Penegakan hukum pajak adalah bagaimana memperoleh pajak pada cara berpikir hukum yang benar. Bukper sebagai alat yang ditetapkan dalam UU patut dibaca pada tataran berpikir hukum— bukan sebagai teks semata.
Penegakan hukum (law enforcement) pajak melalui Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terus menyeruak menjadi problem menilai keadilan dan kepastian hukumnya. Problem ini berawal dari rumusan norma Pasal 43A UUKUP yang diubah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021 (UUKUP) masih menimbulkan ragam tafsir
Lalu, muncul dua pertanyaan, pertama, apakah setiap ada informasi, data, laporan dan pengaduan (lazim disebut IDLP) yang dimaksud Pasal 43A, fiskus bisa langsung lakukan Bukper tanpa didahului pemeriksaan biasa? Kedua, bagaimana keterhubungan norma Pasal 43A dengan norma Pasal 8 Ayat (3) mengenai pengungkapan dengan kemauan sendiri dalam Bukper?
Logika hukum menjadi rancu ketika Bukper hendak diterapkan dalam kasus. Karena terkesan penyusun UU ragu menempatkan Bukper hendak menjadi tatanan hukum administrasi atau hukum pidana. Itu sebabnya, penyidik pajak terbelah dua menilik keberadaan Bukper dalam makna hukumnya.
“Lex certa” dan “lex stricta”
Pasal 43A menyatakan, “Dirjen Pajak berdasarkan IDLP berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana pajak”. Lalu, penjelasannya menyatakan, “IDLP yang diterima dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukper atau tidak ditindaklanjuti.
Rumusan norma Pasal 43A tidak jelas jika dikaitkan dengan penjelasannya. Padahal, rumusan norma hukum harus jelas (lex certa) dan harus tegas (lex stricta). Penjelasannya memunculkan dua tafsir. Pertama, setiap IDLP mesti dilakukan pemeriksaan dahulu sebelum dilakukan Bukper. Alasannya ada kata “Pemeriksaan” yang mendahului frasa “Pemeriksaan Bukper”. Kedua, setiap ada IDLP bisa langsung di Bukper tanpa perlu pemeriksaan biasa. Alasannya, ada kata “atau”
Sekalipun makna hukum Bukper dipersamakan dengan “penyelidikan” dalam KUHAP sesuai Pasal 59 Ayat (3) PP 50/2022, publik bertanya, apakah maknanya saat ada IDLP bisa langsung dilakukan penyelidikan (Bukper)? Jika kita sepakat dengan cara berpikir itu, maka untuk apa ada lembaga “pemeriksaan” sebagaimana ditulis dalam penjelasannya. Di sisi lain, ada IDLP lalu diperiksa.
Perdebatan tafsir, lagi-lagi menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Harus diakui tidak mudah menyusun teks UU yang jelas. Teks UU kerap tidak jelas dan tidak tegas. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan cenderung menimbulkan ketidakpastian. Lebih menyulitkan lagi ketika teks penjelasan UU juga tidak jelas.
Oleh karenanya, ketika penyidik pajak langsung melakukan Bukper atas IDLP (tanpa didahului pemeriksaan biasa), lembaga pemeriksaan tidak berlaku. Kalau begitu, lembaga pemeriksaan dalam Pasal 29 UUKUP bisa dihapus. Artinya, Penyidik Pajak telah melakukan lompatan berpikir yang tidak logis alias keliru. Bagaimana mungkin atas IDLP langsung diindikasikan ada tindak pidana, tanpa diperiksa terlebih dahulu?
Lalu, apakah bahasa hukum penjelasan Pasal 43A harus dimaknai secara berurutan? Jika itu dinilai lebih adil dan berkepastian hukum, mengapa tidak dilakukan? Sungguh tidak masuk akal, jika Bukper dilakukan tanpa didahului pemeriksaan. Jika diperiksa terbukti ada indikasi pidana, lalu ditindaklanjuti Bukper (penyelidikan), maka jelas logika hukumnya.
Sikap kritis pun muncul, bagaimana mungkin setiap perbuatan “tidak menyampaikan SPT” atau “menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar”, sudah dinilai terindikasi pidana? Logika hukumnya tentu keliru. Lebih keliru lagi ketika mekanisme laporan pajak bersifat administratif, melulu ditarik ke ranah pidana.
Di sinilah muncul ketidakpastian dalam penegakan hukum pajak. Betapa berbahaya jika soal “tidak menyampaikan SPT” atau “menyampaikan SPT tidak benar”, disikapi dengan langkah hukum Bukper. Kecenderungan berpikir hukum mengutamakan Bukper, tidak tepat, sebab ini menimbulkan kesan “kegeraman memidana” menjadi cara utama menarik pajak.
Norma sebagai teks lentur
Perdebatan penegakan hukum pajak terus menjadi diskursus belum usai sekalipun telah terbit UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP). Kajian hukumnya jadi sorotan tajam dalam ragam seminar (webinar) yang penulis ikuti.
Kalau begitu, patut dikutip pandangan ahli hukum pidana Dr. Andi Hamzah dalam satu seminar (2013:73) yang mengingatkan, “pidana dalam pajak bukan untuk memidana orang sebagaimana perundang[1]undangan pidana melainkan hanya menakut-nakuti dan sebatas menggertak supaya ditaati”
Boleh jadi, pandangan hukum Andi Hamzah dipertanyakan kembali. Kalau begitu kapan pidana pajak dapat diterapkan? Jawaban filosofisnya ada dalam dua rumusan norma. Pertama, rumusan.
Pasal 8 Ayat (3) dan Ayat (4) UUKUP, yang esensinya menyatakan “WP dengan kemauan sendiri atau dengan kesadaran sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya”.
Kedua, Pasal 44B Ayat (2a) yang intinya mengedepankan pemulihan kerugian daripada pemidanaan. Artinya, pintu maaf selalu terbuka bagi Wajib Pajak dengan pengungkapan ketidakbenaran SPT yang telah disampaikan. Di sinilah kesadaran hukum atas dasar kemauan sendiri menjadi esensi penegakan hukum pajak. Bukan dasar kegeraman memidana WP.
Senada dengan itu, pemikiran filsuf Jerman Christian Wolff (1679–1754) layak menjadi alas berpikir filosofis terkait hukum (baca: hukum pajak). Dikatakan Wolf, “hukum itu berada dan mengalir dalam kewajiban”. Karena itu, tuntutan dasar dalam kehidupan manusia yang mesti dijamin hukum adalah berlaku adil.
Wolff, sebagai tokoh rasionalisme, memiliki penilaian hukum yang dilandasi penggunaan akal. Menurutnya, untuk menjadi bijaksana, seseorang memerlukan tiga norma. Pertama, jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, berikan kepada setiap orang menurut haknya (unicuique suum tribuere). Ketiga, bertingkah laku baik (honeste vivere).
Kalau begitu, rasionalisme pajak adalah rasionalisme berpikir hukum pada tataran yang bijaksana. Bukan pada teks UU yang kaku. Teks UU Pajak (UUKUP) adalah mestinya menjadi teks yang lentur. Teks yang dirumuskan dengan akal sehat. Teks yang dibaca pada cara berpikir hukum, bukan berpikir teks UU.
Teks UU harus dibaca menurut hukum. Memang, teks Pasal 43A bisa dibaca pada teks yang rigid (kaku), pada ragam tafsir yang penuh perdebatan. Tetapi bisa dibaca pada makna teks hukum yang sangat luas makna hukumnya. Pilihan mana yang hendak diikuti dan ditegakkan? Perlu perenungan yang dalam.
Persoalan penegakan hukum pajak adalah persoalan memperoleh pajak pada cara berpikir hukum yang benar. Bukper sebagai alat yang ditetapkan dalam UU patut dibaca pada tataran berpikir hukum (bukan teks semata). Sekalipun teks tidak jelas, kepastiannya bisa didapat jika teks dibaca pada kacamata hukum, supaya pajak dipungut dengan cara yang adil menurut hokum.
You must be logged in to post a comment Login