Melalui suara dan berbagai peran pentingnya, perempuan patut diakui sebagai agen perubahan dalam penanganan krisis iklim.
Majalahpajak.net – Tanggal 12 Desember 2015, Indonesia bersama 194 negara lainnya menandatangani Perjanjian Paris atau Paris Agreement, sebagai tanda komitmen bersama untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. Dengan kebijakan masing-masing negara, semua telah bersepakat menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergerak aktif mencegah terjadinya kenaikan suhu bumi lebih dari dua derajat celsius dan (berupaya maksimal) tidak melewati 1,5 derajat celsius dibandingkan masa praindustri. Jika gagal, maka dunia diproyeksi akan menghadapi bencana yang jauh lebih parah dari pandemi Covid-19.
Menariknya, Perjanjian Paris juga secara terang mencakup aspek kesetaraan gender pada perubahan iklim. Ini adalah proses panjang dari perjuangan berbagai pihak seperti peneliti, aktivis lingkungan, hingga pemimpin negara adidaya di banyak negara untuk menekankan bahwa perempuan telah diakui memiliki peran yang setara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam kaitannya dengan perubahan iklim misalnya, secara internasional The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki dalam kebijakan iklim yang responsif terhadap gender.
Partisipasi perempuan di tingkat politik terbukti berhasil menjawab kebutuhan warga negara, meningkatkan kerja sama lintas partai dan etnis, dan memberikan perdamaian yang lebih berkelanjutan.
Indonesia setidaknya punya enam perempuan yang bisa menjalankan aksi iklim di sektor strategis pemerintahan mulai dari urusan keuangan, sosial, ketenagakerjaan, pemberdayaan perempuan, luar negeri, hingga kehutanan. Para menteri perempuan ini, dengan kewenangan yang mereka miliki, idealnya mampu membenahi dan mengurai keruwetan isu lingkungan hidup. Mereka dapat berkolaborasi, melahirkan keputusan dan aturan yang tegas sehingga ambisi menuju Indonesia hijau tidak lagi terhambat—atau terlambat.
Pasalnya, Indonesia punya target menuju netral karbon di tahun 2060; tentunya dengan catatan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh, berketahanan iklim, dan berkeadilan. Di sisi lain, transisi suatu negara menuju energi bersih membutuhkan modal yang fantastis, mencapai Rp 3.461 triliun atau Rp 266 triliun per tahun.
Sementara di tingkat lokal, perempuan dapat (dan memang) memainkan peran penting dalam menanggapi perubahan iklim karena pengetahuan dan kepemimpinan lokal mereka atas pengelolaan sumber daya berkelanjutan—atau sekurang-kurangnya praktik unggulan berkelanjutan di tingkat rumah tangga dan masyarakat.
Inklusi perempuan dalam kepemimpinan telah mengarah pada peningkatan hasil proyek dan kebijakan terkait iklim dalam industri hijau. Sebaliknya, jika kebijakan atau proyek dilaksanakan tanpa partisipasi perempuan yang berarti, ternyata dapat meningkatkan ketidaksetaraan dan menurunkan efektivitas program yang dicanangkan untuk industri berorientasi hijau.
Terlihat, perempuan mempunyai peranan strategis untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, untuk mengawasi terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, sekaligus menjadi agent of change dan penentu kebijakan dalam mengembangkan lingkungan yang responsif gender.
Ekofeminisme
Revolusi industri yang terjadi pada tahun 1800 silam menghasilkan emisi karbondioksida yang luar biasa dan menyebabkan krisis iklim. Perubahan iklim berdampak besar terhadap semua negara, terlebih bila negara itu bergantung pada sumber daya alam atau bila ia memiliki kapasitas paling kecil untuk menanggulangi bahaya alam seperti kekeringan, tanah longsor, banjir, dan angin topan.
Sementara di sisi lain, perempuan menghadapi risiko yang lebih tinggi dan beban yang lebih besar akibat dampak perubahan iklim dalam situasi kemiskinan—padahal mayoritas orang miskin di dunia adalah perempuan.
Perempuan dan laki-laki perdesaan di negara berkembang, misalnya, sama-sama rentan bila mereka sangat bergantung pada sumber daya alam. Perempuan bertanggung jawab mengamankan air, makanan, dan bahan bakar untuk memasak. Namun perempuan tidak memiliki keistimewaan akses ke sumber daya alam, pasar tenaga kerja, proses pengambilan keputusan, dan mobilitas yang luas. Pria bisa saja pergi ke daerah lain mencari penghidupan di tanah yang lebih layak, tetapi perempuan terhalang oleh statusnya sebagai istri maupun ibu yang mesti menjaga anak-anaknya. Intinya, perempuan dan alam sama-sama termarjinalkan.
Kepentingan menyuarakan hak-hak perempuan dalam aksi iklim melahirkan paham ekofeminisme, yakni paham yang meyakini kerusakan alam hanya dapat disembuhkan oleh naluri feminin untuk memelihara. Karena peran sosial tradisional perempuan yang dianggap sebagai pengasuh, penyayang, maupun pemelihara sehingga memiliki kolerasi yang sangat erat dengan alam.
Istilah ekofeminisme pertama kali diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974. Dalam bukunya, ia membahas pencegahan kerusakan bumi oleh gerakan-gerakan sosial yang dipimpin perempuan. Menurutnya, gerakan ekofeminisme sebagai pelestari bumi membuat bumi menjadi lebih baik dengan cara mengembalikan kepada keadaannya semula. Gerakan ini menerapkan etika kepedulian untuk mewujudkan keadilan sosial secara ekologis, mengutamakan nilai feminitas dan menentang budaya patriarki.
Teori ekofeminisme juga melahirkan kerangka berpikir untuk memahami kuatnya relasi perempuan dengan alam. Kelompok ini melihat perempuan lebih banyak bersentuhan langsung dengan alam, sehingga partisipasi perempuan patut diikutsertakan dalam pengelolaan alam.
Penerapan ekofeminisme modern dipelopori oleh Vandana Shiva, seorang ahli fisika, pemikir lingkungan, feminis, dan penulis buku. Ia lahir di kaki pegunungan Himalaya sehingga terbiasa berdampingan dengan alam. Melalui bukunya, Shiva mengaitkan antara ekologi dengan feminisme yang menjadi titik tolak pemikirannya dalam ekofeminisme.
Apa yang sudah dilakukan perempuan berusia 58 tahun ini sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, menjadi manifesto atas pelestarian alam yang didasari keinginan untuk keluar dari ketertindasan. Kini, Shiva dikenal sebagai tokoh benih dunia— melindungi benih, menyelamatkan benih, serta menyosialisasikan perkebunan organik.
You must be logged in to post a comment Login