Connect with us

Research and Literature KOSTAF FIA UI 2022

Meninjau Penurunan Sanksi atas Putusan Keberatan dan Banding dari Aspek Keadilan

Shofia Febriani

Published

on

Foto: Ilustrasi

 

Majalahpajak.net, Jakarta – Dalam proses perpajakan, sengketa pajak bukan hal yang asing lagi. Setiap tahunnya, belasan ribu berkas diajukan atas ketidaksetujuan wajib pajak akan jumlah pajak terutang yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Keberatan, banding, dan peninjauan kembali adalah fasilitas yang dapat digunakan oleh wajib pajak guna mencari keadilan. Namun, tidak semua keberatan wajib pajak diterima. Dengan begitu, prosedur perpajakan jika wajib pajak masih tidak setuju dengan putusan keberatan saat pengajuannya ditolak atau dikabulkan sebagian adalah banding. Begitu juga seterusnya dari banding ke tahap peninjauan kembali. Dengan banyaknya kasus sengketa pajak yang terjadi, keberadaan dan penetapan sanksi menjadi penting guna mengendalikan hal ini.

Selama ini, undang-undang menerapkan sanksi yang tinggi untuk putusan keberatan dan banding yang ditolak atau dikabulkan sebagian. Masing-masing sanksi yang dikenakan adalah 50% di tingkat keberatan dan 100% di tingkat banding. Sanksi yang tinggi ini dinilai tidak memberikan keadilan bagi wajib pajak sementara sanksi yang didapatkan lawan sengketa, yakni DJP, hanya sebesar 2% per bulan (Titany, 2017). Maka dari itu, melihat permasalahan ini, pemerintah menurunkan sanksi atas putusan keberatan dan banding yang ditolak atau dikabulkan sebagian masing-masing sebesar 30% dan 60%. Penurunan ini menurut Neilmaldrin Noor, selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan bagi wajib pajak (DDTC, 2021). Namun, apakah penurunan sanksi ini akan benar-benar memberikan keadilan?

Baca Juga: TaxPrime Bahas Tuntas Mengatasi Sengketa Perpajakan Secara Efektif

Potensi Keuntungan bagi Pihak DJP

Tujuan dari pembuatan kebijakan ini adalah untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak. Namun, hanya karena objektif dari pemerintah menyatakan demikian, tidak berarti keadilan yang sesungguhnya akan tercapai dengan instan. Rasa keadilan bagi wajib pajak, dalam hal ini terkait sanksi tidak semata-mata berbicara soal sanksi saja, tetapi berbicara soal administrasi pajak secara keseluruhan. Walaupun pemerintah memanifestasikan visi keadilan berupa penurunan sanksi, motif bagi pemerintah tidak terbatas pada hal itu semata. Sanksi memang mengalami penurunan dan sekilas penurunan yang ada terlihat sangat signifikan, tetapi bisa saja sanksi pada tahap keberatan menjadi cara bagi pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara lewat pembayaran denda. Cara ini memberikan kesan kepada wajib pajak bahwa sanksi yang dikenakan di tingkat keberatan menjadi lebih rendah sehingga bisa saja wajib pajak tidak berupaya untuk melakukan banding. Dengan begitu pemerintah akan menerima kas lebih cepat tanpa harus lanjut ke pengadilan pajak. Begitu juga di tingkat banding, secara psikologis akan ada perasaan bahwa sanksi yang dikenakan menjadi lebih ringan sehingga ada kemungkinan wajib pajak memilih untuk menerima keputusan dan tidak melakukan peninjauan kembali, meski wajib pajak masih merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan pajak. Jika hal ini yang akan terjadi dalam pengimplementasiannya, hal ini tentunya menguntungkan bagi pihak otoritas pajak, tetapi tidak bagi wajib pajak yang pada dasarnya sedang berusaha mencari keadilan.

Besaran Penurunan Sanksi

Penurunan sanksi sampai 40% bisa dikatakan cukup signifikan, tetapi hal ini menjadi tidak begitu signifikan jika melihat kembali berapa besaran sanksi pada peraturan sebelumnya. Peraturan sebelumnya menetapkan sanksi yang sangat tinggi di tahap keberatan dan banding. Masing-masing 50% dan 100% dari jumlah yang dipersengketakan dikurangi jumlah yang sudah dibayar. Penurunan sanksi di tahap banding sebesar 60% masih dianggap terlalu tinggi. Hal ini masih akan memberatkan wajib pajak yang masih harus membayar jumlah yang dipersengketakan ditambah dengan sanksi sebesar 60%. Dengan begitu, tidak terjadi efektivitas karena yang terjadi adalah penerapan hukum yang ekstrem, atau dikenal dengan ius summa injuria, yang artinya malah akan memberikan luka yang terdalam, bukannya akan meningkatkan keadilan (Oktoberina, 2008). Jika ditinjau dari hal ini, kebijakan penurunan sanksi atas putusan keberatan dan banding belum memenuhi asas keadilan.

Baca Juga: Menggagas “Electronic Tax Conciliation” Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pajak

Hakikat Sanksi dalam Sengketa Pajak

Dalam upaya pencarian keadilan, idealnya wajib pajak tidak terbebani dengan adanya sanksi berupa denda yang cukup memberatkan. Namun, UU KUP berkata sebaliknya. Wajib pajak sebagai pencari keadilan mendapatkan konsekuensi yuridis berupa denda. Idealnya upaya hukum sebagai bentuk hak wajib pajak merupakan sebuah pilihan, dimana wajib pajak bebas menentukan akan melakukan upaya hukum atau tidak dan jika wajib pajak tidak menghendaki upaya hukum seharusnya hak tidak diikuti dengan konsekuensi yuridis (Handika, 2012).

Salah satu permasalahan lain mengenai sanksi dalam sengketa pajak adalah soal kualitas penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa di tahap keberatan dikatakan belum memenuhi asas keadilan. Terdapat hambatan-hambatan, seperti beban psikologis penelaah keberatan, perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan, dan adanya kebijakan menolak dari internal DJP (Sari, 2016).  Dengan begitu, tidak adil rasanya menetapkan sanksi yang tinggi jika putusan keberatan tidak berkualitas. Maka dari itu, besaran sanksi atas putusan keberatan yang hanya menjadi 30% tidak akan memberikan keadilan tanpa ditunjang dengan peningkatan kualitas penyelesaian sengketa.

Dengan demikian, untuk benar-benar memberikan keadilan, idealnya tidak ada sanksi yang dijatuhkan atas proses sengketa pajak yang pada hakikatnya bagi wajib pajak merupakan cara untuk mendapatkan keadilan. Besaran sanksi atas putusan ditolak atau dikabulkan sebagian di tingkat banding pun dinilai masih tinggi. Namun, penulis berpendapat penurunan sanksi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika penurunan sanksi belum sepenuhnya memberikan keadilan, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana meningkatkan kualitas penyelesaian sengketa baik di tahap keberatan maupun di tahap banding.

 

REFERENSI

 

Handika, I. (2012). Disfungsi Peradilan Pajak Indonesia dalam Merealisasikan Keadilan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 1(3), 359-378.

Oktoberina, S. R (edt), (2008), Butir-butir Pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta,SH, Bandung: Refika Aditama

Redaksi DDTC News. (2021). Sanksi Denda Keberatan dan Banding Disepakati Turun dalam RUU HPP. https://news.ddtc.co.id/sanksi-denda-keberatan-dan-banding-disepakati-turun-dalam-ruu-hpp-3344.

Sa’adah, N. (2009). Membentuk Model Upaya Hukum Pajak Yang Sesuai Dengan Prinsip Equality (Kesamaan) Dan Equity (Keadilan). Majalah Masalah-Masalah Hukum, 38(4), 342-349.

Sari, D. P (2016). Analisis Implementasi Prinsip Keadilan Dalam Proses Penyelesaian Keberatan Pajak Pada Direktorat Jenderal Pajak. Jurnal Reformasi Administrasi, 3(1), 87-106

Titany, G. (2017). Pengenaan sanksi administrasi terhadap wajib pajak yang mengajukan upaya hukum dikaitkan dengan asas keadilan perpajakan. Skripsi. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan

Research and Literature KOSTAF FIA UI 2022

Mulai Tahun 2023, Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai Dilaksanakan Secara Elektronik, Berikut Perubahan Pengaturannya

Avatar

Published

on

Foto: Istimewa

 

Majalahpajak.net – Berkembangnya kegiatan perdagangan internasional, tidak terlepas dari masifnya penyelenggaraan aktivitas ekspor dan impor. Dalam melaksanakan aktivitas ekspor dan impor tersebut, akan timbul kewajiban bagi pihak eksportir ataupun importir dalam negeri terkait bidang kepabeanan, diantaranya yaitu terkait pembuatan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diisi secara self assessment oleh pihak eksportir ataupun importir dalam negeri tersebut. Adanya pemenuhan kewajiban kepabeanan secara self assessment dapat menimbulkan potensi kelalaian dari pihak eksportir atau importir dalam melaksanakan kewajiban kepabeanannya ataupun potensi terjadinya perbedaan persepsi antara pihak eksportir dan importir dengan pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terkait pemenuhan kewajiban kepabeanan tersebut. Apabila setelah dilaksanakannya pemeriksaan pabean terdapat pemenuhan kewajiban yang tidak sesuai dengan ketentuan di bidang kepabeanan, maka pejabat bea dan cukai dapat mengeluarkan surat penetapan yang disesuaikan dengan jenis kesalahan yang dilakukan oleh pihak eksportir atau importir tersebut, seperti Surat Penetapan Tarif dan Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk Cukai dan Pajak (SPPBMCP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Barang Larangan dan Pembatasan (SPBL), Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK), dan Surat Tagihan di Bidang Cukai (STCK-1).

Apabila seseorang tidak setuju dengan surat ketetapan yang diterbitkan oleh DJBC di atas, maka orang tersebut dapat mengajukan keberatan ke DJBC. Ketentuan terkait tata cara pengajuan keberatan di bidang kepabeanan dan cukai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/04/2017 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Namun, pada tanggal 12 September 2022, telah dikeluarkan peraturan terbaru terkait tata cara pengajuan keberatan di bidang kepabeanan dan cukai. Ketentuan terbaru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/04/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/04/2017 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Aturan terbaru tersebut mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Januari 2023.

Merujuk pada pertimbangan yang tertuang dalam PMK 136/04/2022, aturan tersebut diterbitkan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, terdapat beberapa aturan di ketentuan lama yang mengalami perubahan. Pada ketentuan terbaru, pengajuan keberatan di bidang kepabeanan dan cukai lebih menekankan penggunaan media elektronik sehingga lebih mendukung kemudahan administrasi atau ease of administration.

Baca Juga: Bea Cukai, sejak Dulu hingga Kini

Pada Pasal 1 PMK Nomor 136/PMK.04/2022 terdapat penambahan definisi mengenai kawasan pabean dan Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Adanya penambahan definisi tersebut jika dibandingkan dengan PMK sebelumnya, yaitu PMK Nomor 51/PMK.04/2017 dapat lebih memberikan kepastian hukum (certainty) dan kemudahan bagi orang atau pihak yang mengajukan keberatan untuk memahami peraturan perundang-undangan tersebut. Pada pasal 4 ayat (3) PMK Nomor 136/PMK.04/2022, terminologi yang digunakan untuk menyatakan orang yang berhak untuk mengajukan keberatan adalah orang perseorangan, sedangkan pada peraturan sebelumnya digunakan terminologi orang pribadi. Masih pada pasal yang sama, PMK Nomor 136/PMK.04/2022 juga lebih memberikan kepastian hukum dengan adanya perluasan persyaratan bagi badan hukum yang mengajukan keberatan, yaitu tidak hanya orang yang namanya tercantum dalam akta perusahaan, namun juga dapat diajukan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat pernyataan pendirian/dokumen pendirian. Apabila penanganan keberatan dilakukan oleh bukan orang yang berhak, misalnya penanganan keberatan dibantu oleh konsultan, melalui perubahan pada pasal 4 ayat (11) dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022 diatur bahwa pengajuan keberatan tersebut dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Perubahan paling utama pada PMK Nomor 136/PMK.04/2022 jika dibandingkan dengan PMK Nomor 51/PMK.04/2017 adalah bahwa penyampaian surat keberatan tertulis disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Apabila orang yang mengajukan keberatan akan menyampaikan tambahan alasan, penjelasan, bukti, atau data pendukung lainnya, maka akan disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Adanya perubahan dalam penyampaian surat keberatan menjadi secara elektronik dapat memberikan efisiensi bagi orang yang mengajukan keberatan tersebut dalam melaksanakan proses keberatannya, terutama dari sisi waktu (time cost). Dengan disampaikannya surat keberatan secara elektronik, orang yang mengajukan keberatan tidak perlu lagi menyampaikan bentuk fisik surat keberatan secara langsung ke kantor bea dan cukai atau pejabat bea dan cukai. Selain itu, melalui perubahan pasal 4 ayat (10) pada PMK Nomor 136/PMK.04/2022 dijelaskan bahwa setelah mengirimkan surat keberatan tertulis melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sistem akan secara otomatis menerbitkan tanda terima berkas pengajuan keberatan.

Selain penyampaian surat keberatan, berdasarkan perubahan pasal 20 dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022, dijelaskan bahwa penyampaian keputusan atas keberatan yang tertuang dalam bentuk Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan juga akan disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada orang yang mengajukan keberatan tersebut. Penyampaian Keputusan Direktur Jenderal tersebut dilakukan secara real time saat Keputusan Direktur Jenderal ditandatangani secara elektronik, sehingga apabila dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya, penyampaian Keputusan Direktur Jenderal yang diatur dalam  PMK Nomor 136/PMK.04/2022 dapat lebih memberikan efisiensi bagi DJBC dan orang yang mengajukan keberatan. Beralihnya media penyampaian keberatan menjadi secara elektronik juga mengubah cara penyampaian permohonan pencabutan pengajuan keberatan menjadi secara elektronik pula. Hal ini dijelaskan dalam perubahan pasal 14 ayat (3) dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022 dimana permohonan tersebut disampaikan melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Beralihnya pelaksanaan keberatan di bidang kepabeanan dan cukai menjadi secara elektronik di satu sisi tidak terlepas dari kemungkinan adanya gangguan operasional pada sistem Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum, dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022 diatur pengaturan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya gangguan tersebut melalui pasal 4A ayat (1), pasal 14 ayat (4), dan pasal 20 ayat (4) PMK Nomor 136/PMK.04/2022. Berdasarkan ketentuan pada ayat-ayat tersebut, disebutkan bahwa apabila terdapat gangguan operasional pada sistem Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maka penyampaian keberatan dan permohonan pencabutan pengajuan keberatan dilakukan secara manual dalam bentuk tulisan melalui Kantor Bea dan Cukai. Sementara itu, dalam hal penyampaian Keputusan Direktur Jenderal dilakukan secara manual kepada orang yang mengajukan keberatan yang disampaikan secara langsung, melalui pos, ekspedisi, kurir, atau pengiriman lain.

Selanjutnya, terdapat penambahan aturan pada Pasal 4 ayat (12) yang mengatur bahwa apabila terdapat kendala saat pengajuan keberatan secara elektronik, orang yang mengajukan keberatan dapat menghubungi Kantor Bea dan Cukai untuk asistensi. Adanya asistensi menunjukkan bahwa DJBC mengusahakan pelaksanaan keberatan dilakukan dengan media elektronik. Pemberian asistensi oleh DJBC ini menimbulkan efisiensi bagi orang yang mengajukan keberatan, terutama dari sisi psikologis (psychologist cost). Asistensi tersebut memberikan kemudahan yang sangat berarti dengan tujuan dapat mengurangi stres atau kebingungan saat mengajukan keberatan.

Baca Juga: Bea Cukai dan DJP Mesti Bersinergi Menggali Potensi Pajak

Selain penambahan dan perubahan pasal, PMK Nomor 136/PMK.04/2022 juga menghapus beberapa aturan di peraturan lama. Dalam aturan lama, terdapat Pasal 11 ayat (4) yang mengatur bahwa apabila jatuh tempo pengajuan keberatan bertepatan dengan hari libur, maka pengajuan permohonan keberatan dapat dilakukan pada hari berikutnya. Aturan tersebut telah dihapus dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022. Artinya, permohonan pengajuan keberatan harus tetap diajukan pada Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai walaupun bertepatan dengan hari libur. Selain itu, dalam aturan lama, terdapat pasal 13 yang mengatur terkait penelitian atas pengajuan keberatan, dimana aturan tersebut telah dihapus dalam PMK Nomor 136/PMK.04/2022 sehingga tidak ada lagi penelitian terhadap kelengkapan persyaratan dalam pengajuan keberatan.

DAFTAR PUSTAKA

Official Website Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2013). Retrieved November, 27, 2022, from https://www.beacukai.go.id/arsip/pab/ekspor.html

Rosdiana, H., & Irianto, E.S. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Continue Reading

Research and Literature KOSTAF FIA UI 2022

Perubahan Kebijakan Pemajakan atas Natura dan/atau Kenikmatan Pasca Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Avatar

Published

on

Foto: Ilustrasi

 

Majalahpajak.net – Sudah setahun berlalu sejak diundangkannya peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kehadiran Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memperbaharui beberapa peraturan perundang-undangan perpajakan yang ada, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Tujuan dari perubahan tersebut antara lain, untuk meningkatkan keadilan kepada wajib pajak, meningkatkan potensi penerimaan pajak, dan menekan praktik penghindaran pajak oleh Wajib Pajak. Untuk mewujudkannya, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengubah kebijakan pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan.

Natura dan/atau kenikmatan berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang merupakan tambahan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Perbedaan antara natura dan kenikmatan, yaitu natura diberikan dalam bentuk barang yang menjadi milik penerima sedangkan kenikmatan diberikan dalam bentuk fasilitas atau pelayanan kepada penerimanya.

Victor Thuronyi, dalam bukunya yang berjudul Tax Law Design and Drafting menjelaskan bahwa terdapat tiga metode yang dapat diterapkan dalam pemajakan atas tunjangan dalam bentuk natura, antara lain (1) menggabungkan tunjangan ke dalam penghasilan, (2) mengenakan pajak pengganti atas manfaat dengan menolak pengurangan pengusaha atas biaya penyediaannya, dan (3) mengenakan pajak secara terpisah kepada pemberi kerja. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Indonesia menggunakan metode kedua dalam pemajakan atas natura. Namun, setelah diberlakukan undang-undang tersebut, metode pemajakan atas natura yang digunakan dalam ketentuan perpajakan Indonesia beralih menjadi metode yang pertama.

Baca Juga: Mentor’ dan Kuasa Pajak dalam UU HPP

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (3), natura dan/atau kenikmatan dikecualikan sebagai objek pajak, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final, atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15. Kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa natura dan/atau kenikmatan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, diberikan di daerah tertentu, dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beban pajak atas natura dikenakan di tingkat level employer (pemberi kerja).

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang mengubah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan mengenai pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan mengalami perubahan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 huruf a mengalami perubahan sehingga natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak. Lalu, pengecualian natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d berubah menjadi, natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak, meliputi (1) makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai, (2) disediakan di daerah tertentu, (3) yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan, (4) yang bersumber atau dibiayai APBD, APBD, dan APBDes, atau (5) dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Pemberi dapat menjadikan biaya penyediaan atas natura dan/atau kenikmatan sebagai penghasilan bruto sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n. Sebagai konsekuensinya, Pasal 9 ayat (1) huruf e dihapus. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran beban pajak dari level employer (pemberi kerja) ke level employee (pegawai).

Perubahan kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh tren peningkatan pemberian imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan oleh Wajib Pajak badan. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan tarif Pajak penghasilan badan dengan tarif Pajak Penghasilan orang pribadi. Pemberian natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja kepada pegawai, biasanya tingkat direksi atau komisaris, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memungkinkan penerimanya tidak dikenakan pajak dengan tarif yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi kehilangan penerimaan pajak. Selain itu, tren endorsement oleh selebriti atau influencer di media sosial turut menjadi pertimbangan dalam penentuan perubahan kebijakan ini. Oleh karena itu, natura dan/atau kenikmatan merupakan tambahan ekonomis bagi penerimanya yang pada hakikatnya mesti menjadi objek Pajak Penghasilan sebagaimana pengertian penghasilan yang menjadi objek pajak dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Saat ini pemerintah masih berusaha untuk menyusun peraturan pelaksana Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Klaster Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan Jasa Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan. Dalam rancangan peraturan pemerintah yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dijelaskan mengenai dasar penilaian natura, yaitu nilai pasar sedangkan dasar penilaian kenikmatan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemberi. Kemudian dijelaskan juga bahwa imbalan dan penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan akan dipotong dan digabung dengan bentuk uang berdasarkan ketentuan pemotongan yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2023. Bagi pemberi, perlu diperhatikan bahwa biaya pemberian natura/kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang biaya tersebut berhubungan dengan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan).

Baca Juga: Menambal Jaring Pajak untuk si Kaya
DAFTAR REFERENSI

Asmarani, N. G. (2020). Apa itu Imbalan Natura dan Kenikmatan? news.ddtc.co.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://news.ddtc.co.id/apa-itu-imbalan-natura-dan-kenikmatan-20390

Firmansyah, R. A., & Wijaya, S. (2022). Natura dan Kenikmatan Sebelum dan Sesudah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jurnal Pajak dan Keuangan Negara, 3(2), 345-359. Diakses pada 4 November 2022, dari https://jurnal.pknstan.ac.id/index.php/pkn/article/view/1645

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: dpr.go.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K11-RJ-20210629-020319-7541.pdf

Mukarromah, A. (2021). Menilik Prospek Penerapan Fringe Benefit Tax di Indonesia. news.ddtc.co.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://news.ddtc.co.id/menilik-prospek-penerapan-fringe-benefit-tax-di-indonesia-30894

Setiawan, A. D. (2022). Begini Kisi-kisi Pajak Natura di RPP Klaster PPh, Berlaku 1 Januari 2023. belasting.id. Diakses pada 4 November 2022, dari https://www.belasting.id/pajak/79976/Begini-Kisi-kisi-Pajak-Natura-di-RPP-Klaster-PPh-Berlaku-1-Januari-2023/

Thuronyi, V. T. (1998). Tax Law Design and Drafting, Volume 2. International Monetary Fund.

Continue Reading

Research and Literature KOSTAF FIA UI 2022

Menuju Administrasi Perpajakan yang Terintegrasi, Bagaimana Implementasi Core Tax System di Indonesia?

Avatar

Published

on

Foto: Ilustrasi

 

Majalahpajak.net – Berkaca pada sifat alamiah manusia bahwa tidak ada manusia yang mau membayar pajak secara sukarela, kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan serta kejelasan hak perpajakan yang ditawarkan oleh digitalisasi administrasi perpajakan dapat menjadi daya tarik tersendiri. ADB (2022) menjelaskan bahwa dorongan digitalisasi di banyak lini kehidupan tentu membawa berbagai macam konsekuensi, dalam konteks administrasi perpajakan, digitalisasi dapat dipandang sebagai momentum untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari sistem administrasi perpajakan yang ada pada saat ini. Semakin kompleksnya aktivitas Wajib Pajak, kebutuhan akan administrasi perpajakan yang mampu mengelola aliran big data yang bermacam-macam, serta diperlukannya peningkatan kapasitas administrasi perpajakan menjadi beberapa urgensi dari dilakukannya reformasi administrasi perpajakan melalui transformasi digital (ADB, 2022).

Pengelolaan administrasi perpajakan merupakan salah satu tugas utama pemerintah melalui pelaksanaan hukum-hukum pajak, termasuk mengatur bagaimana sebuah sistem perpajakan dapat berlaku (Alink & Kommer, 2011). Pada dasarnya optimalisasi administrasi perpajakan dapat mendorong perbaikan kepatuhan pajak (tax compliance). Alink & Kommer (2011) menjelaskan bahwa tujuan dasar dari administrasi perpajakan adalah untuk meraih kepatuhan pajak yang maksimal terhadap semua jenis pajak dari seluruh Wajib Pajak, mendorong seluruh Wajib Pajak untuk melaporkan aktivitas yang berhubungan dengan perpajakan secara benar, lengkap, dan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, serta mendorong pembayaran pajak sepenuhnya dan tepat waktu. Hal ini tentu harus diiringi dengan Otoritas Pajak yang menggunakan kewenangannya secara penuh berdasarkan hukum pajak yang mengatur, sehingga tujuan dari Otoritas Pajak yang telah diatur dalam peraturan tersebut dapat tercapai dan hak-hak dari Wajib Pajak dapat terlihat dengan jelas.

Menuju Tak Terbatas dengan Modernisasi

Pada dasarnya, sistem administrasi perpajakan yang baik mampu mendorong Wajib Pajak untuk bersinergi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan melalui sistem perpajakan yang ada, bukan memaksa Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka (James & Alley, 2002). Hal inilah yang didorong oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak di Indonesia melalui visi DJP dalam Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan (RBTK) Kementerian Keuangan, yaitu menjadi lembaga administrasi perpajakan terpercaya yang memperlakukan semua wajib pajak secara adil dan memberikan pelayanan prima melalui teknologi. Penjelasan mengenai hal tersebut dijelaskan dalam KMK No. 36 /KMK.01/2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025.

Lika-liku modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia berlangsung dengan proses yang cukup lama. Hal ini karena terdapat perubahan-perubahan penetapan Inisiatif Strategis (IS) RBTK dari tahun ke tahun. Mulai dari KMK No. 974 /KMK.01/2016 tentang Implementasi Inisiatif Strategis Program Reformasi Birokrasi Dan Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan hingga yang paling terakhir adalah KMK No. 88/KMK.01/2022 tentang Implementasi Inisiatif Strategis Kementerian Keuangan dengan hasil akhir ditetapkannya 41 IS Kemenkeu, 20 IS RBTK, serta 7 IS RBTK pendukung 87 IS RBTK yang telah ditetapkan pada KMK No. 36 /KMK.01/2014.

Gelagat pemerintah untuk menginisiasi modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia sudah dapat dibaca sejak tahun 2016 melalui KMK No. 974 /KMK.01/2016 yang memuat salah satu IS dalam Tema Penerimaan berupa Modernisasi Sistem Informasi DJP untuk optimalisasi penerimaan pajak. Hal ini kemudian direspons pemerintah dengan menetapkan PP No. 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan dan menjadikan Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax System sebagai bagian dari IS Tema Penerimaan pada KMK No. 88/KMK.01/2022.

Lantas, apa yang melatarbelakangi atau menjadi konsideran pemerintah untuk melakukan Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan? Setidaknya terdapat tiga hal yang dijelaskan oleh Kementerian Keuangan dalam Laporan Tahunan Program RBTK 2021. Pertama, semakin majunya teknologi pada saat ini menciptakan ekspektasi yang tinggi dari Wajib Pajak akan tersedianya layanan perpajakan dengan basis teknologi yang mumpuni. Kedua, kehadiran sistem informasi berbasis teknologi yang mumpuni, saling terintegrasi, mampu mengakomodasi banyak proses bisnis melalui sistem inti administrasi perpajakan, memudahkan pelaksanaan pekerjaan, dapat diandalkan, serta interoperabilitas terhadap sistem penerimaan negara menimbulkan ekspektasi yang tinggi bagi para pemangku kepentingan. Terakhir, DJP belum terkonsentrasi pada pengembangan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Melalui laporan yang sama, Kementerian keuangan menyebutkan Pelaksanaan PSIAP memiliki beberapa capaian yang ingin dituju, yaitu menghadirkan proses bisnis inti administrasi perpajakan yang efektif, efisien, dan akuntabel, mendorong kepatuhan Wajib Pajak secara bertahap, dan mendorong peningkatan tax ratio secara bertahap.

Sekelumit tentang Core Tax

Gambar 1. Pembabakan Administrasi Perpajakan Menurut OECD

Sumber: (OECD, 2022)

Berdasarkan Gambar 1, dapat dipahami bahwa saat ini Indonesia sedang berada pada Administrasi Perpajakan 2.0 mengingat sudah tersedianya berbagai macam layanan perpajakan online, seperti e-Registration, e-Filing, e-SPT, e-Billing, serta e-Faktur. Namun, masih terdapat kekurangan pada administrasi perpajakan 2.0 ini, salah satunya adalah ketergantungan yang tinggi kepada kepatuhan sukarela Wajib Pajak (OECD, 2020). Kepatuhan sukarela tersebut tidak hanya memberikan opsi untuk patuh atau untuk tidak patuh bagi Wajib Pajak, tetapi juga dalam hal usaha Wajib Pajak agar menyelesaikan kewajiban perpajakannya dengan benar, seperti penyimpanan pencatatan perusahaan, waktu yang dihabiskan untuk mengisi formulir dengan benar, memecahkan hal-hal yang belum dipahami, dan memenuhi keperluan untuk melakukan pelaporan beserta tenggat waktunya (OECD, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa administrasi perpajakan yang ada pada saat ini masih banyak membebankan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak dengan konsekuensi adanya kesalahan dalam penghitungan pajak terutang baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang menyebabkan pajak terutang menjadi kurang bayar.

Kehadiran Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) sebagai core tax system di Indonesia akan menaikkan posisi administrasi perpajakan Indonesia ke babak administrasi perpajakan 3.0. Hal ini karena PSIAP akan mengupayakan sistem perpajakan yang terintegrasi, sehingga biaya kepatuhan akan semakin rendah, terdapat data-data secara real time dan valid, serta semakin banyak proses bisnis yang mampu terakomodasi (Direktorat Jenderal Pajak, 2022a). Dengan kata lain, PSIAP akan mewujudkan sistem natural Wajib Pajak (taxpayer-natural systems) sebagaimana yang digambarkan OECD (2020), yaitu sistem pembayaran pajak yang terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari dan aktivitas bisnis serta mampu memfasilitasi kepatuhan Wajib Pajak karena membayar pajak seperti hal yang terjadi begitu saja (tax just happening).

Sebagai gambaran dari kemudahan yang ditawarkan PSIAP, Direktorat Jenderal Pajak (2022b) menjelaskan bahwa terdapat rencana mempermudah skema pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 21. Simplifikasi pemotongan PPh Pasal 21 akan dilakukan melalui perampingan aturan dengan hanya 1 Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Di sisi lain, penghitungan PPh Pasal 21 akan dipermudah melalui penerapan Tarif Efektif (TER). Hal ini akan membawa banyak kemudahan bagi Wajib Pajak mengingat saat ini terdapat kurang lebih 400 skenario penghitungan PPh Pasal 21. Penerapan TER dalam penghitungan pajak penghasilan telah dilakukan di beberapa negara, diantaranya Amerika Serikat, Malaysia, Afrika Selatan, dan Australia.

 

Gambar 2. Rencana Skema Penghitungan PPh Pasal 21 melalui PSIAP

Sumber: (Direktorat Jenderal Pajak, 2022b)

Pada Gambar 2 dapat dilihat, rencana skema penghitungan PPh Pasal 21 menjadi semakin mudah melalui implementasi Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Contohnya, penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dilakukan dengan mengalikan Penghasilan Bruto dan Tarif Efektif Bulanan tanpa perlu menguranginya dengan pengurang ataupun mengalikan dengan tarif PPh Pasal 17 setiap bulan. Penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana yang terdapat pada ketentuan saat ini tetap dilakukan, tetapi hanya pada masa pajak terakhir. Simplifikasi ini tentu merupakan suatu hal yang diharapkan oleh Wajib Pajak agar pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi mudah. Di sisi lain, bagi DJP simplifikasi akan mengurangi tax gap dan meningkatkan tax ratio sebagaimana luaran yang diharapkan dari pelaksanaan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Doc2DAFTAR PUSTAKA

ADB. (2022). Launching A Digital Tax Administration Transformation: What You Need to Know (Issue May).

Alink, M., & Kommer, V. Van. (2011). Handbook on tax administration. IBFD.

Direktorat Jenderal Pajak. (2022a). Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. https://pajak.go.id/id/psiap

Direktorat Jenderal Pajak. (2022b). SIMPLIFIKASI PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN PENERAPAN TARIF EFEKTIF PPh PASAL 21 (Issue November).

James, S., & Alley, C. (2002). Tax Compliance , Self-Assessment and Tax Administration School of Business and Economics , University of Exeter. Journal of Finance and Management in Public Services, 2(2), 27–42. http://hdl.handle.net/10036/47458

Kementerian Keuangan. (2021). Laporan Tahunan Program RBTK 2021. https://web.kemenkeu.go.id/media/19732/laporan-tahunan-program-rbtk-tahun-2021.pdf

OECD. (2020). Tax Administration 3.0 : The Digital Transformation of Tax Administration Tax Retail Welfare Business Other. In Forum On Tax Administration (Vol. 1, Issue 3). http://www.oecd.org/tax/forum-on-tax-administration/publications-and-products/tax-administration-3-0-the-digital-transformation-of-tax-administration.htm

OECD. (2022). Tax Administration 3.0 and Connecting with Natural Systems: Initial Findings, OECD FOrum on Tax Administration. https://doi.org/https://doi.org/10.1787/c34863fa-en

Continue Reading

Populer