Jakarta, Majalahpajak.net – Indonesia adalah negara dengan risiko bencana yang tinggi. Karena itu, perlu kesiapan (country readiness) yang komprehensif dan memadai dalam menghadapi bencana, salah satunya kesiapan pendanaan. Menurut Bank Dunia, Indonesia adalah negara dengan risiko bencana dengan peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko bencana. Dampak dari berbagai bencana ini sangat signifikan dan multidimensi, mulai dari merenggut korban jiwa hingga merugikan pembangunan dan ekonomi masyarakat, termasuk yang miskin dan rentan.
Dalam menghadapi risiko bencana, pemerintah selalu menyiapkan Dana Cadangan Bencana dalam APBN sebagai bentuk kesiapsiagaan apabila terjadi bencana. Namun demikian, upaya ini perlu dilengkapi dengan kebijakan pendanaan yang bersifat proaktif untuk menurunkan dan memindahkan risiko yang dihadapi masyarakat dan keuangan negara. Hal ini dilakukan melalui peningkatan pendanaan kegiatan mitigasi bencana dan pengasuransian aset masyarakat dan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Febrio Kacaribu menjelaskan, upaya proaktif pemerintah dalam pendanaan kegiatan mitigasi ini tertuang dalam Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI). Salah instrumen utama Strategi DRFI pemerintahan adalah inovasi skema pendanaan kolaboratif Pooling Fund Bencana (PFB). PFB adalah instrumen pendanaan utama pada Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) dan merupakan skema mengumpulkan dana dari berbagai sumber, baik dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan mitra pembangunan untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana.
Menurut Febrio, PFB akan dikelola oleh unit pengelola dana yang berbentuk Badan Layanan Umum di lingkungan Kementerian Keuangan. PFB menyentuh mulai dari tahap prabencana, darurat bencana, hingga pascabencana.
“Pemerintah Indonesia akan terus berinovasi dalam memitigasi risiko, menangani bencana, serta memulihkan pembangunan pasca bencana. Dengan adanya PFB, respons di bidang pendanaan ini diharapkan lebih tepat sasaran dan tepat waktu,” kata Febrio melalui keterangan tertulis, Jumat (22/1/21).
Untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam membangun PFB, Grup Bank Dunia telah menyepakati program Investment Project Financing with Performance-Based Conditions (IPF-PBCs) senilai 500 juta dollar AS. Program ini akan disertai hibah senilai 14 juta dollar AS dari Global Risk Financing Facility (GRIF), yaitu 10 juta dollar AS dikelola oleh Kementerian Keuangan.
Program itu mengawal reformasi kebijakan dan akan digunakan untuk membangun kapasitas keuangan dan kelembagaan PFB serta perbaikan tata kelola pendanaan penanggulangan bencana.Tiga fokus utamanya adalah pendirian dan operasionalisasi PFB; peningkatan kesiapsiagaan untuk respons terhadap bencana yang lebih efektif di seluruh instansi pemerintah; dan pembangunan kapasitas dan sistem PFB untuk mendukung pendanaan penanggulangan bencana secara efektif.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kemenkeu Luky Alfirman menambahkan, selain sebagai modality untuk memperkuat kesiapan dalam menghadapi bencana, IPF-PBCs juga telah menambah instrumen pembiayaan yang dimiliki dalam penyediaan budget support.
“Agar instrumen ini dapat dimanfaatkan dengan baik diperlukan sinergi antarunit, sehingga apa yang menjadi performance sebagai syarat pemanfaatan fasilitas ini dapat di-deliver sesuai dengan jadwal yang disepakati,” kata Luky. Ia menambahkan, sebagai executing agency program tersebut, BKF akan SP –2/BKF/2021 merumuskan kebijakan serta mengkoordinasikan pembentukan PFB dan pelaksanaan reformasi kebijakan yang menjadi komitmen dalam program ini.
1 Comment
You must be logged in to post a comment Login