Connect with us

TAX CHRONICLE

Momentum Kerja Rampak dan Serentak

Majalah Pajak

Published

on

Gbr Ilustrasi

Hari Pajak tak boleh berakhir menjadi seremoni tahunan yang kemudian dilupakan.

Bulan ini, tepatnya 14 Juli 2019, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merayakan Hari Pajak untuk yang kedua kalinya. Sejumlah kegiatan pun dilakukan oleh internal DJP, mulai dari kantor pusat hingga seluruh unit vertikal di bawahnya. Semua mengusung napas yang sama, yakni menggaungkan kepedulian dan kesadaran masyarakat tentang pajak.

Sejumlah kegiatan pun dilakukan serentak dan rampak. Ada yang dibungkus dengan tema seni, olahraga, diskusi hingga Bussiness Development Services Fair. Mengusung tema “Bersama Dukung Reformasi Perpajakan”, agaknya tahun ini DJP ingin menekankan kepada seluruh elemen masyarakat bahwa DJP tak henti-hentinya memperbaiki institusi untuk memberikan kinerja yang maksimal. Di sisi lain, seiring target penerimaan yang semakin tinggi, DJP tak bisa bekerja sendiri. Dukungan dari seluruh pemangku kepentingan tentu saja sangat diharapkan.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyampaikan, kinerja DJP tahun 2018 lalu sudah cukup baik. DJP mampu merealisasikan target sebesar Rp 1315 triliun atau sekitar 92,4 persen dari target yang dibebankan. Penerimaan pajak tahun 2018 tumbuh 14 persen dari realisasi tahun sebelumnya. Sementara tahun ini, DJP mendapatkan amanah mengumpulkan penerimaan yang lebih berat, yakni sebesar Rp 1570 triliun. Tumbuh 19,9 persen dari realisasi tahun 2018. Kontribusi pajak tahun ini sebesar 73 persen terhadap total pendapatan negara tahun 2019. Namun demikian Robert mengakui, data hingga 31 Mei lalu menunjukkan, jika dilihat dari capaian pertumbuhan, penerimaan pajak belum begitu memuaskan.

“Sampai dengan Mei kami baru mengumpulkan Rp 457 triliun, tumbuh sekitar 2,43 persen. Jadi terlambat dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun 2018. Waktu itu kita tumbuh 14,72 persen. Ini berarti, kami masih harus bekerja lebih keras, lebih efektif dan efisien, untuk mengejar target yang sudah ditetapkan,” ujar Robert di Kantor Pusat DJP, Sabtu (6/7).

Untuk meningkatkan kinerja institusinya, Robert mengatakan, DJP melakukan berbagai upaya. Di samping senantiasa meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, DJP juga mengakselerasi akses mendapatkan data perpajakan baik dari dalam maupun luar negeri. Di sisi internal, koordinasi antarunit vertikal juga dilakukan lebih intensif.

“Kami juga melakukan komunikasi intensif dengan Kanwil-Kanwil DJP melalui kegiatan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui cara pasti peluang dan tantangan ke depan seperti apa. Jadi kami di kantor pusat, didampingi Direktorat Potensi, Direktorat Pemeriksaan, Direktorat Penegakan Hukum, Direktorat Ekstensifikasi, Dan Direktorat Intelijen, kami berembuk untuk situasi ke depan.”

PR reformasi

Di luar tantangan target penerimaan, saat ini DJP juga masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan. Pertama, melanjutkan program reformasi perpajakan yang terdiri atas lima pilar, yakni perbaikan organisasi, sumber daya manusia, perbaikan proses bisnis; teknologi informasi, dan regulasi. Menurut Robert, pintu utama dari rangkaian reformasi itu adalah pengadaan core tax system, yaitu teknologi informasi yang lebih mengedepankan otomasi yang memasukkan semua informasi proses bisnis ke dalam satu sistem terintegrasi. Hal itu otomatis akan mengubah proses bisnis, organisasi, juga mengubah cara SDM bekerja.

Robert menekankan, hingga saat ini sudah banyak capaian hasil yang ditorehkan dalam program reformasi perpajakan, termasuk pembentukan direktorat baru yang bulan ini di-launching oleh DJP, yakni Direktorat Data Informasi Perpajakan. Sementara Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI) dan Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (TIP) akan digabung menjadi satu direktorat.

“Kami lakukan ini karena menjadi sesuatu yang sangat sentral dalam pelaksanaan tugas ke depan. Dan kurang lebih tata kelola bisa berubah secara signifikan dari mulai data masuk, filter, cleansing, matching, yang bisa terotomasi dalam satu sistem. Mudah-mudahan dengan membuat satu direktorat datang, kualitas pelaksanaan tata kelola data bisa meningkat dengan baik,” harap Robert.

Untuk perbaikan pengelolaan SDM, DJP juga mencoba menerapkan formulasi baru agar penempatan tugas sesuai talenta dan kompetensi pegawai. Manajemen promosi dan mutasi juga dibuat dengan aturan main yang transparan dan adil dengan tahapan-tahapan sesuai standar yang ditentukan.

Situs pelayanan terpadu

Di sisi pelayanan, DJP juga akan lebih mengoptimalkan pelayanan dengan cara on-line. Jika selama ini pusat pelayanan ada di TPT (tempat pelayanan terpadu), ke depan sistem pelayanan akan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi melalui website pelayanan tersendiri. Wajib Pajak yang ingin bertanya bisa langsung ke website.

“Kami sudah berembuk untuk merencanakan dan melaksanakan, ke depan TPT itu harus di-handle oleh website tersendiri. Website itu nanti akan dikelola oleh ratusan pegawai. Kalau Wajib Pajak tidak puas di website nanti kami siapkan call center. TPT yang terisi call ini kita tutup saja. KPP-KPP tidak usah didatangi Wajib Pajak karena hampir semua pelayanan bisa dilayani dengan teknologi informasi—dalam hal tertentu saja Wajib Pajak bisa datang ke KPP,” terang Robert.

Dengan adanya situs pelayanan terpadu, DJP memiliki standar jawaban yang seragam untuk setiap pertanyaan Wajib Pajak. Apalagi saat ini DJP memiliki 250 KPP, dan 250 KP2KP. Artinya, kata Robert, ada 500 titik yang bisa didatangi Wajib Pajak sehingga standar jawaban pun beda-beda. Dengan adanya website yang diampu oleh ratusan expert berpengetahuan mumpuni, diharapkan standar jawaban pun sama.

“Jadi, ini yang ingin kami benchmark di kantor pajak luar negeri. Rata-rata kantor pajak di luar negeri itu enggak pernah didatangi Wajib Pajak, hanya by appointment,” tutur Robert.

Soal pelayanan Wajib Pajak berbasis teknologi informasi seperti yang disampaikan Robert, barangkali Indonesia bisa belajar dengan Korea Selatan. Melalui Nation Tax Service, Negeri Ginseng ini berhasil membuat inovasi baru yang disebut Home Tax Service (HTS). Dengan teknologi itu, Korea Selatan mencoba menerapkan prinsip e-government di bidang pelayanan pajak, yang dapat diakses melalui www.hometax.go.kr. Upaya itu ternyata berdampak positif dan terasa bagi seluruh kalangan masyarakat Korea. Masyarakat yang sebelumnya malas membayar pajak karena kesan harus ke kantor pajak dan menghadapi proses yang panjang dan berbelit menjadi lebih terbuka dengan pajak. Melalui aplikasi HTS, seluruh pertanyaan mengenai pajak dan fasilitas tentang pajak tersedia. Menu HTS yang ada pun menjawab seluruh permasalahan pajak.

PPh 20 persen dan regulasi “e-commerce”

Saat ini DJP juga tengah mengusulkan Rancangan Undang-Undang agar tarif PPh Badan lebih rendah. Hal ini untuk menjawab keinginan Presiden Joko Widodo yang menginginkan tarif PPh badan segera diturunkan ke level 20 persen, dari tarif sebelumnya 25 persen. Kendati berpotensi menyebabkan hilangnya pendapatan negara, dalam jangka panjang kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

“(RUU) itu sedang disiapkan. Apakah RUU PPh, apakah ada undang-undang ‘omnibus’ yang berlaku umum sehingga satu Undang-Undang bisa meng-address PPh dan PPN,” terang Robert. Selain RUU PPh, Robert mengatakan, saat ini pemerintah juga sedang mengusulkan RUU PPN dan RUU Bea Materai yang masih menggunakan Undang-Undang tahun ’85-an

Di sisi ekonomi digital, saat ini DJP terus mengkaji aturan perpajakan sektor digital ekonomi domestik maupun cross border. Robert mengakui, digital economy, marketplace, dan sejenisnya menjadi tantangan tak mudah bagi DJP dalam memperlakukan perpajakannya, meski pada dasarnya pengenaan pajaknya sama. Sebab, Undang-Undang PPh jelas mengatakan bahwa PPh adalah tentang objek pajaknya. Artinya, di mana ada objek, di situ ada pajaknya. Tak peduli diperoleh melalui digital maupun nondigital.

“Jadi, sebenarnya tidak tumpang-tindih. Tapi dengan adanya marketplace, platform yang berjualan ada enam juta. Bagaimana menjangkaunya? Sebenarnya secara self assessment mereka terutang pajak. Kalau ada penghasilannya harus bayar pajak. Kalau omzet di atas Rp 4,8 miliar harus PKP. Namun, bagaimana menjangkau mereka, mengawasinya, mengedukasinya itu yang belum di teliti?”

Dukungan “stakeholders”

Robert menegaskan, untuk bisa mewujudkan berbagai program itu, DJP perlu dukungan penuh sari semua pemangku kepentingan. Mulai dari kementerian/lembaga, konsultan pajak, asosiasi pengusaha, perbankan, pemda dan lain-lain.

“Untuk mengerjakan (program) ini semua perlu kami minta dukungan dari berbagai pihak. Dari para stakeholder, termasuk dari P5, IKPI, AKP2I yang merupakan bagian dari DJP untuk turut membantu meningkatkan kualitas administrasi perpajakan dalam mengumpulkan penerimaan negara dalam sektor pajak.

Selama beberapa tahun terakhir DJP terus menggandeng berbagai institusi untuk membangun kerja sama di bidang perpajakan.

Di bidang pendidikan misalnya, untuk meningkatkan kesadaran pajak kepada masyarakat, terutama untuk generasi muda, pemerintah mengajak kementerian/lembaga terkait untuk memasukkan mata pelajaran pajak ke dalam kurikulum pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal itu terwujud melalui penandatanganan kerja sama dan nota kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Kemendikbud, Kementerian Agama, Kemenristekdikti, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penandatanganan MoU itu juga sebagai kebijakan bersama sebagai dasar kegiatan edukasi pajak yang lebih terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan. Sementara di bidang penegakan hukum, DJP juga sudah melakukan MoU dengan Polri dan Kejaksaan. –Waluyo Hanjarwadi

TAX CHRONICLE

Meracik Siasat di Masa Darurat

W Hanjarwadi

Published

on

Pemerintah menerapkan berbagai siasat untuk memperbaiki ekonomi dan menahan laju pandemi.

Mitos orang Indonesia kebal korona yang sempat mencuat sebelumnya seketika patah ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan ada dua warga negara Indonesia (WNI) yang terpapar Covid-19 pada 2 Maret 2020 lalu. Hampir dua pekan kemudian, tepatnya 14 Maret 2020 pandemi Covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional.

Untuk mencegah penyebaran virus, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sontak kinerja ekonomi nasional pun terganggu. Dunia usaha nyaris lumpuh. Tak ada lagi proses produksi, distribusi, dan kegiatan operasional lainnya.

Covid-19 juga berdampak pada kinerja ekspor impor, inflasi, nilai tukar rupiah hingga kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ekonomi Indonesia 2020 pun terjun bebas hingga tumbuh negatif. Angka pengangguran dan kemiskinan berangsur meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif di sepanjang 2020 terkontraksi minus 2,07 persen. Indonesia pun terjebak dalam jurang resesi akibat pertumbuhan ekonomi negatif selama tiga kuartal berturut-turut.

Pada Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020, 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi. Angka pengangguran meningkat dari 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 persen menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 persen menjadi 77,68 juta orang. Jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,55 juta orang pada September 2020, atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk di Indonesia. Angka ini naik 1,13 juta orang (0,41 persen) dibandingkan posisi Maret 2020.

Stimulus

Sebelum kasus pertama virus korona menjangkiti Indonesia, pemerintah pada Februari 2020 telah mengeluarkan stimulus jilid I untuk mencegah perlambatan ekonomi nasional akibat ketidakpastian ekonomi global. Paket kebijakan itu difokuskan pada percepatan belanja dan kebijakan mendorong sektor padat karya, antara lain melalui percepatan pencairan belanja modal, percepatan pencairan belanja bantuan sosial, dan transfer ke daerah dan dana desa. Sementara untuk stimulus belanja, pemerintah memberikan perluasan Kartu Sembako, perluasan subsidi bunga perumahan, insentif sektor pariwisata, dan Kartu Prakerja

Tanggal 20 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta PBJ dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Inpres ini untuk melawan semakin meluasnya pandemi. Menindaklanjuti instruksi ini, sehari kemudian pemerintah menerbitkan stimulus jilid II dengan fokus untuk menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor. Ada dua kebijakan yang diambil pemerintah, yakni kebijakan fiskal dan nonfiskal.

Di bidang fiskal, pemerintah memberikan sejumlah relaksasi perpajakan. Pertama, relaksasi diberikan melalui skema PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai dengan Rp 200 juta pada sektor industri pengolahan (termasuk Kemudahan Impor Tujuan Ekspor/KITE dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor–Industri Kecil dan Menengah/KITE IKM).

Sesuai PMK Nomor 44/2020, PPh DTP diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai April hingga September 2020. Nilai besaran yang ditanggung pemerintah sebesar Rp 8,60 triliun. Belakangan, mekanisme insentif itu kemudian direvisi terkait penambahan jangka waktunya melalui PMK 86/2020.

Kedua, relaksasi PPh Pasal 22 Impor kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE IKM. Ketiga, relaksasi PPh Pasal 25 sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM.

Keempat, relaksasi restitusi pajak pertambahan nilai (PPN). Relaksasi diberikan melalui restitusi PPN dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama 6 bulan, terhitung mulai April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi senilai Rp 1,97 triliun. Sama dengan insentif lainnya, relaksasi ini juga diperpanjang hingga Desember 2020 sesuai dengan PMK 86/2020.

Di luar kebijakan fiskal tersebut, pemerintah antara lain memberlakukan penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan ekspor pada 749 kode harmonized system (HS). Melalui Kode HS ini, eksportir maupun importir dapat mengetahui berapa besar pajak (tax and duty) yang harus dibayarkan.

Pemerintah juga menyederhanakan dan mengurangi jumlah larangan dan pembatasan impor pada komoditas tertentu, termasuk penopang manufaktur, pangan, dan kesehatan atau medis; percepatan proses ekspor-impor untuk reputable traders; dan peningkatan dan percepatan layanan ekspor-impor melalui National Logistic Ecosystem (NLE).

Pada akhir Maret 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, sebagai respons meluasnya dampak penyebaran Covid-19 terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan. Lahirnya Perppu ini menandai babak baru stimulus jilid III.

Memasuki Mei 2020, pemerintah mulai melakukan upaya pemulihan ekonomi nasional melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program ini untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya selama pandemi Covid-19. Program itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 yang ditetapkan pada tanggal 9 Mei 2020. Program PEN dilaksanakan melalui empat modalitas dan belanja negara, yaitu penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pertengahan Mei 2020, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020. UU ini memberi kewenangan kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan keuangan negara dari sisi penganggaran dan pembiayaan, kebijakan keuangan daerah, dan perpajakan.

Kebijakan di bidang perpajakan meliputi penyesuaian tarif pajak penghasilan Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap; perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.

Tak cukup sampai di situ, Oktober 2020, pemerintah dan DPR RI juga mengesahkan UU Cipta Kerja atau UU Nomor 11 Tahun 2020 dan diundangkan pada 2 November 2020. UU ini hadir sebagai strategi mereformasi regulasi untuk meningkatkan iklim investasi, membuat dunia usaha lebih bergairah dan dapat menjadi stimulus tercipta iklim berusaha yang lebih kondusif. Berbagai kemudahan diberikan pemerintah kepada sektor UMKM, Koperasi dan pengusaha dalam negeri agar bisa lebih bersaing dan berkompetisi dalam berbagai bidang.

Lanjutkan program

Menjelang akhir 2020, ekonomi Indonesia belum tumbuh sesuai diharapkan. Tahun 2021 diharapkan menjadi momentum perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. BPS melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2021 dibandingkan posisi kuartal I-2020 masih mengalami kontraksi minus 0,74 persen. Dengan angka tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu kembali ke zona positif, setelah mengalami empat kali kontraksi berturut-turut sejak kuartal II-2020.

Untuk membangkitkan kembali ekonomi, pemerintah tetap melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Melalui PEN ini, pemerintah berharap dapat mendorong daya beli masyarakat di tahun 2021 sekaligus memperluas penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, program PEN yang dilanjutkan tahun ini menjadi kunci penting dalam pemulihan baik kesehatan maupun ekonomi di kuartal I 2021 ini. Ia pun memerinci program PEN yang diarahkan untuk mendorong perekonomian di tiga bulan pertama tahun ini.

Pertama, percepatan realisasi program perlindungan sosial yang mencakup Program Keluarga Harapan (PKH), penyaluran bantuan sosial, Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD). Hingga 21 Mei 2021 realisasi PEN mencapai Rp 183,98 triliun atau 26,3 persen dari total pagu Rp 699,43 triliun.

Realisasi itu meliputi lima program. Pertama, bidang kesehatan terealisasi Rp 31,64 triliun, sekitar 18 persen dari pagu Rp 172,84 triliun yang digunakan untuk pembelian vaksin, pelaksanaan program vaksinasi, dan berbagai treatment perawatan pasien Covid-19.

Kedua, program perlindungan sosial terealisasi Rp 57,4 triliun atau 39 persen dari total anggaran Rp 148 triliun meliputi PKH, Sembako, BLT Desa, dan sebagainya. Ketiga, program prioritas karya, pariwisata, ketahanan pangan, ICT, dan kawasan industri yang terealisasi sebesar Rp 23,21 triliun atau setara dengan 18 persen dari pagu sebesar Rp 127,85 triliun.

Keempat, dukungan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan korporasi sebesar Rp 42,23 triliun, setara 22 persen dari pagu Rp 193,74 triliun. Dana ini antara lain untuk bantuan pemerintah untuk usaha mikro, imbal jasa penjaminan (IJP) UMKM, IJP korporasi, dan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk kredit usaha.

Kelima, insentif dunia usaha dalam bentuk perpajakan sebesar Rp 29,51 triliun, atau 52 persen dari pagu senilai Rp 56,73 triliun. Dana tersebut diberikan untuk insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, penurunan PPh Badan, angsuran PPh Pasal 25, PPh 22 Impor, PPh final UMKM, serta diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor serta pajak pertambahan nilai (PPN) bagi sektor properti.

Pemerintah memutuskan menanggung pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Khusus untuk kendaraan roda empat, diskon pada awal Maret lalu, insentif fiskal tersebut hanya diberikan kepada mobil tertentu dengan kapasitas silinder hingga 1.500 cc.  Namun, akhirnya diperluas untuk mobil dengan kapasitas silinder dari 1.500 cc hingga 2.500 cc. Kebijakan ini tertuang dalam PMK Nomor 31/PMK.010/2021 dan berlaku mulai 1 April 2020.

Diskon diberlakukan untuk mobil segmen 1.500 cc kategori sedan dan 4×2, mendapatkan diskon PPnBM sebesar 100 persen untuk April-Mei 2021 yang melanjutkan diskon PPnBM masa Maret 2021. Lalu sebesar 50 persen diskon PPnBM untuk masa Juni-Agustus, dan 25 persen diskon PPnBM untuk masa September-Desember 2021. Belakangan, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 77/PMK.010/2021 untuk memperpanjang durasi diskon ini. Dalam aturan baru ini dijelaskan, diskon PPnBM 100 persen diperpanjang hingga Agustus. Setelahnya berlaku diskon PPnBM sebesar 25 persen. Sementara diskon 50 persen dihilangkan dalam aturan baru tersebut. Lebih jelasnya, diskon 100 persen dari PPnBM yang terutang untuk Masa Pajak April 2021 sampai dengan Masa Pajak Mei 2021; diskon 100 persen dari PPnBM yang terutang untuk Masa Pajak Juni 2021 sampai dengan Masa Pajak Agustus 2021; dan diskon 25 persen dari PPnBM yang terutang untuk masa Pajak September 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021.

Sementara itu, diskon PPnBM mobil 1.500 cc hingga 2.500 cc masih sama. Ada dua skema diskon PPnBM yang diberikan kepada kendaraan dengan mesin 1.500 – 2.500 cc berpenggerak 4×2 dan 4×4. Pertama, untuk kendaraan 4×2 (1.500 – 2.500 cc), adalah diskon PPnBM sebesar 50 persen, yang tadinya dikenakan tarif PPnBM 20 persen diberikan diskon menjadi 10 persen untuk tahap I (April-Agustus 2021) dan diskon sebesar 25 persen, yang semula 20 persen menjadi 15 persen untuk Tahap II (September-Desember 2021).

Berikutnya, untuk kendaraan 4×4 (1.500 – 2.500 cc) adalah diskon sebesar 25 persen—yang semula dikenakan PPnBM 40 persen menjadi 30 persen untuk Tahap I (April-Agustus 2021) dan diskon sebesar 12,5 persen, yang tadinya 40 persen menjadi 35 persen untuk Tahap II (September-Desember 2021).

Berbagai diskon itu diberikan pada mobil dengan local purchase atau tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di atas 60 persen. Hal ini mengacu kepada Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 839 Tahun 2021 tentang Kendaraan Bermotor dengan PPnBM atas penyerahan BKP yang tergolong mewah ditanggung oleh pemerintah.

Dengan berbagai alokasi dana pemulihan ekonomi itu, pemerintah optimistis, tahun ini ekonomi nasional akan tumbuh di kisaran 4,3 persen hingga 5,3 persen. Apalagi penanganan pandemi Covid-19 relatif membaik dari waktu ke waktu. Program vaksinasi terus dilakukan dengan jumlah suntikan mencapai 13,4 juta dosis per 6 April 2021, yang membuat Indonesia berada di peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan suntikan vaksin terbanyak—meski bukan produsen vaksin.

Continue Reading

TAX CHRONICLE

Relaksasi, Langkah paling Rasional

Novita Hifni

Published

on

Foto: Dok. DDTC dan Dok. ATPETSI

Pemerintah gencar memberikan relaksasi melalui insentif dan pengurangan tarif. Adakah yang salah dengan itu?

 

Bencana pandemi virus korona telah berdampak besar terhadap perekonomian secara umum dan juga sektor pajak secara khusus. Darussalam selaku Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia menekankan dua hal terkait kondisi pandemi saat ini. Pertama, untuk mengantisipasi dampak pandemi, ia menilai pemerintah secara tepat dan cepat telah mengubah paradigma fungsi pajak dari yang bersifat budgetair menjadi regulerend. Hal ini terlihat dari berbagai relaksasi pajak yang diberikan kepada masyarakat. Poin penting dari upaya antisipasi itu adalah kesukarelaan dari pemerintah untuk memberikan insentif pajak kepada masyarakat. Kedua, masa pandemi ini menguji jiwa kegotongroyongan semua komponen bangsa untuk membantu warga masyarakat yang paling terdampak secara ekonomi.

“Pajak merupakan wujud kebersamaan kita dalam membangun peradaban Indonesia. Dengan demikian, relaksasi yang telah diberikan oleh pemerintah harusnya meningkatkan kesadaran kita untuk berpartisipasi dalam merawat sektor pajak baik saat ini maupun masa mendatang,” jelas Darussalam melalui surat elektronik ke Majalah Pajak, Rabu (23/6).

Baca Juga: Insentif Pajak di Tengah Wabah

Kematangan teknologi

Darussalam merefleksi kebijakan sektor perpajakan selama setahun terakhir. Menurutnya, terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam meningkatkan kesadaran pajak masyarakat. Hal ini tampak pada berbagai program pendekatan, sosialisasi, dan edukasi yang semakin menjangkau berbagai kalangan masyarakat. Ia memberi contoh dari adanya berbagai video tutorial serta informasi real time melalui media sosial. DJP juga menggandeng para selebritas dan tokoh masyarakat untuk menggencarkan perilaku patuh pajak kepada masyarakat luas. Ia mendukung cara-cara kreatif seperti ini untuk diteruskan.

Secara khusus ia memberikan apresiasi bagi DJP yang telah mengadopsi teknologi informasi dalam proses administrasi pajak, mulai dari penyebaran informasi, pendaftaran, pelaporan hingga pembayaran.

“Kematangan sistem teknologi informasi ini telah memungkinkan tetap berjalannya upaya menjalankan kewajiban pajak dari masyarakat di tengah pembatasan sosial akibat pandemi terutama pada masa pelaporan SPT. Artinya, semua masih berjalan dan tidak mandek,” ujarnya.

Edukasi sadar pajak

Darussalam memaparkan visi dan misi ATPETSI yang berkomitmen untuk secara aktif membentuk dan mengedukasi masyarakat sadar pajak. Selama ini organisasinya menjalankan berbagai kegiatan yang berorientasi pada kolaborasi baik antara satu tax center dan tax center lain di lingkungan perguruan tinggi, tax center perguruan tinggi dan pemerintah, maupun masyarakat umum.

Baca Juga: Membangun Kesadaran Pajak Lewat Citra Secarik Batik

Kegiatan seminar dan lokakarya di berbagai kampus juga terus diadakan secara berkesinambungan untuk melakukan edukasi dan memperbarui isu-isu perpajakan kepada Wajib Pajak (WP). Melalui kegiatan itu, pihaknya terus memberikan sumbangan pemikiran untuk menghadirkan sistem pajak yang lebih baik. ATPETSI juga mengadakan serangkaian forum diskusi mengenai kurikulum dan format pembelajaran yang ideal bagi civitas academica berbagai universitas. Pihaknya terus menjalin interaksi dan hubungan yang erat dengan pemerintah dalam berbagai kesempatan secara rutin dan terprogram.

“Selama setahun terakhir kami mengadakan lokakarya dan rapat kerja ATPETSI di Menara DDTC pada Agustus 2019, pelantikan pengurus DPW ATPETSI Jawa Tengah I di Universitas Diponegoro pada Maret 2020, dan pelantikan pengurus DPW ATPETSI Lampung pada Februari 2020,” paparnya.

Memperkuat kolaborasi

Darussalam melihat kolaborasi antara ATPETSI dan DJP telah berjalan dengan baik. Menurutnya, hubungan yang harmonis dan saling mendukung tersebut dimungkinkan karena kedua institusi ini memiliki komitmen yang sama bagi terbentuknya masyarakat melek pajak atau tax society. Oleh karena mindset dari kedua institusi ini memiliki kesamaan, imbuhnya, kerja sama untuk melakukan aksi nyata menjadi sangat mudah untuk dilakukan. Ia memberi contoh berbagai program tax center perguruan tinggi yang mendapat dukungan penuh kantor wilayah DJP di daerah lokasi perguruan tinggi tersebut. Demikian pula sebaliknya. Ia berharap hubungan kolaboratif tersebut tetap berlanjut dan semakin meningkat.

Ada baiknya paradigma relaksasi pajak di fase pascakrisis diubah dari insentif dan pengurangan tarif menjadi penciptaan kepastian sistem pajak.

“DJP tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian dalam mengelola sektor pajak maupun membentuk masyarakat melek pajak. ATPETSI tidak akan hanya berkontribusi dalam sosialisasi ke masyarakat, tapi juga melakukan kegiatan penelitian serta memberikan pemikiran alternatif yang konstruktif,” urainya.

Kebijakan di masa pandemi

Darussalam mengingatkan seruan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang mengistilahkan krisis saat ini sebagai “The Great Lockdown”. IMF memperkirakan pandemi ini akan membuat resesi global yang jauh lebih parah dibandingkan krisis keuangan global 2008.

Baca Juga: Tutup Celah Penumpang Gelap

“Di tengah kondisi ekonomi yang kontraksi seperti saat ini kita perlu memahami bahwa langkah yang paling rasional adalah memberikan relaksasi,” jelasnya.

Ia tak menampik bahwa relaksasi dan berbagai stimulus tentu memiliki konsekuensi bagi kestabilan fiskal. Darussalam menyatakan, adanya relaksasi pajak berpotensi memperbesar tax expenditure. Artinya, selain diakibatkan oleh melambatnya ekonomi, tingginya tax expenditure membuat penerimaan pajak 2020 terancam turun drastis. Di sisi lain, penambahan dan relokasi belanja pemerintah akan meningkatkan risiko pelebaran defisit anggaran. “Risikonya, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita berpotensi meningkat,” ujarnya.

Namun demikian, ia menilai kondisi ini harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. Menurutnya, berbagai relaksasi tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga basis pajak agar tidak hilang secara permanen, misalnya ketika terjadi penutupan kegiatan usaha atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Masih lebih baik jika basis pajak terganggu hanya secara permanen daripada hilang sama sekali. Agenda pemberian insentif pajak saat ini sesungguhnya selaras dengan salah satu pilar dalam Rencana Strategis (Renstra) DJP 2020–2024. Jadi, saya yakin DJP juga telah memiliki rencana antisipasi atas kondisi ini,” ungkapnya.

Darussalam memberikan tiga catatan khusus terhadap kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah di masa pandemi.

Pertama, insentif ditawarkan kepada WP di berbagai sektor. Mayoritas permohonan juga telah disetujui oleh DJP. Dengan demikian, atas persoalan penyerapan yang belum maksimal justru ditengarai bukan karena adanya persyaratan yang rumit atau karena dipersulit melainkan karena belum banyak WP yang tersosialisasikan dengan baik. Kegiatan sosialisasi tersebut juga akan menjadi salah satu fokus ATPETSI.

Baca Juga: Insentif Pajak Bukan “Jebakan Batman”, Segera Manfaatkan

Kedua, administrasi pemberian insentif berjalan dengan baik. Proses pengajuan, pelaporan, dan monitoring yang dilakukan secara daring juga akan memudahkan manajemen data, termasuk untuk menghitung besaran insentif yang telah diberikan. Mekanisme daring juga mengurangi tatap muka di masa pandemi serta mengurangi adanya pemberian insentif berbasis diskresi. Selain itu, upaya untuk menjamin bahwa insentif pajak diberikan kepada pihak yang tepat dan tidak disalahgunakan juga telah diantisipasi.

Ketiga, pemerintah tetap memerhatikan dinamika situasi ekonomi di tengah pandemi dan bagaimana insentif pajak bisa diberikan. Dengan demikian, ada kemungkinan insentif yang saat ini diberikan belum bersifat final atau masih bisa diubah atau ditambah. Ia memberi contoh Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang fasilitas pajak penghasilan (PPh) dalam penanganan Covid-19 yang berlaku mulai 10 Juni 2020.

“Walau demikian, dengan mempertimbangkan anggaran pemerintah, ada baiknya paradigma relaksasi pajak di fase pascakrisis diubah dari relaksasi berupa insentif dan pengurangan tarif menjadi upaya menciptakan kepastian dalam sistem pajak,” jelasnya.

Ekor ekonomi

Terkait perkiraan lamanya krisis dan waktu pemulihan akibat dampak pandemi, Darussalam menyatakan hal ini sebagai pertanyaan yang sulit dijawab. Saat ini pemerintah terus memantau dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi.

“Kita belum tahu seberapa lama dan seberapa dampak pandemi ini kepada ekonomi karena sifatnya dinamis. Meskipun obat untuk Covid-19 telah ditemukan, kecepatan pemulihan ekonomi juga akan sangat bergantung dari dampak yang diakibatkan,” ujarnya.

Ia memberikan ilustrasi, pemulihan akan relatif lebih cepat jika krisis ini tidak berdampak kepada perubahan struktur ekonomi atau meningkatnya komposisi sektor informal.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diperkirakan Pulih Lebih Cepat Dibandingkan Negara Lain

“Ada hal menarik yang saya pelajari dari beberapa krisis ekonomi sebelumnya. Pada umumnya pemulihan ekonomi biasanya lebih cepat dari pemulihan penerimaan pajak. Artinya, sepertinya kita harus bersabar dan kembali memaknai pajak sebagai ekor dari ekonomi,” terang Darussalam.

Continue Reading

Populer