Jakarta, Majalahpajak.net – Wabah virus Covid-19 telah mengubah tatanan hidup dunia, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Banyak bisnis mengalami kerugian bahkan sampai gulung tikar. Merebaknya Covid-19 juga berdampak dalam analisis transfer pricing. Misalnya, dalam analisis kesebandingan. Pada saat suatu perusahaan merugi, isu yang paling utama adalah apakah perusahaan yang merugi dapat digunakan sebagai pembanding?
Untuk menganalisis dampak pandemi terhadap berbagai isu transfer pricing, Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia disingkat (AKP2I) menggelar diskusi panel secara virtual bertajuk “Dampak Pandemi Covid pada Penentuan Harga Transaksi Afiliasi pada Kamis (28/10/21).
Ketua Umum AKP2I Suherman Saleh mengatakan, saat ini pengetatan transfer pricing sangat tajam. Ia menyebut, tahun 2010 lalu transfer pricing masih menjadi domain pemeriksaan dan penggalian potensi tanpa dukungan undang-undang yang konkret. Namun, saat ini transfer pricing sudah lebih rinci. Meskipun dalam beberapa kasus, menurut Suherman masih terdapat ketidakadilan. Meski demikian, sebagai konsultan pajak, harus mematuhi aturan yang berlaku.
“Bagi kami, apa yang sudah ditulis dalam aturan, apakah itu undang-undang atau peraturan pelaksanaan, yang penting kami mengerti aturannya. Untuk itu, diskusi ini menghadirkan narasumber yang akan membahas das sollen (transfer pricing), baik dari sisi desain, aturan dan pelaksanaan,” kata Suherman.
Diskusi AKP2I kali itu menghadirkan beberapa narasumber dari MUC Consulting, seperti TP Partner MUC Consulting Wahyu Nuryanto, TP Manager MUC Consulting Kusumo Ferby, dan TP Manager MUC Consulting Sutiah Sidik.
Dalam paparannya, Wahyu Nuryanto menyampaikan, transfer pricing adalah proses penetapan harga transfer atau transaksi afiliasi yang sebenarnya sangat biasa dan sangat wajar terjadi. Namun, menjadi perhatian institusi perpajakan karena proses penetapan harga transaksi afiliasi ini berpotensi disalahgunakan.
“Penetapan harga yang tidak wajar ini bisa disalahgunakan untuk memperkecil atau menghindari kewajiban pajak. Sehingga diatur, Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu hatus menyusun Transfer Pricing Documentation (TP Doc),” jelas Wahyu.
Wahyu menjabarkan pengaruh Covid-19 adalah adanya pembatasan sosial dan aktivitas sehingga berdampak pada disrupsi rantai usaha, permintaan (menurun/meningkat), perubahan behaviour dari multinational enterprise (MNE) groups, dan perubahan kesepakatan antar pihak afiliasi. Hal ini akan berpengaruh terhadap transfer pricing.
Sesuai dengan PMK-213/PMK.03/2016, salah satu dokumen penentuan harga transfer atau TP Doc adalah dokumen lokal. Wahyu menyoroti tantangan dalam praktik penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen lokal, antara lain transaksi afiliasi perlu dijabarkan dengan komprehensif, pemilihan metode transfer pricing yang paling tepat, penjelasan tentang perubahan karakteristik usaha, dan penjelasan tentang perubahan-perubahan ketentuan kontrak dengan pihak afiliasi.
Selain itu, Wahyu juga menyoroti beberapa isu dalam analisis benchmarking, seperti penggunaan laporan keuangan beberapa tahun (multiple year analysis) dalam menguji tahun pajak Wajib Pajak dan keterbatasan data pembanding.
Pada diskusi itu, TP Manager MUC Consulting Sutiah Sidik membawakan materi tentang analisis kesebandingan. Ia menjelaskan, dampak yang disebabkan pandemi Covid-19 memberikan tantangan tersendiri bagaimana menerapkan analisis kesebandingan.
“Dalam melakukan analisis transfer pricing, biasanya mengandalkan data historis. OECD menyarankan beberapa pendekatan praktis yang dapat digunakan untuk dilakukannya comparability adjustment,” kata Sutiah.
Sutiah menjelaskan, informasi kontemporer yang dapat digunakan dalam analisis kesebandingan meliputi sales volume (volume penjualan), capacity utilization (pemanfaatan kapasitas), biaya luar biasa, government assistance (bantuan pemerintah), government intervention (intervensi pemerintah), interim financial statement (laporan keuangan interim), macroeconomic information (informasi ekonomi makro), statistical method (metode statistik) dan budget and actual (anggaran dan aktual).
Dalam pendekatan budget and actual ini, misalnya, analisis yang dilakukan mencakup analisis variance atas laporan laba rugi budget (pre-Covid-19) dan hasil aktual; dilakukan adjusment atas hasil aktual jika pandemi Covid–19 tidak terjadi (dampak positif dan negatif) dan didukung oleh bukti data dan dokumen atas dampak tersebut; dokumentasi alasan kenapa adanya kenaikan biaya atau penurunan penjualan dengan memperhitungkan fungsi, aset dan risiko; dan dampak dari bantuan pemerintah.
Sementara itu, TP Manager MUC Consulting Kusumo Ferby menjabarkan dari sisi Advance Pricing Agreement (APA). Ferby menjelaskan, dampak Covid-19 terhadap APA yang sedang berjalan. Menurutnya, APA yang sedang berjalan tetap harus dipatuhi, kecuali terdapat hal yang dapat membuat APA teranulir. Misalnya tidak tercapainya critical assumption. Pada dasarnya APA memiliki critical assumption mengenai kondisi ekonomi dan operasional yang dapat memengaruhi transaksi yang dicakup di dalam APA. Selain itu, APA mengatur kondisi apa saja yang menyebabkan critical assumption tidak tercapai dan konsekuensinya sehingga perlu dicek case by case, sebab, pandemi Covid-19 tidak memiliki dampak yang sama terhadap semua perusahaan. Kemudian, Ferby menyarankan, jika menurut Wajib Pajak critical assumption sudah tidak relevan karena pandemi, Wajib Pajak perlu melakukan diskusi dengan fiskus sebelum melakukan perubahan terhadap APA.
You must be logged in to post a comment Login