Orang sering kali mengasosiasikan “berbagi hati” dengan poligami. Asosiasi itu menjadi absurd karena adanya keikhlasan yang kuat terkandung di dalamnya, like or dislike. Namun, banyak sekali aktivitas di dunia ini yang membutuhkan keberbagian hati. Misalnya, dengan adanya antrean panjang di akhir bulan Maret dan April setiap tahun hanya untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak, kita sudah merelakan berbagi hati. Memang, dewasa ini kantor pelayanan pajak sudah sangat nyaman, baik desain perkantoran maupun pelayanan. Namun, dalam kondisi berdesakan tetap tidak bisa dikategorikan nyaman.
Kebiasaan kita, tersangkut pada penilaian kepada infrastruktur dan lain-lain yaitu mengkritik bahwa kantornya kurang AC, kursinya kurang banyak, kurang empuk, petugasnya semakin siang semakin kurang senyum, dan sejuta satu alasan membungkus paketan berbagi tersebut. Kenapa harus berbagi? Karena kita selalu gagal mendisiplinkan diri untuk melapor SPT di awal waktu. Kita tidak pernah berusaha untuk menjadi berbeda.
Menjadi berbeda, itu anomali. Bayangkan kebanyakan manusia melakukan kegiatan kehidupannya hanya berdasarkan nudge strategy, yaitu mengikuti yang dikerjakan orang banyak, mengikuti yang sering disampaikan dalam intensitas berkali-kali, dan mengikuti yang mudah-mudah saja. Kita sedari kecil sudah terbiasa dengan “SKS” belajar, yaitu sistem kebut semalam. Alasan melakukan itu adalah karena semua melakukannya.
Mengikuti mode tertentu karena banyak yang mengikuti, seperti kacamata Harry Potter atau baju robek di pangkal lengan saat ini, atau di zaman tahun 70-an kita mengenal cutbrai, bawahan celana panjang yang seperti terompet lebarnya. Ikut amnesti karena iklannya yang gencar dan berkali-kali didengar seperti sebuah hipnosis. Atau kita melakukan sesuatu karena kemudahan, contoh simpelnya, ya nyontek! Itu adalah kebiasaan. Menjadi anomali terjadi saat kita mengambil jalan yang tidak diambil orang lain, diistilahkan anti-mainstream.
Nah, kembali menengok aktivitas di bulan Maret di kantor pelayanan pajak. Wow, meriah sekali! Itu namanya pesta akhir tahun pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Anda. Antrean melejit sampai seribu orang per hari. Berdesak-desakan, tidak nyaman. Marah-marah karena disuruh pulang mengambil kelengkapan. Menggerutu pelayanan pajak enggak maju-maju. Padahal, setiap tahun itu berulang dan masalahnya adalah kita tidak mau menjadi anomali. Seandainya kita paham bahwa antre di batas akhir pelaporan enggak enak, kenapa enggak pilih tanggal muda? Toh, semua bisa disiapkan dan semua bukti kelengkapan bisa dilengkapi. Masalahnya, habit terbentuk oleh perilaku meniru dan kita terjebak dalam pola budaya happy antre.
Apabila hati telah siap saling berbagi, maka ‘the power is ours’. Kita menjadi berdaya dan mempunyai kekuasaan menentukan nasib kita sebagai bangsa yang digdaya.
So, seharusnya pun, kita happy berbagi!
Bayangkan, saat kita merasakan hakikat menjadi Wajib Pajak yang keren itu. Kita sudah membantu pembangunan infrastruktur. Oh, oke, Anda mengerti uang pajak untuk membangun jalan, saluran air, bendungan, termasuk kantor-kantor pelayanan pemerintah, jaringan listrik, sarana prasarana pendidikan dan kesehatan lainnya. Ada satu lagi bahwa infrastruktur juga diartikan nonfisik, yaitu pelaksanaan pelatihan, pendampingan, pemberdayaan dan pelayanan. Anggaran negara membiayai infrastruktur APBN Tahun 2017 ini ditargetkan sebesar Rp 387,3 triliun. Anggaran infrastruktur akan digunakan untuk membangun 836 kilometer jalan, 10.198 meter jembatan, pembangunan baru atau lanjutan 13 bandara, pembangunan/pengembangan fasilitas 61 lokasi pelabuhan laut, pembangunan tahap 1 dan lanjutan 710 kilometer spoor jalur kereta api, dan 3 lokasi pembangunan terminal penumpang.
Sedemikian besar biaya yang dibutuhkan sehingga pengumpulannya pun terpisah-pisah dalam bentuk pajak pusat langsung, tidak langsung, pajak di daerah untuk bumi dan bangunan sektor perkotaan dan pedesaan, pajak restoran, pajak iklan. Jadi, di sini kunci berbagi hati. Kepada masyarakat yang melakukan aktivitas maka sadar atau tidak sadar, memiliki tanggung jawab untuk patungan membiayai infrastruktur negara kita. Apabila masih ada yang bertanya, kami sudah bayar pajak bumi dan bangunan, pajak restoran, pajak kendaraan, buat apa lagi membayar pajak penghasilan? Halooo… ternyata semuanya masih belum cukup untuk membiayai apa yang kita nikmati setiap hari sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Sadar, atau tidak sadar.
Pertanyaan yang selalu berulang didengungkan adalah: Kenapa harus saya?
Itulah cara untuk menjadi berbeda. Cara untuk membagi hati, walaupun ada sisi tidak rela dan bertanya, kenapa bukan mereka? Penerimaan yang tidak tercapai bukan tanggung jawab yang ditunjukkan khusus kepada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi kepada semua yang bernama “KITA”. Menjadi berbeda adalah dengan memahami bahwa kegagalan mengumpulkan dana akan menyebabkan ada kurva membumbung tinggi yaitu kurva utang. Dengan rajin berutang, maka hidup kita hanya dihabiskan untuk membayar cicilannya. Kapan kita bisa bahagia kalau tidak menerapkan bahwa menjadi berbeda adalah luar biasa? Caranya, meminimkan utang negara dengan beramai-ramai menyegerakan membayar pajak.
Di sudut lain negeri ini, ada insan-insan yang punya tanggung jawab tinggi dengan bersama mendiskusikan kebutuhan desanya. Mereka duduk bersama di pojokan Kalimantan atau Papua sana, berpikir untuk kemajuan. Mereka bukan orang yang naif. Dengan saling berbagi ide, musyawarah di desa mereka menjadi arus sinergi luar biasa dalam mengusulkan apa yang perlu dibangun oleh kabupaten, kota, dan provinsi, agar sejalan dengan kebutuhan dan potensi yang ada. Keindahan dari musyawarah desa merupakan kunci hati yang berbagi, yang mengutamakan kemajuan dan rela apabila keuntungan berkurang untuk pengeluaran yang lebih besar dalam hal membeli sarana prasarana produktif atau membangun infrastruktur untuk kemaslahatan desanya. Jadi, mulailah berdamai dengan hati kita.
You must be logged in to post a comment Login