Connect with us

Topic

Infrastruktur Indonesia dalam Kondisi Darurat

Novita Hifni

Published

on

Jika dalam sepuluh tahun ke depan Indonesia tidak mampu mengejar pembangunan infrastrukturnya, negara ini akan semakin tertinggal dan dimanfaatkan oleh negara-negara lain.

Minimnya anggaran membuat kondisi infrastruktur Indonesia saat ini telah jauh tertinggal dari negara lain. Padahal, infrastruktur merupakan kunci pertumbuhan ekonomi.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Tata Ruang, Luky Eko Wuryanto mengemukakan, selama ini anggaran untuk infrastruktur bahkan lebih rendah dibandingkan untuk subsidi BBM. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih dari tujuh persen, total pembiayaan infrastruktur minimal harus 7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dia mengungkapkan, anggaran untuk infrastruktur saat ini secara keseluruhan baru sekitar 4,5 persen dari PDB dan yang dibiayai APBN hanya dua persen. Sementara Tiongkok dan India mengalokasikan anggaran infrastrukturnya sebesar sembilan sampai sepuluh persen sehingga kedua negara itu dengan cepat dapat mengejar pembangunan ekonomi.

“Memang selama ini uang untuk infrastruktur lebih sedikit dari subsidi. Oleh karena itu, pemerintah ingin realokasi subsidi. Uang yang tadinya uang hanya dipakai untuk dibakar saja dialihkan untuk infrastruktur,” jelas Luky kepada Majalah Pajak di Gedung Kemenko Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2014).

Menurut Luky, jika anggaran infrastruktur hanya tersedia 3 sampai 4 persen, maka pemerintah harus mengajak BUMN dan pihak swasta untuk ikut serta. Dan untuk mengajak pihak swasta, diperlukan upaya khusus agar proyek infrastruktur yang ditawarkan itu menarik bagi investor seperti memberikan insentif dan membuat regulasi yang kondusif.

Minat swasta rendah

Luky mengingatkan tantangan berat yang dihadapi Indonesia menjelang tahun 2025. Indonesia harus memiliki kepemimpinan yang kuat untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Terlebih, tahun 2025 yang tinggal sepuluh tahun lagi membuat Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat. Jika dalam sepuluh tahun ke depan Indonesia tidak mampu mengejar pembangunan infrastrukturnya, maka Indonesia akan semakin tertinggal dan dimanfaatkan oleh negara-negara lain.

“Membangun infrastruktur itu bukan setahun atau dua tahun. Kalau dalam sepuluh tahun kita tidak bisa mengejar pembangunan infrastruktur, kita akan jadi bulan-bulanan negara lain,” tegasnya.

Terkait peran swasta selama ini dalam pembiayaan infrastruktur, menurutnya keterlibatan swasta masih jauh dari optimal. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya minat swasta terhadap investasi di Indonesia adalah karena proyek-proyek yang ditawarkan tidak dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah. Padahal, swasta menilai kualitas sebuah proyek dari feasibility study yang mestinya dibuat serius oleh pemerintah. Jika persiapan dari proyek yang ditawarkan setengah-setengah, jumlah peserta yang ikut tender hanya sedikit dan hasilnya menjadi tidak maksimal.

“Pemerintah harus mengajak BUMN dan pihak swasta untuk ikut serta. Dan untuk mengajak pihak swasta, diperlukan upaya khusus agar proyek infrastruktur yang ditawarkan itu menarik bagi investor.”

Untuk itu pemerintah berupaya meningkatkan kualitas proyek yang ditawarkan ke swasta dengan menyusun standar operasional sesuai praktik terbaik yang berlaku di level internasional.

“Kalau perlu kita kerja sama dengan konsultan internasional yang sangat berpengalaman dalam analisis feasibility study. Persiapan feasibility study. ini sangat penting karena akan jadi bagian dari dokumen tender,” ujarnya.

Koordinasi pusat-daerah

Luky memaparkan, Kantor Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berperan penting dalam kegiatan pembangunan infrastruktur. Jika Bappenas menjalankan fungsi koordinasi perencanaan, maka Kemenko Perekonomian lebih kepada koordinasi pelaksanaan. `

“Apa yang sudah ditetapkan dalam perencanaan tidak kita tanyakan lagi karena itu sudah given. Inti perencanaan adalah visi pemerintah,” kata Luky.

Dia menjelaskan, perencanaan infrastruktur erat kaitannya dengan visi pemerintah. Jika saat ini pemerintahan Jokowi-JK menetapkan visinya pada sektor maritim, maka yang menjadi prioritas nantinya adalah pembangunan infrastruktur di sektor maritim. Menurutnya, visi maritim dari pemerintahan baru tidak akan mengubah secara drastis kesinambungan pembangunan infrastruktur. Pemerintahan sebelumnya telah membuat daftar seluruh proyek infrastruktur yang akan dibangun termasuk di sektor kemaritiman. Dengan visi tersebut, pembangunan yang akan lebih didahulukan dan menjadi prioritas adalah proyek infrastruktur di sektor maritim.

Infrastruktur maritim, ujar Luky, memang lebih mahal dibandingkan infrastruktur darat karena tidak hanya terkait pembangunan pelabuhan melainkan juga pengaturan lalu-lintas kapal. Meski demikian, pembangunan infrastruktur di sektor maritim harus terus diupayakan agar dapat mengoptimalkan kekayaan alam yang kita miliki.

Luky mengatakan, dalam pembangunan infrastruktur terdapat bagian yang menjadi kewajiban pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan kewajiban nasional. Pemerintah pusat dalam hal ini Kemenko Perekonomian bersama instansi terkait lainnya berkoordinasi pada pembangunan infrastruktur berskala nasional. Sedangkan untuk infrastruktur berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan dan menunjang infrastruktur nasional di daerah.

Selain itu, ada juga sejumlah pembangunan infrastruktur dasar di daerah seperti sarana irigasi dan jalan yang mendapat bantuan dari pemerintah pusat karena keterbatasan keuangan pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat membantu pemda dengan menggunakan dana APBN melalui melalui transfer Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dalam menjalankan pembangunan infrastruktur nasional yang terkait dengan pembebasan lahan dan penetapan tata ruang, pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemda untuk memastikan tidak ada masalah yang mengganggu kegiatan tersebut.

Kawasan strategis

Luky memaparkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), pemerintah telah menyusun daftar proyek infrastruktur yang akan dibangun. Kementerian yang terkait dengan infrastruktur kemudian menurunkan dalam program-progamnya sesuai kewenangan masing-masing, misalnya pembangunan jalan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, transportasi oleh Kementerian Perhubungan, dan sektor energi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Untuk lokasi yang sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis atau pusat pertumbuhan baru khususnya yang berada di luar Jawa seperti di Sumatera dan Kalimantan, Kemenko Perekonomian harus memastikan adanya perencanaan infrastruktur yang terintegrasi dan betul-betul mampu menunjang kawasan itu, seperti listrik, pelabuhan, dan jalan.

Untuk rencana proyek infrastruktur pemerintah, anggaran pembiayaannya diusulkan oleh Bappenas dan Menteri Keuangan. Sedangkan pada proyek infrastruktur swasta yang pembiayaannya membutuhkan dukungan dari BUMN atau pemerintah, pihak swasta terlebih dahulu harus mengajukan usulan pembiayaannya kepada pemerintah yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian. Usulan biaya tersebut akan dipertimbangkan oleh Kemenko Perekonomian. Jika biaya yang dialokasikan tidak cukup, pemerintah akan mengupayakan sumber dana yang lain.

Untuk proyek yang dibiayai BUMN, pemerintah memberikan penugasan khusus kepada beberapa BUMN yang terkait dengan proyek infrastruktur besar, misalnya pembangunan pelabuhan ditugaskan ke Pelindo, pembangunan bandara diserahkan ke Angkasa Pura. Infrastruktur yang dibiayai oleh APBN adalah infrastruktur dasar yang menjadi tugas pemerintah dan tidak mungkin dibiayai oleh swasta, seperti jalan desa, sarana air bersih di daerah terpencil, pelabuhan kecil, dan listrik di pulau-pulau terpencil.

Pada wilayah tertentu yang sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional seperti Jakarta metropolitan, pemerintah pusat memberikan arahan dalam pemanfaatan ruang. Misalnya, menentukan peruntukan fungsi kawasan Depok, Bekasi, dan Tangerang. Arahan dari pemerintah pusat ini selanjutnya diterjemahkan oleh pemda dengan membuat tata ruang yang rinci untuk perizinan.

“Jika pemda tidak menjalankan sesuai arahan, pemerintah pusat bisa memberikan teguran,”imbuhnya.

Skema pembiayaan

Dalam skema pembiayaan, pemerintah menugaskan BUMN untuk membiayai pembangunan infrastruktur jika kemampuan anggaran terbatas. Saat ini pemerintah juga sedang mengembangkan pembiayaan kreatif berupa pinjaman langsung (direct lending) yang memungkinkan BUMN untuk melakukan pinjaman langsung ke lembaga keuangan internasional. Melalui pinjaman langsung dengan jaminan pemerintah, BUMN bisa memperoleh pinjaman lunak yang bunganya lebih ringan yakni sekitar 8 persen. Sementara meminjam ke bank akan dikenai bunga yang mencapai 15 sampai 20 persen.

Jika pembiayaan dari BUMN belum cukup juga, pemerintah menawarkan kepada swasta dengan insentif finansial melalui skema Viability Gap Funding (VGF). Dalam skema ini, jika sebuah proyek investasi ditawarkan kepada swasta yang hanya mampu membiayai sebagian, maka pemerintah akan melakukan tender. Nantinya, pihak swasta yang mampu menawarkan VGF paling kecil itulah yang menjadi pemenang tender.

“Misalnya dari proyek investasi senilai seratus, swasta ada yang minta dibantu 30 dan ada yang 35. Maka pemenangnya tentu yang 30 karena menawarkan VGF paling kecil,” jelasnya.

Selain pinjaman langsung, model lainnya yang sedang dikaji pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur adalah annuity payment. Dalam model ini, jika sebuah proyek investasi besar ditawarkan ke swasta untuk membiayai, di awal pemerintah melakukan perjanjian dengan investor dan bank sindikasi. Investor mengerjakan lebih dahulu proyek tersebut sampai selesai dengan pinjaman dari bank yang dijamin oleh pemerintah, baru kemudian pembayarannya dicicil dalam jangka panjang selama 20 atau 30 tahun.

Berbeda dengan VGF di mana pemerintah harus mengalokasikan dana pendampingan swasta di awal proyek, pada annuity payment pembayaran baru dicicil setelah proyek infrastruktur selesai dibangun.

Annuity payment ini sedang dikaji oleh menkeu dan baru mau kita kembangkan. Malaysia sudah menerapkannya,” jelas Luky.

[accordion-element title=”Harus Terintegrasi” collapsed=”false”]

Wawancara Dardiono, Kepala Bappeda Kota Depok

Bagaimana keterlibatan swasta dan pemerintah pusat dalam pembangunan infrastruktur?

Kota Depok punya rencana jangka panjang dan jangka menengah. Nah, itu (pembangunan) juga nanti dilakukan bersama-sama, disetujui oleh dewan, oleh DPRD. Dari sana nanti kita punya uang APBD untuk belanja.

Prosesnya dimulai dari musyawarah, yakni musrembang namanya. Musrembang ini dimulai dari musrembang kelurahan, kota, sampai provinsi. Untuk jalan yang ada kaitannya dengan provinsi, misalnya, harus ada dilakukan musrembag provinsi.

Bagaimana dengan keterlibatan swasta?

Masalahnya, untuk membangun perekonomian, investor itu, kan, biasanya datang berinvestasi dengan berpedoman pada RTRW. Nah, investor itu langsung dinilai ke perizinan, masuk ke dinas terkait, misalnya pembangunan gedung.

Selama ini kita tidak menangani masalah CSR harus membangun jalan atau tidak. Itu penilaian Pak walikota, setelah investor datang dan diklasifikasi, masuk ke dinas terkait langsung presentasi ke Pak Walikota. Selama ini tidak ada giringan harus membantu kami di bidang infrastruktur, karena sangat sulit ya, itu. Selama ini kita bekerja dari APBD Kota Depok.

Depok memiliki pertumbuhan ekonomi mencapai 6 koma sekian, apakah memang sejak awal sektor infrastruktur menjadi prioritas besar?

Untuk (pertumbuhan) infrastruktur lebih dari 10 persen sepertinya. Sejak awal yang dibangun dari kota Depok, memang infrastrukturnya. Sesuai dengan janji Pak walikota, betonisasi jalan. Kerja awal kita memang perihal infrastruktur. Jalan itu prioritas utama, karena meningkatkan aksesibilitas supaya perekonomian kita bisa berkembang.

Alhasil, sekarang betonisasi jalan di Depok sudah 92 persen jalan, dari yang sebelumnya masih kurang dari 50 persen. Jalan, di Kota Depok sekarang baik. Silakan cek sampai ke kelurahan-kelurahan. Itu salah satu keberhasilan yang sudah hampir 100 persen. Sebentar lagi selesai itu. Kalau kaitannya dengan dana, kita sudah punya kantor pajak sendiri akhirnya. Sebelumnya, kan, masih di pusat, sejak dua tahun lalu kami concern ke masalah pajak untuk tingkatkan PAD juga. Pengelolaan pajak, dispenda, di bawah dinas pengelolaan dan pendapatan aset daerah.

Pembangunan infrastruktur Depok saya kira sudah berjalan baik. Tapi yang menjadi masalah koordinasi dengan pusat adalah masalah pembebasan lahannya. Misal, untuk mengatasi kemacetan, kita perlu pelebaran jalan. Nah, pembangunan jalannya memang dari APBD, tapi untuk pembebasan lahannya kan kita minta pusat dalam hal ini Bappenas.

Sebenarnya kami ada harapan, selain kita menggunakan APBD kami, yakni bantuan dari pusat untuk konteks pembebasan lahan itu. Tapi hingga saat ini, kami sangat susah mendapatkan bantuan itu. Depok itu perkotaan yang cuma 229 ribu hektare, maka dari itu kita perlu pembebasan lahan.

Jadi, intinya begini, permasalahan Bappeda dan Bappenas adalah kami minta payung hukum antara lain untuk pembangunan yang masih terkatung katung. Misalnya, Depok ini kan “warisan” dari Bogor, di sini ada empat setu hilang, di-pending, permasalahannya. Mau diputihkan atau dipulihkan, bukan kewenangan kita, melainkan kewenangan pemerintah pusat. Surat sudah kami layangkan, tapi hingga sekarang belum ada jawaban. Ini, kan, menjadi penghambat pembangunan.

Pembangunan saya kira harus terintegrasi. Indonesia ini harus satu kesatuan. Depok, pembangunan jalan dan setu di Depok, misalnya, harus berkoordinasi dengan Bogor juga, ditengahi oleh pusat. Begitu, kan, karena Indonesia negara kesatuan? —Aprilia Hariani

[/accordion-element]

[accordion-element title=”Swasta Punya Logika Laba” collapsed=”false”]

Herniwaty

Kepala Bidang Fisik Prasarana Bappeda Depok

Bagaimana Kota Depok memandang pentingnya pembangunan infrastruktur dilihat dari alokasi anggarannya?

APBD kita memang sangat memprioritaskan sektor infrastruktur.

Masalahnya, untuk daerah, banyak sekali aturan terkait infrastruktur. Sementara masing masing daerah juga berbeda aturannya. APBN sebaiknya jangan melimpahkan kewenangan, misalnya jalan harus sekian, kualitas sekian, tapi tidak dibantu masalah anggarannya. SPM dibuat global, ya. Bappenas harus melihat itu, karena tidak bisa Bappenas melimpahkan wewenang, tanpa membantu mewujudkan SPM itu.

DAK memang sesuai dengan kebijakan pusat. Sektor-sektor yang menjadi prioritas pemerintah itu kadang-kadang tidak sepenuhnya sesuai untuk daerah. DAK sanitasi, misalnya, sudah ditetapkan MCK plus-plus, sementara Depok enggak bisa diharuskan seperti itu, masyarakatnya beda. Banyak anggaran tidak dapat diserap, karena itu tadi.

Adakah mekanisme pelaporan kondisi pembangunan tersebut ke pusat?

Ya, jadi setiap tahun ada dan harus melaporkan kondisi ke pusat terkait infrastruktur. Ada laporan yang mereka minta. Kondisi jalan seperti apa, jalannya seperti apa, macam-macamlah, banyak data yang mereka tentukan. Itu mungkin salah satu kriteria untuk mereka menentukan dana alokasi khusus ke mana untuk Depok. Faktor lain tentu kemampuan fiskal di Depok bagaimana.

Bisa dijelaskan lagi,contoh peran swasta dalam membangun kota Depok ?

Kita sebut saja Bank Jabar, ia membuat infrastruktur bukan jalan ya, tapi gapura besar selamat datang di kota Depok, yang besar itu, dalam rangka membangun infrastruktur. Ada lagi, Bank Mandiri, membangun infrastruktur berupa pengelolaan limbah.

Itu Bappeda yang mendorong atau bagaimana?

Begini, misalkan di terminal Depok Baru, ini salah satu infrastruktur yang dikerjakan swasta, lahan dari Depok, mereka bangun terminal yang terintegrasi, Itu salah satu pembangunan infrastruktur yang dibangun swasta. Karena sesuatu yang menguntungkan, serap orang banyak dari terminal dan stasiun, akhirnya ITC Depok ramai sekali sekarang. Orang bangun mal, ya mereka mau dan didorong bangun terminal yang terintegrasi, seperti jembatan atau jalan penghubung antara terminal dan ITC.

Terus ada lagi, ada gorong-gorong di samping ITC, karena akan ada limbah dari ITC, itu juga ITC yang membangun, proses perizinan sudah kami dorong untuk itu. Kami mengarahkan secara tidak langsung. Tapi modelnya memang seperti itu.Terus pelebaran jalan depan ITC, mereka juga yang membangun.

Terus jembatan jembatan penyeberangan di Depok, infrastruktur itu hadir kita mendorong mal seperti Detos dan Margo City membuat itu, karena untuk jalan masyarakat menuju mal-mal mereka juga, kan? Kita negosiasilah pembangunan itu, ya, terserahlah mau mereka anggap CSR atau apa. Yang penting, tolong dibangunkan jembatan-jembatan penyeberangan.

Infrastruktur apa yang belum terwujud di kota Depok? Mengapa dan apakah terkait dengan pendanaan?

Pembuatan terminal Jatijajar, sebenarnya kita pernah ingin meminjam daerah ke pada bank untuk infrastruktur, tapi tidak dikabulkan pusat. Karena mereka menganggap masih bisa didanai oleh APBD begitu. Kita agak susahnya, misalnya ingin membuat terminal Jatijajar, butuh biaya tinggi harusnya didanai atau dibantu oleh pusat. Nah, waktu itu kita gambling, padahal pinjaman daerah itu untuk pembangunan yang penting sekali dan harus diselesaikan. Harusnya tahun ini, tapi meleset. Kami mengandalkan provinsi, akhirnya kami menganggarkan setiap tahunnya Rp 10 miliar. Akhirnya, kami capek sendiri.

Tahun ini kami mengajukan lagi ke pusat dan musrembang provinsi untuk realisasi itu. Kalau tidak salah kami mengajukan Rp 80 miliar untuk infrastruktur pembuatan Terminal Jatijajar itu. Kalau mengandalkan swasta tidak mungkin, karena swasta pasti ada logika keuntungan jika membangun apa pun itu. —Aprilia Hariani

[/accordion-element]

[accordion-element title=”Idealnya 20% Jalan, 75% Taman” collapsed=”false”]

Bambang Supoyo

Kabid Perencanaan Tata Ruang dan Fisik Prasarana Bappeda Depok

Permendagri No 9 Tahun 2009 memang memang mengatur swasta dalam hal ini pengembang, harus memberikan PSU (Penyerahan Prasarana dan Utilitas) kepada pemda. Pada saat membangun harus berapa persennya.

Kalau perkotaan 60–40 persen, 60 persen terbangun dan 40 persen yang tidak terbangun. Terdiri dari taman, jalan, lainnya. Kota itu idealnya 20 persen jalan, 75 persen taman, dan sisanya adalah permukiman. Misalnya, di Depok itu, jalannya masih 8 sampai 9 persen, karena sudah padat penduduk.

Untuk swasta, misalnya dengan industri properti, itu ada aturannya, yakni 40 persen itu PSU dan 30 persen jalan, 5 persen untuk sosial, dan 5 persen lainnya untuk taman. Itu sudah batas minimal, ini secara tidak langsung mengarahkan ke infrastruktur.

Pada saat itu, PSU-nya dilaporkan ke dinas terkait agar diperiksa. Depok punya 5 ruas jalan nasional, 6 ruas jalan provinsi, dan selebihnya jalan kota. Masing-masing berada dalam kewenangan yang berbeda. —Aprilia Hariani

[/accordion-element]

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Topic

Tegak Bangsa karena Pajak

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Ilustrasi

Pajak ibarat oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpanya, negara tak akan mampu menghadirkan kehidupan.

 

Selama dua tahun terakhir, nyaris seluruh media internasional menyoroti krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka. Negara Asia Selatan itu bangkrut. Banyak anak terpaksa tak bisa lagi sekolah karena kelaparan dan kemiskinan. Sekolah-sekolah bahkan meminta orangtua untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka jika mereka tidak memiliki makanan.

Setiap malam sebagian rakyat Sri Lanka harus tidur dalam kegelapan karena aliran listrik sering dipadamkan. Di siang hari, kesulitan lain yang tak kalah melelahkan harus dijalani oleh negara berpenduduk 22 juta orang itu. Mereka harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli dengan harga tiga kali lebih mahal dari biasanya. Di kota-kota, masyarakat mengantre panjang—bukan hanya hitungan jam, melainkan hitungan hari—untuk bisa mendapatkan bahan bakar. Di sisi lain, demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Masyarakat lapar dan marah. Rumah-rumah pejabat dibakar, penjarahan terjadi di mana-mana.

Ya, sejak tahun 2019 hingga kini, Sri Lanka dihantam krisis ekonomi terparah sejak negeri penghasil teh itu merdeka pada 1948 silam. Masyarakat kehilangan pekerjaan, kekurangan makanan, dan bahan bakar. Ditambah lagi, pandemi Covid-19 yang melanda sejak akhir 2019 kian memperparah keadaan.

Pada Juli tahun lalu, PBB memperingatkan bahwa Sri Lanka sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan, dengan jutaan orang membutuhkan bantuan. Lebih dari tiga perempat populasi telah mengurangi asupan makanan mereka karena kekurangan pangan yang parah.

Banyak faktor menyumbang terjadinya krisis di Sri Lanka, mulai dari pemerintahan yang korup, nepotisme, hingga berbagai masalah ekonomi. Jikalau dirunut ke belakang, krisis Sri Lanka salah satunya bermula dari kebijakan pemerintah kala itu yang melakukan pemotongan pajak secara besar-besaran terhadap seluruh rakyat Sri Lanka. Kebijakan populis itu memang menyenangkan rakyat, tapi akhirnya justru berbuah petaka yang menyengsarakan.

Akibat pemotongan pajak besar-besaran itu, Sri Lanka kehilangan pendapatan pemerintah dari pajak lebih dari 1,4 miliar dollar AS dalam setahun. Awalnya kebijakan ini ditentang oleh sang menteri keuangan yang khawatir negaranya akan bangkrut. Namun protes itu diabaikan oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa yang saat itu berkuasa.

Dan mimpi buruk itu pun menjadi kenyataan. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan, negara tak lagi memiliki uang. Andai saja kebijakan fiskal pemerintah Sri Lanka kala itu tidak sembrono, setidaknya mereka tidak harus kehilangan 1,4 miliar dollar AS dari pungutan pajak. Uang pajak itu bisa digunakan untuk menyelamatkan kebutuhan dasar masyarakatnya yang tak mampu. Kini, untuk mencoba bangkit dari krisis, Sri Lanka terpaksa harus berutang lebih banyak lagi—setelah sebelumnya gagal membayar utang.

Tegak karena pajak

Kisah menyedihkan Sri Lanka itu tentu semakin membangun kesadaran kita betapa pentingnya peran pajak bagi kelangsungan dan tegaknya sebuah negara. Indonesia pun telah membuktikannya. Di masa pandemi, melalui instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan, pemerintah mampu membantu kelompok masyarakat yang terdampak perlemahan ekonomi. Berbagai relaksasi dan insentif pajak diberikan secara tepat dan terukur kepada mereka yang membutuhkan untuk stabilitas ekonomi. Di sisi lain, saat ekonomi mulai membaik, pemerintah pun menerapkan kebijakan kenaikan tarif pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan cuka rokok. Pemerintah juga mengenakan jenis pajak digital, khususnya PPN atas impor produk digital.

Sejarah mencatat, pemungutan pajak sebagai sumber pendanaan pemerintahan sejatinya sudah dimulai zaman dahulu, sekitar tahun 3300 sebelum Masehi (SM) di Mesopotamia. Di Mesir, pajak sudah dipungut sejak tahun 3000 SM. Kemudian, jejak sejarah juga menunjukkan bahwa sekitar tahun 31 SM hingga 476 M, kejayaan kekaisaran Romawi juga bisa dicapai berkat intensitas pemungutan pajak. Pajaklah yang membuat kekaisaran Romawi menjadi kekaisaran terbesar di dunia dan sangat makmur. Hingga kini, pajak adalah oksigen yang mengalir dalam urat nadi setiap organ negara yang melayani kebutuhan rakyatnya. Tanpa pajak, negara tidak akan mampu menghadirkan kehidupan.

Di Indonesia, pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Artinya, pemungutan pajak di Indonesia merupakan amanah konstitusi. Dengan demikian, membayar pajak merupakan wujud dari pelaksanaan konstitusi bagi masyarakat atau warga negara sebagai Wajib Pajak untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.

Banyak masyarakat awam yang masih bertanya, mengapa pemerintah Indonesia harus memungut pajak. Sementara, ada negara yang bahkan tidak mengenakan pajak bagi rakyatnya. Idealnya memang demikian. Namun, Indonesia—dan sebagian besar negara lainnya belum mampu. Pada dasarnya, negara yang tidak memungut pajak umumnya memiliki pendapatan yang besar sehingga cukup kuat secara ekonomi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan warga negara tanpa harus memungut pajak—dan umumnya, negara-negara tersebut berpenduduk relatif kecil. Bermuda, misalnya, negara kepulauan ini hanya memiliki populasi penduduk sekitar 65 ribu (jumlah penduduk Jakarta 161 kali lebih banyak). Kemudian, Bahama yang memiliki populasi sekitar dari 400 ribu jiwa, atau bahkan British Virgin Island yang hanya memiliki 36 ribu jiwa.

Lain halnya dengan Indonesia. Hingga saat ini pajak masih menjadi salah satu sumber penerimaan terbesar dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlahnya sekitar 80 persen dari total APBN. Pajak yang diterima oleh pemerintah itu kemudian digunakan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang jumlahnya mencapai 300 juta jiwa. Dari pajak itulah pemerintah bisa mendanai layanan yang diberikan kepada masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan infrastruktur publik. Dengan kata lain, dengan membayar pajak, masyarakat sudah ikut berpartisipasi secara tidak langsung demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa.

Amanah

Pajak adalah amanah dari masyarakat yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sesuai peruntukannya. Untuk itu, dari sisi pemerintah pun wajib menjaga komitmen untuk mengelola keuangan negara, termasuk dari sumber pajak secara amanah, jujur, penuh integritas, dan profesionalitas. Untuk menjaga integritas seluruh pegawai, Kemenkeu, misalnya, memiliki sistem Kerangka Kerja Integritas (KKI) yang diimplementasikan melalui model tiga lini (Three Lines Model), dengan mengutamakan kolaborasi dan sinergi antarlini. Lini pertama adalah manajemen sebagai pimpinan unit kerja masing-masing. Lini kedua, unit kerja Kepatuhan Internal di masing-masing unit eselon I, dan lini ketiga adalah Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani berpesan agar masyarakat yang memiliki informasi atau keluhan, kecurangan, pelanggaran hukum di lingkungan Kemenkeu dapat melaporkan melalui saluran pengaduan Kemenkeu, baik melalui kanal telepon maupun situs resmi yang disediakan, yakni www.wise.kemenkeu.go.id.

Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh menjelaskan, Itjen Kemenkeu selalu melakukan proses administratif untuk menegakkan disiplin pegawai. Ia menjelaskan, kolaborasi antar lini yang dimiliki Kemenkeu dalam kerangka kerja integritas dilakukan dengan dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan.

“Dari sisi pencegahan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu membuka saluran pengaduan dan pelaporan harta kekayaan. Dari sisi penindakan, Itjen melakukan penanganan atas dugaan pelanggaran atau fraud,” kata Awan melalui situs resmi Kemenkeu seperti dikutip Majalah Pajak akhir Juni lalu.

Dalam kegiatan penindakan, Itjen juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti KPK, Kejaksaan dan Polri, dan PPATK dalam hal koordinasi penanganan dan pertukaran informasi. Dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran, Itjen Kemenkeu menangani dalam aspek administrasi kepegawaian berupa penjatuhan hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil. Apabila dari hasil penanganan kasus oleh Kemenkeu menemukan indikasi tindak pidana maka akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum yang berwenang.

Kontrol, bukan boikot

Belakangan ini muncul kembali tagar boikot pajak akibat adanya oknum pegawai di unit vertikal Kemenkeu. Menurut Ekonom Institute for Cooperative Studies (ICS) Rino A. Sa’danoer, seruan boikot pajak atau menolak membayar pajak yang berkembang tersebut merupakan tindakan tidak bijak. Sebab, hal itu akan membuat negara tidak mampu membiayai pembangunan dan menjalankan roda pemerintahan. Menurut Rino, hilangnya penerimaan pajak hanya akan membuat pemerintah terpaksa harus berutang untuk membiayai kebutuhannya.

“Uang pembangunan negeri ini sebagian besar dari pajak yang kita bayar,” tegas Rino.

Menurut Rino, yang terpenting adalah law in order dan law enforcement, yakni semua masyarakat, pembayar pajak harus lebih ketat untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah sebagai pelayan publik. Para pembayar pajak dapat menuntut peningkatan pelayanan kepada pemerintah, termasuk membersihkan para penyelenggara negara ini dari perilaku koruptif dan sejenisnya.

Rino menegaskan, membayar pajak adalah kewajiban masyarakat untuk mendapatkan hak mereka. Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari penyelenggara negara.

Continue Reading

Topic

Antara Utang dan Kemandirian Bangsa

W Hanjarwadi

Published

on

Indonesia tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Benarkah itu demi pertumbuhan dan cita-cita pembangunan?

 

Utang atau pinjaman, bagaimana pun sudah telanjur menjadi persepsi negatif di benak masyarakat. Berutang identik dengan kekurangan. Namun, apakah berutang merupakan sebuah aib bagi individu atau kelompok yang menanggungnya? Tentu saja tidak, selama hal itu dilakukan dengan bijak, sesuai aturan atau hukum yang berlaku dan kesepakatan (akad) yang dibuat oleh kedua belah pihak—peminjam maupun pemberi pinjaman.

Kesepakatan tentang utang piutang sudah menjadi bagian dari aktivitas ekonomi dalam perjalanan peradaban manusia sejak zaman dahulu. Kegiatan ekonomi ini bukan hanya berlaku bagi individu atau kelompok semata, tetapi juga hingga level negara.

Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini tengah menanggung beban utang yang tidak kecil. Bahkan, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla bulan lalu menyampaikan, utang Indonesia terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Ia menyebut, kewajiban pemerintah membayar utang mencapai Rp 1.000 triliun setahun. Namun demikian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menegaskan, pemerintah terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai aturan perundang-undangan. Oleh karena itu pengelolaan utang selalu dilakukan secara prudent dan profesional.

Pemerintah tak menampik, utang Indonesia saat ini memang besar. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah hingga 31 Maret 2023 lalu telah menembus Rp 7.879,97 triliun, meningkat Rp 17,39 triliun dari posisi utang pada bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.861,68 triliun. Namun demikian, pada Mei 2023, utang Indonesia kembali turun. Dikutip dari buku APBN KITA (Kinerja dan Fakta) edisi Juli 2023, total utang per akhir Juni 2023 senilai Rp 7.787,51 triliun, turun sekitar Rp 62,38 triliun dari posisi April 2023 yang sebesar Rp 7.849,89 triliun.

Terkendali

Pemerintah memastikan bahwa utang tersebut masih terkendali. Merujuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara rasio utang pemerintah akhir Maret 2023 mencapai 39,17 persen dari PDB Indonesia. Artinya, posisi utang masih jauh di bawah ambang batas yang diizinkan.

Sebagai catatan, lonjakan utang negara seperti tiga tahun belakangan ini tidak hanya dialami oleh Indonesia. Banyak negara mengalami hal serupa, bahkan kondisi mereka jauh lebih parah. Ini karena adanya pandemi Covid-19 yang melanda menjelang 2020 lalu. Sejak pandemi itu merebak, hingga kuartal pertama 2023, menurut catatan Institute of International Finance utang global saat ini nyaris memecahkan rekor tertinggi dengan nilai 304,9 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 4.519 juta triliun.

Namun demikian, utang negara di suatu pemerintahan akan selalu menjadi polemik dan perdebatan. Setidaknya selalu ada dua pandangan bertolak belakang yang berkembang dalam menilai beban utang negara. Pandangan pertama adalah mereka yang kritis yang menilai bahwa beban utang negara yang sudah terlampau besar akan memberatkan APBN, memperkecil ruang fiskal pemerintah untuk menggerakkan perekonomian, mengurangi anggaran untuk menyejahterakan rakyat. Sementara pandangan kedua adalah mereka yang optimistis bahwa keadaan masih terkendali karena semuanya masih sesuai aturan dan tidak melampaui parameter-parameter yang ditetapkan. Dengan demikian, utang negara berada pada level aman jika dikelola dengan baik. Tentu saja bukan pandangan mana yang salah atau benar yang harus dipersoalkan, melainkan bagaimana keduanya kemudian bisa melahirkan titik keseimbangan.

Alasan berutang

Untuk mencapai cita-cita yang telah direncanakan, negara telah membuat langkah-langkah taktis dan strategis. Namun, langkah-langkah itu membutuhkan ongkos yang harus dibayar. Mengutip laman djppr.kemenkeu.go.id, setidaknya ada lima alasan mengapa suatu negara perlu berutang.

Pertama, negara terpaksa berutang untuk mengejar kesempatan yang ada. Pepatah mengatakan, kesempatan belum tentu datang dua kali. Artinya, untuk menghindari hilangnya kesempatan itu terkadang negara terpaksa harus berutang. Misalnya, karena adanya kebutuhan yang perlu dibelanjakan oleh negara dan sifatnya mendesak dan tidak bisa ditunda. Sebaliknya, menunda pembiayaan berpeluang mengakibatkan kerugian lebih besar di masa yang akan datang. Contohnya adalah belanja untuk upaya pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19 pada dua tahun terakhir.

Contoh lainnya adalah mengejar kesempatan pembiayaan untuk menutup kesenjangan penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seperti diketahui, IPM Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lainnya. Pembiayaan ini kemudian dialokasikan untuk peningkatan di sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Kedua, utang negara untuk memberikan legacy atau warisan aset untuk generasi selanjutnya. Warisan yang dimaksud tentu bukan warisan utangnya tetapi aset yang terbangun yang dibiayai dari utang negara. Artinya, utang negara dapat menjadi investasi yang akan memenuhi keadilan antar generasinya dengan mewariskan aset-aset yang dibangun. Warisan yang baik muncul apabila utang digunakan untuk membiayai berbagai hal yang produktif. Misalnya, belanja pendidikan dan infrastruktur.

Ketiga, pemerintah harus berutang karena penerimaan negara belum mencukupi. Seperti kita tahu, penerimaan negara selama ini berasal dari perpajakan, bea cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah. Namun, kenyataannya penerimaan tersebut belum bisa menutupi belanja negara sehingga terjadi defisit APBN. Maka dari itu, untuk memberikan stimulus pada perekonomian rakyat, pemerintah harus berutang.

Keempat, negara berutang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam kasus pandemi Covid-19 lalu, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang mampu menangani wabah dengan baik dan mampu membangkitkan ekonomi dengan cepat setelah terpuruk. Salah satunya adalah karena kebijakan penanganan pandemi yang tepat, seperti bantuan langsung tunai, berbagai insentif untuk masyarakat dan dunia usaha yang antara lain dialokasikan dari utang negara. Tanpa adanya utang negara, tentu ekonomi Indonesia tidak akan pulih dan tumbuh dengan cepat. Hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 tercatat sebesar 5,03 persen (year on year/yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen (yoy).

Kelima, alasan negara berutang adalah untuk mengembangkan pasar keuangan. Instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar keuangan ini antara lain digunakan untuk benchmark bagi industri keuangan. Selain itu, utang pemerintah akan menjadi alternatif investasi jangka panjang. Sementara bagi Bank Indonesia, utang pemerintah dipakai untuk menjalankan kegiatan operasi moneter.

Warisan

Indonesia sudah menanggung utang luar negeri tak lama sejak setelah merdeka. Utang itu adalah warisan dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1949. Warisan utang ini adalah salah satu bagian dari kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, sebagai syarat kemerdekaan Indonesia. Nilai utang saat itu mencapai 1,13 miliar dollar AS, kurs saat itu.

Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno, negara juga pernah berutang ke negara lain sebesar 2,3 miliar dollar AS. Angka tersebut di luar dari utang peninggalan Hindia Belanda sebelumnya.

Pada era kepemimpinan Presiden Sukarno (Orde Lama), Indonesia pernah dikenal sebagai mercusuar negara-negara berkembang selepas penjajahan Jepang.

Mengutip tulisan “Paradigma Utang dari Masa ke Masa” pada laman situs Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Pemerintah Orde Lama memandang, utang, terutama utang luar negeri adalah bentuk penghinaan terhadap harkat dan martabat bangsa karena pembangunan Indonesia berorientasi pada prioritas kemandirian bangsa. Pada era itu, jargon kemandirian adalah harga mutlak yang tidak boleh ditawar. Pemerintah pun meminimalisasi utang luar negeri dan memilih memakai mekanisme pembiayaan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan proyek mercusuar. Proyek yang dibangun antara lain pembangunan Monumen Nasional (Monas) hingga penyelenggaraan Asian Games 1962. Untuk membiayai itu, pemerintah mencetak uang sendiri. Sayangnya, kebijakan ini akhirnya memicu terjadinya inflasi. Rezim pemerintah Orde Lama pun berakhir dengan hiperinflasi mencapai 650 persen.

Pada era Presiden Soeharto atau Orde Baru, pemerintah memandang bahwa kemandirian saja tidaklah cukup. Karena itu, utang menjadi instrumen pelengkap pembangunan karena dalam struktur APBN, saat itu utang masih dianggap sebagai penerimaan. Pemerintah Orde Baru saat itu optimistis, untuk memacu pembangunan perlu mendatangkan investor asing sehingga akhirnya utang negara banyak didominasi utang luar negeri baik loan, soft loan, grant maupun bantuan program. Beberapa lembaga atau negara donor dominan seperti Jepang, ADB, IMF, Bank Dunia, termasuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai Belanda, yang kemudian puncaknya Perdana Menteri Belanda Pronk saat itu terlalu jauh mendikte kebijakan pembangunan Indonesia.

Saat itu, pemerintah juga meyakini utang akan sangat bermanfaat apabila dikelola dengan baik. Sayangnya, tidak disadari bahwa basis ekonomi Indonesia tidak terlalu kukuh dan manajemen pengelolaan utang belum efektif. Karena itu, begitu terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar atau krisis ekonomi melanda, pemerintahan Orde Baru pun menyisakan utang luar negeri cukup besar. Saat itu butuh waktu lama agar Indonesia pulih dari krisis.

Berkaca dari berbagai kegagalan di masa lalu, pemerintah saat ini pun semakin hati-hati. Utang bukan lagi dipandang sebagai pelengkap atau penerimaan pembangunan, tetapi sebagai pembiayaan atas defisit anggaran.

Selain terus gencar meningkatkan penerimaan dari sisi pajak, pemerintah terus berupaya meminimalisasi tingkat kebocoran, serta melakukan berbagai efisiensi anggaran sebagai alternatif menutup defisit. Pemerintah memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema utang dalam negeri, seperti penerbitan surat utang negara (SUN), sukuk, penjualan aset, privatisasi dan lain-lain. Semua demi terwujudnya cita-cita pembangunan untuk mencapai Indonesia maju.

Continue Reading

Topic

PEMBAWA RAGAM PERSPEKTIF

Brian Pramudita

Published

on

Foto: Dok. BATS Consulting

Melibatkan perempuan dalam kepemimpinan secara luas menjadi langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

 

Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk memegang posisi epemimpinan dan berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan strategis di berbagai bidang,
seperti politik, bisnis, sains, dan sebagainya. Demikian kata Managing Partner BATS Consulting Brian Pramudita saat diminta menanggapi peran kepemimpinan perempuan untuk mengisi sektor-sektor trategis dalam organisasi. Menurut Brian, sapaan akrab Brian Pramudita, perempuan yang menjadi pemimpin dapat menciptakan keberagaman perspektif,
pengalaman, dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah organisasi. “Keragaman ini dapat menghasilkan solusi yang lebih inovatif, pemecahan masalah yang lebih baik, dan kinerja keseluruhan yang lebih baik untuk organisasi dan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Brian kepada Majalah Pajak akhir Mei lalu. Selain itu, Brian berpendapat bahwa mempromosikan perempuan dalamkepemimpinan merupakan langkah positif untuk mengatasi kesenjangan gender historis dan menantang peran gender tradisional. Ini termasuk memberdayakan perempuan, menginspirasi generasi mendatang, dan mempromosikan gagasan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada prestasi dan kemampuan, bukan gender. Meski demikian, Brian menilai saat
ini meskipun sudah banyak kemajuan, keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan di banyak bidang masih relatif kurang. Mendorong keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan secara luas dipandang sebagai langkah positif dan perlu untuk mencapai kesetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

“Menurut saya, wanita membawa berbagai keuntungan untuk posisi kepemimpinan, yang dapat melengkapi dan meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Mereka memiliki perspektif yang beragam. Wanita sering kali membawa perspektif dan pengalaman unik dalam pekerjaan, yang dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan menghasilkan solusi inovatif untuk masalah yang kompleks,” kata Brian. Tak hanya itu, soal kolaborasi dan kerja tim, menurut Brian perempuan cenderung menekankan kolaborasi dan
mendorong lingkungan kerja yang inklusif. Mereka sering terampil membangun hubungan, mendorong kerja tim, dan menciptakan rasa kebersamaan di antara anggota tim. Pendekatan kolaboratif ini dapat meningkatkan keterlibatan dan produktivitas karyawan. “Soal emotional intelligence, wanita sering dianggap memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi, yang melibatkan pemahaman dan pengelolaan emosi secara efektif,”kata Brian.”

Ini dapat berkontribusi pada komunikasi yang lebih baik, resolusi konflik, dan empati, yang mengarah ke hubungan yang lebih kuat dengan anggota tim dan pemangku kepentingan.” Menurut Brian, perempuan pun secara historis menghadapi tantangan dan hambatan dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, kemampuan dan ketahanan mereka untuk beradaptasi dalam peran kepemimpinan menjadi lebih tangguh. “Mereka sering menunjukkan kemampuan untuk melewati rintangan, mengatasi kesulitan, dan merangkul perubahan,” tutur Brian. Brian juga menemukan sejumlah penelitian bahwa ada korelasi positif antara keragaman gender dalam posisi kepemimpinan dan kinerja keuangan. Melibatkan perempuan dalam peran kepemimpinan terkait erat dengan peningkatan profitabilitas, pengambilan keputusan yang lebih baik, dan tata kelola
perusahaan yang lebih baik. “Penting untuk dicatat bahwa kualitas dan efektivitas kepemimpinan dapat sangat bervariasi di antara individu, terlepas dari gender. Merangkul keragaman dan mempromosikan kesempatan yang setara bagi pria dan wanita dapat menghasilkan organisasi yang lebih berkembang.” Di dalam perusahaan yang ia bangun— Bats Consulting—Brian mengaku selalu
melibatkan peran perempuan dalam keputusan-keputusan penting perusahaan. Bats Consulting sangat menghargai peran perempuan dalam menjalankan tanggung jawab dan kinerja organisasi dengan menempatkan mereka pada posisi terbaik dan ideal berdasarkan kecakapan masing-
masing. “Kami sadar, mempromosikan keragaman gender dan memberikan peran strategis kepada perempuan sangat penting untuk mencapai masyarakat yang lebih inklusif dan seimbang,” ujar Brian. Bats Consulting adalah perusahaan konsultan pajak yang menyediakan jasa
pelayanan dan konsultasi perpajakan. Dengan tim konsultan profesional, perusahaan ini memberikan saran dan bantuan kepada individu atau bisnis terkait masalah pajak mereka. “Kami ahli dalam hal pelaksanaan undang-undang perpajakan untuk membantu klien melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan efektif dan efisien tanpa melakukan pelanggaran dengan ketentuan yang ada,” papar Brian. Seiring berjalannya waktu, Brian dan timnya terus berinovasi mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan keilmuan serta tidak menutup mata dengan bidang ilmu lainnya. Sebagai lulusan pendidikan akuntansi, maka Brian pun juga mendirikan Kantor Jasa Akuntan yang bernaung di perusahaan yang sama,
Bats Consulting yang resmi terdaftar dengan nama PT Bats International Group. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan jasa bidang pajak, tetapi lebih luas lagi. “Kami, Bats Consulting juga melebarkan sayap hingga dapat menyediakan berbagai jasa di bidang perpajakan, akuntansi, audit,
dan keuangan seperti jasa pembukuan, persiapan dan kompilasi laporan keuangan, analisis laporan keuangan, audit keuangan, audit investigatif, persiapan dan perencanaan pajak, pelaporan pajak, hingga strategi dan pengoptimalan pajak klien. Perusahaan Brian pun kemudian diversifikasi ke ranah manajemen strategis, teknologi informasi, audit emisi karbon, dan
sebagainya. “Saat ini kami tengah berupaya mengembangkan kalkulator digital untuk
mendalami perdagangan dan perhitungan karbon, mengembangkan perhitungan PPh 21, chatbot pajak untuk menampung pertanyaan dan keluhan pajak klien, perhitungan BPJS bagi rumah sakit, aplikasi manajemen aset, dan masih banyak lagi,” ujar Brian.

Transformasional
Sebagai perusahaan yang memiliki sebagian besar SDM milenial, Brian mengaku cenderung menerapkan model kepemimpinan karismatik dan transformasional. Model kepemimpinan karismatik dan transformasional menurutnya cocok untuk menunjang kinerja mereka yang memerlukan figur magnetis yang menginspirasi, meluruskan visi dan misi yang strategis, meningkatkan kebiasaan komunikasi dan inisiatif secara dua arah, mendorong pertumbuhan dan perkembangan pribadi, memupuk hubungan yang kuat, dan mempromosikan inovasi dalam tim

Continue Reading

Populer