Kenormalan baru seharusnya menjadi momentum mengubah “mindset”. Dana untuk investasi harus dialokasikan sejak awal.
Di tengah situasi serbasulit karena wabah korona, kita perlu pintar mengatur uang. Jangan sampai kita justru lebih boros atau salah memilih jenis investasi.
CEO and Founder Tatadana Tejasari menganjurkan, kita harus selektif memilih pengeluaran. Untuk memulainya, bikinlah skala prioritas. Artinya, penuhi kebutuhan primer dulu, yaitu yang berkaitan dengan kesehatan dan berbagai iuran domestik.
“Pastikan membeli makanan bergizi, vitamin, listrik, internet, kredit kalau ada. Sangat fatal kalau kita lebih mementingkan belanja baju tapi mengorbankan premi asuransi kesehatan, listrik enggak dibayar. Inilah waktunya kita berhemat, bertahan hidup, fokus kebutuhan basic,” ujar Teja kepada Majalah Pajak melalui telepon, Jumat (15/5).
Teja menyarankan kita membuat dua rekening—satu khusus untuk pengeluaran, satunya lagi untuk menyimpan dana darurat atau tabungan. Untuk menghindari godaan pemborosan, hapuslah semua aplikasi belanja di telepon pintar.
Baca Juga: Investasi ORI, Minim Risiko dan Membantu Pulihkan Ekonomi
“Kalau rekening untuk belanja sudah habis di tengah jalan, kita harus evaluasi. Contoh, pos makan yang tinggi kita ternyata karena sering beli on-line, jajan kopi on-line, cemilan on-line. Harus diubah kebiasaan—makanya jangan sering scroll aplikasi belanja, kadang kita iseng, beli. Padahal di rumah bisa masak, kan?” sebutnya.
Momentum investasi
Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, baru kita dapat mengalokasikan pendapatan untuk menabung atau berinvestasi. Karyawan yang berpenghasilan tidak terganggu, misalnya Aparatur Sipil Negara (ASN), sebaiknya mencoba investasi saham. Sementara bagi mereka yang berpendapatan terdampak, sebaiknya memilih investasi yang mudah dicairkan dan bersifat jangka pendek, seperti deposito atau reksa dana. Patokannya, dana darurat dari tabungan atau investasi minimal sebesar pengeluaran kebutuhan untuk enam bulan ke depan.
“Saham (industri) kesehatan memang lagi bagus, hanya enggak semurah biasanya. Alternatif yang bagus bisa memilih saham yang sekarang jatuh tapi akan bagus pascapandemi,” kata Teja.
Hal senada juga dikatakan Chief Investment Officer PT Jagartha Penasihat Investasi (Jagartha Advisors) Erik Argasetya. Menurutnya, kondisi saat ini adalah waktu yang tepat untuk disiplin berhemat dan investasi.
“Mindset kita spending dulu baru investasi. Artinya, perilaku masyarakat Indonesia tergolong konsumtif. Seharusnya dana investasi menjadi bagian dari alokasi awal.”
“The new normal adalah momentum bagi masyarakat untuk berinvestasi dan menabung—tentu tanpa mengorbankan pengeluaran rutin dan mendasar,” kata Erik melalui telepon, Senin (18/5).
Erik mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia selama ini mengalokasikan 50 persen pendapatan untuk konsumsi, 30 persen untuk kredit, 15 persen untuk kebutuhan hiburan—menonton bioskop dan konser, berbelanja kebutuhan sekunder. Sisanya baru untuk menabung atau pengeluaran tak terduga.
Baca Juga: Sambut Normal Baru, OJK Terbitkan Stimulus Lanjutan untuk Perbankan
“Mindset kita spending dulu baru investasi. Artinya perilaku masyarakat Indonesia tergolong konsumtif. Seharusnya dana investasi menjadi bagian dari alokasi awal,” kata Erik.
Langkah investasi dimulai dengan menganalisis tujuan. Bagi investor dengan tujuan jangka pendek sampai menengah, Erik sepakat merekomendasikan reksa dana atau deposito. Investasi saham bisa dipilih oleh investor dengan tujuan jangka panjang. Senada dengan Teja, Erik menyarankan memilih saham sektor konsumsi, kesehatan, dan telekomunikasi.
Kondisi sekarang juga dapat dimanfaatkan untuk mengulas kembali portofolio investasi yang sudah dipilih. Investor harus cermat sebelum mengambil keputusan.
“Satu hal yang harus diingat risk profile seorang investor pun dapat berubah sesuai dengan tujuan investasi yang berubah, usia, kondisi finansial dan juga kondisi pasar seperti yang terjadi saat ini,” jelasnya.
Investasi alternatif
Dalam berinvestasi, Erik menyarankan investor untuk melakukan diversifikasi. Katanya, “Diversification is key in investing.” Investor bisa mencoba alternatif investasi selain aset konvensional (deposito, obligasi, dan saham), misalnya, equity crowdfunding (ECF), project financing, dan peer-to-Peer (P2P) lending.
ECF merupakan proses menghimpun sejumlah dana untuk sebuah proyek atau usaha dengan sistem pembelian saham. Sedangkan P2P dilakukan dengan mengumpulkan dan menyalurkan dana dan membagikan bunga dan pokok selama periode waktu yang sudah disepakati.
Menurut Erik, ECF sangat cocok untuk startup yang ingin memperoleh akses pendanaan di pasar modal. ECF tertuang dalam Peraturan OJK/POJK Tahun 2018 Tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding).
“ECF investasi alternatif yang cukup baru di Indonesia, meskipun di luar negeri sudah sangat ngetren. Jadi, sifatnya, Anda punya perusahaan butuh dana, kita dapat membantu dengan berpartisipasi sebagai investor. Nah, si investor menjadi stakeholder di perusahaan itu,” jelasnya.
ECF berpotensi memberikan imbal hasil yang lebih baik dibandingkan aset konvensional.
“Kenapa begitu, karena ECF lebih rendah korelasinya atau pergerakannya dibandingkan dengan aset konvensional. Misalnya, saham kita dari Febuari sampai Maret, kan, turun; ECF tidak terlalu terpengaruh. Saham, obligasi, reksa dana biasanya korelasinya kuat, terpengaruh dengan sentimen jual-beli,” papar Erik.
Baca Juga: 6 Langkah BI Jaga Stabilitas Sistem Keuangan dan Memitigasi Dampak COVID-19
Namun perlu diingat, semakin besar potensi imbal hasil, semakin tinggi pula risiko. Jadi, investor harus memiliki pemahaman yang komprehensif atas proyek atau usaha yang dipilih.
You must be logged in to post a comment Login