Negara bisa terselamatkan melalui kesadaran warga negaranya dalam bernegara.
Dunia mengalami perubahan yang luar biasa di tahun 2020 ini. Dulu, kita pernah mendengar bahwa wanita tua yang cantik itu diibaratkan bagai dunia. Semakin tua, semakin menarik. Ada juga pepatah lama mengisyaratkan tentang perkembangan psikologis laki-laki, yaitu tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. Ini bisa diartikan bahwa, semakin tua usia lelaki, bisa jadi semakin menjadi-jadi keinginannya.
Dari dua nasihat yang mengandung unsur gender, baik laki-laki dan perempuan, ternyata keduanya bisa disamakan dengan dunia. Artinya? Menjadi laki-laki atau perempuan, di zaman yang sudah menua ini, mengandung peran yang sama penting dan sama berbahayanya. Itu emansipasi? Bukan. Tidak selalu harus bicara emansipasi, saat kita menginginkan wanita tampil ke depan. Namun membiarkan laki-laki dan perempuan memilih sesuatu bukan lagi berdasarkan kodrat, melainkan kemampuan, adalah yang dipercaya sebagai pengarusutamaan gender.
Dan semuanya terjadi bagai “whoila abracadabra”, pada saat dunia sedang dilanda pandemi. Menariknya, virus ini turun dari langit seperti Batara Guru yang ingin mengajarkan kepada siswa-siswanya yang bandel, yaitu umat manusia sedunia.
Satu, kembalikan waktu pada keluarga. Itu pelajaran pertama saat virus korona menguar. Instruksi bekerja dari rumah benar-benar membuat peradaban berubah! Bayangkan! Rumah menjadi area kantor dan sekolah secara berbarengan. Semua tergantung pada media on-line. Mendadak, sistem pengawasan pekerjaan berubah, dari manual menjadi IT terintegrasi. Saat bekerja, mata dipaksa terbuka melihat kondisi anak-anak yang mungkin sudah jauh luput dari pengamatan. Muncul ketidaknyamanan.
Namun, the life must go on! Lahirlah kemudian kesadaran, bahwa ternyata kenyamanan itu menyenangkan. Bekerja dari rumah menghemat bensin. Menghemat waktu tempuh. Di sini, nilai integritas diuji. Sejatinya, bekerja dari rumah ya dimulai dari waktu yang sama seperti di kantor. Tetapi apakah anda benar-benar menaati ketentuan itu? Ada yang menyadari tanggung jawabnya. Maka habit di kantor ditransformasikan di rumah, selesai. Ada yang tidak. Hanya siap di depan piranti kerja apabila ada agenda. Akibatnya? Banyak waktu luang yang tidak efisien. Menurut mereka, ini kenyamanan, apabila gaji utuh. Apabila gaji tidak utuh, maka waktu yang tersedia dialokasikan menjadi waktu untuk menambah penghasilan sampingan. Ini semua berpulang dari kesadaran, selain kebutuhan. Tidak heran bila banyak perusahaan selain mengubah aturan tugas bekerja di kantor dari 25 persen kehadiran menjadi 50 persen, atau 0 persen alias tutup.
Dua, kembali fokus pada kesehatan. Itu pelajaran setelah menyadari, bahwa selama ini boro-boro berjemur, melihat matahari saja langka! Para komuter bisa ditanya, bagaimana mereka kehilangan waktu langka menikmati cahaya matahari. Iya sih, masih bisa melihat cahaya terbitnya matahari dari celah-celah jendela kendaraan umum, namun itu semua terlupakan karena kita lebih sibuk menikmati gawai selama perjalanan. Nah, coba cek teman-teman yang di isolasi mandiri baik di hotel atau di RS, apa yang diminta untuk mereka lakukan? Berjemur! Ya, dengan berjemur, vitamin D dari cahaya matahari membantu penyembuhan, ini terutama bagi mereka yang belum parah. Apakah kita pernah melakukan berjemur di keseharian? Itu langka lo.
Selain berjemur, semua pada hati-hati membeli makanan. Artinya, waktu kumpul-kumpul di resto, kedai, café, juga menurut atau berhenti. Selain protokoler kesehatan menggaungkan tetap jaga jarak, pakai masker dan jangan lupa cuci tangan. Menu rumah menjadi makanan mewah di kantor. Empat Sehat Lima Sempurna menjadi santapan. Bosan? Wah tidak bisa, harus disantap! Ini, kan, sehat?
Tiga, meningkatnya kreativitas usaha. Ketika semakin banyak waktu di rumah, maka kreativitas untuk membunuh kebosanan, muncul. Akibatnya, bermunculan pengusaha-pengusaha muda menawarkan masakan dari sambal botolan rumahan, menu makan siang, roti dan kue, dan lain-lain. Awalnya saling menawarkan antarteman, kemudian membuka usaha di media sosial, kemudian tawaran datang, dan semangat baru datang. Maka dari itu, hal jamak saat mendengar kampanye publik tentang membeli dari usaha mikro, kecil, dan menengah, karena itu menandakan perguliran roda ekonomi. Ada hal menarik di negara tetangga saat krisis ekonomi, gaji pegawai di salah satu perusahaan besar negara tersebut, dinaikkan. Apa tujuannya? Supaya dapat belanja sehingga menjaga kesinambungan perputaran roda ekonomi. Wah, ini serius? Demikian konon kabarnya, karena perusahaan besar tersebut memiliki anggaran untuk sumber daya manusia yang besar.
Cerita di atas seperti mimpi. Seandainya saja kita tahu bakal ada pandemi, barangkali kita bisa memitigasi risiko dengan baik, seperti meningkatkan gaji pegawai di saat susah dan menginstruksikan agar mereka banyak belanja di pengusaha lokal dan banyak sedekah, tentunya! Teringat bagaimana itu terjadi di era Nabi Yusuf ketika raja bermimpi, dan beliau menafsirkan mimpi tersebut, kemudian mitigasi risiko dilakukan. Salah satunya menyimpan stok makanan di gudang negara, sehingga ketika musim kering datang, rakyat terselamatkan. Sayang, paranormal kita tidak ada yang secerdas Nabi Yusuf.
Kita semua sedang menghadapi krisis. Pembangunan terhambat, anggaran dialihkan untuk alasan kesehatan, hubungan sosial tergerus. Pemakaman khusus Covid semakin penuh dari hari ke hari, sementara di tengah impitan kebosanan, libur panjang meningkatkan kunjungan di berbagai tempat wisata. Kita bukan hanya sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga krisis mental. Tekanan atas musibah yang dihadapi anggota keluarga membuat banyak yang berteriak di media sosial karena depresi, dan karena depresi pula, banyak pasangan memutuskan berpisah karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga saat dirumahkan. Belum ada data pasti, tapi itu terjadi di depan mata kita berulang kali. Akhirnya, semua sibuk menyelamatkan diri sendiri, dan keluarga.
Dari hari kehari mendengar kabar teman yang jatuh sakit atau bahkan meninggalkan kita semua, di sela kewajiban untuk tetap bekerja mencapai target, misalnya. Komunikasi melalui media daring sudah dianggap sulit, sehingga banyak yang nekad ketok pintu nasabah. Dan itu, bahaya! Karena keluhan yang terdengar adalah, kami harus mencapai target, apa pun risikonya. Memang, sangat dibutuhkan kesadaran pada tanggung jawab. Misalnya kepada pembayar pajak yang masih memiliki omzet dan keuntungan, untuk tetap membayar dan melaporkan pajak. Tanpa harus minta diketok pintu dulu, karena menerima tamu asing, kan ribet juga?
Di satu sisi adalah, banyaknya insentif untuk menjaga stabilnya perekonomian, diciptakannya undang-undang untuk meningkatkan investasi, merupakan hal positif yang perlu dimaknai dengan cerdas. Dan semua berperan mengawal perjalanan perekonomian dengan harapan di tahun depan akan lebih baik, pandemi berakhir, kembali normal. Selesai? Belum. Banyak yang harus ditata: Keadilan yang bagaimana yang dapat menyejahterakan masyarakat? Regulasi seperti apa yang dapat menenteramkan? Dan kepercayaan apalagi yang harus dibangun?
Baiklah, kita membatin saja. Say “good bye” kepada korona, di tahun 2021 mendatang. Say “no” kepada korupsi, karena kita butuh transparansi yang jelas dalam memajukan pembangunan. Dan, say “yes” untuk selalu taat membayar pajak.
Menurut Aristoteles, dalam panggung kehidupan manusia, penghormatan dan penghargaan jatuh kepada orang-orang yang menunjukkan sifat-sifat baiknya dalam tindakan. Kita punya kedewasaan dalam menentukan sifat baik yang mana yang akan dipilih. Dunia sudah tua, kita harus cepat menentukan tindakan. Negara bisa terselamatkan, karena kesadaran warga negaranya dalam bernegara.
Selamat menyadari sifat baik anda. Selamat Tahun Baru 2021.
Terima kasih atas empat tahun kebersamaan. Salam!
A3, 5 Desember 2020.
Pingback: Candradimuka | Majalah Pajak