Taxclopedia
PPN dan Asal Muasalnya (Bagian Pertama)

Published
2 tahun agoon

Di tengah kehebohan isu PPN atas sembako, bagaimana kalau kita mengulik sejarah lahirnya PPN di Indonesia?
Publik dihebohkan dengan berita rencana pemerintah menaikkan tarif PPN dan memperluas objek pajak PPN, dari tarif PPN yang single rate 10 persen direncanakan menjadi 12 persen secara proporsional. Yang tidak kalah heboh juga adalah pengenaan objek Barang Kena Pajak (BKP yang awalnya tidak dikenai akan dikenai, misalnya pada sembako (sembilan bahan pokok) yang salah satunya adalah beras.
Demikian juga pada objek Jasa Kena Pajak (JKP) ada beberapa jenis jasa yang awalnya masuk ke dalam negative list (tidak dikenai PPN) menjadi dikenai PPN seperti Jasa Pendidikan dan Jasa Layanan Kesehatan.
Pajak memang “seksi” untuk digoreng oleh media massa maupun di media sosial.
Sejarah PPN
Rasanya seperti makan sayur asam tanpa garam bila penulis hanya menjelaskan sejarah PPN di Indonesia tanpa menjelaskan terlebih dahulu bagaimana dunia menerapkan aturan tentang PPN ini.
Dikutip dalam laman DDTC (Danny Darussalam Tax Centre), PPN merupakan jenis pajak yang relatif baru dan dianggap sebagai bentuk pemajakan modern (Liam Ebrill, 2001). Dalam sejarahnya, PPN merupakan suatu inovasi fiskal terbaru. Bahkan Sijbern Cnossen mengklaim bahwa pengenalan PPN secara universal dapat dianggap sebagai peristiwa terpenting dalam evolusi struktur pajak yang terjadi pada paruh terakhir di abad ke-20 (Kathryn James, 2015).
Sebelum diterapkannya PPN, pengenaan pajak atas konsumsi yang bersifat tidak langsung hanya dilakukan terbatas pada produk tertentu. Misalnya, pengenaan cukai atas alkohol dan tembakau. Selain cukai, dikenal juga jenis pajak tidak langsung lainnya, yaitu pajak penjualan dan pajak peredaran.
Namun, distorsi yang dihasilkan dari pajak penjualan dan pajak peredaran karena adanya pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan kedua jenis pajak tersebut serta ditambah dengan adanya tuntutan peningkatan penerimaan, memberikan dorongan bagi pemerintah untuk mencari alternatif bentuk pajak lainnya.
Gagasan dasar mengenai PPN pertama kali muncul dari seorang pengusaha Jerman bernama Dr. Wilhelm von Siemens yang menyadari adanya masalah yang ditimbulkan dari penerapan pajak peredaran. Pada tahun 1920-an, melalui tulisannya, von Siemens kemudian mengembangkan gagasannya tersebut, yang ia namakan “perbaikan pajak peredaran” atau “penyempurnaan pajak peredaran” (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007).
Selain von Siemens, konsep awal dari PPN juga dicetuskan oleh Thomas S. Adams pada tahun 1921 di Amerika Serikat. Konsep yang dijelaskan oleh Adams pada saat itu adalah mengenai cara untuk mengurangi pajak atas penjualan dengan pajak yang sebelumnya telah dibayarkan atas pembelian barang dan/atau jasa terkait dengan kegiatan usaha yang dilakukan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya cascading effect. Konsep ini yang sekarang kita kenal dengan metode pengkreditan PPN masukan terhadap pajak keluaran (invoice-credit method).
Gagasan serta konsep yang muncul di tahun 1920-an tersebut akhirnya membentuk kesimpulan bahwa pajak yang merupakan “perbaikan pajak peredaran” adalah pajak yang dikenakan dan dipungut pada setiap tahap produksi dan distribusi dari barang dan jasa saat terjadinya transaksi. Akan tetapi, walaupun dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi, dengan adanya metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran, maka pajak yang dikenakan hanya atas pertambahan nilai yang timbul pada setiap tahapan tersebut. Gagasan dan konsep inilah yang menjadi asal muasal lahirnya PPN.
PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada tahun 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Pada tahun 1954, Prancis kemudian mengubah pengenaan PPN yang semula hanya di tahap pabrikan menjadi pengenaan pajak di seluruh tahapan produksi dan distribusi.
Banyak negara Eropa memberlakukan PPN pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sementara itu, negara berkembang mengikuti penerapan PPN pada tahun 1980-an dan sesudahnya.
Pada praktiknya, sebagian besar pemerintah menerapkan PPN sebagai pengganti pajak penjualan yang sebelumnya diterapkan sebagai bentuk pajak atas konsumsi. Negara-negara Eropa, misalnya, telah banyak menggunakan PPN untuk mengurangi atau menghilangkan penerapan pajak penjualan (Sijbren Cnossen, 1998).
Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, PPN telah menjadi salah satu instrumen penerimaan yang paling dominan di berbagai negara. PPN juga dianggap sebagai jenis pajak yang perkembangannya sangat pesat dibandingkan dengan jenis pajak lainnya di seluruh dunia (Kathryn James, 2015).
Sampai 1 Januari 2016, menurut OECD (2016), terdapat 167 negara di dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsi di negara mereka.
Selanjutnya bagaimana dengan di Indonesia?
Periode Pajak Pembangunan I (PPb I)
Menurut Slamet Soelarno, dalam bukunya Pajak Pembangunan I, yang diterbitkan oleh Saung Indah tahun 1973 dikatakan perkembangan pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan berlakunya Pajak Pembangunan I (PPb I). PPb I merupakan salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan (UU PPb I Tahun 1947).
Pajak ini mulai dipungut secara resmi pada 1 Juni 1947 atas semua pembayaran di rumah makan dan rumah penginapan sebesar 10 persen dari jumlah pembayaran. Pembayaran di sini dimaksudkan sebagai pembayaran atas pembelian makanan dan minuman atau sewa kamar, termasuk pula semua tambahan seperti pegawai, listrik, air, dan lain-lain.
Rumah makan yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tergolong penduduk yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran PPb I ini.
PPb I menganut self-assesment system, yang menganjurkan Wajib Pajak (WP) menghitung pajak, memungut, menyetor, melunasi, dan melaporkan pajaknya sendiri berdasarkan kesadaran dari WP. Sistem self assesment ini diwujudkan dalam bentuk contante storting system (sistem setor tunai).
Dengan berkembangnya keadaan Indonesia pasca-Kemerdekaan, UU PPb I juga mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masa itu. Perkembangan ini dibuktikan dengan adanya perubahan dan penambahan atas UU PPb I Tahun 1947 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dan Tambahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 dari Hal Pajak Pembangunan I (UU PPb I Tahun 1948).
Dalam konsideransnya disebutkan bahwa diubahnya UU PPb I Tahun 1947 dikarenakan adanya kesulitan-kesulitan yang timbul dalam menjalankan UU PPb I Tahun 1947 dan ditambah dengan belum adanya pasal-pasal mengenai penagihan pajak dengan paksa.
Kemudian, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Negara dengan Daerah-Daerah, yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, PPb I yang semula merupakan pajak negara dinyatakan sebagai pajak daerah.
Berubahnya PPb I dari pajak negara menjadi pajak daerah merupakan implementasi dari pelaksanaan otonomi seluas-luasnya di daerah-daerah untuk mengurus keuangannya sendiri.
Selanjutnya, UU PPb I dipungut sendiri oleh daerah apabila daerah telah siap untuk memungutnya. Oleh karena setiap daerah mempunyai peraturan daerahnya sendiri maka dalam pelaksanaan pemungutan PPb I sebagai pajak daerah dapat berbeda-beda.
Misalnya, di Jakarta, PPb I dipungut dengan tarif 5 persen dan sasaran yang pada mulanya hanyalah rumah makan berkembang ke rumah penginapan dan jasa katering. Demikian pula WP-nya ditentukan berdasarkan kriteria tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PPb I merupakan jenis pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat terbatas karena hanya dikenakan atas penyerahan barang-barang makanan dan minuman di rumah makan, kafetaria, kedai kopi (coffee shop) atau terbatas pada jasa yang diberikan pada rumah penginapan, seperti sewa kamar pada hotel, losmen, dan rumah penginapan lainnya, tidak termasuk rumah pemondokan.
Jadi, tidak semua konsumsi barang dan jasa menjadi objek PPb I. Namun, meskipun bersifat terbatas, PPb I tetap dapat dianggap sebagai awal perkembangan pajak atas konsumsi di Indonesia, yang merupakan pendahulu dari PPN.
Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)
Selain PPb I, bentuk pajak atas konsumsi yang pernah berlaku di Indonesia adalah Pajak Peredaran. Dalam bahasa Belanda, Pajak Peredaran (PPe) disebut dengan omzetblasting. Sementara itu, dalam bahasa Inggris pajak ini disebut dengan turnover tax.
Di Indonesia, PPe merupakan awal pungutan pajak atas pemakaian barang umum dan merupakan pelengkap dari PPb I yang pernah berlaku sebelumnya. Dasar hukum pemungutan PPe di Indonesia adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran (UU PPe) yang ditetapkan pada 13 Februari 1950 dan diumumkan pada 18 Maret 1950. Oleh karena itu, pajak ini dikenal dengan sebutan PPe 1950.
PPe merupakan pajak pemakaian yang meliputi hampir semua barang-barang yang dipakai atau terpakai habis di Indonesia. Oleh karena itu, yang dikenakan pajak adalah penyerahan barang-barang yang ada di peredaran bebas. Besarnya tarif PPe yang dikenakan adalah sebesar 2 persen atas setiap penyerahan barang. Sementara itu, yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah harga barang (Rochmat Soemitro, 1990).
Selain dikenakan atas barang, PPe juga dikenakan atas jasa, yaitu semua perbuatan selain penyerahan barang bergerak dan barang tetap, yang dilakukan dengan penggantian. Penggantian di sini dimaksudkan sebagai nilai berupa uang yang harus dilunasi kepada orang yang melakukan pemberian jasa.
PPe mengenal dua macam cara mengenakan pajak. Cara yang pertama adalah pemungutan sekaligus sehingga PPe hanya dikenakan sekali saja atas hasil akhir. Pemungutan ini dapat dilakukan pada awal lajur produksi, yaitu pada waktu penyerahan oleh produsen atau pabrikan maupun pada salah satu mata rantai berikutnya.
Sementara itu, cara kedua adalah dipungut pajak tiap kali terdapat pemindahan barang-barang bersangkutan ke tingkat berikutnya. Sistem pemungutan ini dikenal dengan sistem pemungutan bertingkat atau berkali-kali pada seluruh tingkat peredaran barang di lajur produksi dan distribusi. Pada setiap penyerahan barang tersebut, tidak dilakukan penyesuaian atau pengurangan apa pun.
Karena dikenakan secara berkali-kali dan tanpa pengurangan apa pun pada setiap lajur, terjadilah penambahan pada kalkulasi harga pokok barang. Ini membuat beban pajak berlipat ganda, melebihi tarif yang sebenarnya berlaku untuk peredaran barang-barang tersebut. Beban inilah yang pada akhirnya harus dipikul oleh konsumen.
Atas dasar alasan tersebut, para usahawan dan parlemen pada waktu itu menyatakan keberatan atas penerapan PPe yang dianggap menimbulkan distorsi atau penyimpangan ekonomi yang serius serta tidak menunjang keadilan. Oleh karena itu, pada 1 Oktober 1951, UU PPe ditarik dan dinyatakan berakhir setelah undang-undang ini berjalan selama sembilan bulan.
Pajak Penjualan
Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (UU PPn) sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951 (PPn).
UU PPn mulai berlaku pada 1 Oktober 1951. PPn tidak lain merupakan pengganti PPe yang telah berlaku sebelumnya. PPn dipungut atas harga penjualan barang-barang yang bukan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Yang tidak dikenai PPn itu antara lain beras, jagung, garam, minyak kelapa, gula, minyak tanah, kacang, kedelai, ikan asin, sayuran, dan sebagainya (Suwito Ardiyanto, 1981).
Di samping PPn atas penyerahan barang, PPn juga dipungut atas penyerahan jasa. Akan tetapi, tidak semua jasa yang diserahkan dikenai PPn. Terdapat 18 jenis jasa yang ditetapkan oleh UU PPn sebagai jasa kena pajak, seperti jasa notaris, jasa akuntan, jasa advokat, makelar, komisioner, dan sebagainya.
WP pada PPn adalah pengusaha (produsen) atau importir barang yang bukan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Produsen atau importir atas barang-barang ini yang bertanggung jawab atas pengenaan PPn (Rochmat Soemitro, 1990).
PPn merupakan pajak dengan sistem pemungutan satu kali pada tingkat pabrikan, yaitu pada saat penyerahan barang. Namun, terdapat suatu ketentuan dalam Pasal 31 UU PPn yang mengatur bahwa apabila barang tersebut diolah kembali oleh pabrikan selanjutnya, PPn atas penyerahan barang yang telah diolah kembali tersebut dapat dikurangkan dengan PPn yang telah disetor sebelumnya.
Pasal tersebut juga mengatur pengurangan terhadap pajak masukan yang dipungut dari harga barang yang dimasukkan dan dipakai di daerah pabean Indonesia. Dengan demikian, UU PPn tersebut mengatur pemungutan PPn dan Pajak Masuk, di samping juga memungut Pajak Kemewahan.
UU PPn ini telah banyak mengalami perubahan perluasan terkait dengan subjek pajak, objek pajak, serta tarifnya. Mulanya, yang menjadi subjek pajak hanyalah pabrikan. Namun, setelah 1 Januari 1960, objek pajak diperluas sehingga mencakup juga pengusaha jasa.
Tarif pajaknya juga mengalami perubahan, dari tarif umum 10 persen menjadi 20 persen. Selain itu, tarif khusus terhadap barang-barang mewah yang awalnya 20 persen berubah menjadi 50 persen (Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tahun 1995 Nomor 20 dan 24, Moch. Soebakir, dan Edi Slamet Irianto).
Lebih lanjut, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486 Tahun 1974, tarif PPn kembali mengalami perubahan dengan dibaginya tarif PPn menjadi tiga (3) golongan sebagai berikut (Suwito Ardiyanto, 1981):
- 0 persen, yaitu bagi barang-barang yang dibebaskan dari PPn, misalnya barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dan koran.
- 5 persen, misalnya untuk barang-barang berupa karton, kertas bungkus, kertas tulis, kertas cetak, karbon, dan lain-lain.
- 10 persen, yang berlaku untuk barang-barang yang tidak termasuk a dan b.
Perlu diketahui, sistem PPn juga memberikan hak kepada produsen dan importir untuk meminta kembali pajak yang telah mereka bayar dari pembeli atau konsumen. Caranya dengan menaikkan harga semua barang hasil usaha produsen atau yang diimpor sebesar 3 persen dari harga sebenarnya. Jadi, pada hakikatnya dalam sistem PPn, pembeli atau konsumen yang menanggung beban PPn.
Pada perkembangan selanjutnya, Pasal 31 UU PPn yang memperkenankan penghitungan dan pemberian pengembalian dari pajak yang telah dibayar, dihapuskan. Penghapusan ini dikarenakan ketentuan dalam Pasal 31 UU PPn sering disalahgunakan oleh WP untuk menghindari pajak yang harus dibayar.
Akan tetapi, ternyata, dihapusnya Pasal 31 UU PPn dianggap menyebabkan terjadinya pungutan pajak atas pajak karena PPn yang sebelumnya dikenakan ketika barang diproduksi, dimasukkan sebagai salah satu komponen harga jual barang. Akibatnya, ketika barang selesai diproduksi dan diserahkan kepada pihak selanjutnya, PPn akan dikenakan sekali lagi atas harga barang yang di dalamnya sudah termasuk PPn (Rochmat Soemitro, 1990).
Kelemahan lain dari sistem PPn adalah sulitnya pengawasan. Ia relatif mudah diselewengkan. Misalnya, penjual tidak menyetor pajaknya dengan benar. PPn tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk meneliti kebenaran laporan dan pembukuan WP (Tim Surabaya Post, 1986).
(Pada “Taxclopedia” edisi selanjutnya, kita akan bahas riwayat PPn ini di era Reformasi Perpajakan 1983 dan seterusnya.)
You may like

Negara berjanji memberi diskon besar pada Wajib Pajak yang ‘mencuci uangnya’
di bidang pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi.
Memasuki triwulan pertama 2023 publik dikejutkan dengan berita adanya kekayaan dalam jumlah fantastis yang dimiliki oleh para pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang menurut kacamata awam sangat tidak wajar, sehingga terindikasi kekayaan mereka didapat dengan “mencuci uang” melalui berbagai cara.
Pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pencucian uang jelas ilegal, karena kekayaan yang dimiliki dan disamarkan atau disembunyikan pelaku berasal dari tindak pidana korupsi, penyuapan, narkoba, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, dan di bidang kelautan dan perikanan.
Namun sebetulnya ada praktik “pencucian uang” yang legal bahkan dianjurkan oleh negara. Bedanya, uang yang dipakai dalam “pencucian uang” di sini berasal dari sumber penghasilan yang sah, dan dikeluarkan untuk dana tanggung jawab sosial (company social responsibility) kepada masyarakat luas.
Seringkali perusahaan besar membelanjakan dana tanggung jawab sosial ini di bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan, penanggulangan bencana, fasilitas umum dan banyak hal bermanfaat lainnya untuk kepentingan masyarakat luas. Negara bahkan berjanji memberikan diskon besar pada Wajib Pajak yang “mencuci uangnya” di bidang pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi.
Sudah menjadi pandangan umum masyarakat dan Wajib Pajak bahwa pajak adalah beban atau kewajiban—sedikit[1]banyak terasa berat meskipun pemerintah melakukan gerakan penyadaran ke semua lapisan. Itulah fakta yang tidak bisa ditutupi oleh pemerintah di negara mana pun yang mengutip pajak atas penghasilan yang dimiliki oleh warganya.
Pemerintah ternyata memberikan beragam insentif fiskal guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Pemotongan pajak atau super tax deduction diberikan kepada sejumlah perusahaan yang menyediakan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Badan diberikan mulai dari 60 persen hingga 300 persen, bagi industri pionir, yakni industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Insentif di atas diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Beleid yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Juni 2019 ini menegaskan bahwa perusahaan yang mendapatkan fasilitas adalah yang tidak mendapatkan fasilitas Pasal 31A Undang[1]Undang Pajak Penghasilan.
Berikut ini penulis rangkum sejumlah fakta terkait pemberian pajak besar-besaran oleh pemerintah
- Industri yang dapat potongan PPh Badan 60 persen
Aturan tersebut menyebut Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu, yakni industri padat karya dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh) Badan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60 persen dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
- Industri yang dapat potongan PPh Badan 200 persen
Kemudian Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.
Pengembangan kompetensi yang dimaksud adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran yang strategis untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia, dan juga yang memenuhi struktur kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia industri.
- Industri yang dapat potongan PPh Badan 300 persen
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, menurut beleid itu, dapat diberi pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu yang dimaksud adalah kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia untuk menghasilkan invensi, menghasilkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional.
- Super tax deduction diyakini bisa tingkatkan kualitas SDM
Pemberian insentif fiskal super tax deduction diyakini mampu mendorong sektor industri manufaktur agar terlibat aktif menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang).
PP tentang pemberian insentif pajak pada pelaku usaha yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional tersebut, mulai berlaku pada tanggal diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada 26 Juni 2019.
Kompetensi yang didorong termasuk 127 jenis kompetensi untuk siswa, pendidikan dan tenaga kependidikan pada sekolah menegah atau madrasah aliyah kejuruan.
Sebanyak 268 jenis untuk mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi program diploma vokasi. Serta 58 jenis untuk perorangan, peserta latih, instruktur, dan tenaga kepelatihan pada balai latihan kerja.
Ragam kompetensi mencakup berbagai sektor termasuk manufaktur, kesehatan, agribisnis, pariwisata, industri kreatif, dan ekonomi digital.
Insentif pajak ini guna mendorong keterlibatan pihak swasta untuk aktif mengembangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pelatihan kerja. Untuk mendapatkan fasilitas ini, wajib pajak cukup menyampaikan pemberitahuan melalui sistem online single submission.
Terkait dengan diskon besar-besaran atau super deduction ada tiga sasaran yang diinginkan pemerintah dengan melibatkan pihak industri atau wajib pajak terkait dengan pendidikan vokasi, yakn
- Tertentu untuk siswa, pendidik, dan/ atau tenaga kependidikan pada sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan
- Kompetensi tertentu untuk mahasiswa, pendidik dan/atau tenaga kependidikan pada perguruan tinggi program diploma pada program vokasi
- Kompetensi tertentu untuk perorangan serta peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan pada balai latihan kerja
Menurut penulis selama ini masalah utama dunia pendidikan adalah adanya kesenjangan yang besar antara pemilik lapangan pekerjaan dengan para pencari kerja. Artinya ada ketidaksinkronan antara kebutuhan pemberi kerja dan kualifikasi yang dimiliki oleh pencari kerja. Banyak pencari kerja yang tidak kompeten dan kredibel, padahal mereka harus masuk ke lapangan kerja, baik itu industri, perdagangan maupun sektor jasa. Karena itu, butuh terobosan luar biasa untuk menyelesaikan problem ini. Dan momen itu didapatkan pada saat negara membutuhkan juga penerimaan pajak.
Awalnya, terlihat merugikan negara karena penerimaan pasti berkurang dari sektor pajak, tetapi kalau kacamata investasi kita gunakan tentunya suatu hal yang lumrah bila kondisi awal dimulainya sebuah “investasi” akan mengeluarkan banyak biaya yang bisa berujung pada kerugian di awal terjadinya investasi. Namun, jangan salah, investasi paling mahal dan memiliki valuasi yang tinggi di masa depan adalah investasi di bidang pendidikan.
PP dan PMK (Peraturan Menteri Keuangan No. 128/ PMK.010/2019) ini tiba di saat yang tepat, meskipun sebenarnya sangat-sangat terlambat. Negara kita sudah kecolongan dan tertinggal jauh oleh negara tetangga ASEAN yakni Vietnam dan Thailand, bahkan Kamboja sudah melakukan hal yang sama lebih dahulu dari negara kita. Akibatnya banyak pabrikan luar negeri atau penanaman modal asing masuk ke negara tersebut dibandingkan dengan negara kita. Tidak boleh ada kata sesal atau terlambat untuk sebuah optimisme dalam bernegara.
Berikutnya penulis akan ilustrasikan bagaimana perhitungan diskon tersebut terhadap laba yang dihasilkan oleh perusahaan atau Wajib Pajak.
Contoh 1:
PT X melakukan kegiatan praktik kerja dan pemagangan dengan laporan keuangan fiskal sebagai berikut:
Penghasilan bruto Rp 500.000.000,00
Biaya non-praktik kerja dan pemagangan Rp (400.000.000,00)
Biaya praktik kerja dan pemagangan Rp (20.000.000,00)
Penghasilan (rugi) neto sebelum fasilitas Rp 80.000.000,00
Tambahan pengurangan penghasilan bruto Rp (20.000.000,00) Penghasilan Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Tambahan pengurangan penghasilan bruto yang dapat dimanfaatkan PT X sebesar Rp 20.000.000,00 (100 % x Biaya Pemagangan)
Contoh 2:
PT Y melakukan kegiatan praktik kerja dan pemagangan dengan laporan keuangan fiskal sebagai berikut: Penghasilan bruto Rp 500.000.000,00
Biaya non-praktik kerja dan pemagangan Rp (400.000.000,00)
Biaya praktik kerja dan pemagangan Rp (60.000.000,00)
Penghasilan (rugi) neto Rp 40.000.000,00
Tambahan pengurangan penghasilan bruto Rp (40.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp 0,00
Tambahan pengurangan penghasilan bruto yang seharusnya dapat dimanfaatkan PT Y sebesar Rp60.000.000,00 (100% x Biaya praktik kerja dan pemagangan). Namun demikian, karena tambahan pengurangan tersebut menyebabkan rugi fiskal sebesar Rp 20.000.000,00 maka tambahan pengurangan penghasilan bruto yang dapat dimanfaatkan PT Y hanya sebesar Rp 40.000.000,00.
Contoh format biaya terkait kegiatan vokasi yang mendapatkan diskon besar ini ada di lampiran PMK No. 128 tahun 2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu, dan dapat diunduh di laman-laman penyedia peraturan perpajakan.
Demikianlah, mudah-mudahan Wajib Pajak tertarik untuk mendapatkan diskon di atas, apalagi ada janji kemudahan dalam prosedur dan permohonan untuk mendapatkan diskon ini, yakni cukup melalui OSS atau Online Single Submission yang terintegrasi dengan semua lini birokrasi.

Ada ruang menarik bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar, tapi implementasi UU ini perlu sosialisasi masif.
Majalahpajak.net – Tampaknya banyak yang tidak tahu bahwa di awal tahun 2022 lalu, tepatnya tanggal 5 Januari 2022, diundangkan sebuah produk hukum baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disingkat HKPD.
Tidak banyak media menyoroti produk hukum ini. Pembahasan di linimasa pun juga sangat jarang ditemui, apa mungkin karena Undang-Undang ini hanya bicara hubungan “suami- istri” dalam sebuah keluarga, yakni hubungan pemerintah pusat dan daerah di negara ini, bisa jadi publik pun enggan untuk membicarakannya? Padahal Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan urusan pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pelaksanaan urusan pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergi pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan.
Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Penyempurnaan implementasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada empat pilar utama, yaitu:
- Mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien,
- Mengembangkan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah
- Mendorong peningkatan kualitas belanja daerah
- harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
Sistem pajak dan retribusi
Ada perubahan yang signifikan dari Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni dengan banyaknya penyederhanaan atau restrukturisasi jenis pajak dan retribusi daerah. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi lima jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu). Hal ini memiliki tujuan untuk
Baca Juga: “Stick and Carrot” Penyelaras APBD-APBN
(i) menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak;
(ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan;
(iii) memudahkan pemantauan pemungutan pajak terintegrasi oleh daerah;
(iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan objek pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
PBJT adalah wujud dari PPN yang didaerahkan karena itu tentunya dengan penyederhanaan ini akan menjadi lebih mudah melakukan pengawasan dan pengaturannya oleh pemerintah daerah setempat. Bila dulu populer dengan istilah Pajak Restoran, Pajak Hotel maka dengan istilah baru semua jenis pajak itu disebut dengan PBJT yang terdiri atas
- Makanan dan/ atau Minuman;
- Tenaga Listrik;
- Jasa Perhotelan;
- Jasa Parkir; dan
- Jasa Kesenian dan Hiburan
Retribusi diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut pemerintah daerah adalah retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.
TKD
Transfer ke Daerah (TKD) sebagai salah satu sumber pendapatan daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antardaerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh daerah. TKD meliputi DBH (Dana Bagi Hasil), DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa.
Penulis melihat adanya ruang yang sangat menarik bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak yang besar, katakanlah PPh di mana pemerintah pusat sangat berbaik hati membagi hasil penerimaan beberapa jenis PPh ke Pemerintah Daerah seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 Orang Pribadi. Meskipun ini bukan hal baru dalam Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pembagian DBH PPh yang mencapai 20 persen merupakan anugerah untuk daerah tersebut tanpa perlu melakukan effort yang cukup besar. Sebab, semua aktivitas pengumpulan pajak sudah dilakukan oleh otoritas pajak nasional, yakni Direktorat Jenderal Pajak melalui kantor wilayah nya di setiap provinsi dan kantor pelayanan pajaknya di setiap kabupaten/kota.
Pemerintah daerah mungkin bisa ikut membantu terealisasinya rencana penerimaan PPh daerah tersebut dengan memberikan akses yang luas untuk para fiskus dalam menggali potensi PPh di daerahnya. Akses yang paling utama tentu adalah data dan informasi tentang Wajib Pajak Orang Pribadi dan karyawan yang tinggal di daerah tersebut.
Selain PPh, PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2) tetap diberikan 100 persen untuk Pemerintah Daerah dan ditambah DBH untuk Cukai dari tembakau yang tetap dipertahankan.
Untuk daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar, DBH-nya akan meliputi (a) kehutanan, (b) mineral dan batu bara, (c) minyak bumi dan gas bumi, (d) panas bumi, dan (e) perikanan, yang kelimanya tentu juga akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sedangkan DAU dan DAK, dilakukan reformulasi, yakni pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat untuk DAU. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antardaerah.
Utang dan sinergi
Sesuai UU HKPD, daerah dapat mengakses sumber-sumber pembiayaan utang daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah dapat melakukan pembiayaan kreatif dengan menerbitkan obligasi daerah dan sukuk daerah. ini merupakan sebuah terobosan kemandirian keuangan daerah. Dan yang menarik adalah skema pinjaman daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah, pengelolaan portofolio utang daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD.
Selain itu, jenis pinjaman daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. Meskipun tentu ada batasan dalam melakukan pembiayaan seperti tidak boleh dari luar negeri dan harus mendapat persetujuan DPRD dalam rapat pembahasan APBD. Untuk daerah yang memiliki potensi sumber daya alam dan pariwisatanya atau objek kreatif lainnya tentu akan bisa mendapatkan pembiayaan yang mudah atas instrumen keuangan yang mereka perjualbelikan di masyarakat.
Baca Juga: Seputar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pengelolaan belanja
Belanja daerah disusun dengan menggunakan pendekatan (a) kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, (b) penganggaran terpadu, dan (c) penganggaran berbasis kinerja.
Lebih lanjut, peningkatan kualitas belanja daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di pemerintah daerah dan penguatan aspek pengawasan. Untuk itu, UU ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di pemerintah daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern pemerintah daerah. Dan ini juga sebagai upaya serius untuk menanggulangi inefficiency anggaran yang selama ini terjadi di banyak APBD, belum lagi bicara soal kebocorannya.
Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi. Daerah juga dipersilakan menyimpan surplus APBD-nya (dari hasil PAD) menjadi Dana Abadi Daerah untuk kemudian diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang berisiko rendah. Namun dana abadi ini jangan sampai tercampur dengan dana dari Transfer ke Daerah yang alokasi penggunaannya sudah jelas untuk belanja daerah. Dimana Menteri Keuangan pernah menyatakan total dana mengendap di bank-bank daerah mencapai Rp 200 triliun, padahal dana itu jelas alokasi penggunaannya.
Pada saat UU ini mulai berlaku, peraturan berikut ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Mereka adalah: (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (3) dan beberapa perubahan pasalnya dalam Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020.
Itu berarti pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersinergi menyelenggarakan sosialisasi yang masif agar penerapan UU ini tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, terutama Wajib Pajak di daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu segera menyiapkan payung hukum turunannya (PERDA) yang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah.
Penulis berharap, adanya penguatan tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini akan menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Semoga segera ada penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar.
Sinergi kebijakan fiskal nasional ini harus didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi agar layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan berkualitas.
Semoga pengaturan-pengaturan ini memberikan kemampuan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bersinergi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Hampir setengah penerimaan negara kita tersedot untuk membayar utang. Peran pajak sebagai benteng antiresesi kian diperlukan.
MAJALAHPAJAK.NET – Baru-baru ini Bloomberg yaitu penyedia informasi keuangan global merilis hasil survei bahwa Indonesia masuk dalam daftar 15 negara yang berisiko mengalami resesi. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14, tepat di atas India.
Secara berurutan, menrut survei itu, urutan ke-15 negara yang berisiko terkena resesi adalah Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia dan India.
Selanjutnya kita tahu, Sri Lanka, yang menempati urutan pertama negara berpotensi resesi, ternyata kolaps lebih dulu, dengan menyisakan ketidakpastian politik dan keamanan. Presiden dan perdana menteri negara di Asia Selatan itu mengundurkan diri, karena Sri Lanka gagal membayar utang-utang luar negerinya.
Sri Lanka bangkrut akibat gagal bayar utang luar negeri yang lebih dari Rp 700 triliun dan inflasi lebih dari 50 persen. Salah satu utangnya adalah utang ke China yang semakin menumpuk hingga melampaui 5 miliar dollar AS (Rp 71,7 triliun), yang dipergunakan untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Di sana kini terjadi pemadaman listrik, harga kebutuhan pokok meroket, dan bahan bakar langka. Lalu, banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting.
Cadangan devisanya turun menjadi sekitar 1,6 miliar dollar AS (sekitar Rp 22,8 triliun) pada akhir November. Itu jumlah yang hanya cukup untuk membayar impor beberapa pekan.
Yang terbaru, negara adidaya Amerika Serikat secara akademis atau teknis sudah masuk ke dalam resesi karena pertumbuhan ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut. Inflasi yang melonjak tinggi, dan indikator terkuat mereka sudah jatuh ke jurang resesi adalah banyaknya warga yang sudah mulai kesulitan membayar tagihan mereka akibat Bank Federal Amerika Serikat menaikkan suku bunganya.
Baca Juga: Resesi bukan untuk Ditakuti
Bagaimana dengan Indonesia?
Mari kita lihat beberapa indikator utama
- Tingkat inflasi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia 4,35 persen (yoy) dan 3,19 persen (Januari–Juni 2022). Angka itu timpang secara drastis dengan inflasi di Sri Lanka yang sudah mencapai 50 persen bahkan disebut berpotensi mencapai 80 persen. Artinya, inflasi di negara kita masih masuk dalam kondisi moderat.
- Neraca perdagangan (ekspor dan impor)
Neraca perdagangan Indonesia yang surplus karena topangan komoditas yang harganya kini meningkat, yaitu batu bara dan kelapa sawit. Memang komoditas yang kini sangat terdampak secara global adalah komoditas pangan dan energi.
Meskipun kita importir minyak bumi, kita juga eksportir dalam jumlah besar untuk komoditas sawit dan batu bara. Bahkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari dua komoditas ini sudah mampu membuat realisasi penerimaan di APBN melewati target dari anggaran yang ditetapkan di tahun 2022.
- Neraca pembayaran utang
Rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto atau PDB di bawah 40 persn, atau masuk dalam kategori relatif aman. Namun, pertumbuhan utang kita lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak. Komposisi pinjaman luar negeri juga cukup besar. Dua hal ini harus dijadikan pertimbangan untuk melihat kemampuan bayar utang.
Utang Indonesia hingga akhir Mei 2022 mencapai Rp 7.002,24 triliun, atau setara dengan 38,88 persen PDB kita. Porsi utang didominasi oleh Surat Berharga Negara sebesar 88,20 persen dan 11,80 persen dari pinjaman dari total utang.
Sekarang mari kita bandingkan dengan penerimaan pajak sampai dengan semester I tahun 2022. Pemerintah mencatat realisasi pendapatan negara sebesar Rp 1.317,2 triliun pada semester I-2022. Realisasi ini tumbuh 48,5 persen dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy) yang sebesar Rp 887 triliun.
Pendapatan negara per semester I-2022 sudah mencapai 58,1 persen dari target APBN 2022. Adapun target pendapatan negara dalam APBN tahun ini adalah Rp 1.846,1 triliun. Sementara, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 868,3 triliun atau naik 55,7 persen secara yoy. Kemudian, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp 167,6 triliun atau naik 37,2 persen secara yoy dari Rp 122 triliun. Jadi, secara total penerimaan perpajakan per semester I-2022 sebesar Rp 1.035,9 triliun atau naik 52,3 persen dari periode tahun lalu yang sebesar Rp 680 triliun.
Di sisi lain, tahun 2022 ini pemerintah menyiapkan anggaran (1) membayar bunga berjalan sebesar Rp 405 triliun dan (2) membayar cicilan pokok yang akan jatuh tempo di tahun 2022, Rp 443 triliun.
Dengan total pembayaran di tahun 2022 sebesar Rp 843 triliun dan target penerimaan negara tahun 2022 sebesar 1.846 triliun, maka rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara adalah 45 persen. Artinya, 45 persen penerimaan negara habis terkuras untuk membayar utang saja.
Apa yang ditakutkan?
Satu kata, apa itu? Stagflasi. Stagflasi adalah kondisi perekonomian di mana inflasi tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi stagnan bahkan menurun.
Konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan terus mendorong naiknya harga energi dan pangan sehingga terjadi inflasi di negara-negara maju, termasuk negara kita dengan harga meningkat, produsen menanggung biaya lebih besar dalam produksi yang membuat mereka (produsen) berkontraksi, mengurangi produksi. Ini menjadi ancaman besar secara global, menimbulkan stagflasi.
Dan sudah kita lihat harga beberapa komoditas di negara kita pun naik, termasuk harga BBM yang mendapatkan subsidi terbesar dari APBN. Dalam situasi geopolitik yang tidak menentu, maka risiko kenaikan harga komoditas vital di negara kita seperti BBM diprediksi akan kembali terjadi. Dan ini akan berdampak besar terhadap kondisi perekonomian di negara kita.
Bank Dunia melalui laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022 memperingatkan terjadinya resesi ekonomi yang disertai dengan inflasi yang tinggi (stagflasi), dipicu oleh pandemi Covid-19 ditambah adanya konflik Rusia dan Ukraina.
Baca Juga: Aneka Resesi dan Cara Mengatasinya
Untuk itu pemerintah harus berhati-hati dan cermat melakukan pengelolaan perekonomian dengan melakukan realokasi subsidi yang tepat guna meredam inflasi.
Sementara itu, Bank Indonesia belum melakukan peningkatan suku bunga acuan, dengan menjaga di level 3,5 persen agar tetap di level yang aman.
Benteng pajak
Tentu saja ujung dari semua kekhawatiran itu adalah ketidakmampuan negara ini membayar utang-utangnya yang jatuh tempo dan memberikan berbagai subsidi kepada masyarakat luas. Namun kekhawatiran itu bisa berkurang bila penerimaan negara dari sektor perpajakan mampu melampaui target nasional dalam APBN.
Porsi pembiayaan utang yang sudah mencapai 45 persen dari APBN menunjukkan ketergantungan kita yang sangat tinggi kepada penerimaan pajak dalam memperbaiki rasio utang di masa datang. Ini jelas tugas berat bagi insan pajak (Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak) agar mampu memenuhi amanah dan harapan bangsa Indonesia dalam merealisasikan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.
Tidak ada cara lain yang lebih efektif dalam mencegah resesi tentu selain berhemat, mengetatkan ikat pinggang, dan terus mencari sumber-sumber penerimaan negara. Kita tidak bisa berharap terus dari kenaikan harga komoditas. Diversifikasi ekonomi harus segera dilakukan seraya mengurangi ketergantungan impor terhadap komoditas tertentu.
Dan tentu saja, pajak tetap akan menjadi penjaga stabilitas APBN negara ini dengan memasok penerimaan negara atas semua distribusi keuntungan/kekayaan yang dimiliki oleh perorangan maupun entitas (badan hukum) berupa pajak yang harus disetor ke kas negara. Tanpa pajak, negara tak ada.

Mengenal Hak dan Kewajiban Pajak Bagi UMKM

Libatkan 3 Perguruan Tinggi, Kanwil DJP Jaktim Kembali Gelar Ruang Belajar Pajak

Survei OJK: Kinerja Perbankan Tetap Optimis di Tengah Volatilitas Global dan Dinamika Makroekonomi Domestik

Mengenal Karakteristik Instrumen SVBI dan SUVBI dari Bank Indonesia

BCA Bagi Dividen Interim Tunai Sebesar Rp 5,23 Triliun

Sosialisasikan Program “Self Assessment”, P3HPI dan Universitas Esa Unggul Gelar Seminar dan Pelatihan Perpajakan

Dorong UMKM Naik Kelas, Tax Center Gunadarma Adakan “Workshop” Standarisasi Mutu dan Rantai Pasok

Kanwil DJP Jakbar Adakan Kegiatan Kite Belajar Pajak di Universitas Esa Unggul

3 Oknum Pegawai Pajak Jadi Tersangka Korupsi, Kanwil DJP Sumsel Babel Buka Suara

Gelar Tax Gathering 2023, Kanwil DJP Jakarta Khusus Beri Penghargaan Kepada 45 Wajib Pajak Patuh
Populer
-
Breaking News2 bulan ago
Peringati HUT ke-8, AKP2I Dorong Kepatuhan dan Integritas Konsultan Pajak
-
Breaking News3 bulan ago
Semarakkan HUT IKPI ke-58, IKPI Cabang Bekasi Gelar “5K Fun Walk”
-
Breaking News3 bulan ago
Rayakan HUT IKPI ke-58, IKPI Kembangkan Konsultan Pajak Kompeten dan Berintegritas
-
Breaking News2 bulan ago
Kecerdasan Buatan Bantu Pengelolaan Pajak
-
Breaking News2 bulan ago
KKP: Aplikasi E-PIT Integrasikan Layanan Hulu-Hilir Perikanan Tangkap dalam 1 Sistem
-
Breaking News2 bulan ago
Tingkatkan Potensi Pajak Daerah, Pemkab Bogor Hadirkan Layanan LAPOR PAK
-
Breaking News2 bulan ago
Gandeng Perhimpunan INTI, Kanwil DJP Jakbar dan Jaksus Gelar Seminar Pajak Bagi Investor
-
Breaking News2 bulan ago
Menko Airlangga: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Kunci Optimalisasi Pemberdayaan UMKM
You must be logged in to post a comment Login