Pajak menjadi instrumen politik penting dalam menanggulangi dampak pandemi. Strategi kebijakan fiskal yang ekspansif diharapkan dapat membantu masyarakat keluar dari krisis berkepanjangan.
Pajak merupakan instrumen politik yang menentukan dalam membangun perekonomian dan menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Praktisi perpajakan sekaligus ilmuwan politik Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono mengemukakan, sistem perpajakan merupakan hasil dari banyak pilihan kebijakan di masa lalu. Menurutnya, ketentuan perundang-undangan perpajakan adalah hasil dari kebijakan politik yang diamanatkan langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23A.
“Setiap kebijakan tentu telah melalui kompromi antarpihak yang berkepentingan baik pemerintah sebagai bagian dari aktor politik dan DPR sebagai perwakilan masyarakat selaku Wajib Pajak,” jelas Prianto kepada Majalah Pajak melalui surat elektronik, Senin (21/06).
Pendiri perusahaan Konsultan Pajak Pratama Indomitra ini menuturkan, pajak sebagai pungutan wajib yang bersifat memaksa dan legal menurut undang-undang merupakan cerminan dari apa yang diinginkan pemerintah untuk rakyatnya. Ia mengutip penjelasan Kiser dan Karceski dalam sebuah literatur yang melihat sistem perpajakan sebagai hasil dari kondisi struktural (terutama struktur ekonomi dan hubungan geopolitik), institusi politik, dan interaksi antara keduanya.
Prianto menjelaskan, secara praktik pelaksanaan kewajiban perpajakan juga tidak terlepas dari aturan main (rule of game) yang ada di dalam undang-undang (UU) perpajakan beserta peraturan pelaksanaannya. Sejak tahun 1983 sampai sekarang sistem perpajakan di Indonesia mengacu pada sistem self-assessment. Hal ini dinyatakan secara eksplisit di dalam UU Perpajakan, khususnya UU KUP, UU PPh, dan UU PPN.
UU KUP mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya. UU PPh mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya. UU PPN mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya. Perubahan terakhir dari ketiga UU tersebut mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Dengan pemberlakuan UU Perpajakan berdasarkan omnibus law, WP harus meluangkan waktu lebih banyak untuk memahami ketentuan yang semakin rumit. Karena itu, biaya kepatuhan berpotensi meningkat dan kepatuhan sukarela akan lebih sulit tercapai,” paparnya.
Kebijakan fiskal ekspansif
Prianto menyoroti strategi konsolidasi fiskal yang diambil pemerintah di dalam menanggulangi dampak pandemi agar tidak semakin memperburuk keadaan ekonomi. Selain itu, pembiayaan berkelanjutan secara global juga diupayakan untuk menjamin keberlangsungan keuangan akibat dari utang global yang meningkat. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia menghadapi situasi pandemi dengan kebijakan perpajakan yang mampu meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan menaikkan tarif pajak.
Ia melihat pemerintah menerapkan praktik global terbaik dengan meminimalkan keterbatasan kapasitas administrasi perpajakan. Pemerintah menyadari adanya keterbatasan ketersediaan data karena terdapat aset Wajib Pajak (WP) peserta program Tax Amnesty Juli 2016–Maret 2017 yang belum diungkap. Selain itu, data informasi keuangan yang diterima oleh Indonesia dari skema Automatic Exchange of Information (AEOI) masih memerlukan proses data matching. Sedangkan kualitas data dari Kementerian dan Lembaga sesuai Pasal 35A ayat 2 UU KUP masih beragam.
Oleh sebab itu, imbuhnya, pemerintah telah mengusulkan RUU KUP 2021 yang isinya seperti omnibus law perpajakan. Meskipun RUU tersebut mengubah UU KUP, isinya juga akan mengamandemen UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. Di dalam RUU tersebut juga ada usulan pajak baru berupa Pajak Karbon yang dikenakan atas emisi karbondioksida. Selain RUU KUP 2021, pemerintah juga sudah menggelontorkan berbagai alternatif kebijakan agar kondisi ekonomi bisa segera pulih.
“Kebijakan pemerintah sebetulnya masih on the track. Langkah yang diterapkan di tengah pandemi dapat disebut sebagai kebijakan fiskal ekspansif,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menguraikan, kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perlonggaran defisit anggaran dan peningkatan belanja pemerintah, baik karena peristiwa yang tidak direncanakan (seperti pandemi Covid-19) maupun karena lesunya ekonomi akibat pandemi. Peningkatan belanja pemerintah dan penurunan pajak dibutuhkan untuk mendorong peningkatan permintaan. Bila permintaan meningkat, terjadilah multiplier effect berupa produksi meningkat, lapangan kerja meluas, dan ekonomi pulih.
“Dengan kebijakan fiskal ekspansif, perekonomian dapat tumbuh kembali dan mengumpulkan lebih banyak pajak. Dengan pajak tersebut, utang dapat dilunasi sehingga defisit anggaran dan utang tidak menghasilkan efek yang merugikan,” kata Prianto.
Kebijakan fiskal ekspansif memang menjadi jurus pilihan pemerintah untuk memulihkan perekonomian. Kelak, saat ekonomi kembali pulih, pemerintah dapat memungut pajak kembali secara normal. Namun, bila ekonomi tak kunjung pulih dengan kebijakan fiskal ekspansif, pemerintah harus mencari cara lain, bisa pengenaan pajak transaksi elektronik, peningkatan tarif PPN atau penerapan multitarif PPN, penambahan lapis tarif PPh orang pribadi, tax amnesty jilid 2, sunset policy dan juga pajak karbon.
Ia tak memungkiri Program PEN yang belum maksimal jika dilihat dari masih rendahnya realisasi penyerapan anggaran yang baru mencapai Rp183,89 triliun atau setara 26,3 persen dari total pagu Rp 699,43 triliun dana yang terserap sampai dengan 11 Mei 2021. Kendati demikian, Prianto menilai hal tersebut tidak lantas menunjukkan bahwa program PEN belum tepat sasaran.
“Pemerintah sayangnya kurang jelas dan kurang komprehensif mengomunikasikan latar belakang serta bentuk dari setiap upaya pemulihan ekonomi yang dipilih sejauh ini,” kata Prianto.
Ia memberi contoh berita di berbagai media tentang rencana pemungutan PPN atas barang kebutuhan pokok (sembako) yang menuai kritik banyak kalangan, dari akademisi, peneliti, politisi, asosiasi, pengamat ekonomi, pengamat perpajakan, sampai masyarakat umum. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru belakangan memberikan penjelasan dan klarifikasi setelah isu ramai.
Prianto mengingatkan pentingnya otoritas pajak mempertimbangkan rekonstruksi hubungan antara otoritas pajak dan WP yang berorientasi pada pemberian stimulus bagi WP dengan tetap mengontrol tingkat kepatuhan di masa pemulihan ekonomi saat ini.
“Apa pun kebijakan pajak baru yang digulirkan pemerintah di situasi krisis sebaiknya tidak sampai mengikis kepatuhan pajak. Data dari OECD tahun 2020 mengungkapkan ada kecenderungan penurunan budaya kepatuhan pajak ketika krisis terjadi,” paparnya.
You must be logged in to post a comment Login