Lima sektor industri strategis tanah air menjadi pionir dan dapat role model implementasi revolusi industri 4.0, di antaranya industri automotif dan tekstil yang dinilai mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi.
Ada lima sektor industri utama yang menjadi fokus penerapan awal revolusi industri 4.0 atau Fourth Industrial Revolution/4IR seperti yang tertuang dalam inisiatif Making Indonesia 4.0 yang digagas Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin). Kelima sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, automotif, kimia, serta elektronik. Sektor-sektor itu dipilih berdasarkan daya ungkitnya terhadap pertumbuhan produk domestik bruto baik dari neraca perdagangan, pasar domestik, maupun penciptaan lapangan pekerjaan. Selain itu, pemerintah juga melihat sisi kesiapan mereka dalam menyongsong 4IR, baik dari sisi teknologi maupun SDM. Diharapkan, kelima sektor ini menjadi pionir dan role model agar sektor industri lain dapat ikut mengimplementasikan 4IR dengan sukses.
Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menjelaskan, sebagai bagian dari ekonomi global, para pelaku industri Indonesia dituntut untuk dapat menguasai dan menerapkan teknologi industri 4.0. Dengan demikian, mereka bisa berkompetisi dengan pelaku industri global dalam memperebutkan pasar domestik serta pasar global—melalui ekspor sehingga industri bisa terus menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Teknologi 4IR
Bob menyatakan, di era Industri 4.0, pelaku industri dituntut mengintegrasikan kemahiran digital dalam proses industri dalam rangka peningkatan produktivitas, daya saing, serta melawan inefisiensi. Sebagai perusahaan manufaktur automotif, di tahap awal TMMIN telah menerapkan dan mempersiapkan teknologi konektivitas untuk menunjangnya.
Dari sisi perawatan, misalnya. TMMIN berinovasi mengubah perspektif manufaktur dari membetulkan (preventive menjadi diagnosis predictive). Di sini, inefisiensi dilawan dengan mengurangi periode down-time (kondisi saat mesin tidak dapat digunakan) melalui sensor-sensor yang setiap saat mengawasi kondisi mesin produksi. Dengan begitu, kegiatan pemeliharaan berlangsung efektif mencegah mesin produksi berhenti beraktivitas.
Selain itu, TMMIN telah menciptakan rantai pasok automotif yang efisien, di mana sistem Real Time Integrated End to End mengoneksi sekaligus mengawasi seluruh rantai aktivitas, baik dari pemasok hingga konsumen sehingga bentuk operasional yang optimum dapat tercapai. Pada sisi produksinya, TMMIN juga meningkatkan kemampuan proses pengurutan guna mempercepat waktu tanggap saat ada hambatan atau cacat di salah satu prosesnya.
Bob juga menyebutkan, untuk mendukung efektivitas produksi dan inovasi itu, TMMIN mengandalkan teknologi internet of things (IoT) sejak tiga tahun terakhir.
“Aplikasi IoT dalam aktivitas produksi kami saat ini adalah dalam bentuk Part Procurement System, Traceability System, Production Instruction System, Maintenance Monitoring System, dan Quality Checking System,” ujarnya melalui pernyataan tertulis kepada Majalah Pajak, akhir Agustus lalu.
Di kesempatan yang lain, CEO PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto mengatakan, saat ini teknologi 4IR masih cenderung mahal sehingga membutuhkan investasi yang besar. Manajemen pun mesti memikirkan apakah teknologi itu benar-benar dibutuhkan perusahaan demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Namun, Iwan yakin ke depannya industri tanah air akan mampu mengadopsi teknologi 4IR, karena pelan-pelan akan menjadi murah.
“Kalau investasinya bagus, pasti dilaksanakan oleh industri besar-besar juga. Kadang-kadang 4.0-nya juga masih mahal, penemuannya masih mahal, investasinya juga mahal. Kadang-kadang masih belum layak, tapi is going there, karena, kan, teknologi makin murah,” tuturnya saat ditemui Majalah Pajak di kantornya di bilangan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/8).
Dari segi teknologi, saat acara Indonesia Industrial Summit 2018, April lalu, Iwan menyebut, selama lima tahun terakhir Sritex menghabiskan 100 juta dollar AS untuk menerapkan otomatisasi, robotisasi, dan digitalisasi hampir di sebagian lini produksi.
Ia juga menjelaskan, proses digitalisasi dapat diaplikasikan pada sistem desain, tetapi tidak bisa diterapkan pada sistem tenun. Namun, sistem tenun bisa menggunakan sistem robotik PLC (programmable logic controller), yang menggunakan algoritma untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi.
“Dulu, print itu memakan waktu. Bikin screen, bikin film, memakan waktu minimum 6 jam mungkin baru jadi screen-nya atau setengah hari, baru jadi cetakannya. Baru inject warnanya dicocokkin dulu. Proses itu bisa memakan waktu satu hari. Sekarang digital, hitungannya menit. Tahun ini kami tinggikan lagi speed-nya, kami investasi di situ,” jelas Iwan.
Untuk IoT, produsen tekstil dan produk tekstil skala internasional ini telah menggunakan sistem Enterprise Resource Planning (ERP) agar semuanya terintegrasi dari dapur hingga bagian teras produksi.
“Jadi, pengawasan, semua data itu sudah terintegrasi. Connect laporan secara on-line (real time). Itu yang mungkin menurut kami harus improve, di business intelligence-nya dari ERP itu,” imbuh Iwan.
“Selama lima tahun terakhir Sritex menghabiskan 100 juta dollar AS untuk menerapkan otomatisasi, robotisasi, dan digitalisasi hampir di sebagian lini produksi.”
SDM tetap berdaya
Semua sepakat bahwa kemampuan SDM yang cakap merupakan kunci sukses Industri 4.0. Iwan mengatakan, teknologi harus didukung dengan SDM yang kuat yang kemudian diikuti oleh keterampilan. Iwan pun mengklaim, walau sudah menerapkan teknologi 4IR, Sritex tidak ingin merumahkan karyawannya, terutama yang memiliki keahlian dan disiplin.
“Jadi, arahnya bukan mem-PHK, tapi SDM yang tiap hari ketemu dengan kami ini akan di-training lagi, dipersiapkan untuk ekspansi Sritex. Jadi, saya sudah punya raw material manusialah, istilahnya.”
Iwan pun mengapresiasi pemerintah yang dengan giat memperbanyak pendidikan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan pelaku industri, sehingga tidak ada lagi jarak antara keduanya.
Hingga kini, Sritex yang bekerja sama dengan Kemenperin ini terus mengambil lulusan dari Technopark Solo, Jawa Tengah, sebagai tenaga kerja di bagian produksi. Selain itu, Sritex juga memiliki Corporate Culture Development Program, tujuannya agar pekerja memiliki budaya bekerja yang cepat, produktif, dan
Sejalan dengan Sritex, Bob mengatakan, untuk mendukung program pemerintah dan berupaya agar memiliki SDM yang tepat sasaran, TMMIN sudah sejak 2017 menjalankan Program Vokasi Industri.
Program yang terdiri dari pendalaman keterampilan dasar dan praktik langsung di lini produksi di pabrik-pabrik TMMIN ini memiliki beberapa jurusan yang berhubungan dengan manufaktur automotif seperti logistik, pemeliharaan (maintenance), pencetakan (moulding), serta manajemen produksi.
Saat ini Vokasi Industri TMMIN dapat menampung sebanyak 100 peserta yang terdiri dari pelajar, pencari kerja, dan pekerja. Ke depan, TMMIN akan menambah kapasitas hingga 400 peserta. Di bawah koordinasi Kemenperin, TMMIN juga bekerja sama dengan enam universitas terkemuka, di antaranya UI, ITB, UGM, dan ITS untuk penelitian dan studi komprehensif khusus kendaraan elektrifikasi. Harapannya, riset ini dapat membantu memetakan kondisi dan kebutuhan riil pelanggan, termasuk kesiapan dan tantangan mengembangkan industri dan infrastruktur kendaraan elektrifikasi di Indonesia.
Pingback: Peran Budaya terhadap Daya Saing Perusahaan | Majalah Pajak