PDATE (Perusahaan Daerah Aneka Tambang dan Energi) berdiri berdasarkan Perda No 31 Tahun 2006. Visi kami adalah mewujudkan perusahaan yang profesional, kompetitif, dan mandiri guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Kabupaten Sukabumi memiliki konsesi pertambangan bijih besi sekitar 4.881 hektare, pasir besi kurang lebih 327,5 hektare, batu kapur atau gamping 10 hektare. Selebihnya adalah kwarsa dan tanah liat (clay), trass, terus pasir beton dan pasir pasang; dan andesit.
Untuk bidang energi, tahun 2010 kami sudah kaji di wilayah Kabupaten Sukabumi ternyata yang lebih memungkinkan adalah energi mikrohidro. Kami punya banyak curug yang deras. Nah, kenapa belum bisa kami laksanakan? Ya karena kita harus mengandalkan uang rakyat. Mungkin cara menjelaskan harus kita desain sedemikian rupa supaya bisa lebih diterima. Ini kan untuk pemberdayaan masyarakat. Di sukabumi masih banyak yang belum teraliri listrik. Pembangunan energi ini padat modal, BEP-nya lama. Karena ini lebih ke pelayanan untuk masyarakat. Kerja sama dengan mitra belum memungkinkan karena investasinya harus besar, sedangkan pendapatannya kecil, walaupun pasti dibeli oleh PLN.

Zaenal
Direktur Operasional PDATE Kabupaten Sukabumi
Sekarang ini target pajak nasional dari sektor pertambangan mencapai Rp 400 triliun. Kami berpendapat target tersebut sulit direalisasikan, bahkan tidak akan tercapai untuk tahun 2015. Sampai sekarang—ini kan sudah lewat tengah semester—saya belum dengar ada hasil pertambangan yang diekspor dengan regulasi yang sekarang. Kami dengar pajak ekspor itu 20 persen dari nilai jual. Bagi pengusaha barangkali pajak ini masih oke. Tapi dengan syarat-syarat lainnya, seperti membangun smelter. siapa yang mampu? Membangun smelter itu, kalau mau asal-asalan saja butuh hampir Rp 4 triliun.
Menurut kami, solusinya tidak harus ke smelter, dulu. Pemerintah harus berani memperbaiki regulasi yang sudah ada. Bagaimana caranya agar ada sinkronisasi antara aturan yang terbit dengan program pemerintah yang sudah dicanangkan, sehingga nantinya daerah punya acuan dalam membuat turunan aturan. Jangan sampai ketika daerah menggali potensi perpajakan dan retribusi, pemerintah pusat mengeluarkan aturan yang memangkas upaya daerah.
Masalah bertambah lagi dengan lamanya proses perizinan. Jangan jauh-jauh ke logam deh, kita ke nonlogam. Dulu di, kabupaten, pengajuan izin wilayah pencadangan, eksplorasi, sampai IUP itu bisa beres dalam dua bulan. Pengajuan wilayah satu minggu, pengajuan eksplorasi tidak harus sebulan karena tambangnya ada di permukaan tanah. Tapi sekarang, yang menerbitkan izin itu pemerintah provinsi.
Kami sudah melaksanakan satu uji coba. Penerbitan IUP perlu waktu hampir empat bulan, dihitung sejak proses pengajuan. Untuk pencadangan saja, yang dulu bisa selesai dalam satu minggu, sekarang bisa empat hingga lima bulan. Ya, bagaimana tidak, aturan dimunculkan tapi juklak dan juknisnya belum ada.
Kenapa sampai sekarang kita belum ada galian emas, galian apa, batu basi, pasir besi? Pertama, karena tidak ada sinkronisasi aturan yang mengatur kaitan pertambangan dengan pertanahan dan perkebunan. Definisi tambang, definisi tanah, tidak sinkron. IUP boleh diterbitkan tanpa membebaskan lahan dulu, maka diterbitkanlah IUP. Tapi saat mau eksekusi harus ada clear and clean. Nah, itu ada di BPN, dan belum tentu BPN mengizinkan. Alhasil, mereka tidak bisa bergerak meski izin sudah kadung diterbitkan. Akhirnya, banyak izin yang tidak optimal, tidak bekerja. Aturan baru ini sangat terasa bagi pengusaha yang modalnya terbatas. Bahkan sekarang yang modalnya dari Cina sekalipun, sudah lari dari sini ke Australia.
Jadi, ada regulasi dan turunannya yang banyak tidak berkesesuaian dengan yang terjadi di lapangan, sehingga proses perizinan menjadi ribet dan pengawasannya pun lemah. Coba sekarang, pengawasan pelaksanaan pertambangan itu langsung dari pusat, padahal SDM mereka belum siap. Daerah tidak punya wewenang lagi, sehingga kami berpikir, “Mau disepertiapakan pertambangan ini? Terbit IUP tapi tidak dijalankan, izin terbit tapi tidak dijalankan.” Kan, kasihan juga daerah. Dia tidak punya data berapa yang harus disetor. Andaikan ada koordinasi yang lebih baik, mestinya dari pajak terkait pertambangan saja, kami bisa membangun daerah kami.
Pengawasan yang lemah, ribetnya perizinan, juga membuat illegal mining masih terus berlangsung. Memang ada ketentuan pidananya. Tapi kelihatannya masyarakat tidak takut itu. Prinsip mereka, “Ini lahan kami. Kami mau jual seluruhnya juga tidak apa-apa. Apalagi ini cuma dijual sebagian.”
Jadi, menurut kami, di samping perlu regulasi yang harmonis, harus ada pengawasan yang efektif dan benar.
Kenapa sampai sekarang kita belum ada galian emas, galian apa, batu basi, pasir besi? Pertama, karena tidak ada sinkronisasi aturan yang mengatur kaitan pertambangan dengan pertanahan dan perkebunan.
Jangan sampai ketika daerah menggali potensi perpajakan dan retribusi, pemerintah pusat mengeluarkan aturan yang memangkas upaya daerah.
You must be logged in to post a comment Login