Connect with us

Topic

Mimpi tentang Lumbung Lambang Kedaulatan

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Istimewa

Menciptakan lumbung pangan memang menjadi harapan bagi terpenuhinya kedaulatan pangan. Namun, pemerintah harus belajar dari kegagalan masa lalu.

 

Seperempat abad silam, menjelang akhir era Presiden Soeharto, Indonesia pernah punya cita-cita mulia memiliki kedaulatan pangan. Mimpi itu lantas berusaha diwujudkan oleh The Smiling General itu dengan membangun lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Lahan baru itu digadang-gadang akan mampu menghasilkan beras dua juta ton per tahun. Tak tanggung, tanggung, pada tahap awal pengembangan, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 3 triliun. Sayang, proyek ini gagal mencapai target karena dalam pengembangannya dinilai mengabaikan kaidah prinsip-prinsip ilmiah.

“Sebanyak 56 juta meter kubik kayu lenyap dan lingkungan rusak. Pemerintah harus mengeluarkan lagi biaya rehabilitasi lingkungan Rp 3 triliun,” tutur Dwi Andreas Santosa, salah satu saksi hidup proyek itu. Kala itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu didapuk menjadi anggota tim kajian analisis dampak lingkungan.

Belakangan ini, jargon food estate atau lumbung pangan kembali digaungkan Presiden Joko Widodo. Pemerintah menunjuk sejumlah kementerian untuk mewujudkan program ini dengan Kementerian Pertahanan RI sebagai leading sector-nya. Tempat pengembangannya pun masih di daerah yang sama—Pulau Borneo yang kontur tanahnya sarat dengan lahan gambut.

Andreas pun wanti-wanti agar pemerintah tak melakukan kesalahan yang sama. Ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi agar program lumbung pangan bisa berhasil. Apalagi, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program serupa juga menuai kegagalan. “Seperti mengulang cerita lama, keduanya juga gagal total,” tutur Andreas.

Seperti mengulang cerita lama, keduanya juga gagal total

Pertanian terintegrasi

Juru Bicara Kementerian Pertahanan RI Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, program pemerintah kali ini berbeda dari sebelumnya. Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah, food estate menjadi salah satu proyek di Program Strategis Nasional tahun 2020–2024 dan akan menjadi lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa. Pengerjaannya pun bertahap dari hulu hingga hilir; terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di satu kawasan; serta melibatkan lintas lembaga, kementerian, juga korporasi.

Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menerangkan, program ini merupakan proyek klaster berbasis korporasi untuk pengembangan tanaman pangan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Konsep pengembangannya meliputi diversifikasi pangan yang digarap di area 164.000 hektare. Ia meyakinkan, Kalimantan Tengah memiliki kawasan subur yang mampu mengembangkan Padi Inbrida Varietas Unggul Baru INPARI-42 dan Padi Hibrida SUPADI.

Syahrul berharap, pengembangan foot est berbasis korporasi ini merupakan investasi terintegrasi dari hulu hingga ke hilir dalam upaya peningkatan produksi pangan di Indonesia. Untuk mencapai itu, ia berharap ada kolaborasi yang saling mendukung dari seluruh komponen di pemerintah pusat, daerah, dukungan pengawasan dan pembiayaan untuk peningkatan kapasitas dan diversifikasi produksi pangan.

Efek ganda

Betapa pun banyak keraguan dan suara sumbang karena kegagalan sebelumnya, niat baik pemerintah mengembangkan pertanian terpadu ini layak diberi kesempatan. Jika program berbasis investasi terintegrasi dari hulu hingga ke hilir ini berhasil, bukan tidak mungkin akan memiliki efek ganda. Misalnya, mengubah lanskap peta penyumbang penerimaan pajak di Indonesia. Seperti diketahui, rasio pajak Indonesia saat ini masih tergolong rendah. Dan salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya kontribusi sektor pertanian terhadap pajak. Meskipun faktanya, kontribusi sektor pertanian dan turunannya sangat besar bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Topic

Tegak Bangsa karena Pajak

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Ilustrasi

Pajak ibarat oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpanya, negara tak akan mampu menghadirkan kehidupan.

 

Selama dua tahun terakhir, nyaris seluruh media internasional menyoroti krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka. Negara Asia Selatan itu bangkrut. Banyak anak terpaksa tak bisa lagi sekolah karena kelaparan dan kemiskinan. Sekolah-sekolah bahkan meminta orangtua untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka jika mereka tidak memiliki makanan.

Setiap malam sebagian rakyat Sri Lanka harus tidur dalam kegelapan karena aliran listrik sering dipadamkan. Di siang hari, kesulitan lain yang tak kalah melelahkan harus dijalani oleh negara berpenduduk 22 juta orang itu. Mereka harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli dengan harga tiga kali lebih mahal dari biasanya. Di kota-kota, masyarakat mengantre panjang—bukan hanya hitungan jam, melainkan hitungan hari—untuk bisa mendapatkan bahan bakar. Di sisi lain, demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Masyarakat lapar dan marah. Rumah-rumah pejabat dibakar, penjarahan terjadi di mana-mana.

Ya, sejak tahun 2019 hingga kini, Sri Lanka dihantam krisis ekonomi terparah sejak negeri penghasil teh itu merdeka pada 1948 silam. Masyarakat kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, dan bahan bakar. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 yang melanda sejak akhir 2019 kian memperparah keadaan.

Pada Juli tahun lalu, PBB memperingatkan bahwa Sri Lanka sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan, dengan jutaan orang membutuhkan bantuan. Lebih dari tiga perempat populasi telah mengurangi asupan makanan mereka karena kekurangan pangan yang parah.

Banyak faktor menyumbang terjadinya krisis di Sri Lanka, mulai dari pemerintahan yang korup, nepotisme, hingga berbagai masalah ekonomi. Jikalau dirunut ke belakang, krisis Sri Lanka salah satunya bermula dari kebijakan pemerintah kala itu yang melakukan pemotongan pajak secara besar-besaran terhadap seluruh rakyat Sri Lanka. Kebijakan populis itu memang menyenangkan rakyat, tapi akhirnya justru berbuah petaka yang menyengsarakan.

Akibat pemotongan pajak besar-besaran itu, Sri Lanka kehilangan pendapatan pemerintah dari pajak lebih dari 1,4 miliar dollar AS dalam setahun. Awalnya kebijakan ini ditentang oleh sang menteri keuangan yang khawatir negaranya akan bangkrut. Namun protes itu diabaikan oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa yang saat itu berkuasa.

Dan mimpi buruk itu pun menjadi kenyataan. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan, negara tak lagi memiliki uang. Andai saja kebijakan fiskal pemerintah Sri Lanka kala itu tidak sembrono, setidaknya mereka tidak harus kehilangan 1,4 miliar dollar AS dari pungutan pajak. Uang pajak itu bisa digunakan untuk menyelamatkan kebutuhan dasar masyarakatnya yang tak mampu. Kini, untuk mencoba bangkit dari krisis, Sri Lanka terpaksa harus berutang lebih banyak lagi—setelah sebelumnya gagal membayar utang.

Tegak karena pajak

Kisah menyedihkan Sri Lanka itu tentu semakin membangun kesadaran kita betapa pentingnya peran pajak bagi kelangsungan dan tegaknya sebuah negara. Indonesia pun telah membuktikannya. Di masa pandemi, melalui instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan, pemerintah mampu membantu kelompok masyarakat yang terdampak perlemahan ekonomi. Berbagai relaksasi dan insentif pajak diberikan secara tepat dan terukur kepada mereka yang membutuhkan untuk stabilitas ekonomi. Di sisi lain, saat ekonomi mulai membaik, pemerintah pun menerapkan kebijakan kenaikan tarif pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan cuka rokok. Pemerintah juga mengenakan jenis pajak digital, khususnya PPN atas impor produk digital.

Sejarah mencatat, pemungutan pajak sebagai sumber pendanaan pemerintahan sejatinya sudah dimulai zaman dahulu, sekitar tahun 3300 sebelum Masehi (SM) di Mesopotamia. Di Mesir, pajak sudah dipungut sejak tahun 3000 SM. Kemudian, jejak sejarah juga menunjukkan bahwa sekitar tahun 31 SM hingga 476 M, kejayaan kekaisaran Romawi juga bisa dicapai berkat intensitas pemungutan pajak. Pajaklah yang membuat kekaisaran Romawi menjadi kekaisaran terbesar di dunia dan sangat makmur. Hingga kini, pajak adalah oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpa pajak, negara tidak akan mampu menghadirkan kehidupan.

Di Indonesia, pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Artinya, pemungutan pajak di Indonesia merupakan amanah konstitusi. Dengan demikian, membayar pajak merupakan wujud dari pelaksanaan konstitusi bagi masyarakat atau warga negara sebagai Wajib Pajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.

Banyak masyarakat awam yang masih bertanya, mengapa pemerintah Indonesia harus memungut pajak. Sementara, ada negara yang bahkan tidak mengenakan pajak bagi rakyatnya. Idealnya memang demikian. Namun, Indonesia—dan sebagian besar negara lainnya belum mampu. Pada dasarnya, negara yang tidak memungut pajak umumnya memiliki pendapatan yang besar sehingga cukup kuat secara ekonomi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan warga negara tanpa harus memungut pajak—dan umumnya, negara-negara tersebut berpenduduk relatif kecil. Bermuda, misalnya, negara kepulauan ini hanya memiliki populasi penduduk sekitar 65 ribu (jumlah penduduk Jakarta 161 kali lebih banyak). Kemudian, Bahama yang memiliki populasi sekitar dari 400 ribu jiwa, atau bahkan British Virgin Island yang hanya memiliki 36 ribu jiwa.

Lain halnya dengan Indonesia. Hingga saat ini pajak masih menjadi salah satu sumber penerimaan terbesar dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlahnya sekitar 80 persen dari total APBN. Pajak yang diterima oleh pemerintah itu kemudian digunakan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang jumlahnya mencapai 300 juta jiwa. Dari pajak itulah pemerintah bisa mendanai layanan yang diberikan kepada masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan infrastruktur publik. Dengan kata lain, dengan membayar pajak, masyarakat sudah ikut berpartisipasi secara tidak langsung demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa.

Amanah

Pajak adalah amanah dari masyarakat yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sesuai peruntukannya. Untuk itu, dari sisi pemerintah pun wajib menjaga komitmen untuk mengelola keuangan negara, termasuk dari sumber pajak secara amanah, jujur, penuh integritas, dan profesionalitas. Untuk menjaga integritas seluruh pegawai, Kemenkeu, misalnya, memiliki sistem Kerangka Kerja Integritas (KKI) yang diimplementasikan melalui model tiga lini (Three Lines Model), dengan mengutamakan kolaborasi dan sinergi antarlini. Lini pertama adalah manajemen sebagai pimpinan unit kerja masing-masing. Lini kedua, unit kerja Kepatuhan Internal di masing-masing unit eselon I, dan lini ketiga adalah Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berpesan agar masyarakat yang memiliki informasi atau keluhan, kecurangan, pelanggaran hukum di lingkungan Kemenkeu dapat melaporkan melalui saluran pengaduan Kemenkeu, baik melalui kanal telepon maupun situs resmi yang disediakan, yakni www.wise.kemenkeu.go.id.

Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh menjelaskan, Itjen Kemenkeu selalu melakukan proses administratif untuk menegakkan disiplin pegawai. Ia menjelaskan, kolaborasi antar lini yang dimiliki Kemenkeu dalam kerangka kerja integritas dilakukan dengan dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan.

“Dari sisi pencegahan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membuka saluran pengaduan dan pelaporan harta kekayaan. Dari sisi penindakan, Itjen melakukan penanganan atas dugaan pelanggaran atau fraud,” kata Awan melalui situs resmi Kemenkeu seperti dikutip Majalah Pajak akhir Juni lalu.

Dalam kegiatan penindakan, Itjen juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti KPK, Kejaksaan dan Polri, dan PPATK dalam hal koordinasi penanganan dan pertukaran informasi. Dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran, Itjen Kemenkeu menangani dalam aspek administrasi kepegawaian berupa penjatuhan hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil. Apabila dari hasil penanganan kasus oleh Kemenkeu menemukan indikasi tindak pidana maka akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum yang berwenang.

Kontrol, bukan boikot

Belakangan ini muncul kembali tagar boikot pajak akibat adanya oknum pegawai di unit vertikal Kemenkeu. Menurut Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS) Rino A. Sa’danoer, seruan boikot pajak atau menolak membayar pajak yang berkembang tersebut merupakan tindakan tidak bijak. Sebab, hal itu akan membuat negara tidak mampu membiayai pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan. Menurut Rino, hilangnya penerimaan pajak hanya akan membuat pemerintah terpaksa harus berutang untuk membiayai kebutuhannya.

“Uang pembangunan negeri ini sebagian besar dari pajak yang kita bayar,” tegas Rino.

Menurut Rino, yang terpenting adalah law in order dan law enforcement, yakni semua masyarakat, pembayar pajak harus lebih ketat untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah sebagai pelayan publik. Para pembayar pajak dapat menuntut peningkatan pelayanan kepada pemerintah, termasuk membersihkan para penyelenggara negara ini dari perilaku koruptif dan sejenisnya.

Rino menegaskan, membayar pajak adalah kewajiban masyarakat untuk mendapatkan hak mereka. Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari penyelenggara negara.

Continue Reading

Topic

Antara Utang dan Kemandirian Bangsa

W Hanjarwadi

Published

on

Indonesia tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Benarkah itu demi pertumbuhan dan cita-cita pembangunan?

 

Utang atau pinjaman, bagaimana pun sudah telanjur menjadi persepsi negatif di benak masyarakat. Berutang identik dengan kekurangan. Namun, apakah berutang merupakan sebuah aib bagi individu atau kelompok yang menanggungnya? Tentu saja tidak, selama hal itu dilakukan dengan bijak, sesuai aturan atau hukum yang berlaku dan kesepakatan (akad) yang dibuat oleh kedua belah pihak—peminjam maupun pemberi pinjaman.

Kesepakatan tentang utang piutang sudah menjadi bagian dari aktivitas ekonomi dalam perjalanan peradaban manusia sejak zaman dahulu. Kegiatan ekonomi ini bukan hanya berlaku bagi individu atau kelompok semata, tetapi juga hingga level negara.

Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Bahkan, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla bulan lalu menyampaikan, utang Indonesia terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Ia menyebut, kewajiban pemerintah membayar utang mencapai Rp 1.000 triliun setahun. Namun demikian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menegaskan, pemerintah terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai aturan perundang-undangan. Oleh karena itu pengelolaan utang selalu dilakukan secara prudent dan profesional.

Pemerintah tak menampik, utang Indonesia saat ini memang besar. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah hingga 31 Maret 2023 lalu telah menembus Rp 7.879,97 triliun, meningkat Rp 17,39 triliun dari posisi utang pada bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.861,68 triliun. Namun demikian, pada Mei 2023, utang Indonesia kembali turun. Dikutip dari buku APBN KITA (Kinerja dan Fakta) edisi Juli 2023, total utang per akhir Juni 2023 senilai Rp 7.787,51 triliun, turun sekitar Rp 62,38 triliun dari posisi April 2023 yang sebesar Rp 7.849,89 triliun.

Terkendali

Pemerintah memastikan bahwa utang tersebut masih terkendali. Merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara rasio utang pemerintah akhir Maret 2023 mencapai 39,17 persen dari PDB Indonesia. Artinya, posisi utang masih jauh di bawah ambang batas yang diizinkan.

Sebagai catatan, lonjakan utang negara seperti tiga tahun belakangan ini tidak hanya dialami oleh Indonesia. Banyak negara mengalami hal serupa, bahkan kondisi mereka jauh lebih parah. Ini karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda menjelang 2020 lalu. Sejak pandemi itu merebak, hingga kuartal pertama 2023, menurut catatan Institute of International Finance utang global saat ini nyaris memecahkan rekor tertinggi dengan nilai 304,9 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 4.519 juta triliun.

Namun demikian, utang negara di suatu pemerintahan akan selalu menjadi polemik dan perdebatan. Setidaknya selalu ada dua pandangan bertolak belakang yang berkembang dalam menilai beban utang negara. Pandangan pertama adalah mereka yang kritis yang menilai bahwa beban utang negara yang sudah terlampau besar akan memberatkan APBN, memperkecil ruang fiskal pemerintah untuk menggerakkan perekonomian, mengurangi anggaran untuk menyejahterakan rakyat. Sementara pandangan kedua adalah mereka yang optimistis bahwa keadaan masih terkendali karena semuanya masih sesuai aturan dan tidak melampaui parameter-parameter yang ditetapkan. Dengan demikian, utang negara berada pada level aman jika dikelola dengan baik. Tentu saja bukan pandangan mana yang salah atau benar yang harus dipersoalkan, melainkan bagaimana keduanya kemudian bisa melahirkan titik keseimbangan.

Alasan berutang

Untuk mencapai cita-cita yang telah direncanakan, negara telah membuat langkah-langkah taktis dan strategis. Namun, langkah-langkah itu membutuhkan ongkos yang harus dibayar. Mengutip laman djppr.kemenkeu.go.id, setidaknya ada lima alasan mengapa suatu negara perlu berutang.

Pertama, negara terpaksa berutang untuk mengejar kesempatan yang ada. Pepatah mengatakan, kesempatan belum tentu datang dua kali. Artinya, untuk menghindari hilangnya kesempatan itu terkadang negara terpaksa harus berutang. Misalnya, karena adanya kebutuhan yang perlu dibelanjakan oleh negara dan sifatnya mendesak dan tidak bisa ditunda. Sebaliknya, menunda pembiayaan berpeluang mengakibatkan kerugian lebih besar di masa yang akan datang. Contohnya adalah belanja untuk upaya pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19 pada dua tahun terakhir.

Contoh lainnya adalah mengejar kesempatan pembiayaan untuk menutup kesenjangan penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seperti diketahui, IPM Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lainnya. Pembiayaan ini kemudian dialokasikan untuk peningkatan di sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Kedua, utang negara untuk memberikan legacy atau warisan aset untuk generasi selanjutnya. Warisan yang dimaksud tentu bukan warisan utangnya tetapi aset yang terbangun yang dibiayai dari utang negara. Artinya, utang negara dapat menjadi investasi yang akan memenuhi keadilan antar generasinya dengan mewariskan aset-aset yang dibangun. Warisan yang baik muncul apabila utang digunakan untuk membiayai berbagai hal yang produktif. Misalnya, belanja pendidikan dan infrastruktur.

Ketiga, pemerintah harus berutang karena penerimaan negara belum mencukupi. Seperti kita tahu, penerimaan negara selama ini berasal dari perpajakan, bea cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah. Namun, kenyataannya penerimaan tersebut belum bisa menutupi belanja negara sehingga terjadi defisit APBN. Maka dari itu, untuk memberikan stimulus pada perekonomian rakyat, pemerintah harus berutang.

Keempat, negara berutang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus pandemi Covid-19 lalu, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang mampu menangani wabah dengan baik dan mampu membangkitkan ekonomi dengan cepat setelah terpuruk. Salah satunya adalah karena kebijakan penanganan pandemi yang tepat, seperti bantuan langsung tunai, berbagai insentif untuk masyarakat dan dunia usaha yang antara lain dialokasikan dari utang negara. Tanpa adanya utang negara, tentu ekonomi Indonesia tidak akan pulih dan tumbuh dengan cepat. Hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03 persen (year on year/yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen (yoy).

Kelima, alasan negara berutang adalah untuk mengembangkan pasar keuangan. Instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar keuangan ini antara lain digunakan untuk benchmark bagi industri keuangan. Selain itu, utang pemerintah akan menjadi alternatif investasi jangka panjang. Sementara bagi Bank Indonesia, utang pemerintah dipakai untuk menjalankan kegiatan operasi moneter.

Warisan

Indonesia sudah menanggung utang luar negeri tak lama sejak setelah merdeka. Utang itu adalah warisan dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1949. Warisan utang ini adalah salah satu bagian dari kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, sebagai syarat kemerdekaan Indonesia. Nilai utang saat itu mencapai 1,13 miliar dollar AS, kurs saat itu.

Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno, negara juga pernah berutang ke negara lain sebesar 2,3 miliar dollar AS. Angka tersebut di luar dari utang peninggalan Hindia Belanda sebelumnya.

Pada era kepemimpinan Presiden Sukarno (Orde Lama), Indonesia pernah dikenal sebagai mercusuar negara-negara berkembang selepas penjajahan Jepang.

Mengutip tulisan “Paradigma Utang dari Masa ke Masa” pada laman situs Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Pemerintah Orde Lama memandang, utang, terutama utang luar negeri adalah bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat bangsa karena pembangunan Indonesia berorientasi pada prioritas kemandirian bangsa. Pada era itu, jargon kemandirian adalah harga mutlak yang tidak boleh ditawar. Pemerintah pun meminimalisasi utang luar negeri dan memilih memakai mekanisme pembiayaan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan proyek mercusuar. Proyek yang dibangun antara lain pembangunan Monumen Nasional (Monas) hingga penyelenggaraan Asian Games 1962. Untuk membiayai itu, pemerintah mencetak uang sendiri. Sayangnya, kebijakan ini akhirnya memicu terjadinya inflasi. Rezim pemerintah Orde Lama pun berakhir dengan hiperinflasi mencapai 650 persen.

Pada era Presiden Soeharto atau Orde Baru, pemerintah memandang bahwa kemandirian saja tidaklah cukup. Karena itu, utang menjadi instrumen pelengkap pembangunan karena dalam struktur APBN, saat itu utang masih dianggap sebagai penerimaan. Pemerintah Orde Baru saat itu optimistis, untuk memacu pembangunan perlu mendatangkan investor asing sehingga akhirnya utang negara banyak didominasi utang luar negeri baik loan, soft loan, grant maupun bantuan program. Beberapa lembaga atau negara donor dominan seperti Jepang, ADB, IMF, Bank Dunia, termasuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai Belanda, yang kemudian puncaknya Perdana Menteri Belanda Pronk saat itu terlalu jauh mendikte kebijakan pembangunan Indonesia.

Saat itu, pemerintah juga meyakini utang akan sangat bermanfaat apabila dikelola dengan baik. Sayangnya, tidak disadari bahwa basis ekonomi Indonesia tidak terlalu kukuh dan manajemen pengelolaan utang belum efektif. Karena itu, begitu terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar atau krisis ekonomi melanda, pemerintahan Orde Baru pun menyisakan utang luar negeri cukup besar. Saat itu butuh waktu lama agar Indonesia pulih dari krisis.

Berkaca dari berbagai kegagalan di masa lalu, pemerintah saat ini pun semakin hati-hati. Utang bukan lagi dipandang sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan, tetapi sebagai pembiayaan atas defisit anggaran.

Selain terus gencar meningkatkan penerimaan dari sisi pajak, pemerintah terus berupaya meminimalisasi tingkat kebocoran, serta melakukan berbagai efisiensi anggaran sebagai alternatif menutup defisit. Pemerintah memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema utang dalam negeri, seperti penerbitan surat utang negara (SUN), sukuk, penjualan aset, privatisasi dan lain-lain. Semua demi terwujudnya cita-cita pembangunan untuk mencapai Indonesia maju.

Continue Reading

Topic

PEMBAWA RAGAM PERSPEKTIF

Brian Pramudita

Published

on

Foto: Dok. BATS Consulting

Melibatkan perempuan dalam kepemimpinan secara luas menjadi langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

 

Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk memegang posisi epemimpinan dan berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan strategis di berbagai bidang,
seperti politik, bisnis, sains, dan sebagainya. Demikian kata Managing Partner BATS Consulting Brian Pramudita saat diminta menanggapi peran kepemimpinan perempuan untuk mengisi sektor-sektor trategis dalam organisasi. Menurut Brian, sapaan akrab Brian Pramudita, perempuan yang menjadi pemimpin dapat menciptakan keberagaman perspektif,
pengalaman, dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah organisasi. “Keragaman ini dapat menghasilkan solusi yang lebih inovatif, pemecahan masalah yang lebih baik, dan kinerja keseluruhan yang lebih baik untuk organisasi dan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Brian kepada Majalah Pajak akhir Mei lalu. Selain itu, Brian berpendapat bahwa mempromosikan perempuan dalamkepemimpinan merupakan langkah positif untuk mengatasi kesenjangan gender historis dan menantang peran gender tradisional. Ini termasuk memberdayakan perempuan, menginspirasi generasi mendatang, dan mempromosikan gagasan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada prestasi dan kemampuan, bukan gender. Meski demikian, Brian menilai saat
ini meskipun sudah banyak kemajuan, keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan di banyak bidang masih relatif kurang. Mendorong keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan secara luas dipandang sebagai langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

“Menurut saya, wanita membawa berbagai keuntungan untuk posisi kepemimpinan, yang dapat melengkapi dan meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Mereka memiliki perspektif yang beragam. Wanita sering kali membawa perspektif dan pengalaman unik dalam pekerjaan, yang dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan menghasilkan solusi inovatif untuk masalah yang kompleks,” kata Brian. Tak hanya itu, soal kolaborasi dan kerja tim, menurut Brian perempuan cenderung menekankan kolaborasi dan
mendorong lingkungan kerja yang inklusif. Mereka sering terampil membangun hubungan, mendorong kerja tim, dan menciptakan rasa kebersamaan di antara anggota tim. Pendekatan kolaboratif ini dapat meningkatkan keterlibatan dan produktivitas karyawan. “Soal emotional intelligence, wanita sering dianggap memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi, yang melibatkan pemahaman dan pengelolaan emosi secara efektif,”kata Brian.”

Ini dapat berkontribusi pada komunikasi yang lebih baik, resolusi konflik, dan empati, yang mengarah ke hubungan yang lebih kuat dengan anggota tim dan pemangku kepentingan.” Menurut Brian, perempuan pun secara historis menghadapi tantangan dan hambatan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, kemampuan dan ketahanan mereka untuk beradaptasi dalam peran kepemimpinan menjadi lebih tangguh. “Mereka sering menunjukkan kemampuan untuk melewati rintangan, mengatasi kesulitan, dan merangkul perubahan,” tutur Brian. Brian juga menemukan sejumlah penelitian bahwa ada korelasi positif antara keragaman gender dalam posisi kepemimpinan dan kinerja keuangan. Melibatkan perempuan dalam peran kepemimpinan terkait erat dengan peningkatan profitabilitas, pengambilan keputusan yang lebih baik, dan tata kelola
perusahaan yang lebih baik. “Penting untuk dicatat bahwa kualitas dan efektivitas kepemimpinan dapat sangat bervariasi di antara individu, terlepas dari gender. Merangkul keragaman dan mempromosikan kesempatan yang setara bagi pria dan wanita dapat menghasilkan organisasi yang lebih berkembang.” Di dalam perusahaan yang ia bangun— Bats Consulting—Brian mengaku selalu
melibatkan peran perempuan dalam keputusan-keputusan penting perusahaan. Bats Consulting sangat menghargai peran perempuan dalam menjalankan tanggung jawab dan kinerja organisasi dengan menempatkan mereka pada posisi terbaik dan ideal berdasarkan kecakapan masing-
masing. “Kami sadar, mempromosikan keragaman gender dan memberikan peran strategis kepada perempuan sangat penting untuk mencapai masyarakat yang lebih inklusif dan seimbang,” ujar Brian. Bats Consulting adalah perusahaan konsultan pajak yang menyediakan jasa
pelayanan dan konsultasi perpajakan. Dengan tim konsultan profesional, perusahaan ini memberikan saran dan bantuan kepada individu atau bisnis terkait masalah pajak mereka. “Kami ahli dalam hal pelaksanaan undang-undang perpajakan untuk membantu klien melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan efektif dan efisien tanpa melakukan pelanggaran dengan ketentuan yang ada,” papar Brian. Seiring berjalannya waktu, Brian dan timnya terus berinovasi mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan keilmuan serta tidak menutup mata dengan bidang ilmu lainnya. Sebagai lulusan pendidikan akuntansi, maka Brian pun juga mendirikan Kantor Jasa Akuntan yang bernaung di perusahaan yang sama,
Bats Consulting yang resmi terdaftar dengan nama PT Bats International Group. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan jasa bidang pajak, tetapi lebih luas lagi. “Kami, Bats Consulting juga melebarkan sayap hingga dapat menyediakan berbagai jasa di bidang perpajakan, akuntansi, audit,
dan keuangan seperti jasa pembukuan, persiapan dan kompilasi laporan keuangan, analisis laporan keuangan, audit keuangan, audit investigatif, persiapan dan perencanaan pajak, pelaporan pajak, hingga strategi dan pengoptimalan pajak klien. Perusahaan Brian pun kemudian diversifikasi ke ranah manajemen strategis, teknologi informasi, audit emisi karbon, dan
sebagainya. “Saat ini kami tengah berupaya mengembangkan kalkulator digital untuk
mendalami perdagangan dan perhitungan karbon, mengembangkan perhitungan PPh 21, chatbot pajak untuk menampung pertanyaan dan keluhan pajak klien, perhitungan BPJS bagi rumah sakit, aplikasi manajemen aset, dan masih banyak lagi,” ujar Brian.

Transformasional
Sebagai perusahaan yang memiliki sebagian besar SDM milenial, Brian mengaku cenderung menerapkan model kepemimpinan karismatik dan transformasional. Model kepemimpinan karismatik dan transformasional menurutnya cocok untuk menunjang kinerja mereka yang memerlukan figur magnetis yang menginspirasi, meluruskan visi dan misi yang strategis, meningkatkan kebiasaan komunikasi dan inisiatif secara dua arah, mendorong pertumbuhan dan perkembangan pribadi, memupuk hubungan yang kuat, dan mempromosikan inovasi dalam tim

Continue Reading

Populer