 persen), perdagangan besar dan eceran senilai Rp 2,2 kuadriliun (12,97 persen), konstruksi senilai Rp 1,77 kuadriliun (10,44 persen), pertambangan dan penggalian berhasil menyumbang Rp 1,52 kuadriliun (8,98 persen), sektor informasi dan komunikasi Rp 748,75 triliun (4,41 persen), jasa keuangan dan asuransi Rp 736,19 triliun (4,34 persen), kemudian transportasi dan pergudangan Rp 719,63 triliun (4,24 persen).
Apabila dilihat dari sisi produksi, lima sektor kontributor utama juga diduduki oleh industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan. Sektor itu kembali melanjutkan pertumbuhan positif dan mampu menopang ekonomi Indonesia. Kemudian, diikuti oleh sektor transportasi dan pergudangan, serta akomodasi dan makanan-minuman, yang sempat terkontraksi di kuartal III-2021 telah berhasil rebound dengan pertumbuhan positif di kuartal IV-2021.
Menteri Perekonomian (Menko) Bidang Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 2021 telah meningkatkan keyakinan pasar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Hal itu tecermin dari penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang telah melampaui indeks psikologis 6.800.
“Kami meyakini momentum pemulihan ekonomi akan terus berlanjut di 2022. Peningkatan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia ke level 53,7 di Januari 2022 juga menjadi sinyal positif terhadap prospek ekonomi Indonesia di tahun ini,” ungkap Menko Airlangga.
Secara simultan, dalam bidang kesehatan, penguatan strategi pengendalian pandemi Covid-19 juga terus dilakukan. Akselerasi vaksinasi melalui pemberian dosis vaksin ketiga (booster) terus ditingkatkan, sehingga akan menambah kepercayaan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi pada tahun ini. Pemerintah tetap melanjutkan program PEN dengan alokasi anggaran sebesar Rp 455,6 triliun di 2022. Front-loading dilakukan di berbagai kebijakan insentif fiskal dan perlindungan sosial, dan kebijakan ini akan mengamankan momentum Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Hilirisasi
Airlangga mengungkapkan, prospek ke depan juga memerhatikan perkembangan harga komoditas, baik energi maupun nonenergi. Peningkatan harga komoditas pertambangan di 2021 diharapkan masih berlanjut di 2022, sehingga akan mendorong produktivitas sektor pertambangan, yang berdampak bagus untuk daerah yang berbasis tambang.
Baca Juga: Pacu Ekonomi, Kemenperin Tingkatkan Daya Saing Industri
“Oleh karena itu, strategi lainnya seperti program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan percepatan transisi menuju ekonomi hijau juga akan dilakukan guna memastikan ekonomi Indonesia siap pulih dari pandemi,” ungkapnya.
Di samping itu, hilirisasi produk-produk ekspor yang bernilai tambah tinggi masih menjadi prioritas. Sebagai contoh adalah nikel. Kebijakan hilirisasi adalah suatu strategi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang kita miliki. Dengan adanya hilirisasi, komoditas yang diekspor bukan lagi berupa bahan baku atau mentah, melainkan barang setengah jadi atau barang jadi. Proses hilirisasi ini ditopang juga oleh pembangunan pabrik smelter dan perusahaan baterai yang mendorong kolaborasi BUMN dengan investor domestik dan/atau internasional.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyebutkan bahwa hilirisasi berhasil mendongkrak penerimaan pajak ekspor menjadi Rp 300 triliun di 2021, dari sebelumnya Rp 15 triliun pada 2014.
“Begitu kita setop nikel 2017, ekspor di 2021 mencapai Rp 300 triliun lebih. Itu baru satu komoditai. Jadi, pajaknya dapat lipat berapa? Lipat 20 kali. Dampak hilirisasi lagi, membuka banyak lapangan kerja di Indonesia, bukan di Uni Eropa. Dulu, kita kadang-kadang kita kirim bukan hanya tembaga saja, bahan mentah kita kirim di dalamnya juga ada emasnya, mana kita tahu. Nanti kalau sudah smelter-nya jadi, baru kita tahu. Empat puluh tahun lebih mungkin kita dibohongi. Emasnya mungkin lebih banyak dari tembaganya,” jelas Jokowi.
Setelah nikel, Indonesia berencana menyetop ekspor timah atau bauksit. Rencananya, pengembangannya akan dikerjakan oleh BUMN dan swasta. Ia optimistis, hilirisasi dan dengan pengembangan teknologi yang masif akan membawa ekonomi Indonesia berada di urutan ke-7 dunia di tahun 2030. Bappenas memproyeksi, ekonomi Indonesia berada pada posisi ke-4 dunia di 2045.
“Kalau kita konsisten dan berani terus melakukan yang berkaitan dengan hilirisasi tadi, GDP (gross domestic product) di 2030 perkiraan kita sudah tiga kali yang sekarang. Dari yang sekarang 1,2 triliun dollar AS hingga 1,3 triliun dollar AS, menjadi di atas 3 triliun dollar AS, akhirnya meningkatkan APBN,” kata Jokowi.
Kemandirian ekonomi
Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan menegaskan bahwa bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu menempatkan dirinya sejajar dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Karenanya, kemajuan ekonomi dan kemampuan berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai kemajuan dan kemandirian. Pemerintah Indonesia telah menetapkan misi pembangunan nasional dalam upaya memperkuat kemandirian bangsa lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Kemandirian ekonomi itu setidaknya tecermin dari semakin membaiknya kondisi APBN Indonesia.
Di tahun 2021, realisasi pendapatan negara tahun 2021 mencapai Rp 2.111,3 triliun. Porsi realisasi pendapatan negara itu sebesar 115,35 persen atau tumbuh 22,6 persen. Sumber pendapatan itu berasal dari penerimaan pajak mencapai Rp 1.277,5 triliun, bea dan cukai di tahun 2021 terkumpul Rp 269 triliun, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 452 triliun. Sedangkan, sektor belanja negara mencatatkan realisasi Rp 2.786,8 triliun atau lebih tinggi dari target yang sebesar Rp 2.750 triliun. Realisasi APBN 2021 mencatatkan defisit Rp 440,2 triliun atau setara 4,65 persen dari PDB. Namun, setidaknya, capaian ini lebih baik dari Undang-Undang APBN yang sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,7 persen PDB.
Kemandirian fiskal Indonesia semakin membaik di semester I-2022. Berdasarkan dokumen APBN kiTa, surplus APBN semester I-2022 sebesar Rp 73,6 triliun atau setara 0,39 persen dari PDB atau Rp 143,7 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, sektor dengan kontribusi besar dalam penerimaan pajak pada semester I-2022, yaitu manufaktur yang tumbuh 45,1 persen dari periode yang sama pada tahun lalu yang hanya mencapai 6,2 persen. Sektor ini juga menjadi andalan dalam penerimaan pajak karena konstribusinya yang tertinggi mencapai 29,4 persen. Pemulihan sektor manufaktur juga tercermin dari meningkatnya Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia level 50,8 pada Juli 2022.
Menurutnya Menkeu, kontribusi sektor manufaktur yang optimal ini merupakan bukti bahwa insentif pajak yang diberikan efektif.
“Ini menunjukkan selama Covid-19 terjadinya Omicron, perdagangan resilient dengan pertumbuhan sekarang yang stabil dan tumbuh tinggi. Manufaktur dan perdagangan kontribusinya lebih dari 50 persen,” jelas Sri Mulyani.
You may like
-
Dorong Pertumbuhan Sektor Industri, Kemenperin Beberkan 6 Strategi Utama
-
Menperin: Indonesia Dapat Dikategorikan Sebagai “Net Exporter” Produk Halal
-
Kemenperin: Permintaan Dunia Menurun, IKI September Masih Ekspansi
-
Tingkatkan Kualitas SDM Industri, Indonesia-Korea Selatan Perkuat Kerja Sama
-
Kemenperin: Insentif Kendaraan Listrik dan Kebijakan Lainnya Diperlukan untuk Capai NZE 2060
-
Kemenperin: Sektor ILMATE Konsisten Tumbuh Double Digit

Pajak ibarat oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpanya, negara tak akan mampu menghadirkan kehidupan.
Selama dua tahun terakhir, nyaris seluruh media internasional menyoroti krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka. Negara Asia Selatan itu bangkrut. Banyak anak terpaksa tak bisa lagi sekolah karena kelaparan dan kemiskinan. Sekolah-sekolah bahkan meminta orangtua untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka jika mereka tidak memiliki makanan.
Setiap malam sebagian rakyat Sri Lanka harus tidur dalam kegelapan karena aliran listrik sering dipadamkan. Di siang hari, kesulitan lain yang tak kalah melelahkan harus dijalani oleh negara berpenduduk 22 juta orang itu. Mereka harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli dengan harga tiga kali lebih mahal dari biasanya. Di kota-kota, masyarakat mengantre panjang—bukan hanya hitungan jam, melainkan hitungan hari—untuk bisa mendapatkan bahan bakar. Di sisi lain, demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Masyarakat lapar dan marah. Rumah-rumah pejabat dibakar, penjarahan terjadi di mana-mana.
Ya, sejak tahun 2019 hingga kini, Sri Lanka dihantam krisis ekonomi terparah sejak negeri penghasil teh itu merdeka pada 1948 silam. Masyarakat kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, dan bahan bakar. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 yang melanda sejak akhir 2019 kian memperparah keadaan.
Pada Juli tahun lalu, PBB memperingatkan bahwa Sri Lanka sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan, dengan jutaan orang membutuhkan bantuan. Lebih dari tiga perempat populasi telah mengurangi asupan makanan mereka karena kekurangan pangan yang parah.
Banyak faktor menyumbang terjadinya krisis di Sri Lanka, mulai dari pemerintahan yang korup, nepotisme, hingga berbagai masalah ekonomi. Jikalau dirunut ke belakang, krisis Sri Lanka salah satunya bermula dari kebijakan pemerintah kala itu yang melakukan pemotongan pajak secara besar-besaran terhadap seluruh rakyat Sri Lanka. Kebijakan populis itu memang menyenangkan rakyat, tapi akhirnya justru berbuah petaka yang menyengsarakan.
Akibat pemotongan pajak besar-besaran itu, Sri Lanka kehilangan pendapatan pemerintah dari pajak lebih dari 1,4 miliar dollar AS dalam setahun. Awalnya kebijakan ini ditentang oleh sang menteri keuangan yang khawatir negaranya akan bangkrut. Namun protes itu diabaikan oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa yang saat itu berkuasa.
Dan mimpi buruk itu pun menjadi kenyataan. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan, negara tak lagi memiliki uang. Andai saja kebijakan fiskal pemerintah Sri Lanka kala itu tidak sembrono, setidaknya mereka tidak harus kehilangan 1,4 miliar dollar AS dari pungutan pajak. Uang pajak itu bisa digunakan untuk menyelamatkan kebutuhan dasar masyarakatnya yang tak mampu. Kini, untuk mencoba bangkit dari krisis, Sri Lanka terpaksa harus berutang lebih banyak lagi—setelah sebelumnya gagal membayar utang.
Tegak karena pajak
Kisah menyedihkan Sri Lanka itu tentu semakin membangun kesadaran kita betapa pentingnya peran pajak bagi kelangsungan dan tegaknya sebuah negara. Indonesia pun telah membuktikannya. Di masa pandemi, melalui instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan, pemerintah mampu membantu kelompok masyarakat yang terdampak perlemahan ekonomi. Berbagai relaksasi dan insentif pajak diberikan secara tepat dan terukur kepada mereka yang membutuhkan untuk stabilitas ekonomi. Di sisi lain, saat ekonomi mulai membaik, pemerintah pun menerapkan kebijakan kenaikan tarif pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan cuka rokok. Pemerintah juga mengenakan jenis pajak digital, khususnya PPN atas impor produk digital.
Sejarah mencatat, pemungutan pajak sebagai sumber pendanaan pemerintahan sejatinya sudah dimulai zaman dahulu, sekitar tahun 3300 sebelum Masehi (SM) di Mesopotamia. Di Mesir, pajak sudah dipungut sejak tahun 3000 SM. Kemudian, jejak sejarah juga menunjukkan bahwa sekitar tahun 31 SM hingga 476 M, kejayaan kekaisaran Romawi juga bisa dicapai berkat intensitas pemungutan pajak. Pajaklah yang membuat kekaisaran Romawi menjadi kekaisaran terbesar di dunia dan sangat makmur. Hingga kini, pajak adalah oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpa pajak, negara tidak akan mampu menghadirkan kehidupan.
Di Indonesia, pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Artinya, pemungutan pajak di Indonesia merupakan amanah konstitusi. Dengan demikian, membayar pajak merupakan wujud dari pelaksanaan konstitusi bagi masyarakat atau warga negara sebagai Wajib Pajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Banyak masyarakat awam yang masih bertanya, mengapa pemerintah Indonesia harus memungut pajak. Sementara, ada negara yang bahkan tidak mengenakan pajak bagi rakyatnya. Idealnya memang demikian. Namun, Indonesia—dan sebagian besar negara lainnya belum mampu. Pada dasarnya, negara yang tidak memungut pajak umumnya memiliki pendapatan yang besar sehingga cukup kuat secara ekonomi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan warga negara tanpa harus memungut pajak—dan umumnya, negara-negara tersebut berpenduduk relatif kecil. Bermuda, misalnya, negara kepulauan ini hanya memiliki populasi penduduk sekitar 65 ribu (jumlah penduduk Jakarta 161 kali lebih banyak). Kemudian, Bahama yang memiliki populasi sekitar dari 400 ribu jiwa, atau bahkan British Virgin Island yang hanya memiliki 36 ribu jiwa.
Lain halnya dengan Indonesia. Hingga saat ini pajak masih menjadi salah satu sumber penerimaan terbesar dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlahnya sekitar 80 persen dari total APBN. Pajak yang diterima oleh pemerintah itu kemudian digunakan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang jumlahnya mencapai 300 juta jiwa. Dari pajak itulah pemerintah bisa mendanai layanan yang diberikan kepada masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan infrastruktur publik. Dengan kata lain, dengan membayar pajak, masyarakat sudah ikut berpartisipasi secara tidak langsung demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa.
Amanah
Pajak adalah amanah dari masyarakat yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sesuai peruntukannya. Untuk itu, dari sisi pemerintah pun wajib menjaga komitmen untuk mengelola keuangan negara, termasuk dari sumber pajak secara amanah, jujur, penuh integritas, dan profesionalitas. Untuk menjaga integritas seluruh pegawai, Kemenkeu, misalnya, memiliki sistem Kerangka Kerja Integritas (KKI) yang diimplementasikan melalui model tiga lini (Three Lines Model), dengan mengutamakan kolaborasi dan sinergi antarlini. Lini pertama adalah manajemen sebagai pimpinan unit kerja masing-masing. Lini kedua, unit kerja Kepatuhan Internal di masing-masing unit eselon I, dan lini ketiga adalah Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berpesan agar masyarakat yang memiliki informasi atau keluhan, kecurangan, pelanggaran hukum di lingkungan Kemenkeu dapat melaporkan melalui saluran pengaduan Kemenkeu, baik melalui kanal telepon maupun situs resmi yang disediakan, yakni www.wise.kemenkeu.go.id.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh menjelaskan, Itjen Kemenkeu selalu melakukan proses administratif untuk menegakkan disiplin pegawai. Ia menjelaskan, kolaborasi antar lini yang dimiliki Kemenkeu dalam kerangka kerja integritas dilakukan dengan dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan.
“Dari sisi pencegahan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membuka saluran pengaduan dan pelaporan harta kekayaan. Dari sisi penindakan, Itjen melakukan penanganan atas dugaan pelanggaran atau fraud,” kata Awan melalui situs resmi Kemenkeu seperti dikutip Majalah Pajak akhir Juni lalu.
Dalam kegiatan penindakan, Itjen juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti KPK, Kejaksaan dan Polri, dan PPATK dalam hal koordinasi penanganan dan pertukaran informasi. Dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran, Itjen Kemenkeu menangani dalam aspek administrasi kepegawaian berupa penjatuhan hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil. Apabila dari hasil penanganan kasus oleh Kemenkeu menemukan indikasi tindak pidana maka akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum yang berwenang.
Kontrol, bukan boikot
Belakangan ini muncul kembali tagar boikot pajak akibat adanya oknum pegawai di unit vertikal Kemenkeu. Menurut Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS) Rino A. Sa’danoer, seruan boikot pajak atau menolak membayar pajak yang berkembang tersebut merupakan tindakan tidak bijak. Sebab, hal itu akan membuat negara tidak mampu membiayai pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan. Menurut Rino, hilangnya penerimaan pajak hanya akan membuat pemerintah terpaksa harus berutang untuk membiayai kebutuhannya.
“Uang pembangunan negeri ini sebagian besar dari pajak yang kita bayar,” tegas Rino.
Menurut Rino, yang terpenting adalah law in order dan law enforcement, yakni semua masyarakat, pembayar pajak harus lebih ketat untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah sebagai pelayan publik. Para pembayar pajak dapat menuntut peningkatan pelayanan kepada pemerintah, termasuk membersihkan para penyelenggara negara ini dari perilaku koruptif dan sejenisnya.
Rino menegaskan, membayar pajak adalah kewajiban masyarakat untuk mendapatkan hak mereka. Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari penyelenggara negara.

Indonesia tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Benarkah itu demi pertumbuhan dan cita-cita pembangunan?
Utang atau pinjaman, bagaimana pun sudah telanjur menjadi persepsi negatif di benak masyarakat. Berutang identik dengan kekurangan. Namun, apakah berutang merupakan sebuah aib bagi individu atau kelompok yang menanggungnya? Tentu saja tidak, selama hal itu dilakukan dengan bijak, sesuai aturan atau hukum yang berlaku dan kesepakatan (akad) yang dibuat oleh kedua belah pihak—peminjam maupun pemberi pinjaman.
Kesepakatan tentang utang piutang sudah menjadi bagian dari aktivitas ekonomi dalam perjalanan peradaban manusia sejak zaman dahulu. Kegiatan ekonomi ini bukan hanya berlaku bagi individu atau kelompok semata, tetapi juga hingga level negara.
Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Bahkan, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla bulan lalu menyampaikan, utang Indonesia terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Ia menyebut, kewajiban pemerintah membayar utang mencapai Rp 1.000 triliun setahun. Namun demikian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menegaskan, pemerintah terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai aturan perundang-undangan. Oleh karena itu pengelolaan utang selalu dilakukan secara prudent dan profesional.
Pemerintah tak menampik, utang Indonesia saat ini memang besar. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah hingga 31 Maret 2023 lalu telah menembus Rp 7.879,97 triliun, meningkat Rp 17,39 triliun dari posisi utang pada bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.861,68 triliun. Namun demikian, pada Mei 2023, utang Indonesia kembali turun. Dikutip dari buku APBN KITA (Kinerja dan Fakta) edisi Juli 2023, total utang per akhir Juni 2023 senilai Rp 7.787,51 triliun, turun sekitar Rp 62,38 triliun dari posisi April 2023 yang sebesar Rp 7.849,89 triliun.
Terkendali
Pemerintah memastikan bahwa utang tersebut masih terkendali. Merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara rasio utang pemerintah akhir Maret 2023 mencapai 39,17 persen dari PDB Indonesia. Artinya, posisi utang masih jauh di bawah ambang batas yang diizinkan.
Sebagai catatan, lonjakan utang negara seperti tiga tahun belakangan ini tidak hanya dialami oleh Indonesia. Banyak negara mengalami hal serupa, bahkan kondisi mereka jauh lebih parah. Ini karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda menjelang 2020 lalu. Sejak pandemi itu merebak, hingga kuartal pertama 2023, menurut catatan Institute of International Finance utang global saat ini nyaris memecahkan rekor tertinggi dengan nilai 304,9 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 4.519 juta triliun.
Namun demikian, utang negara di suatu pemerintahan akan selalu menjadi polemik dan perdebatan. Setidaknya selalu ada dua pandangan bertolak belakang yang berkembang dalam menilai beban utang negara. Pandangan pertama adalah mereka yang kritis yang menilai bahwa beban utang negara yang sudah terlampau besar akan memberatkan APBN, memperkecil ruang fiskal pemerintah untuk menggerakkan perekonomian, mengurangi anggaran untuk menyejahterakan rakyat. Sementara pandangan kedua adalah mereka yang optimistis bahwa keadaan masih terkendali karena semuanya masih sesuai aturan dan tidak melampaui parameter-parameter yang ditetapkan. Dengan demikian, utang negara berada pada level aman jika dikelola dengan baik. Tentu saja bukan pandangan mana yang salah atau benar yang harus dipersoalkan, melainkan bagaimana keduanya kemudian bisa melahirkan titik keseimbangan.
Alasan berutang
Untuk mencapai cita-cita yang telah direncanakan, negara telah membuat langkah-langkah taktis dan strategis. Namun, langkah-langkah itu membutuhkan ongkos yang harus dibayar. Mengutip laman djppr.kemenkeu.go.id, setidaknya ada lima alasan mengapa suatu negara perlu berutang.
Pertama, negara terpaksa berutang untuk mengejar kesempatan yang ada. Pepatah mengatakan, kesempatan belum tentu datang dua kali. Artinya, untuk menghindari hilangnya kesempatan itu terkadang negara terpaksa harus berutang. Misalnya, karena adanya kebutuhan yang perlu dibelanjakan oleh negara dan sifatnya mendesak dan tidak bisa ditunda. Sebaliknya, menunda pembiayaan berpeluang mengakibatkan kerugian lebih besar di masa yang akan datang. Contohnya adalah belanja untuk upaya pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19 pada dua tahun terakhir.
Contoh lainnya adalah mengejar kesempatan pembiayaan untuk menutup kesenjangan penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seperti diketahui, IPM Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lainnya. Pembiayaan ini kemudian dialokasikan untuk peningkatan di sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Kedua, utang negara untuk memberikan legacy atau warisan aset untuk generasi selanjutnya. Warisan yang dimaksud tentu bukan warisan utangnya tetapi aset yang terbangun yang dibiayai dari utang negara. Artinya, utang negara dapat menjadi investasi yang akan memenuhi keadilan antar generasinya dengan mewariskan aset-aset yang dibangun. Warisan yang baik muncul apabila utang digunakan untuk membiayai berbagai hal yang produktif. Misalnya, belanja pendidikan dan infrastruktur.
Ketiga, pemerintah harus berutang karena penerimaan negara belum mencukupi. Seperti kita tahu, penerimaan negara selama ini berasal dari perpajakan, bea cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah. Namun, kenyataannya penerimaan tersebut belum bisa menutupi belanja negara sehingga terjadi defisit APBN. Maka dari itu, untuk memberikan stimulus pada perekonomian rakyat, pemerintah harus berutang.
Keempat, negara berutang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus pandemi Covid-19 lalu, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang mampu menangani wabah dengan baik dan mampu membangkitkan ekonomi dengan cepat setelah terpuruk. Salah satunya adalah karena kebijakan penanganan pandemi yang tepat, seperti bantuan langsung tunai, berbagai insentif untuk masyarakat dan dunia usaha yang antara lain dialokasikan dari utang negara. Tanpa adanya utang negara, tentu ekonomi Indonesia tidak akan pulih dan tumbuh dengan cepat. Hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03 persen (year on year/yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen (yoy).
Kelima, alasan negara berutang adalah untuk mengembangkan pasar keuangan. Instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar keuangan ini antara lain digunakan untuk benchmark bagi industri keuangan. Selain itu, utang pemerintah akan menjadi alternatif investasi jangka panjang. Sementara bagi Bank Indonesia, utang pemerintah dipakai untuk menjalankan kegiatan operasi moneter.
Warisan
Indonesia sudah menanggung utang luar negeri tak lama sejak setelah merdeka. Utang itu adalah warisan dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1949. Warisan utang ini adalah salah satu bagian dari kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, sebagai syarat kemerdekaan Indonesia. Nilai utang saat itu mencapai 1,13 miliar dollar AS, kurs saat itu.
Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno, negara juga pernah berutang ke negara lain sebesar 2,3 miliar dollar AS. Angka tersebut di luar dari utang peninggalan Hindia Belanda sebelumnya.
Pada era kepemimpinan Presiden Sukarno (Orde Lama), Indonesia pernah dikenal sebagai mercusuar negara-negara berkembang selepas penjajahan Jepang.
Mengutip tulisan “Paradigma Utang dari Masa ke Masa” pada laman situs Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Pemerintah Orde Lama memandang, utang, terutama utang luar negeri adalah bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat bangsa karena pembangunan Indonesia berorientasi pada prioritas kemandirian bangsa. Pada era itu, jargon kemandirian adalah harga mutlak yang tidak boleh ditawar. Pemerintah pun meminimalisasi utang luar negeri dan memilih memakai mekanisme pembiayaan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan proyek mercusuar. Proyek yang dibangun antara lain pembangunan Monumen Nasional (Monas) hingga penyelenggaraan Asian Games 1962. Untuk membiayai itu, pemerintah mencetak uang sendiri. Sayangnya, kebijakan ini akhirnya memicu terjadinya inflasi. Rezim pemerintah Orde Lama pun berakhir dengan hiperinflasi mencapai 650 persen.
Pada era Presiden Soeharto atau Orde Baru, pemerintah memandang bahwa kemandirian saja tidaklah cukup. Karena itu, utang menjadi instrumen pelengkap pembangunan karena dalam struktur APBN, saat itu utang masih dianggap sebagai penerimaan. Pemerintah Orde Baru saat itu optimistis, untuk memacu pembangunan perlu mendatangkan investor asing sehingga akhirnya utang negara banyak didominasi utang luar negeri baik loan, soft loan, grant maupun bantuan program. Beberapa lembaga atau negara donor dominan seperti Jepang, ADB, IMF, Bank Dunia, termasuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai Belanda, yang kemudian puncaknya Perdana Menteri Belanda Pronk saat itu terlalu jauh mendikte kebijakan pembangunan Indonesia.
Saat itu, pemerintah juga meyakini utang akan sangat bermanfaat apabila dikelola dengan baik. Sayangnya, tidak disadari bahwa basis ekonomi Indonesia tidak terlalu kukuh dan manajemen pengelolaan utang belum efektif. Karena itu, begitu terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar atau krisis ekonomi melanda, pemerintahan Orde Baru pun menyisakan utang luar negeri cukup besar. Saat itu butuh waktu lama agar Indonesia pulih dari krisis.
Berkaca dari berbagai kegagalan di masa lalu, pemerintah saat ini pun semakin hati-hati. Utang bukan lagi dipandang sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan, tetapi sebagai pembiayaan atas defisit anggaran.
Selain terus gencar meningkatkan penerimaan dari sisi pajak, pemerintah terus berupaya meminimalisasi tingkat kebocoran, serta melakukan berbagai efisiensi anggaran sebagai alternatif menutup defisit. Pemerintah memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema utang dalam negeri, seperti penerbitan surat utang negara (SUN), sukuk, penjualan aset, privatisasi dan lain-lain. Semua demi terwujudnya cita-cita pembangunan untuk mencapai Indonesia maju.

Melibatkan perempuan dalam kepemimpinan secara luas menjadi langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk memegang posisi epemimpinan dan berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan strategis di berbagai bidang,
seperti politik, bisnis, sains, dan sebagainya. Demikian kata Managing Partner BATS Consulting Brian Pramudita saat diminta menanggapi peran kepemimpinan perempuan untuk mengisi sektor-sektor trategis dalam organisasi. Menurut Brian, sapaan akrab Brian Pramudita, perempuan yang menjadi pemimpin dapat menciptakan keberagaman perspektif,
pengalaman, dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah organisasi. “Keragaman ini dapat menghasilkan solusi yang lebih inovatif, pemecahan masalah yang lebih baik, dan kinerja keseluruhan yang lebih baik untuk organisasi dan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Brian kepada Majalah Pajak akhir Mei lalu. Selain itu, Brian berpendapat bahwa mempromosikan perempuan dalamkepemimpinan merupakan langkah positif untuk mengatasi kesenjangan gender historis dan menantang peran gender tradisional. Ini termasuk memberdayakan perempuan, menginspirasi generasi mendatang, dan mempromosikan gagasan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada prestasi dan kemampuan, bukan gender. Meski demikian, Brian menilai saat
ini meskipun sudah banyak kemajuan, keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan di banyak bidang masih relatif kurang. Mendorong keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan secara luas dipandang sebagai langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
“Menurut saya, wanita membawa berbagai keuntungan untuk posisi kepemimpinan, yang dapat melengkapi dan meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Mereka memiliki perspektif yang beragam. Wanita sering kali membawa perspektif dan pengalaman unik dalam pekerjaan, yang dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan menghasilkan solusi inovatif untuk masalah yang kompleks,” kata Brian. Tak hanya itu, soal kolaborasi dan kerja tim, menurut Brian perempuan cenderung menekankan kolaborasi dan
mendorong lingkungan kerja yang inklusif. Mereka sering terampil membangun hubungan, mendorong kerja tim, dan menciptakan rasa kebersamaan di antara anggota tim. Pendekatan kolaboratif ini dapat meningkatkan keterlibatan dan produktivitas karyawan. “Soal emotional intelligence, wanita sering dianggap memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi, yang melibatkan pemahaman dan pengelolaan emosi secara efektif,”kata Brian.”
Ini dapat berkontribusi pada komunikasi yang lebih baik, resolusi konflik, dan empati, yang mengarah ke hubungan yang lebih kuat dengan anggota tim dan pemangku kepentingan.” Menurut Brian, perempuan pun secara historis menghadapi tantangan dan hambatan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, kemampuan dan ketahanan mereka untuk beradaptasi dalam peran kepemimpinan menjadi lebih tangguh. “Mereka sering menunjukkan kemampuan untuk melewati rintangan, mengatasi kesulitan, dan merangkul perubahan,” tutur Brian. Brian juga menemukan sejumlah penelitian bahwa ada korelasi positif antara keragaman gender dalam posisi kepemimpinan dan kinerja keuangan. Melibatkan perempuan dalam peran kepemimpinan terkait erat dengan peningkatan profitabilitas, pengambilan keputusan yang lebih baik, dan tata kelola
perusahaan yang lebih baik. “Penting untuk dicatat bahwa kualitas dan efektivitas kepemimpinan dapat sangat bervariasi di antara individu, terlepas dari gender. Merangkul keragaman dan mempromosikan kesempatan yang setara bagi pria dan wanita dapat menghasilkan organisasi yang lebih berkembang.” Di dalam perusahaan yang ia bangun— Bats Consulting—Brian mengaku selalu
melibatkan peran perempuan dalam keputusan-keputusan penting perusahaan. Bats Consulting sangat menghargai peran perempuan dalam menjalankan tanggung jawab dan kinerja organisasi dengan menempatkan mereka pada posisi terbaik dan ideal berdasarkan kecakapan masing-
masing. “Kami sadar, mempromosikan keragaman gender dan memberikan peran strategis kepada perempuan sangat penting untuk mencapai masyarakat yang lebih inklusif dan seimbang,” ujar Brian. Bats Consulting adalah perusahaan konsultan pajak yang menyediakan jasa
pelayanan dan konsultasi perpajakan. Dengan tim konsultan profesional, perusahaan ini memberikan saran dan bantuan kepada individu atau bisnis terkait masalah pajak mereka. “Kami ahli dalam hal pelaksanaan undang-undang perpajakan untuk membantu klien melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan efektif dan efisien tanpa melakukan pelanggaran dengan ketentuan yang ada,” papar Brian. Seiring berjalannya waktu, Brian dan timnya terus berinovasi mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan keilmuan serta tidak menutup mata dengan bidang ilmu lainnya. Sebagai lulusan pendidikan akuntansi, maka Brian pun juga mendirikan Kantor Jasa Akuntan yang bernaung di perusahaan yang sama,
Bats Consulting yang resmi terdaftar dengan nama PT Bats International Group. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan jasa bidang pajak, tetapi lebih luas lagi. “Kami, Bats Consulting juga melebarkan sayap hingga dapat menyediakan berbagai jasa di bidang perpajakan, akuntansi, audit,
dan keuangan seperti jasa pembukuan, persiapan dan kompilasi laporan keuangan, analisis laporan keuangan, audit keuangan, audit investigatif, persiapan dan perencanaan pajak, pelaporan pajak, hingga strategi dan pengoptimalan pajak klien. Perusahaan Brian pun kemudian diversifikasi ke ranah manajemen strategis, teknologi informasi, audit emisi karbon, dan
sebagainya. “Saat ini kami tengah berupaya mengembangkan kalkulator digital untuk
mendalami perdagangan dan perhitungan karbon, mengembangkan perhitungan PPh 21, chatbot pajak untuk menampung pertanyaan dan keluhan pajak klien, perhitungan BPJS bagi rumah sakit, aplikasi manajemen aset, dan masih banyak lagi,” ujar Brian.
Transformasional
Sebagai perusahaan yang memiliki sebagian besar SDM milenial, Brian mengaku cenderung menerapkan model kepemimpinan karismatik dan transformasional. Model kepemimpinan karismatik dan transformasional menurutnya cocok untuk menunjang kinerja mereka yang memerlukan figur magnetis yang menginspirasi, meluruskan visi dan misi yang strategis, meningkatkan kebiasaan komunikasi dan inisiatif secara dua arah, mendorong pertumbuhan dan perkembangan pribadi, memupuk hubungan yang kuat, dan mempromosikan inovasi dalam tim

Mengenal Hak dan Kewajiban Pajak Bagi UMKM

Libatkan 3 Perguruan Tinggi, Kanwil DJP Jaktim Kembali Gelar Ruang Belajar Pajak

Survei OJK: Kinerja Perbankan Tetap Optimis di Tengah Volatilitas Global dan Dinamika Makroekonomi Domestik

Mengenal Karakteristik Instrumen SVBI dan SUVBI dari Bank Indonesia

BCA Bagi Dividen Interim Tunai Sebesar Rp 5,23 Triliun

Sosialisasikan Program “Self Assessment”, P3HPI dan Universitas Esa Unggul Gelar Seminar dan Pelatihan Perpajakan

Dorong UMKM Naik Kelas, Tax Center Gunadarma Adakan “Workshop” Standarisasi Mutu dan Rantai Pasok

Kanwil DJP Jakbar Adakan Kegiatan Kite Belajar Pajak di Universitas Esa Unggul

3 Oknum Pegawai Pajak Jadi Tersangka Korupsi, Kanwil DJP Sumsel Babel Buka Suara

Gelar Tax Gathering 2023, Kanwil DJP Jakarta Khusus Beri Penghargaan Kepada 45 Wajib Pajak Patuh
Populer
-
Breaking News2 bulan ago
Peringati HUT ke-8, AKP2I Dorong Kepatuhan dan Integritas Konsultan Pajak
-
Breaking News3 bulan ago
Semarakkan HUT IKPI ke-58, IKPI Cabang Bekasi Gelar “5K Fun Walk”
-
Breaking News3 bulan ago
Rayakan HUT IKPI ke-58, IKPI Kembangkan Konsultan Pajak Kompeten dan Berintegritas
-
Breaking News2 bulan ago
Kecerdasan Buatan Bantu Pengelolaan Pajak
-
Breaking News2 bulan ago
KKP: Aplikasi E-PIT Integrasikan Layanan Hulu-Hilir Perikanan Tangkap dalam 1 Sistem
-
Breaking News2 bulan ago
Tingkatkan Potensi Pajak Daerah, Pemkab Bogor Hadirkan Layanan LAPOR PAK
-
Breaking News2 bulan ago
Gandeng Perhimpunan INTI, Kanwil DJP Jakbar dan Jaksus Gelar Seminar Pajak Bagi Investor
-
Breaking News2 bulan ago
Menko Airlangga: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Kunci Optimalisasi Pemberdayaan UMKM
You must be logged in to post a comment Login