MAJALAHPAJAK.NET – Studi Profesionalisme Akuntan (SPA) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Hive Five menggelar webinar bertajuk “Langkah dan Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak Setelah Pengungkapan Sukarela (PPS) Berakhir”, pada Jumat (29/07). Webinar yang dimoderatori oleh Dosen FEB UI Christine Tjen dan diikuti oleh ratusan peserta ini diharapkan dapat memberi pemahaman secara komprehensif kepada mahasiswa, akademisi, praktisi, hingga Wajib Pajak, sehingga peningkatan kepatuhan sukarela dapat tercipta.
Kepala Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Inge Diana Rismawanti menegaskan, PPS merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Secara umum, program yang berlangsung sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022 ini adalah upaya pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta. Selain itu, latar belakang diselenggarakan PPS karena masih terdapat Wajib Pajak orang pribadi yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan 2016 sampai dengan 2020.
“Maka, setelah ini tidak ada lagi program pengampunan pajak setelah pelaksanaan PPS. Kemudian, pengawasan dan penegakan hukum bagi setiap Wajib Pajak yang tidak patuh. Di samping itu, pemanfaatan data eksternal dan internal serta AEoI (Automatic Exchange of Information) yang lebih sistematis dan terukur, apalagi DJP telah membangun core tax,” jelas Inge.
Ia memastikan, Indonesia aktif berpartisipasi dalam pertukaran data otomatis atau AEoI dengan banyak yurisdiksi di dunia. Berdasarkan data Direktorat Perpajakan Internasional DJP, saat ini sudah ada 113 yurisdiksi partisipan (inbound) dan 95 yurisdiksi tujuan pelaporan (outbound). Dengan demikian, sejatinya, semakin mempersempit celah penghindaraan pajak.
Secara simultan, dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan, DJP memetakan Wajib Pajak berdasarkan skala usahanya. DJP telah membagi Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pratama (KPP) Pratama dalam dua kategori, yaitu Wajib Pajak strategis dan Wajib Pajak kewilayahan. Inge memastikan, klasifikasi ini dimaksudkan agar pengawasan berjalan lebih efisien.
DJP juga menerapkan cara yang terstruktur, metodis, dan objektif dengan menggunakan sistem Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan profil Wajib Pajak berbasis risiko kepatuhan.
“DJP telah mengembangkan CRM, yang merupakan mesin risiko yang memetakan risiko kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan data SPT yang disandingkan dengan data yang diterima dari pihak ketiga,” jelas Inge.
Selanjutnya, pengawasan kepada kepatuhan Wajib Pajak juga didukung oleh langkah DJP mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP. Maka, semua yang punya NIK otomatis masuk di dalam sistem administrasi perpajakan dan wajib memenuhi kewajiban perpajakannya apabila sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif.
“Untuk Wajib Pajak badan, kemungkinan untuk tidak terdaftar dalam administrasi DJP juga semakin kecil. karena DJP bekerja sama dengan 28 kementerian/lembaga dan 542 pemerintah daerah telah menerapkan program Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), sehingga izin untuk berusaha hanya akan dapat diterbitkan apabila sudah memiliki NPWP,” ungkap Inge.
Pada kesempatan yang sama, Founder dan CEO Hive Five Sabar L Tobing menjelaskan, PPS memiliki dua kebijakan. PPS Kebijakan I hanya dapat diikuti oleh Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah mengikuti tax amnesty, yang pengungkapan harta tahun perolehan 1985-2015, tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan saat program tax amnesty berlangsung. Sementara, PPS Kebijakan II hanya dapat diikuti oleh semua Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki harta tahun perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Secara spesifik, konsekuensi bagi Wajib Pajak orang pribadi peserta PPS Kebijakan II adalah masih terdapat harta 2016-2020 yang tidak diungkap Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) atau DJP menemukan harta lainnya (2016-2020). Atas temuan itu, Wajib Pajak akan dikenai PPh final dari harta bersih tambahan dengan tarif 30 persen. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 11 Ayat (2) UU HPP. Aset yang kurang diungkap dikenai sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15 persen sanksi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), tertuang Pasal 13 Ayat 2 UU KUP.
“Peserta PPS Kebijakan II tidak dapat lagi mengajukan permohonan restitusi atau upaya hukum dan peserta PPS yang wanprestasi mencabut upaya hukum maka SKET (Surat Keterangan) dibatalkan. Bila terjadi sengketa terkait PPS, dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan kepada pengadilan pajak upaya hukum. Sengketa meliputi, SKPKB kurang ungkap Kebijakan II dan SKPKB gagal repatriasi/investasi,” jelas Sabar.
Kemudian, laporan SPT tahunan setelah PPS, meliputi harta bersih menjadi tambahan saldo laba ditahan; harta/utang SPPH sebagai harta/utang baru sesuai tanggal SKET dalam SPT 2022; harta SPPH tidak dapat disusutkan/diamortisasi untuk kepentingan perpajakan.
Sabar juga mengungkapkan, jika telah mengikuti PPS, maka peserta PPS akan mendapat manfaat berupa perlindungan data, yang mana data/informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
Namun, Sabar menekankan, bila terjadi pemeriksaan, Wajib Pajak tidak perlu khawatir karena pemeriksaan merupakan hal yang normal. Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tax Partner KPMG Advisory Indonesia Eko Prajanto memerinci, hal yang perlu disiapkan sebelum diperiksa, yakni Wajib Pajak harus melakukan pencatatan atau pembukuan dengan baik dan benar sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku umum di Indonesia; pencatatan dan pembukuan harus dilakukan di Indonesia; disarankan laporan keuangan diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP); dokumen terkait pencatatan atau pembukuan harus disimpan dengan rapi selama 10 tahun; memiliki staf yang kompeten; menguasai pencatatan/pembukuan perusahaan; menguasai ketentuan perpajakan rekonsiliasi; lakukan rekonsiliasi komersial fiskal secara rutin, sebaiknya dilakukan setiap bulan; mencakup rekonsiliasi penjualan, pembelian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh).
“Saat pemeriksaan, perhatikan juga penyerahan dokumen. Siapkan dan berikan data/dokumen termasuk catatan/pembukuan sesuai yang diminta pemeriksa pajak, tercantum dalam surat peminjaman dokumen dan berikan dokumen berkaitan dengan tahun pajak yang diperiksa. Berikan data/dokumen sesuai dengan waktu yang telah ditentukan,” jelas Eko.
Kendati demikian, dalam Surat Peminjaman Dokumen, pastikan pemeriksa akan menginformasikan jangka waktu penyerahan dokumen. Periksa dan teliti kembali data/dokumen yang akan dikirimkan ke pemeriksa.
“Teliti kembali apakah data telah sesuai dengan laporan keuangan, teliti kembali apakah mapping angka-angka dari laporan keuangan komersial dan fiskal sudah sesuai sebagaimana yang telah disajikan pada SPT tahunan. Jika data yang diminta cukup banyak, segera komunikasikan dengan pemeriksa untuk dapat memberikan data secara sample, bertahap, meminta perpanjangan waktu pemberian data atau dokumen,” ungkap Eko.
Ia menyarankan untuk menggunakan jasa konsultan pajak. Terpenting, respons sikap dan perilaku pemeriksa pajak secara baik, bijak, dan tanpa emosi.
“Jangan memberikan data atau informasi yang tidak diminta oleh pemeriksa, hindari pemeriksa menerbitkan Surat Peringatan ke dua permintaan data atau dokumen, data yang tidak disampaikan pada saat proses pemeriksaan, tidak akan dipertimbangkan pada proses keberatan, hindari penyelesaian di bawah tangan dengan pemeriksa pajak,” tambah Eko.
You must be logged in to post a comment Login