Pertanyaan terkait utang berkali-kali muncul, baik melalui diskusi langsung maupun media sosial. Utang yang dimaksud adalah utang negara dan utang korporasi. Dari keduanya, yang lebih banyak mengundang diskusi tentu saja utang negara.
Sebagian besar pertanyaan lebih bernuansa kekhawatiran, bagaimana nasib ke depan kalau berutang. Sebagian bernuansa rasional, yaitu yang memang benar-benar ingin diskusi. Sebagian lagi bernada pesimis, yang pesimis agak susah diklasifikasikan. Terkadang mempertanyakan mengapa negara ini berutang terus, menumpuk utang yang tinggi. Tapi terkadang mempertanyakan ketidakmampuan menarik investasi asing, yang notabene bisa berupa ekuitas maupun pinjaman. Namun kalau urusan negara, tentunya pinjaman.
Lepas dari latar belakang dan motivasi pertanyaan tersebut, kita bisa melihat pinjaman secara objektif, manfaat, sekaligus hal-hal yang bisa membuat orang khawatir dengan adanya utang.
Utang itu bermanfaat karena bisa mendongkrak kinerja, pun sekaligus mengandung risiko, itu wajar. Ingin mendapatkan hasil yang lebih tinggi musti siap menanggung risiko, lalu apa risiko dari sebuah pinjaman?
Catatan mengenai risiko terkait pinjam-meminjam, risiko perlu dilihat dari sisi pemberi pinjaman atau sisi penerima pinjaman, sisi yang berbeda memunculkan risiko yang berbeda. Pinjaman dari sisi pemberi pinjaman berisiko rendah. Sebaliknya, pinjaman dari sisi penerima pinjaman berisiko tinggi.
Kita fokus saja dari sisi penerima pinjaman, karena pertanyaan yang muncul selalu terkait dengan pemerintah Indonesia, dan korporat di Indonesia selaku penerima pinjaman.
Risiko pinjaman dari sisi peminjam adalah kewajiban pengembalian, baik pokok pinjaman maupun imbal hasil pinjaman, termasuk dalam bentuk bunga. Risiko itu semakin terasa saat kinerja penerima pinjaman tidak bagus, yang tidak mampu menghasilkan cashflow untuk memenuhi kewajiban. Pemberi pinjaman tidak mau tahu dari mana uangnya, yang penting harus bayar.
Untuk korporasi, tentu pendanaan dalam bentuk ekuitas sangat rendah risikonya dari sisi penerima dana. Kalau kondisi tidak baik, tidak laba, atau laba terlalu kecil, direksi dan komisaris bisa mengusulkan untuk tidak bagi dividen. Kalau RPUS setuju, bisa ketok palu putusan tidak ada dividen. Penerima dana ekuitas tidak ada kewajiban apa-apa. Paling-paling direksi dan komisaris diganti.
Jadi, kembali ke pinjaman, penerima pinjaman menanggung risiko yang tinggi. Baik penerima pinjaman tersebut adalah korporasi maupun pemerintah. Bagi perusahaan, dana pinjaman diputar untuk menghasilkan uang, cash generating, untuk memenuhi kewajiban.
Kalau yang utang pemerintah, penggunaan dana pinjaman bisa beragam. Bisa untuk kegiatan yang bersifat fully recovered cash generating activities, misalnya diteruskan ke BUMN untuk membuat jalan tol, atau untuk partially recovered cash generating seperti untuk perguruan tinggi negeri, atau untuk non cash generating activities seperti membuat jalan umum, pengerukan sungai, penanganan banjir, dan lainnya.
Kalau pinjaman digunakan untuk fully recovered cash generating activities maka jelas bahwa uang dihasilkan dari kegiatan tersebut untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi pinjaman. Lalu bagaimana dengan penggunaan dana untuk non cash generating activities?
Dasarnya adalah dengan fasilitas yang dibangun pemerintah, maka kehidupan ekonomi menjadi lebih baik, dan sebagai akibatnya terjadi kenaikan penerimaan pajak oleh negara. Kenaikan pajak inilah yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi pinjaman.
Lalu erkait penggunaan dana untuk partially recovered cash generating activities, sebagian uang untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi pinjaman berasal dari kegiatan yang didanai tersebut dan sebagian lagi dari pajak.
Karena ada risiko tersebut, maka nafsu pinjam mesti dijaga. Terlalu banyak pinjaman bisa obesitas pinjaman, sewaktu-waktu ambruk. Ini berlaku untuk semua peminjam, baik individu, korporasi, sampai negara. Ada cara menghitungnya secara matematika keuangan. Untuk memudahkan, ada patokan umum yang bisa digunakan, rule of tumb.
Bisa menggunakan rasio antara utang terhadap PDB, dengan Indonesia di angka sekitar 38%, bandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 41%, Filipina 42%, Malaysia 50%, dan Vietnam 61%. Negara-negara maju lebih besar lagi porsi utangnya terhadap PDB. Britania mencapai 87%, Amerika Serikat 107%, Jepang 239%. Data ini dikutip dari website Kementrian Keuangan (https://www.kemenkeu.go.id/menjawabutang).
Sekarang dari sisi manfaat, apa gunanya pinjaman? secara singkat pinjaman dapat berperan dalam mengungkit kinerja, leverage. Misalnya dengan pinjaman negara dapat menyalurkan pinjaman tersebut untuk membangun jalan tol dan bandara sehingga kegiatan ekonomi meningkat, GDP naik, dan pinjaman dapat dibayar dari hasil jalan tol dan pelabuhan.
Dengan dana pinjaman, pemerintah dapat membangun waduk-waduk untuk pengairan pertanian maupun pembangkit listrik. Ujungnya sama, kegiatan ekonomi meningkat, GDP naik. Sebagian dari kenaikan GDP tersebut digunakan untuk memenuhi kewajiban. Sekali lagi, sebagian dari kenaikan GDP.
Jadi yang penting, selama kenaikan GDP lebih besar dari kewajiban yang harus dibayarkan kepada pemberi pinjaman, maka pinjaman tersebut bermanfaat. Bila beban pinjaman terlalu besar sehingga melebihi hasil dari pinjaman, penambahan pinjaman perlu dihentikan. Bila perlu dikurangi.
Dengan demikian, pinjaman memberi manfaat dalam kehidupan penerima pinjaman karena semakin makmur, dan memberi manfaat bagi pemberi pinjaman karena mendapat bagian hasil dari dana yang dipinjamkan tersebut.
Oleh: Profesor Bramantyo Djohanputro – Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM
You must be logged in to post a comment Login