Connect with us

Opinion

Peningkatan “Plafond” KUR Pemerintah Untungkan UKM atau Konglomerasi?

Ajib Hamdani

Published

on

Jakarta, Majalahpajak.net –  Menarik mencermati arahan dan kebijakan Presiden Jokowi hari ini untuk menaikkan plafond Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan untuk Usaha Kecil Menengah (UKM), dari semula hanya Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta.

KUR adalah  kredit atau pembiayaan modal kerja dan atau investasi kepada debitur individu atau perorangan, badan usaha dan atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup. KUR ini didesain untuk usaha UKM yang secara financially feasible, tapi belum bankable.

UKM, sesuai dengan UU nomor 20 tahun 2008, dengan modal sampai dengan Rp 10 miliar atau memiliki omzet sampai dengan Rp 50 miliar, menopang lebih dari 60,8 persen PDB Indonesia.

Pemerintah sudah bagus memberikan komitmen dengan mengeluarkan regulasi dan insentif di sektor ini, karena sektor UKM inilah yang akan memberikan daya ungkit optimal terhadap pertumbuhan ekonomi. Termasuk kebijakan dalam bentuk KUR. Namun, menjadi pertanyaan lebih lanjut, ketika Pemerintah menaikkan plafond KUR dari Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta, apakah kebijakan ini sudah tepat?

Dengan peningkatan plafond ini, perbankan justru cenderung akan memberikan kredit ulang kepada debitur atau kluster bisnis UKM yang sudah menjadi bagian konglomerasi dan ekosistem bisnis yang ada, alih-alih menambah debitur baru. Karena tingkat risiko yang lebih rendah, ketika perbankan kembali menggelontorkan dana kepada debitur eksisting.

Pemerintah seharusnya lebih mendorong agar perbankan melakukan ekstensifikasi debitur, sehingga program KUR ini bisa lebih banyak menjangkau para petani, peternak, nelayan, pedagang, dan para UKM yang baru.

Pola penjaminan kredit harus lebih banyak menjangkau masyarakat luas, penambahan debitur, pemberian kemudahan layanan ke ekosistem bisnis yang baru dan fokus dengan sektor produksi di daerah-daerah. Sehingga KUR bisa lebih dirasakan oleh lebih banyak orang dan UKM baru yang sebelumnya belum tersentuh perbankan.

Kebijakan penambahan plafond KUR, akan lebih cenderung membuat perbankan melakukan intensifikasi atas debitur yang ada, bukan ekstensifikasi. Dalam kondisi pandemi seperti ini, seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih mendorong ekstensifikasi debitur KUR.

Program ini cukup baik dan positif untuk mendorong UKM, tapi cenderung kurang bijaksana. Karena akan lebih pro dengan konglomerasi dan ekosistem bisnis yang sudah ada, dibandingkan dengan pembentukan ekosistem dan debitur baru yang lebih membutuhkan akses KUR yang lebih luas.

 

Ajib Hamdani, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI

Dewan Redaksi Majalah Pajak dan Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi APINDO

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Opinion

Ragam Tafsir ‘Pemeriksaan Bukti Permulaan’

richart Burton

Published

on

Foto: Riva Fazry

 

Penegakan hukum pajak adalah bagaimana memperoleh pajak pada cara berpikir hukum yang benar. Bukper sebagai alat yang ditetapkan dalam UU patut dibaca pada tataran berpikir hukum— bukan sebagai teks semata.

Penegakan hukum (law enforcement) pajak melalui Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terus menyeruak menjadi problem menilai keadilan dan kepastian hukumnya. Problem ini berawal dari rumusan norma Pasal 43A UUKUP yang diubah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021 (UUKUP) masih menimbulkan ragam tafsir

Lalu, muncul dua pertanyaan, pertama, apakah setiap ada informasi, data, laporan dan pengaduan (lazim disebut IDLP) yang dimaksud Pasal 43A, fiskus bisa langsung lakukan Bukper tanpa didahului pemeriksaan biasa? Kedua, bagaimana keterhubungan norma Pasal 43A dengan norma Pasal 8 Ayat (3) mengenai pengungkapan dengan kemauan sendiri dalam Bukper?

Logika hukum menjadi rancu ketika Bukper hendak diterapkan dalam kasus. Karena terkesan penyusun UU ragu menempatkan Bukper hendak menjadi tatanan hukum administrasi atau hukum pidana. Itu sebabnya, penyidik pajak terbelah dua menilik keberadaan Bukper dalam makna hukumnya.

“Lex certa” dan “lex stricta”

Pasal 43A menyatakan, “Dirjen Pajak berdasarkan IDLP berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana pajak”. Lalu, penjelasannya menyatakan, “IDLP yang diterima dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukper atau tidak ditindaklanjuti.

Rumusan norma Pasal 43A tidak jelas jika dikaitkan dengan penjelasannya. Padahal, rumusan norma hukum harus jelas (lex certa) dan harus tegas (lex stricta). Penjelasannya memunculkan dua tafsir. Pertama, setiap IDLP mesti dilakukan pemeriksaan dahulu sebelum dilakukan Bukper. Alasannya ada kata “Pemeriksaan” yang mendahului frasa “Pemeriksaan Bukper”. Kedua, setiap ada IDLP bisa langsung di Bukper tanpa perlu pemeriksaan biasa. Alasannya, ada kata “atau”

Sekalipun makna hukum Bukper dipersamakan dengan “penyelidikan” dalam KUHAP sesuai Pasal 59 Ayat (3) PP 50/2022, publik bertanya, apakah maknanya saat ada IDLP bisa langsung dilakukan penyelidikan (Bukper)? Jika kita sepakat dengan cara berpikir itu, maka untuk apa ada lembaga “pemeriksaan” sebagaimana ditulis dalam penjelasannya. Di sisi lain, ada IDLP lalu diperiksa.

Perdebatan tafsir, lagi-lagi menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Harus diakui tidak mudah menyusun teks UU yang jelas. Teks UU kerap tidak jelas dan tidak tegas. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan cenderung menimbulkan ketidakpastian. Lebih menyulitkan lagi ketika teks penjelasan UU juga tidak jelas.

Oleh karenanya, ketika penyidik pajak langsung melakukan Bukper atas IDLP (tanpa didahului pemeriksaan biasa), lembaga pemeriksaan tidak berlaku. Kalau begitu, lembaga pemeriksaan dalam Pasal 29 UUKUP bisa dihapus. Artinya, Penyidik Pajak telah melakukan lompatan berpikir yang tidak logis alias keliru. Bagaimana mungkin atas IDLP langsung diindikasikan ada tindak pidana, tanpa diperiksa terlebih dahulu?

Lalu, apakah bahasa hukum penjelasan Pasal 43A harus dimaknai secara berurutan? Jika itu dinilai lebih adil dan berkepastian hukum, mengapa tidak dilakukan? Sungguh tidak masuk akal, jika Bukper dilakukan tanpa didahului pemeriksaan. Jika diperiksa terbukti ada indikasi pidana, lalu ditindaklanjuti Bukper (penyelidikan), maka jelas logika hukumnya.

Sikap kritis pun muncul, bagaimana mungkin setiap perbuatan “tidak menyampaikan SPT” atau “menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar”, sudah dinilai terindikasi pidana? Logika hukumnya tentu keliru. Lebih keliru lagi ketika mekanisme laporan pajak bersifat administratif, melulu ditarik ke ranah pidana.

Di sinilah muncul ketidakpastian dalam penegakan hukum pajak. Betapa berbahaya jika soal “tidak menyampaikan SPT” atau “menyampaikan SPT tidak benar”, disikapi dengan langkah hukum Bukper. Kecenderungan berpikir hukum mengutamakan Bukper, tidak tepat, sebab ini menimbulkan kesan “kegeraman memidana” menjadi cara utama menarik pajak.

Norma sebagai teks lentur

Perdebatan penegakan hukum pajak terus menjadi diskursus belum usai sekalipun telah terbit UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP). Kajian hukumnya jadi sorotan tajam dalam ragam seminar (webinar) yang penulis ikuti.

Kalau begitu, patut dikutip pandangan ahli hukum pidana Dr. Andi Hamzah dalam satu seminar (2013:73) yang mengingatkan, “pidana dalam pajak bukan untuk memidana orang sebagaimana perundang[1]undangan pidana melainkan hanya menakut-nakuti dan sebatas menggertak supaya ditaati”

Boleh jadi, pandangan hukum Andi Hamzah dipertanyakan kembali. Kalau begitu kapan pidana pajak dapat diterapkan? Jawaban filosofisnya ada dalam dua rumusan norma. Pertama, rumusan.

Pasal 8 Ayat (3) dan Ayat (4) UUKUP, yang esensinya menyatakan “WP dengan kemauan sendiri atau dengan kesadaran sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya”.

Kedua, Pasal 44B Ayat (2a) yang intinya mengedepankan pemulihan kerugian daripada pemidanaan. Artinya, pintu maaf selalu terbuka bagi Wajib Pajak dengan pengungkapan ketidakbenaran SPT yang telah disampaikan. Di sinilah kesadaran hukum atas dasar kemauan sendiri menjadi esensi penegakan hukum pajak. Bukan dasar kegeraman memidana WP.

Senada dengan itu, pemikiran filsuf Jerman Christian Wolff (1679–1754) layak menjadi alas berpikir filosofis terkait hukum (baca: hukum pajak). Dikatakan Wolf, “hukum itu berada dan mengalir dalam kewajiban”. Karena itu, tuntutan dasar dalam kehidupan manusia yang mesti dijamin hukum adalah berlaku adil.

Wolff, sebagai tokoh rasionalisme, memiliki penilaian hukum yang dilandasi penggunaan akal. Menurutnya, untuk menjadi bijaksana, seseorang memerlukan tiga norma. Pertama, jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, berikan kepada setiap orang menurut haknya (unicuique suum tribuere). Ketiga, bertingkah laku baik (honeste vivere).

Kalau begitu, rasionalisme pajak adalah rasionalisme berpikir hukum pada tataran yang bijaksana. Bukan pada teks UU yang kaku. Teks UU Pajak (UUKUP) adalah mestinya menjadi teks yang lentur. Teks yang dirumuskan dengan akal sehat. Teks yang dibaca pada cara berpikir hukum, bukan berpikir teks UU.

Teks UU harus dibaca menurut hukum. Memang, teks Pasal 43A bisa dibaca pada teks yang rigid (kaku), pada ragam tafsir yang penuh perdebatan. Tetapi bisa dibaca pada makna teks hukum yang sangat luas makna hukumnya. Pilihan mana yang hendak diikuti dan ditegakkan? Perlu perenungan yang dalam.

Persoalan penegakan hukum pajak adalah persoalan memperoleh pajak pada cara berpikir hukum yang benar. Bukper sebagai alat yang ditetapkan dalam UU patut dibaca pada tataran berpikir hukum (bukan teks semata). Sekalipun teks tidak jelas, kepastiannya bisa didapat jika teks dibaca pada kacamata hukum, supaya pajak dipungut dengan cara yang adil menurut hokum.

Continue Reading

Opinion

Peluang Optimalisasi Data Wajib Pajak setelah Program Pengungkapan Sukarela

 

Majalahpajak.netPentingnya pajak bagi perekonomian Indonesia masih sering dipandang sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat karena kurangnya pengetahuan mereka di bidang perpajakan serta banyaknya stigma negatif terkait perpajakan di kalangan orang awam. Akibatnya, banyak Wajib Pajak yang malah menghindar dan lari dari tanggung jawab mereka.

Rendahnya kesadaran Wajib Pajak Indonesia dapat dilihat dari selisih antara potensi penerimaan berdasarkan Wajib Pajak yang teregistrasi di database pajak dan realisasi penerimaan pajak melalui Wajib Pajak yang yang benar-benar melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Menanggapi fenomena tersebut, otoritas pajak di Indonesia terus melakukan upaya untuk memperkuat pemungutan pajak melalui berbagai regulasi dengan salah satu kebijakan yang baru-baru ini diterapkan, yakni Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Kebijakan PPS digadang-gadang menjadi kebijakan dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan. Wajib Pajak seharusnya mengetahui bahwa kebijakan PPS ataupun Tax Amnesty tidak diadakan setiap tahun sehingga idealnya di masa mendatang Wajib Pajak dapat patuh dalam bidang perpajakan secara sukarela.

Baca Juga: Membangun Kesadaran Pajak Lewat Citra Secarik Batik

Peningkatan rasa kesukarelaan Wajib Pajak dapat diukur dari tingkat pelaporan SPT hingga pembayaran pajak di tahun pasca kebijakan PPS dilaksanakan. Memang sudah seharusnya bahwa penilaian atas keberhasilan kebijakan dinilai berdasarkan dampak ‘ongoing‘-nya atau dampak berkelanjutan, bukan hanya dari tahun dilaksanakannya kebijakan tersebut. Kebijakan PPS memang sudah berakhir, namun ini seharusnya dijadikan awal yang baik untuk menumbuhkan rasa kepatuhan Wajib Pajak.

Meskipun begitu terdapat tantangan dan peluang untuk menyambut awal yang baru. Dimulai dari tantangannya yang sudah datang dari sebelum dilaksanakannya PPS. Kembali diulangnya program “pengampunan” pajak menimbulkan suatu persepsi di kalangan masyarakat bahwa kebijakan seperti PPS ini akan diadakan kembali. Apabila hal tersebut terjadi, hal ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintah karena terdapat potensi munculnya moral hazard dari masyarakat. Meskipun demikian, PPS juga memberi peluang yang baik untuk optimalisasi sumber data Wajib Pajak. Optimalisasi tersebut meliputi pengolahan atas basis data yang diterima baik dari Wajib Pajak lama maupun baru sehingga pengawasan lebih lanjut dapat dilakukan oleh otoritas pajak.

Mengapa optimalisasi data sangat penting?

Kategori

Badan

Orang Pribadi

Kebijakan 1

4.067 Wajib Pajak

78.389 Wajib Pajak

Kebijakan 2

225.063 Wajib Pajak

Melihat dari data kepesertaan atas surat keterangan yang diungkap oleh Wajib Pajak, jumlah Wajib Pajak yang mengikuti PPS tidak sedikit. Setidaknya terdapat 4.067 Wajib Pajak Badan dan 78.389 Wajib Pajak Orang Pribadi untuk kebijakan 1, serta 225.063 Wajib Pajak Orang Pribadi untuk kebijakan 2 yang menyerahkan surat keterangan. Surat keterangan ini ditunjukkan sebagai bukti keikutsertaan Wajib Pajak setelah melaporkan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH). Atas jumlah Wajib Pajak yang banyak tersebut, pemerintah dapat memanfaatkan data-data baru yang diberikan Wajib Pajak mengingat data-data baru tersebut mencakup lebih detail mengenai aktivitas ekonomi yang dilakukan dan kepemilikan harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Database yang diperoleh pemerintah pasca kebijakan PPS bermanfaat untuk menjadi salah satu pembanding untuk mengukur kepatuhan Wajib Pajak ke depannya.

Big Data Analytics

Pada era digitalisasi seperti sekarang ini, pemerintah memerlukan kemudahan dan kecepatan akses terkait data suatu transaksi, salah satunya melalui big data analytics. Pemerintah memanfaatkan big data yang dapat menciptakan beragam kebijakan dengan lebih cepat dan akurat terutama terkait pelayanan publik. Pengimplementasian big data dalam ranah perpajakan memiliki potensi yang sangat besar, seperti memperkaya data terkait profil Wajib Pajak untuk acuan pemberdayaan pengungkapan harta kekayaan yang disembunyikan sampai mendeteksi transaksi finansial yang dilakukan antar Wajib Pajak. Harapannya, akan tercipta kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak mengingat pemerintah sudah memiliki database dari masing-masing Wajib Pajak.

Baca Juga: Mengidamkan “School of Taxation” di Indonesia

Salah satu teknologi digital yang berkembang adalah Blockchain. Sifat Blockchain yang terdesentralisasi digunakan pada jaringan untuk melakukan proses validasi data dan penyimpanan pada node. Dalam bidang perpajakan, teknologi ini dimanfaatkan sebagai revolusi dalam administrasi perpajakan untuk membuat sistem perpajakan yang akurat, transparan, dan terpercaya. Di Indonesia sendiri, berbagai perusahaan finansial sudah memanfaatkan teknologi Blockchain seperti PT Bank Central Asia dalam upaya percepatan payment suatu transaksi dan dalam rangka meminimalisasi kompleksitas transaksi pada Back Office.

Penerapan teknologi Blokchain juga sangat menguntungkan dalam optimalisasi big data dari database PPS. Blockchain mampu melindungi transparansi, akurasi, dan keamanan database Wajib Pajak pasca kebijakan PPS. Dengan sistem kerjanya tersebut, berbagai pihak yang berkepentingan termasuk DJP dapat melakukan proses validasi data secara singkat dan mudah untuk pengawasan sehingga optimalisasi dapat dimanfaatkan dengan baik.

Continue Reading

Opinion

Double Taxation Sebabkan Biaya Tambahan pada Transaksi Lintas Batas

Giordano Rizky Indra Kusuma BATS Consulting

Published

on

Foto : Ilustrasi

 

Majalahpajak.net – Perdagangan lintas batas kian marak ditransaksikan oleh perusahaan multinasional seiring berkembangnya dunia bisnis. Namun, berhadapan dengan aturan pemajakan global oleh lebih dari satu yurisdiksi terkadang menciptakan biaya bisnis baru bagi perusahaan multinasional ini. Sengketa pajak acap kali terjadi dengan beberapa yurisdiksi sebagai konsekuensi transaksi lintas negara yang semakin kompleks. Managing Partner BATS-Consulting, Brian Pramudita, menyatakan bahwa penting bagi otoritas pajak berbagai negara bekerja sama memusatkan perhatian pada pengembangan proses penyelesaian sengketa yang lebih tepat dan kohesif demi menjaga perkembangan perdagangan internasional. Ini menjadi alternatif solusi khususnya bagi perusahaan privat berskala kecil hingga menengah untuk menyelesaikan sengketa pajak lintas negara mereka secara lebih efektif ketika permasalahannya melibatkan lebih dari satu otoritas pajak. Lebih dari itu, kepastian bagi pembayar pajak untuk terhindar dari pemajakan berganda perlu menjadi fokus dari setiap implementasi kebijakan pajak internasional.

Kompleksitas Pemajakan Internasional

Lanskap pajak global semakin menuju perubahan eksponensial yang dapat berdampak signifikan bagi perusahaan yang bertransaksi lintas negara. Pada tahun 2021 lalu misalnya, telah dilakukan diskusi bersama antara OECD dan negara anggota G-20 yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) dan menghasilkan kesepakatan dua pilar utama sebagai pondasi pemajakan sektor ekonomi digital bagi perusahaan multinasional.

Pillar One: Unified Approach, pilar ini berupaya memberikan solusi terkait hak dan basis pemajakan yang lebih adil bagi yurisdiksi pasar atas penghasilan yang diperoleh perusahaan dari yurisdiksi tersebut tanpa didasarkan lagi pada kehadiran fisik perusahaan bersangkutan.

Pilar 1 diimplementasikan pada seluruh sektor perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global melebihi €20 Miliar dan profitabilitas diatas 10%. Berdasarkan roadmap yang disepakati, threshold ini disesuaikan menjadi €10 Miliar setelah evaluasi implementasi kebijakan terkait Pilar 1 berjalan selama 7 tahun. Kesepakatan terakhir mengusulkan pengenaan pajak 25% dari residual profit yang hak pemajakannya diberikan kepada yurisdiksi pasar.

Baca Juga: TAX INNOVATION: TAX HEALTH CHECK WITH ARTIFICIAL INTELLIGENCE

Pillar Two: Global Anti Base Erosion (GloBE), pilar ini berupaya mengurangi persaingan pajak sekaligus melindungi basis pajak dengan penerapan tarif pajak PPh Badan minimum (global minimum tax).

Pilar 2 diterapkan bagi grup perusahaan dengan peredaran bruto global diatas €750 juta. Kebijakan tersebut menghadirkan usulan nilai pajak minimum sebesar 15% yang harus dibayarkan perusahaan multinasional atas pendapatan yang timbul pada tiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Jika terdapat selisih antara tarif pajak efektif perusahaan dengan tarif pajak minimum, maka yurisdiksi domisili dapat menerapkan top-up tax atau pajak tambahan atas perusahaan yang memiliki effective tax rate dibawah 15%.

 

Kewajiban seperti pembuatan country-by-country reporting (CbCR) untuk perusahaan multinasional dengan peredaran bruto konsolidasi melebihi €750 juta (berdasarkan OECD guidance atau dinilai setara dengan Rp11 Triliun di Indonesia) menjadi acuan penetapan threshold pada Pilar 2. Pasalnya, hasil CbCR yang dilaporkan perusahaan akan dipertukarkan antar yurisdiksi berdasarkan perjanjian internasional. Informasi ini akan memudahkan implementasi top-up tax bagi perusahaan yang terindikasi dikenakan effective tax rate dibawah global minimum tax.

Berbeda dengan Pilar 1 yang bersifat wajib, Pilar 2 lebih fleksibel dan bersifat tidak wajib. Usulan kedua pilar ini diharapkan dapat mencapai tahap finalisasi hingga tahap implementasi di negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) pada tahun 2023. Dengan demikian, berdasarkan roadmap awal, evaluasi implementasi terkait penyesuaian threshold Pilar 1 dari €20 Miliar menjadi €10 Miliar akan dilakukan pada 2030.

Implikasi Bagi Perusahaan Privat

Rekomendasi terkait Pilar 1 dan Pilar 2 disambut baik dunia internasional mengingat laju pekembangan dalam perdagangan dan bisnis internasional. Namun, usulan ini menimbulkan klaim ketika proposal Pilar Dua OECD diimplementasikan, ada potensi kontroversi yang lebih besar di tingkat internasional, baik antara pembayar pajak dan yurisdiksi ataupun antar yurisdiksi itu sendiri, mengenai alokasi pendapatan yang tepat jika implementasi tidak dibarengi dengan mekanisme penyelesaian sengketa pajak yang efisien antara dua atau lebih negara. Perhatian internasional belum memadai untuk memungkinkan pembayar pajak, terutama perusahaan berskala kecil dan menengah dapat secara efektif menyelesaikan sengketa pajak lintas negara mereka ketika lebih dari satu otoritas pajak terlibat.

Sementara itu, terjadi potensi peningkatan tax audit yang menimbulkan lebih besar biaya bisnis sebagai hasil dari perkembangan laju perdagangan lintas negara. Hal ini akan menjadi masalah saat lebih dari satu yurisdiksi mengklaim berhak memungut pajak dari perusahaan atas suatu sumber penghasilan yang sama. Penting untuk dicatat bahwa tujuan awal dibuatnya tax treaty adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda di lingkup internasional. Sangat disayangkan apabila kompleksitas pajak internasional menurunkan kepatuhan pajak perusahaan secara agregat sehingga dapat menjadi biaya apabila terjadi pelanggaran.

Sengketa pajak yang terjadi sebagai hasil perdagangan lintas negara lebih difokuskan pada kasus bisnis dengan transaksi yang besar. Bagi perusahaan multinasional menengah ke atas, menyediakan budget investasi untuk penyelesaian sengketa ini menjadi sangat masuk akal. Namun, untuk perusahaan privat menengah ke bawah umumnya mempertaruhkan lebih sedikit sengketa dari sisi moneter dibandingkan perusahaan multinasional yang besar. Dalam artian, mereka mungkin mendapati kondisi dimana mereka terlibat konflik yang tidak proporsional dengan otoritas pajak di yurisdiksi lain. Dengan tidak adanya alternatif yang lebih hemat bagi perusahaan privat yang berskala lebih kecil ini, memungkinkan perusahaan menerima munculnya potensi pajak berganda sebagai biaya baru dalam menjalankan bisnis.

Solusi Dibutuhkan untuk Perdagangan Lintas Batas yang Efisien

Solusi yang lebih baik dalam menekan potensi sengketa pajak lintas negara diperlukan untuk memastikan bahwa pajak berganda tidak kemudian menjadi norma yang dapat diterima perusahaan multinasional menengah ke bawah atas adanya perdagangan lintas negara. Opini bermunculan terkait Pilar Dua OECD yang seharusnya menyertakan usulan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien terutama bagi perusahaan berskala kecil hingga menengah untuk meminimalkan biaya bisnis. Alternatif solusi diperlukan untuk menangani perselisihan yang lebih kecil secara lebih efisien, sehingga mengurangi potensi untuk mengajukan keberatan atau gugatan ulang atas bidang-bidang dimana resolusi telah tercapai.

Baca Juga: Negara Ini Bergantung kepada Pajak

Sistem arbitrase pajak yang terintegrasi mungkin diperlukan dimasa yang akan datang, khususnya bagi perusahaan multinasinal ataupun wajib pajak taraf menengah ke bawah yang memperoleh penghasilan dari luar negeri, mengingat perkembangan laju perdagangan lalu lintas antar negara semakin pesat. Dengan adanya sistem tersebut dapat dijadikan sarana agar sengketa kecil yang timbul baik antara wajib dan otoritas pajak maupun antar yuridiksi, dapat diselesaikan melalui proses verifikasi yang cepat, tepat, serta tidak memerlukan biaya besar.

Diperlukan pula upaya bersama dari negara yang memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) untuk menciptakan skema administrasi terintegrasi yang memberikan aktivitas pemajakan yang lebih mudah bagi wajib pajak masing-masing negara mitra. Misalnya langkah kohesif inovasi sistem terintegrasi antar yuridiksi mitra P3B untuk memperoleh fasilitas P3B. Untuk menikmati fasilitas P3B, wajib pajak negara mitra perlu melaporkan Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN kepada otoritas pajak negara domisili. SKD ini memuat informasi bahwa wajib pajak bersangkutan benar-benar warga negara mitra yang telah mendapat pengesahan dari Competent Autority sebagai otoritas berwenang dari negara mitra sehingga layak mendapatkan fasilitas P3B di negara domisili.

Apabila terdapat suatu sistem yang telah terintegrasi antar yuridiksi mitra P3B, maka skema pemberian manfaat bagi wajib pajak negara mitra untuk mendapat fasilitas dari P3B akan semakin mudah. Pengesahan yang didapatkan dari Competent Autority sebagai otoritas berwenang kepada wajib pajaknya hingga proses verifikasi di negara domestik menjadi semakin efisien. Dengan begitu, wajib pajak berskala kecil dan menengah semakin mudah terjangkau fasilitas P3B yang memang seharusnya mereka peroleh. Namun, terlepas dari segala upaya tersebut, keadilan bagi pembayar pajak untuk terlepas dari jerat biaya pemajakan berganda perlu menjadi salah satu indikator yang layak dievaluasi atas efektivitas implementasi kebijakan pajak internasional bagi wajib pajak yang melakukan transaksi lintas negara.

Continue Reading

Populer