Connect with us

Interview

Kita Kasih “Carrot” Lupa “Stick”

Majalah Pajak

Published

on

Yuyun Harmono Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI

Sebagai bagian dari komunitas dunia, Indonesia harus mengadopsi kesepakatan global tentang perubahan iklim dan praktik-praktik ke arah ekonomi yang lebih berkelanjutan (green economy). Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Yuyun Harmono menilai belum ada stick and carrot dalam kebijakan pemerintah sejauh ini untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dan industri ramah lingkungan. Padahal, pemerintah dapat menerapkan pajak lingkungan seperti carbon tax yang berfungsi sebagai instrumen penting dalam menjaga keberlanjutan alam sekaligus mendorong pelaku industri untuk bertransformasi dari kegiatan usaha yang selama ini masih bertumpu pada energi fosil ke industri yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Berikut ini petikan wawancara Majalah Pajak dengan Yuyun melalui sambungan telepon pada Senin (10/05).

 

Apa sebetulnya yang mendorong lahirnya konsep ekonomi hijau dan apa esensi dari konsep tersebut?

Green economy atau ekonomi hijau sebenarnya muncul dari dua hal yang saling melengkapi, yaitu target sustainable development goals (SDGs) dan perjanjian iklim saat Paris Agreement. Salah satu target dalam SDGs yakni goal ke-13 juga terkait dengan climate action. Hanya saja target di SDGs tidak begitu mendalam, sedangkan Paris Agreement menjadikannya lebih implementatif dan mengikat semua. Sebagai bagian dari komunitas dunia, Indonesia mau tidak mau juga harus mengadopsi komitmen global.

Kita harus melihatnya sebagai peluang bahwa ekonomi hijau itu menyelamatkan lingkungan sekaligus ekonomi. Jadi, bukan sebatas menempatkan prioritas utama pada infrastruktur, pengentasan kemiskinan, ekonomi dan hak asasi manusia. Kalau presiden menyatakan seperti itu, maka dia tidak melihat esensi dari ekonomi hijau. Dengan menyelamatkan lingkungan, maka upaya itu juga seiring dengan upaya meningkatkan ekonomi dan kualitas penghidupan maupun sumber daya manusia. Di situ titik temu dari semuanya. Kita tidak bisa memilih satu di antara yang lain karena semuanya harus jalan bersama. Ini sudut pandang ekonomi hijau dari pendekatan integratif.

Sudut pandang kedua melihat ekonomi hijau dalam kaitannya dengan beban dalam pengelolaan ekonomi sejak masa Orde Baru yang menempatkan industri ekstraktif sebagai tumpuan ekonomi. Dahulu minyak bumi menjadi tumpuan ekspor Indonesia. Pasca-Reformasi mulai bergeser, misalnya ke komoditas batu bara dan komoditas pertanian yang rakus tanah seperti sawit dan hutan tanaman industri. Intinya masih mengandalkan komoditas yang proses pengolahannya bersifat eksploitasi. Ini beban yang harus dijawab kalau Indonesia masih mau menjadi bagian dari komunitas global.

Kita harus memikirkan cara mentransformasi ekonomi dari yang bergantung kepada industri ekstraktif atau bertumpu ke energi fosil ke ekonomi yang lebih berkelanjutan. Ini bukan hanya menjadi beban Indonesia melainkan semua negara. Bahkan, negara maju seperti Amerika Serikat juga mempunyai beban yang sama karena sumber alam berupa minyak bumi masih banyak dieksplotasi dan ketergantungan akan batu bara juga masih tinggi. Ini tugas semua untuk mentransformasi model produksi dan konsumsi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Indonesia masih terjebak pada model ekonomi ekstraktif. Jadi, kita belum bicara ekonomi hijau karena masih ada beban di ekonomi ekstraktif dan seolah-olah tidak mau lepas dari energi fosil.

 

Bagaimana Anda melihat komitmen dan upaya yang ditempuh pemerintah sejauh ini untuk mulai mengarah ke ekonomi hijau?

Pembahasan ekonomi hijau sudah mulai masuk dalam diskursus pembangunan. Misalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah mulai memasukkan ekonomi hijau di dalam perencanaan pembangunan dengan istilah perencanaan pembangunan rendah karbon. Artinya, diskursus soal ini sudah masuk dalam proses perencanaan pembangunan pemerintah pusat dan kita berharap seharusnya juga masuk ke dalam perencanaan pembangunan pemerintah daerah. Hanya saja upaya ini belum cukup, karena seharusnya ada langkah yang lebih drastis. Dalam konteks perubahan iklim yang menjadi mandat Perjanjian Paris, targetnya adalah menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius dan mempertahankan sebisa mungkin suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius. Posisi di tahun lalu saja suhu bumi 1,1 derajat Celsius. Jadi, hanya sedikit waktu yang tersisa untuk kita melakukan mitigasi perubahan iklim.

Ada dampak terhadap sistem penyangga kehidupan manusia dan kelestarian alam yang tidak bisa lagi dipulihkan jika sudah telanjur rusak. Terumbu karang akan musnah, suhu di perkotaan akan sering terjadi heat wave atau gelombang panas yang bisa berakibat buruk pada manusia. Jadi, ada konsekuensi dari kerusakan alam dan itu tidak bisa dipulihkan ketika kita melewati ambang batasnya. Sementara waktu yang tersisa sangat sedikit. Maka harus ada kebijakan yang lebih proaktif dan progresif di seluruh negara. Langkah itu harus ditunjukkan dengan misalnya secepat mungkin lepas dari penggunaan energi fosil. Tentu ini akan menjadi beban, apalagi bagi negara seperti Indonesia yang ekspornya didominasi oleh komoditas yang berkontribusi terhadap perubahan iklim seperti batu bara dan minyak sawit.

Memang ini beban, tapi mau tidak mau kita harus membuat lompatan. Bentuk upayanya tidak hanya dengan memasukkan isu lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan, tapi juga harus ada kebijakan yang lebih progresif.

 

Seperti apa kebijakan progresif yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mendukung ekonomi hijau?

Misalnya, pemerintah mengeluarkan aturan yang dapat secepat mungkin menghentikan penggunaan energi fosil, sehingga logikanya juga semestinya tidak ada lagi perpanjangan izin untuk tambang-tambang batu bara itu.

Yang terjadi sekarang ini, kan, izin tambang masih diperpanjang. Lalu seharusnya tidak boleh lagi ada izin eksplorasi minyak bumi yang baru. Kenyataannya saat ini sektor pertambangan masih diberi kesempatan untuk eksplorasi. Jadi, sense of crisis pemerintah dihadapkan dengan jangka waktu yang sangat sempit, sehingga kesungguhannya tidak kelihatan dalam konteks kebijakan.

Upaya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga akselerasinya sangat lambat. Indonesia memiliki target untuk bauran energi. Ini artinya bukan langkah akseleratif untuk mengganti semua energi fosil, karena targetnya hanya sebatas bauran energi saja sebesar 23 persen hingga tahun 2025. Capaiannya juga sangat sedikit dan diprediksi belum bisa memenuhi target hingga batas waktunya tiba. Jika target bauran energi saja sudah sangat lambat, apalagi berharap bisa lepas dari ketergantungan energi fosil.

Permasalahan ini muncul karena kita terjebak dalam ekonomi politik yang memaksa pemerintah untuk tetap pro terhadap pebisnis di sektor industri ekstraktif. Hal ini menjadi kendala luar biasa, misalnya hasil investigasi berbagai LSM mengungkap bahwa hampir separuh anggota DPR berlatar belakang pebisnis. Jadi, realitas politik di Indonesia memang agak sulit untuk berharap ada kebijakan yang sangat pro lingkungan, apalagi bicara soal ekonomi hijau. Persoalan kedua, kemauan politik dari pimpinan negara sangat kurang.

Saat Jokowi dilantik untuk periode kedua pemerintahannya, dalam pidato politik perdananya dia menyatakan soal lompatan untuk mentransformasikan ekonomi dari yang berbasis bahan mentah ke ekonomi yang lebih berkelanjutan. Pernyataannya itu sampai saat ini tidak kelihatan langkahnya. Jadi hanya sekadar pidato tanpa ada implementasi kebijakan yang lebih konkret. Peta jalan menuju ke arah ekonomi hijau tidak kelihatan. Sementara Tiongkok saja yang sangat bergantung pada suplai batu bara baik dari produksi dalam negeri maupun negara lain sudah menyatakan akan nett zero di tahun 2060.

Pemerintah Indonesia tak punya keberanian untuk menyatakan seperti itu. Jadi, hanya wait and see saja dan justru terkesan ingin mencari keuntungan di tengah kondisi global yang sangat cepat perubahannya.

 

Seperti apa tantangan ekonomi hijau di masa pandemi?

Pandemi ini mengajarkan banyak hal, bahwa Covid-19 adalah penyakit yang tidak akan menyebar ke manusia ketika inang virus tidak terganggu habitatnya. Jadi, ada kaitan erat antara Covid-19 dengan kelestarian lingkungan, terutama kelestarian hutan sebagai rumah dari inang virus seperti trenggiling atau kelelawar. Hewan-hewan ini tidak akan menyebarkan inang virusnya ke manusia kalau habitatnya tidak diganggu. Ini mengajarkan banyak hal bahwa ketika ekosistem terganggu, maka dampak biaya ekonominya luar biasa besar. Seharusnya ini jadi pelajaran penting. Selama ini menjaga lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang mubazir karena tidak ada nilai ekonominya. Tapi ketika lingkungan tidak terjaga, biaya ekonomi yang harus ditanggung menjadi sangat besar.

Jadi, paradigma bahwa ekonomi adalah panglima itu harusnya ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan zaman. Pandemi ini mengajarkan kita bahwa ada yang lebih berharga dari sekadar ekonomi. Upaya untuk pemulihan dalam konteks pandemi harusnya tidak hanya berat di sisi ekonomi tapi harus bicara soal lingkungan hidup, prioritas kesehatan dan sistem pendidikan.

 

Bagaimana mendorong pelaku industri untuk beradaptasi dan bertransformasi pada ekonomi hijau?

Pelaku industri tidak bisa lagi mempraktikkan business as usual. Ada dua alasannya. Pertama, dalam beberapa tahun terakhir di penyelenggaraan World Economic Forum yang mempertemukan para pebisnis dan investor dunia, mereka sudah melihat bahwa risiko utama dari bisnis adalah dampak perubahan iklim. Para pebisnis harus melihat juga risiko ke depan itu bukan hanya soal moneter dan konsumsi masyarakat, tapi juga risiko terkait dampak perubahan iklim. Bencana alam seperti banjir dan angin puting beliung merupakan bagian dari risiko bisnis yang integral. Itu mengharuskan mereka untuk tidak bisa lagi menjalankan bisnis seperti biasa. Perusahaan tambang batu bara tidak bisa terus-menerus menambang. Investor dan bank pemberi dana tidak bisa lagi investasi di sektor-sektor yang berbasis energi fosil.

Kedua, tren di perdagangan global juga akan mengintegrasikan faktor lingkungan dengan ekonomi. Kita tidak bisa lagi berdagang komoditas yang dapat memperparah terjadinya perubahan iklim seperti batu bara, minyak bumi, dan sawit. Konsumen memiliki pertimbangan yang tidak hanya melihat sisi murahnya saja, tapi biaya sosial dan lingkungannya juga. Jadi lambat-laun kita juga harus mentransformasi ekonomi untuk tidak bergantung pada komoditas yang berkontribusi besar terhadap terjadinya perubahan iklim.

 

Seperti apa pandangan Anda terhadap kebijakan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung ekonomi hijau sejauh ini?

Sejauh ini tren perusahaan untuk mengarah kepada ekonomi hijau belum begitu nyata karena tidak ada penerapan stick and carrot dari pemerintah, misalnya dalam konteks pajak. Saat ini tidak ada penerapan pajak yang berpengaruh terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan, seperti carbon tax. Mestinya industri-industri yang menghasilkan emisi karbon itu dipajaki lebih besar. Dana pajak itulah yang kemudian digunakan untuk aksi mitigasi perubahan iklim, penyebarluasan energi terbarukan, sosialisasi dan edukasi.

Selama ini pemerintah selalu beralasan, biaya untuk mitigasi perubahan iklim sangat besar dan tidak ditutup hanya dari uang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), sehingga perlu dukungan dan partisipasi dari negara-negara atau pihak lain. Namun pemerintah tidak pernah juga memungut carbon tax bagi industri-industri yang menghasilkan emisi itu. Sementara stick tidak ada, kita malah kasih carrot terus. Misalnya, dengan Undang-Undang Omnibus Law, revisi undang-undang mineral dan batu bara. Itu adalah carrot yang selalu diberi ke sektor bisnis, sementara stick-nya tidak pernah difungsikan.

Industri yang menghasilkan emisi karbon harus dipajaki tinggi supaya negara mendapat pemasukan dan memaksa pengusaha untuk mentransformasi bisnisnya. Dengan begitu pengusaha akan menganggap tidak ada lagi keuntungan kalau terus bergerak di industri ini terus. Jadi, harus beralih ke industri yang lebih berkelanjutan. Dan itu juga memastikan hak-hak pekerja yang selama ini terabaikan. Padahal, yang mengalami dampak lingkungan adalah para buruh tambang. Ketika bisnis itu bertransformasi, harusnya hak-hak pekerja dijamin dan tidak boleh lagi ditinggalkan. Karena dalam konteks SDGs maupun Paris Agreement terdapat prinsip no one left behind.

Program-program pelatihan diarahkan ke industri baru yang lebih berkelanjutan sehingga pekerja bisa terserap dan tidak terabaikan. Jadi, Indonesia harus meletakkan fondasi untuk transformasi menuju ekonomi hijau.

Interview

  Perdagangan Karbon Perlu Aturan Pemerintah

Novita Hifni

Published

on

Foto: Riva Fazry

Perdagangan karbon yang kini menggema di seluruh dunia termasuk Indonesia tak terlepas dari adanya kebutuhan atau permintaan (demand) dari perusahaan[1]perusahaan penghasil karbon terbesar yang telah berkomitmen untuk mewujudkan net zero emission pada 2030. Wakil Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) Poempida Hidayatullah mengungkapkan, konservasi hutan dan berbagai aktivitas ramah lingkungan lainnya adalah kegiatan mulia yang harus didukung pemerintah. Menurut pengusaha yang telah lama menggeluti bidang teknologi dan energi terbarukan ini, banyak pandangan keliru di masyarakat yang beranggapan seolah-olah kegiatan konservasi hutan dijadikan bisnis melalui carbon offset.

Dalam perbincangan dengan Majalah Pajak di kediamannya yang asri di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (09/05/2023), mantan politikus Senayan ini memaparkan peran IDCTA dalam menumbuhkan ekosistem perdagangan karbon, pentingnya regulasi dan kehadiran negara dalam menciptakan keadilan terkait perdagangan karbon, dan kesepakatan IDCTA bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk membentuk bursa karbon.

Seperti ini penuturannya.

Bagaimana pandangan Anda tentang kegiatan perdagangan karbon di Indonesia saat ini, apa yang melatarbelakanginya?

Perdagangan karbon memang sedang hype di dunia. Selama ini banyak pandangan keliru di masyarakat tentang perdagangan karbon, seolah-olah kegiatan konservasi hutan dijadikan bisnis. Sebenarnya konservasi hutan adalah suatu aktivitas yang perlu biaya. Kalau pemerintah Indonesia mempunyai banyak hutan tapi tidak melakukan kegiatan konservasi, hutan secara perlahan akan dirusak dan bisa memicu terjadinya bencana alam seperti kasus kebakaran hutan, pergeseran tanah di Palu, Sulawesi Tengah, dan kebakaran lahan gambut. Kasus lahan gambut yang mengandung gas metan dan mudah terbakar salah satunya adalah karena tidak dialiri oleh air. Sebetulnya itu bisa dicegah melalui kegiatan konservasi.

Banyak hal yang harus dikerjakan dalam konteks konservasi hutan dan ini perlu biaya. Sehingga ketika ada aktivitas konservasi, kegiatan ini beriringan dengan kepentingan banyak pihak terhadap keberadaan hutan untuk menyerap karbon. Tak hanya pohon, tanah juga secara natural menyerap dan menetralisasi karbon dioksida. Memang Tuhan Mahaadil dan luar biasa dalam mendesain alam.

Baca Juga: Aturan Fiskal Indonesia Pro Ekonomi Rendah Karbon

Sektor usaha apa saja yang sudah bergabung dalam IDCTA dan bagaimana langkah asosiasi dalam mengurus sertifikasi karbon?

Saat ini baru ada tiga perusahaan yang tergabung di IDCTA dan sudah menjual sertifikat karbonnya, yaitu PT Rimba Makmur Utama, PT Rimba Raya Conservation, dan PT Global Alam Lestari. Ketiga perusahaan itu memang bergerak di bidang konservasi hutan. Ketika ada anggota yang melakukan kegiatan konservasi di lahan dengan luas tertentu, IDCTA mengajukan sertifikasi melalui Verra Carbon Standard yang merupakan lembaga sertifikasi internasional di Amerika Serikat. Ada penghitungannya untuk daya serap karbon dari setiap jenis tanaman dan lahan tanah. Lembaga sertifikasi memiliki daftar jenis tanaman dan dilengkapi oleh teknologi satelit yang dapat memotret untuk melihat ragam vegetasi di lahan konservasi. Tanaman seperti pinus, damar, dan ketapang memiliki daya serap karbon berbeda yang ditentukan oleh karakteristik batang pohonnya. Lembaga tersebut melakukan uji lapangan dan turun ke hutan untuk melihat langsung. Sehingga bisa menghitung berapa serapan karbon dari hutan konservasi, lalu memberikan sertifikat karbon dan secara berkala melakukan review minimal setiap lima tahun atau sepuluh tahun sekali.

Apa saja program konservasi yang telah dilakukan oleh asosiasi selama ini?

Untuk lahan gambut, kami melakukan kanalisasi dengan membuat bendungan supaya daerah gambut teraliri air sehingga tidak pernah kering. Selain membangun bendungan di lahan gambut, kami melakukan pemberdayaan masyarakat (community development) di sekeliling hutan, misalnya melalui kegiatan petualangan ke hutan yang mengangkat pesan jangan merusak lingkungan dan disampaikan di kanal digital. Ada pendekatan religi dengan membangun tempat ibadah atau pendekatan ekonomi lewat pemanfaatan lahan-lahan pertanian.

Kalau hanya pembalakan liar, kawasan hutan bisa ditanam lagi. Tapi kalau ancamannya dari eksploitasi hutan lindung yang menyimpan berbagai bahan tambang berharga, ini paling bahaya. Nilai ekonomi bahan tambang lebih tinggi dibandingkan kayu. Eksploitasi kawasan tambang menyebabkan hampir seluruh kondisi hutan menjadi gundul.

Dari menjual sertifikat karbon, dana yang diperoleh tidak semuanya langsung dikantongi, melainkan dikembalikan dalam bentuk community development. Jadi, pada akhirnya memang ini adalah aktivitas sosial ekonomi yang berkaitan dengan environment. Nanti ada penilaian kembali untuk melihat keberhasilan program. Dalam lima tahun mendatang, kami mengundang lembaga standar karbon internasional ini untuk melihat lagi. Perkembangan biodiversity yang semakin banyak akan dapat tambahan nilai yang bisa dikonversi dalam bentuk kredit karbon. Misalnya, jika dalam setahun berikutnya kami berhasil menciptakan hutan yang lebih hijau, maka jumlah kredit karbon bertambah. Jadi, orang akan bersemangat untuk melakukan konservasi.

Dulu basis kegiatan ini tidak pernah jalan karena tidak ada insentif dananya. Padahal sebetulnya sudah ada komitmen Kyoto Protocol yang menghasilkan komitmen negara-negara di dunia tentang pentingnya menjaga keberlanjutan bumi dengan menerapkan praktik-praktik yang ramah lingkungan. Namun hal ini terkadang tidak berjalan karena terkena imbas berbagai konflik geopolitik. Akhirnya muncul voluntary market dari sektor swasta yang berkomitmen untuk mewujudkan net zero emission di tahun 2030. Ada sejumlah perusahaan multinasional sektor minyak dan gas bumi di AS yang telah menyatakan komitmennya, seperti Exxon dan Chevron. Sebagai penghasil karbon terbesar, mereka akhirnya mau melakukan carbon offset. Supaya emisinya bisa nol, mereka membeli kredit karbon dari pihak yang memiliki hutan dan melakukan konservasi.

Baca Juga: PAJAK KARBON DI INDONESIA

Jadi, kemunculan voluntary market adalah karena ada demand dari perusahaan-perusahaan penghasil karbon terbesar. Kalau Indonesia yang memiliki banyak hutan tidak ambil bagian dalam konteks ini, tentu suatu kerugian besar. Sekarang ada sekumpulan sektor swasta yang mau mendanai kegiatan konservasi melalui carbon offset, maka aktivitas ini tidak ada masalah dan bisa dijalankan. Hanya kebiasaan buruk orang Indonesia adalah sering latah mengikuti tren. Ketika mengetahui kalau kegiatan ini ada uangnya, seketika ramai-ramai orang melakukan konservasi. Hutan-hutan disertifikasi, lalu dijualnya murah. Ini buruk sekali. Pemerintah harus membuat regulasi untuk mengatur tentang perdagangan karbon. Kami berharap keterlibatan pemerintah tidak dipolitisasi. Peran pemerintah adalah untuk memberikan keadilan dan menjaga stabilitas harga agar tidak dijual murah sampai banting harga karena maraknya sertifikat karbon di masyarakat.

Seperti apa bentuk peran serta yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatur perdagangan karbon?

Ada berbagai macam metode, salah satunya dengan mempunyai bursa karbon. Ini sedang kami diskusikan bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia. Melalui asosiasi, kami akan menerapkan prinsip know your customer dan menciptakan level playing field yang seimbang. Para anggota yang ingin masuk ke bursa karbon dapat terpantau dan tercatat dengan baik karena sebelumnya. mereka harus bergabung di asosiasi. Kalau ada oknum yang nakal dan menipu dengan merekayasa seolah-olah sudah melakukan kegiatan konservasi, asosiasi bisa langsung mengenali profilnya. Indonesia mempunyai sekitar 60 juta hektare lahan dan separuhnya sudah dikelola berstatus pinjam pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Kalau hutan dapat dikelola dengan memanfaatkan perdagangan karbon, ini bisa menjadi blessing in disguise.

Apa tujuan utama dari IDCTA dan bagaimana profil keanggotaan asosiasi saat ini?

Asosiasi ingin menjadi jembatan antara dunia swasta dan pemerintah. Kami akan melakukan sosialisasi ke anggota terhadap aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kalau anggota asosiasi mempunyai aspirasi, kami akan sampaikan ke pemerintah. Aturan tentang perdagangan karbon tidak bisa satu arah dan harus ada konsensus bersama. Sehingga ketika diundangkan akan diikuti dan semua patuh. Aturan itu untuk menjaga keseimbangan dan bisa bermanfaat bagi rakyat.

Sebenarnya keinginan untuk mendirikan asosiasi ini sudah dari empat tahun lalu, namun tertunda karena pandemi. Setelah Covid mereda, IDCTA baru mulai di awal 2022. Asosiasi ini melibatkan kalangan profesional yang pernah bekerja di Bank Dunia dan juga aktivis lingkungan. Saya sendiri dari dulu memang pencinta lingkungan dan berusaha menerapkan teknologi atau

energi terbarukan yang ramah lingkungan. Sejak asosiasi ini baru berdiri, respons yang muncul luar biasa. Banyak yang mau bergabung di IDCTA mulai dari perusahaan, para ekspatriat yang peduli lingkungan, dan baru-baru ini ada satu kantor konsultan pajak yang ingin untuk bergabung karena tertarik dengan aspek pajak karbon

Bagaimana proses dan mekanisme perdagangan karbon itu berlangsung?

Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, ada regulasi tentang Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan (PBPH) yang sudah ada turunannya sampai peraturan menteri. Bagi pihak yang mau mendapatkan konsesi hutan, maka harus memiliki PBPH yang semua prosesnya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hutan ini basis pengelolaannya adalah forestry and other land use. Untuk forestry masuk di KLHK, sedangkan other land use di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Ketika seseorang yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) ingin mengonversi lahan HGU menjadi hutan yang ditanam ulang, maka proses perizinan bukan di KLHK melainkan di ATR. Untuk pengelolaan mangrove, pengurusan perizinan sebagian ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan. KLHK menjadi leader dalam proses perdagangan karbon ketika pemegang konsesi lahan sudah melakukan sertifikasi. Pemegang sertifikat bisa langsung menjual sertifikatnya di bursa karbon dengan referensi harga tertentu. Sekarang kita masih mengacu pada harga karbon standar internasional yang ditentukan oleh supply dan demand di bursa global. Kalau nanti Indonesia mempunyai bursa sendiri, maka harganya mengacu pada bursa lokal. Kegiatan konservasi dan pemberdayaan masyarakat tak hanya menghasilkan uang, tapi merupakan kerja mulia membantu orang menjaga lingkungan. Jadi, pemerintah seharusnya ikut mendukung kegiatan positif ini.

Baca Juga: Peluang Inovasi Sektor Industri dari Emisi Karbon Dampak Perubahan Iklim

Bagaimana peran asosiasi dalam membangun ekosistem perdagangan karbon?

Asosiasi ini adalah wadah untuk berkumpul dan mengadakan kegiatan secara berkala seperti pelatihan, sosialisasi, dan seminar. Dalam waktu dekat kami mengadakan training tentang accounting yang berhubungan dengan strategi penghitungan karbon. Satu topik yang bisa digali adalah pajak karbon. Kami terbuka dan mempersilakan semua kalangan yang ingin bergabung di asosiasi ini mulai dari pengelolaan hulunya di sumber hutan, pemodal yang tertarik investasi, ingin menata urusan keuangan di perdagangan karbon, atau sebagai pembeli karbon. Hal yang terpenting adalah bisa saling membantu antarkomunitas.

IDCTA sudah menjadi anggota luar biasa Kadin Indonesia. Kami menandatangani kesepakatan dengan BEI pada November 2022 tentang pembentukan bursa karbon. Bursa karbon ditargetkan bisa terlaksana pada September 2023. Kami juga melakukan pembicaraan dengan Verra Carbon Standard agar proses sertifikasi bisa dilakukan melalui IDCTA dan menggunakan standar lembaga itu. Kalau harus bolak-balik ke AS untuk mengurus sertifikasi karbon tentu merepotkan dan mahal biayanya. Saat ini Menteri KLHK sedang menata ulang PBPH untuk pelaku usaha di sektor pariwisata, HTI, dan khusus perdagangan karbon. Ada sekitar 130 perusahaan yang dalam proses mengajukan PBPH. Kalau proses perizinannya bisa selesai Juni 2023, tahun depan bursa karbon akan mulai menggeliat.

Kami turut berpartisipasi dalam KTT G20 November 2022 di Bali. Pada November 2023 kami akan menyelenggarakan forum dunia yang mengangkat tema “Digital Carbon Expo”. Lingkup kegiatan asosiasi ini di pasar dunia sehingga komunitas yang diundang adalah komunitas dunia. Salah satu yang menjadi isu tentang implementasi carbon tax di Indonesia dan ini pasti akan mengundang banyak pertanyaan dari peserta. Pemilihan tema dilandasi oleh karena belum adanya basis digitalisasi untuk karbon kredit.

Pada akhirnya semua upaya ini adalah untuk dekarbonisasi. Untuk menekan emisi karbon dari proses kehidupan perlu dana. Memang kita tidak mungkin menghilangkan sepenuhnya, karena manusia sendiri mengonsumsi hidrokarbon.

Baca Juga: Pajak Karbon, Instrumen Industri Hijau

Continue Reading

Interview

Memimpin dengan Militansi dan Improvisasi

Ruruh Handayani

Published

on

Foto: Rivan Fazry

 

Sebagai petugas pajak, ia dikenal punya sentuhan midas. Di lingkup akademis, dedikasinya terkukuhkan sebagai profesor kehormatan. Ia mengharapkan hadirnya Badan Otoritas Penerimaan Negara.

 

Majalahpajak.net – Puluhan papan karangan bunga dengan aneka ucapan selamat—salah satunya dari Presiden RI Joko Widodo—menghiasi pelataran Auditorium Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/9). Hari itu, Unissula mengukuhkan Prof. Dr. Drs. Edi Slamet Irianto S.H., MSi menjadi Guru Besar Kehormatan bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum.

Di upacara pengukuhan, Rektor Unissula Prof Dr. Gunarto S.H. M.H mengemukakan, Edi telah memenuhi empat kriteria untuk diangkat menjadi Profesor Kehormatan menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Selain itu, Edi memiliki kompetensi luar biasa yang diejawantahkan melalui tacid knowledge dan explicit knowledge.

Tacid knowledge, misalnya, diwujudkan melalui pemikiran atau gagasan Edi terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang semula merupakan wewenang pemerintah pusat kini menjadi wewenang kabupaten/kota (daerah). Sementara explicit knowledge dibuktikan melalui sejumlah jurnal internasional yang berkontribusi untuk pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Meski prosesnya panjang, pengukuhan Profesor Kehormatan dapat dimungkinkan oleh perguruan tinggi swasta terakreditasi “Unggul” seperti Unissula, dan untuk setiap orang yang memiliki kompetensi dan/atau prestasi luar biasa—meski ia bukan seorang dosen.

Di luar perannya sebagai akademisi, Edi merupakan Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Utara (Jakut) dan telah mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan DJP selama lebih dari 30 tahun.

Ia dikenal bertangan Midas, karena selalu membawa unit vertikal yang dipimpinnya mencapai target penerimaan bahkan meraih prestasi nasional. Pada 2021, misalnya, suami Haula Rosdiana ini berhasil mengantarkan Kanwil DJP Jakut—yang telah 13 tahun tak mencapai target—membukukan realisasi penerimaan pajak dengan capaian 105,6 persen sementara capaian nasional atau capaian rata-rata kanwil se-Indonesia sebesar 103,5 persen. Tahun 2020, saat menjadi Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II, Edi pun berhasil meraih penerimaan pajak 103,24 persen.

Kepada Majalah Pajak yang menyaksikan upacara pengukuhan secara langsung, pria kelahiran Kuningan 3 Mei 1963 ini menuturkan makna jabatan akademik Profesor Kehormatan baginya, dedikasinya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, juga sejumlah gagasan dan prestasinya saat berkarier sebagai ASN.

Berikut uraiannya.

Baca Juga: Kanwil DJP Jakut Serahkan Tersangka Tindak Pidana Perpajakan ke Kejari

Hari ini, 9 September 2022, Anda dikukuhkan menjadi Guru Besar Kehormatan Bidang Politik Hukum Pajak oleh Unissula. Apa makna pemberian gelar ini bagi Anda?

Perlu diketahui, saya tidak pernah membayangkan sedikit pun akan mendapatkan gelar kehormatan sebagai profesor, meskipun saya pernah bercita-cita ingin menjadi profesor. Hal ini karena saya harus melihat realitas, bahwa saya Aparatur Sipil Negara di DJP Kemenkeu RI yang jelas bukan merupakan lembaga pendidikan tinggi. Sehingga, menjadi tidak mungkin bagi saya untuk mendapatkan gelar profesor yang merupakan jabatan akademik tertinggi bagi seorang dosen atau pengajar.

Jadi, pemberian Profesor Kehormatan di Bidang Ilmu Hukum, Politik Hukum Pajak kepada saya dari Fakultas Hukum Unissula ini, tidak dapat hanya dimaknai sebagai penghargaan dan penghormatan kepada saya. Justru bagi saya ini menambah amanah, tanggung jawab saya yang tidak ringan, terutama, untuk terus mengembangkan ilmu politik hukum pajak pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya.

Saya mengucapkan terima kasih dan semoga saya diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Unissula. Mudah-mudahan kehadiran saya bisa memberikan determinasi dalam pengembangan ilmu hukum khususnya di Unissula.

Peranan apa saja yang Anda dedikasikan dalam kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sampai akhirnya bermuara kepada terpenuhinya kriteria untuk dikukuhkan sebagai Profesor Kehormatan?

Keterlibatan saya dalam dunia akademik telah dilakukan secara cukup serius. Setelah saya meraih gelar doktor pada tahun 2008 di Universitas Gadjah Mada, sejak tahun 2009 hingga saat ini masih terlibat aktif dalam pengajaran, pembimbingan, dan penguji tesis disertasi mahasiswa, juga turut serta dalam kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di beberapa perguruan tinggi, antara lain UI, Unpad, Universitas Andalas, dan lain-lain.

Kemudian untuk bidang riset, saya merupakan salah satu pendiri kluster riset Politik Perpajakan (PolTax) Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia. Ya, Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dilakukan selama ini ternyata memberikan dampak positif, yakni semakin memperkaya pengalaman dan semakin tajam melakukan analisis kajian akademis.

Bahkan, berbagai karya ilmiah telah dipublikasi baik dalam bentuk jurnal internasional bereputasi antara lain terindeks scopus maupun sejumlah buku perpajakan yang menjadi buku wajib, buku referensi mahasiswa untuk mata kuliah perpajakan. Alhamdulillah, dua di antaranya mendapat impact factor di atas nilai yang ditentukan yaitu sebanyak 0,18.

Dua karya itu adalah Democratization of Taxation in Indonesian Perspective: A Systematic Analysis, Systematic Reviews in Pharmacy, terindeks Scopus Q2, dengan impact factor 0,42; dan Review of Implementation of the Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting in Indonesia, yang terindeks Scopus Q3, dengan impact factor 0,42.

Dalam orasi ilmiah yang disampaikan saat upacara pengukuhan tadi, Anda membawakan tentang “Politik Hukum Pajak Transformatif Prasyarat Sukses Menuju Indonesia Emas”. Bagaimana Anda menghubungkan antara politik hukum pajak yang transformatif untuk kesuksesan pencapaian visi Indonesia Emas 2045?

Sepengetahuan saya, memang belum banyak kajian yang secara khusus membahas tentang politik hukum pajak. Istilah politik hukum di Indonesia, pertama kali diperkenalkan oleh Soepomo melalui artikelnya yang berjudul “Soal-soal Politik Hoekoem dalam Pembangunan Negara Indonesia” dalam majalah Hoekoem pada tahun 1947.

Dalam ilmu hukum, politik hukum merupakan kajian dari ilmu hukum tata negara, yang mengkaji persoalan tentang suatu produk hukum, yang akan dibentuk, diganti atau disempurnakan. Sementara Mahfud M.D mengartikan politik hukum sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Baca Juga: Edi Slamet Irianto Dikukuhkan Jadi Guru Besar Kehormatan di Unissula

Untuk hal ini, saya mengonstruksi definisi politik hukum pajak sebagai suatu keinginan atau cita-cita luhur negara, yang dituangkan menjadi kebijakan dasar perpajakan, dari pemerintahan suatu negara, dalam menentukan arah pembangunan hukum pajak, jenis, dan substansi hukum pajak yang akan dibentuk, diganti, diubah atau dicabut. Hal itu meliputi bagaimana implementasi dan penegakan hukum pajak, yang cocok dan sesuai dengan perkembangan, serta kebutuhan masyarakat bangsa dan negara Indonesia.

Dengan demikian, politik hukum pajak bukan hanya mencakup politik hukum pajak formal, melainkan juga politik hukum pajak material. Ukuran cocok dan sesuainya sesuatu itu, tidak bisa lepas dari pandangan dan ideologi negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, politik hukum pajak Indonesia harus cocok dan sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi Negara UUD NRI tahun 1945.

Di sisi lain, dunia tengah memasuki era VUCA (volatility, uncertainty, complexityand ambiguity), yakni disrupsi yang membawa perubahan besar serta terjadi secara tiba-tiba sehingga menyebabkan pergolakan, ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan. Penyebab utamanya adalah pesatnya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK).

Untuk itu, era disrupsi yang dipengaruhi oleh TIK ini sudah seyogianya menjadi momentum untuk melakukan transformasi politik hukum, yang diawali dengan terobosan hukum norma pengaturan perundang-undangan perpajakan. Nah, menyongsong Indonesia Emas 2045, sudah saatnya pungutan pajak dikaji dan dinilai dengan paradigma baru.

Pajak itu, kan, merupakan saham politik rakyat atas negara, sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap proses politik untuk menentukan kebijakan negara. Pajak tidak dapat dipahami hanya sejumlah uang yang bernilai ekonomi, namun jauh dari itu merupakan besarnya komitmen politik ekonomi masyarakat kepada negara. Oleh karena itu, diperlukan langkah berani pemerintah untuk melakukan terobosan hukum sebagai langkah hukum baru guna merespons permasalahan hukum pajak yang terus berkembang dan sangat dinamis. Tidak hanya perlu reformasi, tapi memerlukan transformasi perpajakan sehingga politik hukum pajak transformatif sangat dibutuhkan, sebagai langkah cipta kondisi menuju sukses Indonesia Emas 2045.

Lalu apa itu politik hukum transformatif? Saya mendefinisikannya sebagai kebijakan pajak yang mampu mengarahkan terwujudnya perubahan sosial melalui fungsi distribusi dan redistribusi pajak sehingga mendorong mobilitas vertikal masyarakat, golongan masyarakat lemah bergerak ke menengah sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bagi bangsa Indonesia, keadilan sosial adalah pengejawantahan sila ke-5 Pancasila. Oleh sebab itu, fungsi distribusi dan redistribusi pajak sejatinya perwujudan dari sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Lalu gagasan apa saja yang Anda ingin sampaikan agar pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan politik hukum pajak transformatif yang ideal dan sesuai dengan kondisi kekinian—sehingga berujung pada kesuksesan Indonesia Emas tahun 2045?

Ya, ada beberapa pemikiran yang bisa menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan perpajakan yang akan datang, seperti juga yang sudah saya singgung sebelumnya. Pertama, bahwa perumusan norma hukum pajak harus dapat memosisikan kepentingan negara untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Kedua, perumusan norma hukum pajak harus mencerminkan adanya rasa keadilan, baik keadilan vertikal maupun keadilan horizontal.

Ketiga, pemberian fasilitas perpajakan seyogianya diarahkan dan diprioritaskan untuk membantu dan meningkatkan ekonomi lemah. Dan keempat, perumusan norma hukum pajak untuk pengelolaan sumber daya alam, seyogianya dapat memosisikan negara sebagai pemilik sumber daya alam.

Kemudian, ada dua pesan penting dan cukup strategis yang ingin saya sampaikan. Pertama, saya menyarankan agar pemerintah segera melakukan kodifikasi norma pengaturan undang-undang perpajakan yang ada, menjadi hanya satu Undang-Undang Perpajakan Indonesia atau Omnibus Perpajakan Indonesia.

Undang-Undang Perpajakan Indonesia ini merupakan integralisasi dari seluruh undang-undang pajak yang ada, sehingga norma pengaturannya harus komprehensif, holistik, dan sangat jelas—tidak multitafsir. Karena, pada dasarnya negara bukan hanya perlu rakyat patuh pajak, tetapi butuh rakyat taat pajak.

Oleh karena itu, perlu dibangun demokrasi deliberatif yang dipercaya akan menjadi fondasi ketahanan fiskal, khususnya ketahanan penerimaan negara. Ketangguhan ketahanan penerimaan negara menjadi keniscayaan untuk mewujudkan Indonesia Emas. Sehingga, untuk mendapatkan ketaatan perpajakan masyarakat, diperlukan Undang-Undang Perpajakan Indonesia atau Omnibus Perpajakan Indonesia.

Selanjutnya, saya juga berharap pemerintah dapat meningkatkan kewenangan lembaga pengelolaan penerimaan negara menjadi Badan Otoritas Penerimaan Negara. Hal ini utamanya untuk menyukseskan pelaksanaan Perpres Nomor 83/2021 yang mengatur bahwa Nomor Induk Kependudukan menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak atau dengan kata lain, bahwa NPWP sama dengan NIK. Tentu pelaksanannya memerlukan ruang kewenangan yang lebih besar, karena yang diurus adalah sejumlah penduduk Indonesia yang saat ini sudah mencapai 270 juta.

Pemerintah perlu memikirkan dampak ikutannya dan harus dilakukan secara bijaksana, dengan mengutamakan kepentingan negara yang lebih besar. Pekerjaan yang sangat besar ini tentu tidak akan mampu dikelola dan diselesaikan oleh lembaga yang hanya setingkat eselon satu. Hal ini karena permasalahan timbul hanya bisa dilakukan oleh kewenangan setingkat menteri.

Jadi, memerhatikan visi-misi negara dan melihat permasalahan penerimaan negara yang semakin kompleks sejalan dengan dinamika geo-politik, geo-ekonomi, serta lingkungan strategis; maka meningkatkan kewenangan lembaga pengelolaan penerimaan negara menjadi Badan Otoritas Penerimaan Negara merupakan kebutuhan mendesak dan sebuah keniscayaan bagi negara agar sukses menuju Indonesia Emas.

Bukan sekali ini saja Anda memaparkan tentang politik pajak. Sejatinya, bagaimana awal mula ketertarikan Anda tentang politik sehingga berkembang dan melahirkan gagasan-gagasan yang brilian?

Buku pertama saya Politik Perpajakan yang diterbitkan di tahun 2005 itu adalah hasil riset dan pemikiran saat menjadi kandidat doktor di Universitas Gadjah Mada. Nah, saya tertarik menulis politik pajak juga awalnya ‘diprovokasi’ oleh salah satu dosen saya, Prof. Drs. Purwo Santoso, MA. Ph.D. Sebagai orang yang belajar ilmu politik, kami berinteraksi sekaligus berdialektika secara sangat kaya, terutama ketika membicarakan keuangan negara.

Baca Juga: Politik Hukum Pajak Transformatif Ejawantahkan Visi Indonesia Emas 2045

Politik perpajakan juga selama ini menjadi concern saya, sehingga diskusi itu menghasilkan konseptualisasi yang sangat menarik dalam disertasi yang dihasilkan. Apalagi, kala itu tulisan tentang politik pajak belum ada di Indonesia. Padahal, pajak kalau kita pahami itu adanya dari komitmen politik warga negara dengan negara.

Kenapa ada pajak? Karena ada tuntutan dari rakyatnya bahwa rakyat ingin bisa sejahtera. Dan yang bisa menyejahterakan itu adalah negara melalui perlindungan, keamanan, regulasi, dan lainnya. Makanya ini menjadi penting. Jadi saya kira kalau pajak itu dipahami dari perspektif yang luas, selama ini, kan, pajak itu hanya dipahami sebagai suatu beban—padahal harus dilihat jauh dari itu.

Bukan hanya sebagai sejumlah uang tapi harus dilihat bahwa pajak itu adalah dukungan politik dari masyarakat kepada negara. Jadi melalui gagasan ini saya ingin mengantarkan kepada masyarakat bahwa ada dimensi pajak, dimensi politik, dan bahwa pajak itu memiliki dimensi politik.

Kenapa dimensi politik? Karena pajak itu menyangkut nasionalisme. Orang yang bayar pajak pasti warga negara yang bersangkutan, karena warga negara punya kepentingan terhadap negaranya. Maka untuk menjaga keutuhan negaranya, dia harus membayar pajak.

Jadi, saya ingin menyempurnakan pemikiran terhadap masyarakat, orang pajak, tentang pajak yang selama ini sudah dipikirkan oleh mereka dari disiplin ilmunya masing-masing. Selama ini, kan, yang menonjol yang memahami pajak itu dari ekonomi dan hukum. Hampir tidak ada yang membahas dari sisi politik. Nah, saya mencoba untuk melihat dan menyempurnakan pandangan itu supaya menjadi lebih sempurna.

Dalam wawancara sebelumnya, Anda juga menyampaikan kecintaan akan menulis, sampai-sampai melahirkan banyak buku. Apa yang ingin Anda raih lewat tulisan-tulisan Anda?

Menulis itu bagi saya adalah sebuah syiar dan cara berkomunikasi. Saya ingin melakukan komunikasi dengan para pihak tentang gagasan dan pikiran yang ada di diri saya, dengan harapan kalau ditulis itu, kan, bisa dibaca berulang-ulang dan yang membacanya pasti banyak. Setelah satu dibaca dan disimpan, ada orang baru dibaca lagi. Tapi kalau kita hanya narasi atau seminar mungkin hanya sampai di situ saja dan lingkungannya terbatas. Kalau menulis, kan, tidak terbatas dan tidak dibatasi oleh waktu. Jadi, itulah cara saya melakukan komunikasi dan menyosialisasikan pemikiran saya.

Dan bisa dilihat, buku yang saya tulis hampir semuanya tidak teknis. Saya enggak mau hal-hal yang sifatnya teknis yang setiap tahun bisa berubah, tapi saya memberikan dasar-dasar kerangka pemikiran apa itu pajak, dari sisi politik, dan seterusnya. Karena ilmu ini, kan, sifatnya abadi, dia akan terkalahkan oleh teori baru seterusnya dan teori baru juga ingin menyempurnakan.

Sebagai ASN di DJP Anda sering mencapai target penerimaan sampai-sampai diberi julukan bertangan Midas. Apa saja kunci kesuksesan yang terus berulang ini?

Saya selalu mengajarkan kepada para kepala kantor di wilayah masing-masing untuk mempelajari perilaku ekonomi masyarakat, karena ada kaitannya dengan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan Pasal 21, dan sebagainya. Ini akan berpengaruh terhadap kemampuan bayar, misalnya untuk PPh Pasal 25 ke depan.

Jadi, misalnya, saat ini musim pandemi, berarti yang akan muncul itu adalah pertama distribusi barang. Ketika distribusi barang banyak terjadi dan orang di rumah berarti yang naik IT, komunikasi, kan, begitu. Jadi harus dicermati. Di pandemi ini juga enggak mungkin orang belanja yang sekunder, tapi yang pokok seperti vitamin, makanan-minuman, dan lain-lain seputar itu. Jadi berdasarkan itu dipelajari, didalami.

Kemudian, improvisasi kebijakan dari kantor pusat agar bernilai tambah, saya minta semua account representative (AR) dan lainnya hitung tax ratio masing-masing Wajib Pajak. Setelah dihitung, kemampuan bayarnya seperti apa, ini sangat mudah. Memang tidak ada aturan, tetapi ini untuk benchmark kami. Di kanwil sebelumnya juga saya lakukan seperti itu.

Selain itu, kita juga melakukan pola komunikasi yang efektif dengan WP (Wajib Pajak). Kita harus memahami tentang apa persoalan yang mendasar dari Wajib Pajak. Kan, kita ingin meningkatkan tax ratio, maka pendekatannya tax ratio.

Jadi, sebenarnya untuk penerimaan pajak itu, seorang pimpinan harus paham bahwa yang kita targetkan adalah penerimaan pajak, dan ukuran nasional itu adalah tax ratio yang berarti kepatuhan membayar. Ketika ingin meningkatkan kepatuhan membayar, berarti harus mempermudah cara pembayaran. Cara pembayaran yang mudah, berarti Wajib Pajak harus tahu dulu bahwa kita memang tahu kegiatan ekonominya. Sederhana sebenarnya pajak itu, enggak terlalu rumit.

Baca Juga: Mengabdi dengan Ikhlas, Menjaga Martabat dan Prestasi

Selanjutnya, pemimpin itu harus memahami dan bisa mengindentifikasi permasalahan. Jadi, masalah apa sih yang krusial? Itu harus diidentifikasi, baru dari situ dilihat kebijakan apa yang sudah ada. Dari kebijakan yang sudah ada itu, dipelajari bisa enggak untuk mengatasi permasalahan tadi? Kalau belum, karena kita di lapangan, maka kita perlu melakukan improvisasi supaya persoalan ini bisa terjawab tanpa harus melanggar aturan. Jadi, sepanjang itu masih dalam diskresi kita, ya kita ubah dan kerjakan yang betul.

Setelah policy itu dilakukan, tinggal strategi operasionalnya bagaimana. Siapkan orangnya, misalnya AR, mesti dikasih pengetahuan tentang objek pajaknya. Karena tidak mungkin, orang disuruh mengerjakan sesuatu tapi dia sendiri tidak tahu apa yang dikerjakan. Saya juga berupaya untuk sering datang ke masyarakat, ngobrol dengan mereka. Dan rata-rata mereka ingin membayar pajak, tapi harus jelas dulu.

Selain berkomunikasi ke Wajib Pajak, tentu Anda juga harus berkomunikasi dengan tim, dalam hal ini fiskus di wilayah Kanwil DJP Jakarta Utara. Bagaimana cara Anda menyampaikan strategi Anda menjadi sesuatu yang bisa dilakukan oleh seluruh lapisan bidang?

Tentunya saya ajak ngobrol. Kelompok milenial saya kumpulin, saya tanya motivasinya seperti apa. Karena, kalau ada yang masuknya setengah-setengah, kasihan, kan, orang yang mau sungguh-sungguh ke sini tapi tidak diterima. Jadi saya lebih memotivasi masing-masing pribadi itu. Memang capek, ya, tapi itu memang sudah tanggung jawab kita. Jadi saya ke sini untuk memastikan bahwa mereka yang ke sini karena punya cita-cita yang sangat ingin mengabdikan diri di Direktorat Jenderal Pajak, maka harus mau belajar untuk disiplin, dan sebagainya.

Anda dikenal sebagai pemimpin yang tegas, serta mengedepankan disiplin dan integritas. Bagaimana tepatnya nilai-nilai ini bisa terbentuk, dan bagaimana caranya menularkan ini ke pegawai?

Mungkin karena dibentuk sejak saya kecil. Teman main saya adalah anak-anak tentara, dan orangtuanya itu memang sangat disiplin. Saya melihat ketika teman saya terlambat, bagaimana sikap marahnya orangtuanya itu. Karena terbiasa seperti itu tanpa disadari terbentuk, saya jadi ikut terbiasa disiplin.

Sewaktu di sekolah dasar juga saya punya guru yang sangat disegani karena disiplinnya luar biasa. Misalnya ada murid yang tidak mengerjakan PR atau baju tidak dimasukkan maka dihukum, enggak peduli wanita atau pria. Itu yang saya dapatkan pelajaran berharga tentang disiplin—ditambah dengan lingkungan organisasi saya.

Memang kesan bagi orang lain saya itu tegas dan militeristik. Tapi sebetulnya, militer itu adalah orang yang militan. Jadi, kalau orang itu sudah militan terhadap institusinya, maka dia akan menjaga institusi itu. Dia juga akan militan dan loyal terhadap negaranya.

Petugas pajak tentu harus militan terhadap negaranya dengan penugasannya. Itu kunci utamanya. Ketika ia bisa militan, karena ia sadar apa yang menjadi perintahnya dan telah mendapatkan doktrin yang tepat. Ketika sudah sadar, tumbuhkan rasa cinta, dan tumbuhkan pemahaman. Jadi, kalau orang sudah berkomitmen itu tidak perlu diawasi.

Continue Reading

Interview

Gerakan Mementaskan Adikarya Nusantara

Ruruh Handayani

Published

on

Foto: J. Fakkar

 

Tampil jauh lebih modern, segar, dan elegan, Sarinah bergegas menampilkan karya kebanggaan anak bangsa.

 

MAJALAHPAJAK.NET – Direktur Utama PT Sarinah Fetty Kwartati, dengan tangan dingin dan pengalaman selama hampir 20 tahun di industri retail akan menuntaskan transformasi Sarinah dengan bertaut pada slogan “Panggung Karya Indonesia”, agar menjadi kebanggaan nostalgia dan masa depan.

Dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak, Rabu (10/8), alumnus program master California State University yang juga aktif di Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) ini menuturkan, Sarinah kini tak hanya berfokus pada UMKM tetapi juga memberi ruang seluas-luasnya kepada pegiat seni serta ekonomi kreatif untuk menunjukkan konsistensinya kepada publik lintas generasi.

Perempuan kelahiran Tangerang, 4 Februari 1968, juga mengemukakan peran aktif PT Sarinah sebagai BUMN Retail yang mengelola pusat perbelanjaan dan unit bisnisnya agar bisa mencapai kinerja positif, sekaligus lincah dan adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan dan disrupsi.

Pertama kali beroperasi pada 15 Agustus 1966, kala itu Sarinah punya misi mewadahi kegiatan perdagangan produk dalam negeri serta mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Nama Sarinah punya arti mendalam bagi Presiden Sukarno. Dialah pengasuh utama sang proklamator saat ia kecil, tempat Sukarno banyak belajar bagaimana mencintai “orang kecil”.

Kini, setelah bangun dari tidur panjang selama dua tahun, Sarinah tampil dengan wajah baru yang lebih kekinian, elegan, dan menawan. Bagaimana pusat perbelanjaan pertama sekaligus pelopor bisnis retail modern di Indonesia ini hendak memastikan bertahannya nilai-nilai sejarah di balik nama dan visi Sarinah?

Berikut penuturan Fetty Kwartati.

Gedung Sarinah direnovasi secara besar-besaran sejak Juli 2020, lalu kembali dibuka pada 21 Maret 2022 dan diresmikan pada 14 Juli 2022 oleh Presiden RI Joko Widodo. Apa latar belakang dilakukan renovasi tersebut?

Sarinah memang sudah legend sekali sebagai department store. Bahkan sebagai sebagai pusat belanja pertama di Indonesia, ini sangat relevan sekali kalau bisa dibangkitkan kembali. Selain juga sebagai satu-satunya BUMN di bidang retail dan juga memang dari awal diset oleh Bung Karno adalah sebagai penggerak ekonomi kerakyatan.

Nah, ini sangat dirasakan tepat sekali dengan UMKM yang saat ini juga menjadi ujung tombak perekonomian Indonesia. Jadi, akhirnya diputuskan, oke kita transform Sarinah. Pada 17 Agustus 2021 harusnya sudah bisa di-deliver (dibuka untuk umum), tapi karena kondisi pandemi dan di lapangan itu banyak kendala—terutama menyangkut masalah pandemi ini—akhirnya baru bisa dibuka untuk umum, soft launching di 21 Maret 2022.

Sarinah sarat akan nilai sejarah. Setelah berwujud menjadi bangunan yang modern, apa saja nilai-nilai sejarah pada Sarinah kini yang masih bisa dirasakan oleh masyarakat?

Sarinah ini banyak beruntungnya juga, karena by design sudah jadi sejarah yang tidak bisa dilupakan atau tidak bisa dihilangkan begitu saja. Termasuk juga bangunannya, karena bangunannya dibangun tahun 1963 sampai sekarang masih utuh seperti itu. Bangunan tersebut sudah direkomendasikan sebagai cagar budaya. Ada beberapa spot yang memang as it is.

Kita lihat ada relief, kemudian ada kolam pantul yang dulu sempat teruruk oleh parkiran akhirnya dimunculkan kembali. Dibuat simbolik ada kolam, ada airnya, dan itu bisa menjadi refleksi. Jadi, kalau pagi kita lihat di air itu ada shadow dari bangunan sekitarnya, ada tulisan Sarinah, itu salah satu juga cagar budaya. Termasuk, eskalator pertama di Indonesia. Dulu ini menjadi destinasi karena orang datang ke Sarinah karena ada tangga jalan, dan gedungnya ber-AC. Jadi, orang datang bolak-balik nyobain, masih ada yang takut, masih ada yang kejepit.

Namun, karena alasan keselamatan, kami hanya pajang eskalator itu untuk event-event tertentu, walaupun masih berfungsi. Lalu tulisan Sarinah—yang sekarang kami sebut Skydeck, itu juga jadi cagar budaya. Jadi, ada sekitar 5–6 poin cagar budaya yang harus kami keep, termasuk towernya, Sarinah.

Jadi, kalau pengunjung lihat di lantai dasar, ada penuturan Sarinah dari masa ke masa. Pada era tahun ‘80-an, gedungnya itu sudah totally berubah karena dibungkus sama fasad yang bentuknya beda sama yang aslinya. Dengan transformasi ini, fasadnya dibuka sehingga bangunan aslinya diperlihatkan kembali. Jadi, itulah yang membuat tempat ini menjadi sangat beruntung—sudah tempatnya memang bersejarah, lokasinya sangat premium dan strategis. Kemudian kami mengangkat UMKM, sebagai gerakan yang seksi dan memang menjadi nationwide.

Plus juga dengan tren yang sekarang setelah pandemi ini banyak minat orang lebih ke open space, open air yang banyak kegiatan dengan komunitas. Akhirnya, ini menjadi daya tarik tersendiri. Setelah dua tahun masyarakat dikurung di rumah, dan akhirnya boleh keluar ternyata ada tempat yang baru di Jalan Thamrin, dengan generous membuka pagar.

Jadi, masyarakat bisa langsung masuk secara inklusif, tidak intimidating, sehingga jadi viral. Kami sangat terbantu oleh viralnya di medsos itu, jadi benar-benar organik. Ini beyond our prediction. Kami tahu ini pasti akan jadi hal yang baru, hal yang menarik, tapi tidak nyangka sampai semeledak ini sehingga jumlah pengunjung itu kalau kita rata-rata antara 30 ribu sampai 40 ribu per hari. Apalagi, kalau hari Sabtu–Minggu ada live performance di Anjungan Sarinah bisa lebih dari 40 ribu pengunjung per hari.

So far, Sarinah punya lima fungsi ruang. Pertama, ruang belanja. Ini jelas, belanjanya, ya, belanja fesyen, kuliner, barang-barang seni, ini yang sifatnya dengan ruang belanja. Oleh karena itu, produk-produknya harus dikurasi dengan baik.

Kedua, ruang sosial. Ruang sosial ini menjadi tempat kita bersosialisasi komunitas, berinteraksi bagaimana kita bisa punya kehidupan lain di luar rumah dan itu bisa dilakukan di Sarinah. Sosialnya bukan dalam hal meeting, tapi bagaimana kami bisa menjadi satu tempat dari kakek, nenek, ibu, bapak, sampai anak bisa berangkat bareng ke Sarinah.

Ketiga, ruang budaya. Ini yang diemban oleh Sarinah sebagai cagar budaya dan sebagai tempat edukasi mengenai Indonesia. Semuanya mengandung narasi, story telling, transfer of knowledge. Misalnya, produk batik, kami kasih narasi terbuat dari apa, bikinnya bagaimana. Lalu ada tenun, art handcraft sifatnya yang mempertahankan budaya. Belum lagi ada performance yang terkait dengan musik dan budaya di Anjungan Sarinah.

Keempat, ruang maya. Nah, di sini, kami coba semuanya pakai digital. Misalnya ada relief ini ceritanya apa sih, itu ada AR (augmented reality) yang bisa dibaca, supaya relate ke anak-anak muda melalui ruang-ruang maya tersebut. Yang Kelima itu ruang gaya. Ini ruang yang selalu orang cari ke mana pun bisa melihat dan dilihat, bisa foto instagramable.

Menteri BUMN Erick Thohir menetapkan Anda sebagai Direktur Utama PT Sarinah. Apa saja pesannya kepada Anda waktu itu, sebagai sosok yang harus mengawal transformasi Sarinah?

Pak Menteri (Erick Thohir) mendapat arahan dari Pak Presiden untuk mentransformasi Sarinah agar bisa bangkit kembali. Kemudian saya diminta beliau bergabung untuk segera merealisasikan ini. Pak Menteri langsung menyebutkan, kita pengin punya ikon seperti Harrods di London—pusat perbelanjaan yang jadi ikon pariwisata Inggris, dan dikunjungi oleh jutaan pengunjung per tahunnya dari dalam negeri dan mancanegara.

Kalau orang ke London dan belum ke Harrods, rasanya belum sampai London. Nah, Indonesia ini enggak ada tempat di mana dia menjadi ikon, simbol, dan jadi satu tujuan yang wajib dikunjungi. Tempat di mana kita bisa men-showcase produk-produk unggulan yang menjadi penggerak ekonomi yang akhirnya juga bisa go global.

Jadi, pesannya adalah bagaimana supaya brand-brand lokal dan UMKM-UMKM ini punya rumah. Selama ini, produk UMKM dan lokal sangat sulit untuk jadi etalase yang premium di mal-mal. Mereka, istilahnya, harus jadi pedagang asongan dari pameran ke pameran, tidak ada tempat yang permanen.

Kemudian, Indonesia juga perlu tempat yang menjadi destinasi—selain shopping—juga bisa menjadi kebanggaan. Pak Erick bilang Sarinah ini sejarah yang hampir terlupakan. Makanya, dengan adanya transformasi ini, puji Tuhan, masyarakat bisa segera ring the bell lagi.

Beliau juga selalu bilang, kita membuat sesuatu yang bagus itu bisa atau mudah. Tapi merawat dan meningkatkannya itu yang sulit. Kadang-kadang kita sudah kehabisan stamina waktu membuatnya ini sudah gas pol, begitu bagian merawat atau meningkatkan itu sudah tinggal lemasnya. Jadi, kita jangan cuma bisa memulai tapi juga harus bisa me-maintain.

Yang sekarang masih akan kami lakukan adalah bagaimana tetap mempertahankan vibes yang tinggi seperti saat ini, lalu juga bagaimana punya program atau konsep yang clear. Jangan ada kesan “Sarinah itu apa sih? Saya enggak tahu tuh, orang kalau ke Sarinah pada ngapain”. Jadi, harus lebih jelas.

Jadi, apa saja yang menjadi kekuatan Sarinah saat ini?

Kekuatan Sarinah ada pada kurasi dan display. Jadi, kami ingin punya spesifikasi sebagai kurator dan juga visual merchandising yang bisa membuat sesuatu jadi lebih menarik. Untuk kurasinya, kami lebih ketat lagi karena kami mau mengeset kriteria tertentu sehingga memang produk-produk Indonesia itu pantas di-showcase.

Terkait juga dengan tagline yang sekarang Sarinah pakai “Panggung Karya Indonesia”. Dari katanya saja panggung sudah showcase. Jadi, harus bagus, menyenangkan, membuat orang terhibur, atau membuat orang menikmati sebagai panggung.

Nah, karya kami refer ke produk yang memang unggul di kriteria tertentu, entah itu craftship-nya, value, narasi, atau desainnya. Kedua, kami juga punya cara men-display. Walau produknya bagus, tapi kalau cuma taruh-taruh gitu aja, kan, enggak menarik. Contoh, kain yang biasanya direntangkan, di sini kami display dengan kreasi—bisa diputar-putar, dililit-lilit, lalu bisa dibentuk seperti baju pesta. Itu yang membuat produk-produk itu jadi lebih menarik dan lebih berkelas. Karena dalam visi dan misi Sarinah adalah membawa UMKM dan produk lokal naik kelas.  Nah, naik kelasnya in many ways, bisa dari sisi display, digital, apa pun itu akan ditargetkan.

Lantai dasar itu memang untuk barang yang premium, istilahnya local branded—fesyen batik dari maestro-maestro. Jadi, memang harganya mahal karena produknya deserve untuk diberikan harga mahal. Bukannya dijual kemahalan, tapi memang barangnya pantas diberikan harga mahal. Misalnya, ada batik yang bikinnya satu tahun, lalu wayang dua sisi bolak-balik yang desainnya sangat detail bikinnya aja juga 1,5 tahun. Coba saja dihitung dari ongkos produksi, bahannya, lalu risikonya.

Namun, karena Sarinah ini lintas generasi dan lintas segmen, kami juga menyediakan produk yang lebih murah di lantai lainnya. Harga produk di lantai 1 lebih murah, lantai 2 lebih murah lagi, makin ke atas makin murah. Itu strategi retail yang quite common, di mana yang ingin membuat orang itu jadi tertarik, itu ditaruh di lantai dasar. Makin ke atas makin less premium. Kami juga punya produk yang sangat murah, misalnya di lantai basement ada pasar Nusantara. Di sana banyak jajanan kue tradisional dan ramainya minta ampun, Rp 2-3 ribu per kue.

Jadi, di Sarinah ini dari mulai yang Rp 2 ribu–Rp 60 juta ada. Tergantung segmennya, tergantung barangnya. Dan kami juga perlu mengedukasi kepada masyarakat bahwa ada pekerjaan-pekerjaan yang perlu diapresiasikan tinggi, oleh karena itu harganya pun juga premium. Jadi, bukan harganya mahal tapi harganya premium sesuai dengan produk yang ditawarkan.

Kemudian UMKM itu tidak selalu harus murah. Jadi, jangan terkesan UMKM itu cheap, enggak. Memang yang bikin rakyat kecil, rakyat desa, tapi bukan berarti produknya harus dihargai dengan murah. Kenapa orang berani beli lukisan Rp 1 miliar? Karena itu ibarat seni. Nah, barang-barang UKM yang kami pajang di sini juga sudah masuk ke kategori seni sehingga pantas diberikan harga yang premium.

Lalu bagaimana proses kurasi produk-produk UMKM tersebut agar pas dengan yang ditargetkan Sarinah?

Kami lakukan kurasi bertahap. Pertama, pasti kurasi dari sisi administrasi. Kedua, dari sisi produknya baik dari quality-nya, desainnya, warnanya. Ketiga, itu kami tambahkan faktor lain, karena kami mau angkat keindonesiaan nya. Jadi, kami tambahkan faktor, apakah si UMKM ini juga melakukan nurturing terhadap karyawannya, apakah karyawannya juga dibayar dengan sesuai.

Karena visi Sarinah menumbuhkembangkan keunggulan UMKM nasional, kami mau para UMKM ini juga mempunyai prinsip yang sama. Dia juga harus menumbuhkembangkan pekerja atau stakeholder yang di bawahnya, sehingga itu jadi satu gerakan bersama.

Kami tambahkan keindonesiaannya: Apakah barang ini materinya dari Indonesia, brand-nya Indonesia, pemiliknya orang Indonesia, apakah dibuatnya di Indonesia atau dari Cina sampai sini dikasih merek Indonesia?

Ada lagi faktor cool factor, apakah brand ini lagi happening, lagi keren. Dari semua kurasi ini, kami kasih KPI (key performance indicator) ke mereka. Tiap bulan ada performance review dari setiap brand. Kalau sampai enam bulan tidak juga bagus, mereka harus bersedia keluar dan digantikan dengan brand lain. Jadi, nanti setiap bulan selalu ada brand yang keluar, ada brand yang masuk dari sisi mitra-mitra UMKM.

Karena kami juga mau memberikan panggung untuk yang beginner, kami buat pop up store sebulan sekali. Kemudian area yang lebih bawah lagi adalah area bazar. Misalnya, kami bekerja sama dengan Pemprov DKI, selama bulan Juni mereka pakai area bazar untuk memamerkan UMKM binaannya DKI.

Agustusan, ada retailer yang bikin program HUT RI diskon 77 persen, setiap bulan ada lagi. Nanti ada Pemda Riau mau display untuk UMKM, lalu Bank Indonesia juga. Jadi, itu yang sifatnya lebih ke tematik berdasarkan kedaerahan. Saat ini ada kurang lebih 500 mitra UMKM di semua kategori permanen, pop up, dan bazar dalam kaitannya dengan jangka waktu bermitra.

Apa strategi Sarinah untuk mengakomodasi pengunjung asing, baik dari turis ataupun pebisnis?

Untuk masyarakat mancanegara kami sedang persiapkan duty free store di lantai 4. Nantinya mereka bisa mengunjungi shop ini dan bisa belanja bebas pajak. Kami kerja sama dengan Kemenparekraf, asosiasi hotel, dan asosiasi travel supaya turis-turis bisa dibawa ke Sarinah. Jadi, wajib berkunjung ke sini. Untuk yang pebisnis, mereka juga bisa kunjungi trading house di lantai 5, itu hub untuk ekspor-impor produk-produk UMKM.

Produk yang bisa masuk Sarinah ada level-levelnya. Ada yang sebagai mitra di off-line store, ada juga yang kami kurasi untuk on-line store Sarinah, lalu ada yang dikurasi bisa masuk duty shop dan bisa masuk ke trading house. Nah, trading house ini adalah produk-produk yang sudah siap ekspor. Jadi, secara perizinan, volume, quality, memang dia sudah memenuhi itu semua. Nanti Sarinah akan bantu mencari buyer, demikian juga sebaliknya. Kalau buyer mau cari barang UMKM di Indonesia, dia datang ke Sarinah. Nah, kalau sudah terjadi deal, nanti ekspornya melalui Sarinah. Itu fungsinya trading house.

Selain memberikan akses ke pasar global, trading house juga buka akses to finance. Kalau ada UMKM yang mau ekspor tapi dia enggak punya modal, dan buyer-nya enggak bisa kasih uang muka dulu karena belum tahu produknya bagaimana. Nah, di situ perannya Sarinah melalui fasilitas kredit yang diberikan dari Himbara atau LPEI bisa memberikan financing kepada UMKM sehingga bisa punya modal untuk memproduksi barang yang diorder dari luar.

Bagaimana dengan Sarinah Mini yang akan hadir di bandara-bandara dan tempat lainnya? Apakah itu sebagai teaser saja atau bagaimana?

Kami menargetkan ada Sarinah-Sarinah mini di tempat lain—tentu tidak bisa kaya Sarinah Thamrin karena ini mega store atau flagship. Jadi, cuma ada satu. Kaya Harrods cuma ada satu di London, Galeries Lafayette ada satu di Paris, tapi ada Galeries Lafayette di kota lain yang lebih mini. Sarinah juga akan bikin seperti itu. Banyak yang sudah di-pipe line kaya bandara; destinasi pariwisata; stasiun kereta; sama gedung-gedung lama BUMN seperti Post Bloc, M-Bloc, dan Lokananta.

Anda sudah berpengalaman selama belasan tahun di industri retail dan selalu sukses membawa perusahaan menuju kinerja optimalnya. Sejatinya, apa nilai-nilai yang Anda terapkan selama ini?

Saya selalu menerapkan di mana pun kita bekerja punya tiga mindset, yaitu totalitas, integritas, dan loyalitas. Totalitas, itu harus. Itu semacam can do attitude, positive thinking, never give up, pokoknya total itu harus sudah ada dulu di niatan kita. Kita mau ngerjain ini you have to make sure ini the best. Jadi, kalau kita enggak yakin, atau kita ngerjainnya enggak akan menimbulkan the best, mendingan jangan mulai. Integritas itu juga memang kita harus pegang, apalagi di era yang serbasudah berubah. Juga loyalitas, artinya we love what we do. Biasanya, orang bilang, “We do what you love, tapi sometimes enggak ada yang begitu. Jadi, ya sudah, “We love what we do.

Bagaimana Anda melihat tantangan industri retail terutama di zaman yang serbadigital saat ini?

Kalau di Sarinah tantangannya jadi double, triple dibanding industri retail lainnya. Pertama, kami memasarkan produk lokal, like or dislike belum semua orang believe in product local, mereka bilang, “Oh, iya bagus-bagus”, tapi kalau ada uang Rp 500 ribu diminta beli batik atau beli Zara, belinya ya Zara. Itu yang lebih challenging. Jadi, bagaimana membuat mindset itu benar-benar jadi nyata.

Pak Presiden, kan, punya program Bangga Buatan Indonesia, ternyata itu saja tidak cukup. Enggak cuma bangga terhadap produk buatan Indonesia, tapi harus bangga memakai atau bangga menggunakan produk Indonesia.

Challenge kedua, UMKM belum punya standar yang sama, ada UMKM yang sudah pintar, ada UMKM yang benar-benar masih basic. Jadi, bagaimana kami membuat mereka ada di dalam satu tempat dan terlihat bagus secara keseluruhan.

Kemudian, harga itu sudah pasti. Harga mahal dikit orang bilang, “Oh, ini produk UMKM kok mahal?” Padahal, kalau harganya murah-murah, ya bagaimana mau meningkatkan kesejahteraan mereka? Jadi itu, makanya lebih sulit. Kalau soal lokasi dikelilingi oleh mal-mal yang lain, buat kami menjadi compliment karena produk yang dijual berbeda, acara yang ditawarkan juga berbeda.

PT Sarinah sebagai korporasi ditopang oleh sejumlah bisnis lainnya. Dengan adanya transformasi manajemen apa saja bisnis-bisnis yang difokuskan saat ini?

Memang kami ada empat pilar bisnis. Pertama, pasti retail karena Sarinah didirikannya untuk membantu perekonomian rakyat dan dengan menjual produk-produk dalam negeri. Dalam perjalanan, Sarinah mulai mengembangkan bisnis ke perdagangan ekspor-impor, itu yang menopang bisnis PT Sarinah as a whole. Yang ketiga, bisnis properti, menyewa-nyewakan space. Kaya waktu itu sewain ke McD, pergudangan, dan perkantoran. Yang keempat, pilar bisnis digital online atau e-commerce.  Jadi, keempat ini saling berkontribusi untuk menghidupkan PT Sarinah secara operasional.

Tahun ini dan seterusnya, kami coba terus membesarkan bisnis retailnya. Jadi, core business-nya adalah retail di bidang UMKM dan produk lokal sampai nanti retailnya benar-benar bisa menjadi the biggest contributor untuk Sarinah.

Agustus tahun ini, program apa saja yang sudah disiapkan oleh Sarinah?

Agustus itu bulan yang paling sibuk buat Sarinah, karena Sarinah memang HUT-nya di 17 Agustus. Jadi, bulan ini banyak sekali event yang digelar di Sarinah, dari mulai event retail, pameran, sampai event yang sifatnya edukasi, salah satunya adalah pameran mobil dari tujuh Presiden Indonesia, dari tanggal 13 sampai 22 Agustus 2022. Mobil-mobil itu belum pernah dipajang di luar istana. Jadi, baru kali ini keluar dipertontonkan kepada masyarakat.

Lalu dari Hippindo akan buat Indonesia Retail Summit, ada conference, retail expo, program belanja semacam Indonesia great sale, dan kegiatan lain, seperti konser lagu perjuangan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan.

Apa mimpi Anda selanjutnya untuk Sarinah, dan harapan di hari kemerdekaan RI ke-77 tahun ini?

Di luar dari lima ruang tadi, Sarinah juga kami gagas sebagai movement atau gerakan. Jadi, lebih dari pusat belanja, Sarinah ini adalah sebuah gerakan—gerakan untuk lokalitas atau local pride yang mengarah ke pembentukan nation brand yang membanggakan buat Indonesia. Mimpinya akan banyak Sarinah-Sarinah lainnya, bak lewat BUMN maupun lewat gerakan lainnya, sehingga kami benar-benar bisa menjadi tuan rumah di rumah sendiri melalui produk-produk unggulan Indonesia yang sudah tentu dikurasi dan dinaikkan kelasnya.

Saya berharap Sarinah bisa tetap menjadi destinasi, tempat untuk lima ruang itu tadi, dan tetap menjadi manfaat bagi orang banyak. Menariknya adalah sejak Sarinah dibuka di sini, banyak yang akhirnya mendapat berkah dari Sarinah.

Continue Reading

Populer