Connect with us

TAX RESEARCH

Independensi dan Keterbukaan dalam Keberatan Pajak

Imam Subekti

Published

on

Foto: Dok MUC

Pemeriksa harus tegas tapi tidak sempit dalam memandang suatu masalah. Di sisi lain, kepatuhan WP juga bukan tanpa kritik.

Pajak itu dinamis. Bisa galak, bisa juga bersahabat, atau bisa juga keduanya. Dalam penerapannya, pajak juga merupakan pengejewantahan relasi antara pembayar pajak dan fiskus yang didasari rasa saling percaya dan kepatuhan terhadap ketentuan. Basis legalnya tentu saja paket Undang-Undang Perpajakan.

Idealnya, relasi antara pembayar dan petugas pajak berlangsung harmonis, dengan syarat masing-masing taat dan patuh terhadap ketentuan dan etika perpajakan. Realitanya kadang jauh dari sempurna. Tidak selalu karena motif negatif, atau salah satu pihak sengaja keluar dari jalur. Sering kali sengketa terjadi karena beda persepsi atau karena gap pemahaman fiskus dan Wajib Pajak (WP) terhadap ketentuan dan konsep perpajakan.

Otoritas pajak di mana pun, tidak terkecuali di Indonesia, sudah punya perangkat hukum untuk menyelesaikan sengketa. Ini merupakan bagian dari upaya menjaga prinsip keadilan perpajakan. Baik fiskus maupun pembayar pajak punya hak yang sama untuk menempuh langkah hukum jika dirasa pelaksanaan ketentuan kurang berlaku adil.

Bagi pembayar pajak, ada mekanisme keberatan dan banding jika merasa kurang puas atau atau tidak sependapat atas hasil koreksi fiskus atau ketetapan pajak. Ini biasanya berkaitan dengan penetapan nilai pajak terutang—kurang atau lebih bayar.

Instropeksi

Dalam proses perkara, selalu ada tahapan pemeriksaan oleh fiskus guna menguji kepatuhan WP. Koreksi pajak bisa dibilang sebagai antiklimaks dari hubungan harmonis kedua belah pihak. Fiskus selalu punya alasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan WP, salah satu motifnya—dan yang utama biasanya—adalah mengamankan penerimaan negara. Sementara WP sudah barang tentu berupaya mempertahankan perhitungan atas kewajiban perpajakan yang memang seharusnya dibayarkan. Prinsip utama WP pasti dan selalu jangan sampai kurang dan sebisa mungkin tidak lebih bayar pajak. Karena masing-masing punya pijakan beda dan bahkan berseberangan 180 derajat, sudah bisa dipastikan proses keberatan dan banding akan menjadi babak berikutnya.

Persoalannya kemudian, bagaimana mendudukkan perkara pada tempatnya sesuai dengan ketentuan dan perhitungan pajak yang seharusnya. Kuncinya adalah iktikad baik dari masing-masing pihak.

Di satu sisi, pemeriksa harus tegas tapi tidak sempit dalam memandang suatu masalah. Jangan sampai karena dalih menyelamatkan keuangan negara, fiskus hanya berkutat pada pengujian tanpa berusaha memahami usaha WP secara menyeluruh.

Di sisi lain, kepatuhan WP juga bukan tanpa kritik. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, lebih dari 5 juta WP belum patuh melaporkan SPT pada tahun 2018. Angka tersebut sekitar 29 persen dari total 17,65 juta WP terdaftar yang wajib melaporkan SPT. Itu baru dari sisi pelaporan SPT, belum melihat keterbukaan WP terhadap pemeriksa pajak yang jumlahnya pasti jauh lebih sedikit. Dalam banyak kasus, pengalaman buruk—ketika menjelaskan terlalu gamblang kepada pemeriksa yang justru memicu koreksi—mungkin jadi alasan WP untuk menutup diri. Lagi-lagi persoalannya adalah beda interpretasi pembayar dan petugas pajak terhadap ketentuan menjadi cikal bakal sengketa perpajakan.

Dalam hal ini independensi pengadil keberatan kerap mendapat sorotan karena proses dan hasil putusan sering kali jauh dari harapan WP. Ujung-ujungnya, pembayar pajak dipaksa untuk menempuh langkah hukum berikutnya—yakni banding—guna mencari keadilan yang diharapkan. Tahapan proses hukum yang ongkos perkaranya terkadang tidak murah dan tidak sebentar.

Asumsinya, jika WP lalai atau salah perhitungan maka putusan akhir di pengadilan pajak seharusnya memenangkan fiskus. Sebaliknya, yang sering terjadi justru hasil pemeriksaan fiskus kerap dimentahkan di pengadilan. Alhasil, WP baru memperoleh keadilan setelah proses panjang nan melelahkan di tingkat pengadilan

Wajar jika kemudian banyak yang mempertanyakan motif dan kualitas pemeriksaan pajak, yang hasilnya sering kali dapat dipatahkan dalam proses banding di pengadilan. Silakan cek statistik penyelesaian sengketa di pengadilan pajak, yang mana hampir 50 persen gugatan WP dimenangkan (dikabulkan seluruhnya) oleh majelis hakim. Bayangkan jika perkara tersebut bisa dituntaskan pada tahap keberatan, tentu masing-masing pihak bisa menghemat tenaga dan sumber dayanya untuk kegiatan lain yang lebih produktif.

Ada beberapa poin terkait keberatan yang sejatinya sudah menjadi diskursus umum para pemerhati perpajakan. Pertama, target penerimaan pajak yang tergolong tinggi. Faktor “kejar setoran” ini diduga dan selalu dikhawatirkan menjadi alasan utama fiskus selalu menolak keberatan, sekalipun perhitungan WP benar.

Kedua, jiwa korps petugas pajak selaku Aparat Negeri Sipil (ASN). Semangat esprit de corps ini menimbulkan anggapan publik bahwa ada kesan fiskus sengaja mencari-cari alasan dan kesalahan pembayar pajak guna menepis anggapan kongkalikong ketika memenangkan keberatan WP.

Ketiga, tidak ada sanksi juga bagi fiskus yang “asal-asalan” dalam melakukan pemeriksaan. Hal ini terkait dengan putusan pengadilan yang tidak jarang mematahkan argumentasi pemeriksa pajak. Faktor-faktor tersebut yang menimbulkan dugaan: jangan-jangan fiskus tidak independen dalam memproses dan memutus keberatan WP.

Terpisah

Karenanya menjadi menarik menghidupkan kembali wacana lama terkait perlunya memisahkan unit keberatan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Atau menaikkan statusnya menjadi lembaga khusus yang diberikan kewenangan independen dalam memproses dan memutus keberatan WP. Harapan utamanya tentu saja agar dalam memproses dan memutuskan keberatan hasilnya tidak berat sebelah. Selain itu, jika melihat banyaknya berkas perkara yang menumpuk di pengadilan pajak, mungkin lembaga ini bisa ikut menyaring perkara pajak yang layak untuk masuk ke pengadilan pajak.Mungkin sudah waktunya kita meluruskan paradigma keberatan dan banding dalam sistem perpajakan Indonesia. Sebuah tahapan yang seharusnya memberikan kesetaraan hukum bagi fiskus maupun WP dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Sebagai catatan, tidak sepatutnya WP menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan negara untuk meminimalkan    apalagi menghindar dari kewajiban perpajakan. Pun demikian juga dalam konteks abdi pajak, semangat yang seharusnya dikedepankan adalah melayani bukan menghakimi WP. Kalau prinsip untuk saling menjaga kepercayaan dan etika yang dikedepankan maka sengketa perpajakan bisa ditekan dan sumber daya abdi pajak bisa dioptimalkan untuk menggali potensi-potensi pajak yang selama ini belum terjamah.

( Sumber: Statistik Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan)

Penulis-Imam Subekti MUC Tax Research Institute

 

TAX RESEARCH

Mengharap Manfaat Insentif Pajak KBL

Martua Eliakim Tambunan

Published

on

Foto. Dok. Prtovisio Group

Mampukah insentif pajak bagi KBL berbasis baterai bagi roda empat dan bus mempercepat terwujudnya ekosistem kendaraan listrik?

 

Mulai masa pajak April hingga Desember 2023, pemerintah berkomitmen mengakselerasi transformasi ekonomi melalui insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian kendaraan listrik roda empat dan bus.

Kebijakan yang diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 38 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023 ini diberikan untuk registrasi sebagai kendaraan bermotor baru yang memenuhi kriteria nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tertentu.

Kendaraan bermotor listrik (KBL) roda empat dan bus dengan nilai TKDN minimum 40 persen diberi PPN ditanggung pemerintah sebesar 10 persen, sehingga PPN yang dibayarkan hanya sebesar 1 persen (dari total PPN 11 persen). Sedangkan KBL bus dengan nilai TKDN minimum 20 persen sampai dengan kurang dari 40 persen diberi PPN ditanggung pemerintah sebesar 5 persen, sehingga PPN yang harus dibayarkan sebesar 6 persen. Model dan tipe kendaraan yang memenuhi kriteria nilai TKDN ditetapkan oleh Menteri Perindustrian.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan KBL berbasis baterai roda empat tertentu dan bus tertentu wajib membuat faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan melaporkan laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah. Faktur pajak yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan masa PPN merupakan laporan realisasi PPN ditanggung pemerintah. Lebih lanjut, pembetulan surat pemberitahuan masa PPN atas penyerahan KBL berbasis baterai roda empat tertentu dan bus tertentu dapat diperlakukan sebagai laporan realisasi sepanjang disampaikan paling lambat tanggal 31 Januari 2024.

Baca Juga: Pemerintah Tanggung Sebagian PPN Mobil dan Bus Listrik

Insentif PPN diberikan untuk mendorong kebijakan pemerintah dalam melakukan percepatan peralihan dari penggunaan energi fosil ke energi listrik dan untuk meningkatkan minat beli masyarakat atas kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Tumbuhnya industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai diharapkan akan menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru, membuka lapangan pekerjaan, percepatan pengurangan emisi karbon, hingga tercapainya efisiensi subsidi energy.

Namun perlu diingat, tidak semua jenis mobil listrik dapat memperoleh insentif PPN. Harga mobil listrik setelah mendapatkan insentif PPN pun masih tergolong tinggi, sehingga pemberian insentif PPN masih belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Masih kecilnya pangsa pasar dan tingginya biaya produksi akibat masih adanya komponen yang harus diimpor menjadi salah satu kendala bagi para produsen mobil listrik. Oleh sebab itu, Indonesia masih memerlukan berbagai kemudahan perizinan investasi, infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) serta alih teknologi dari negara lain untuk mendorong terciptanya skala ekonomi (economic of scale) yang dapat menurunkan harga mobil listrik secara keseluruhan.

Hulu sampai hilir

Di sisi lain, pemberian insentif sebaiknya diberikan pemerintah dari hulu sampai hilir. Terlebih, apabila industri kendaraan listrik tidak lagi bergantung pada komponen impor, maka akan ada nilai tambah yang sangat besar dalam menuju kemandirian bangsa. Maka, tantangan beratnya adalah kita memerlukan investasi yang sangat besar, teknologi, dan pengalaman yang memadai—ketiganya masih minim di Indonesia.

Pelaku industri dapat memetik manfaat insentif tax holiday dan superdeduction jika tingkat risiko yang ditanggung dalam investasi dan penelitian dan pengembangan (litbang) selaras dengan probabilitas manfaat dari fasilitas pajak yang diperoleh.

Regulator atau pemerintah perlu mengkaji dan menyosialisasikan dampak positif dan negatif yang timbul dari insentif berupa tax holiday dan superdeduction ini. Agar pemberian insentif tepat sasaran, pemerintah juga harus menjalankan mekanisme pengawasan melalui pengembangan basis data yang memuat identitas pembeli dan penjual, dan nilai transaksi.

Baca Juga: Seratus Tahun Pajak Pertambahan Nilai

Di samping itu, pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diharapkan dapat menambal kekurangan atas penerimaan PPN dari sektor industri lainnya dengan tetap membuat iklim usaha kondusif. Pemerintah dan DJP juga harus jelas memberikan jangka waktu sampai kapan insentif PPN atas kendaraan listrik tersebut diberikan agar industri komponen mobil listrik dapat memperkirakan lamanya investasi yang diharapkan (payback period) sampai ekosistem terbentuk sembari melakukan studi banding dengan negara[1]negara maju menyesuaikan situasi dan kondisi ekonomi dan politik di Indonesia.

Alangkah baiknya jika kebijakan dan insentif pajak yang telah dicanangkan oleh pemerintah tersebut dapat disosialisasikan oleh konsultan pajak kepada klien yang bergerak di industri automotif. Di sisi lain, pemerintah bersama dengan kementerian terkait, juga harus selalu berupaya membangun infrastruktur seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum, bengkel dan suku cadang, serta SDM yang berkualitas.

Kami berharap berbagai insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah dapat tepat sasaran dan dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Yang jelas, percepatan ekosistem kendaraan listrik nasional tidak semata-mata hanya bergantung pada insentif pajak, tetapi juga bergantung pada dukungan seluruh pemangku kepentingan, misalnya dalam bentuk kemudahan perizinan, teknologi, SDM, dan subsidi kredit dari pemerintah. Dengan aneka dukungan itu, kita berharap kegiatan ekonomi akan meningkat, impor BBM menyusut, devisa dapat dihemat, dan lingkungan yang lebih hijau tercipta.

Continue Reading

TAX RESEARCH

Belanja Pemerintah demi Pertumbuhan

Handy Kurniawan Managing Partner Provisio Consul

Published

on

Foto: Dok. Provisio Group

Selain mendorong pemerataan ekonomi, belanja pemerintah dapat menarik investasi baru yang membantu meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

 

Tak dapat dipungkiri, belanja pemerintah memiliki daya dorong yang cukup kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah dilakukan untuk memperoleh barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan publik seperti membangun infrastruktur yang mempermudah proses distribusi perdagangan negara.

Sejauh ini, belanja pemerintah secara garis besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan, dan fasilitas umum lainnya) yang menjadi salah satu faktor meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Berikutnya, perkembangan teknologi informasi. Semakin tinggi perkembangan teknologi informasi di suatu negara, maka akan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Sebab, teknologi kian mempermudah masyarakat untuk melakukan kegiatan produktif.

Lebih lanjut, salah satu riset yang dapat dilihat adalah daya dorong belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah pada saat Covid-19 di tahun 2020, saat pemerintah membiayai anggaran subsidi listrik dan LPG untuk membantu pemulihan ekonomi dari usaha-usaha kecil, serta memberikan dampak terhadap perkembangan ekonomi negara.

Di luar itu, salah satu faktor yang dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi adalah sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penggunaan produk dalam negeri dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa diharapkan dapat membantu pertumbuhan industri UMKM, sehingga dapat membantu menciptakan penguatan ekonomi. Namun, realisasi dukungan terhadap UMKM ini memerlukan komitmen dari seluruh kementerian dan lembaga negara.

Baca Juga: Digitalisasi Dorong Kemajuan UMKM dan Kesadaran Pajak

Akselerasi pembangunan

Menjadi salah satu instrumen belanja pemerintah, pajak juga memiliki fungsi penting untuk mengakselerasi pembangunan serta bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui instrumen kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Kita lihat, selama pandemi Covid-19 terjadi, pemerintah telah memberikan beberapa insentif untuk meringankan beban pajak yang ditanggung oleh pengusaha/karyawan, antara lain seperti PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Final PP 23/2018 sebesar 0,5 persen DTP, Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 50 persen, dan lain sebagainya.

Program tersebut diberikan agar para pelaku usaha tetap dapat menjalankan kegiatan operasinya di tengah keterpurukan ekonomi selama pandemi, sehingga dengan demikian diharapkan kestabilan ekonomi bisa tetap terjaga. Dari sini, bisa kita lihat betapa besarnya peranan pajak untuk menjaga ekonomi Indonesia tetap stabil.

Di sisi lain, pemerintah juga gencar menarik minat investasi dari dalam dan luar negeri, antara lain dengan memberikan insentif pajak sebagai sarana stimulus dalam mendorong penanaman modal serta memacu pertumbuhan ekonomi.

Selain adanya jaminan kepastian hukum terhadap modal yang ditanamkan di suatu negara, insentif pajak selalu menjadi salah satu faktor pertimbangan investor dalam menentukan negara tujuan penanaman modal. Dari sini, bisa dilihat peranan penting dari insentif pajak yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya insentif pajak, investor tentunya akan lebih tertarik untuk menanamkan modalnya yang tentunya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Terkait investasi, dukungan pemerintah juga terlihat melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.010/2020 yang mengatur pemberian insentif berupa pengurangan PPh Badan (tax holiday) bagi Wajib Pajak yang bergerak pada industri pionir. Salah satu industri pionir yang saat ini sedang fokus dikembangkan oleh pemerintah adalah industri pembuatan baterai untuk kendaraan listrik.

Dengan berlimpahnya cadangan nikel di Indonesia, pemerintah berupaya mengundang investor untuk dapat melakukan investasi pada industri pembuatan baterai untuk kendaraan listrik tersebut. Dalam hal ini, pemberian pengurangan PPh Badan dapat diberikan untuk jangka waktu 5–20 tahun berdasarkan jumlah investasi yang ditanamkan di Indonesia antara Rp 100 miliar sampai dengan lebih dari Rp 30 triliun.

Baca Juga: Mitigasi Tantangan Integrasi NIK-NPWP

Dengan demikian, pemerintah berharap dapat mengundang investor baru untuk menanamkan modal mereka di industri-industri yang termasuk ke dalam kategori industri pionir di Indonesia. Masuknya investasi dari luar negeri maupun dalam negeri di bidang industri pionir ini, diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerja baru yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan perekonomian negara.

Sebagai mitra pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak agar pilar pendorong ekonomi dari instrumen pajak bisa berjalan dengan baik, Provisio Consulting selalu berusaha membantu meningkatkan kesadaran Wajib Pajak terhadap kepatuhan dalam membayar pajak, bahwa pajak adalah kewajiban bagi Wajib Pajak harus dilaporkan dan disetorkan secara tepat waktu dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tidak hanya itu, Provisio sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak menjadi perpanjangan tangan pemerintah memberikan pemahaman dan pendampingan perpajakan untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajak yang berimplikasi langsung pada peningkatan penerimaan pajak negara, yang mana digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Continue Reading

TAX RESEARCH

Menjaga Asa Pajak dari Sektor Tambang

Avatar

Published

on

Foto: Dok. Provisio Group

 

Pajak sektor tambang tumbuh signifikan, tapi masih perlu ditingkatkan. Syaratnya, pemerintah harus menangkap momentum pertumbuhan positif sektor ini dengan tepat.

 

Majalahpajak.net – Pemerintah telah berupaya mengoptimalkan dan meningkatkan kepatuhan perpajakan di sektor pertambangan di Indonesia. Saat ini, ada dua rezim penerimaan negara dari sektor pertambangan batu bara, yaitu rezim izin yang mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan rezim kontrak dalam bentuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang mengacu kepada ketentuan dalam kontrak hingga berakhir.

Sesuai Pasal 169A UU Nomor 3 Tahun 2020, rezim kontrak yang berakhir dapat diperpanjang menjadi rezim izin, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/ Perjanjian, dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. Untuk memenuhi upaya tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara yang ditetapkan pada 11 April 2022.

PP punya dua bagian penting. Pertama, PP ini memberikan kejelasan mengenai kewajiban PPh bagi para pelaku pengusahaan pertambangan. Kedua, pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

Sedangkan untuk mendorong pemanfaatan produksi batu bara bagi industri di dalam negeri, PP ini mengatur, antara lain, tarif tunggal yang lebih rendah (14 persen) bagi produksi batu bara untuk penjualan dalam negeri. Implementasi peraturan ini diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dengan tetap menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan untuk mendukung konsolidasi fiskal ke depan.

Kepastian hukum

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan kepastian hukum bagi pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan PNBP. Hal ini dilakukan dengan cara mengatur kewajiban perpajakan dan PNBP yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat izinnya diterbitkan (nailed down) dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (prevailing law).

Di dalam PP, diperjelas bahwa kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti ketentuan nailed down adalah iuran tetap, PNBP produksi batubara, PPh Badan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PNBP di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan PNBP berupa bagian Pemerintah Pusat sebesar 6 persen serta penerimaan daerah lainnya berupa bagian Pemerintah Daerah sebesar 4 persen dari keuntungan bersih. Sedangkan kewajiban pajak dan PNBP yang mengikuti prevailing law adalah PNBP lainnya selain yang sudah disebutkan di atas, pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Karbon, Bea Meterai, Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Baca Juga: Penambangan Hijau dan ‘Restu Sosial

Selain memberi kepastian dan kesesuaian dengan rezim, PP ini diharapkan mampu menangkap momentum pertumbuhan positif sektor pertambangan batu bara saat ini. Hal ini terutama karena sektor ini mampu tumbuh positif sebesar 6,6 persen (yoy) di tahun 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional. PP ini menjadi relevan dalam memanfaatkan momentum peningkatan kontribusi sektor pertambangan batu bara terhadap perekonomian melalui APBN.

Tumbuh

Pajak pertambangan yang kini telah mengikuti perlakuan pajak korporasi secara umum juga akan dikenakan pada tiap tahapan industri pertambangan, mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, hingga reklamasi. Dalam penerapannya, tahapan dan aspek industri pertambangan serta pajak yang berlaku di setiap tahapannya adalah penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, ekploitasi, dan reklamasi. Untuk setiap tahapan di atas terdapat implikasi Pajak PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi dan bukan pegawai atas upah yang mereka terima.

Tak dapat dipungkiri, sektor tambang sedang membaik dan mengalami pertumbuhan penerimaan paling tinggi hingga Agustus 2022. Kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada periode Januari–Agustus dipengaruhi oleh tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis yang rendah pada tahun 2021 akibat pemberian insentif fiskal, dan adanya dampak implementasi Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Untuk penerimaan sektoral, seluruh sektor utama tumbuh positif ditopang oleh kenaikan harga komoditas, pemulihan ekonomi, serta bauran kebijakan, antara lain phasing-out insentif fiskal, pelaksanaan UU HPP, dan kompensasi bahan bakar minyak.

Beberapa sektor dengan kontribusi terbesar adalah industri pengolahan 29,7 persen (tumbuh 49,4 persen), perdagangan 23,7 persen (tumbuh 66,3 persen), jasa keuangan dan asuransi 10,9 persen (tumbuh 15,2 persen), pertambangan 8,9 persen (tumbuh 233,8 persen), dan sektor konstruksi dan real estate 4,1 persen tumbuh (10 persen).

Terlihatlah, dari sisi sektor usaha, pertumbuhan penerimaan pajak paling tinggi dialami oleh sektor pertambangan—meroket hingga 233,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh subsektor pertambangan batu bara dan lignit, disusul oleh pertambangan bijih logam.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa penerimaan pajak dari pertambangan batu bara dan lignit pada Januari—Agustus 2022 mencapai Rp 53,63 triliun, setara dengan 57,8 persen dari penerimaan sektoral. Kinerja itu tumbuh 321,1 persen secara tahunan, melejit dari capaian pertumbuhan Januari—Agustus 2021 di angka 12,1 persen. Sedangkan subsektor pertambangan bijih logam mencatatkan penerimaan pajak Rp 24,28 triliun atau berkontribusi 26,2 persen. Capaian itu tumbuh hingga 387,9 persen secara tahunan, meskipun melambat dari capaian pertumbuhan Januari–Agustus 2021 di angka 422,1 persen.

Penerimaan sektor tambang hanya 8,9 persen, namun kembali lagi bahwa penerimaan sektor tambang merupakan yang paling tinggi dibandingkan sektor lainnya dan ia terus tumbuh jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga: Pemerintah Jangan Tunduk pada Kepentingan Pengusaha

Perlu dorongan

Penerimaan dari sektor tambang masih dapat ditingkatkan 10–15 persen, bergantung pada harga dunia. Namun, ini perlu diimbangi dengan insentif pajak yang baik, mengingat investasi yang mereka lakukan juga cukup besar.

Lebih lanjut, jika tujuannya adalah mengurangi konsumsi atas barang mentah tambang, maka ada baiknya untuk memberikan insentif pajak untuk industri yang menghasilkan barang alternatif bagi barang mentah tambang tersebut, misalnya pemberian insentif kepada industri yang menghasilkan energi terbarukan maupun industri mobil listrik.

Diperlukan dorongan kepada pelaku industri tambang agar alih-alih terus menggali sumber daya alam, mereka lebih mengoptimalkan industri turunannya yang lebih bernilai ekonomis dan berdampak panjang dan positif bagi lingkungan.

Continue Reading

Populer