Lantaran sibuk, orangtua kerap memberikan gawai sebagai penenang sekaligus “pengasuh” putra-putrinya. Hati-hati, ada “popcorn brain”.
Popcorn brain, menurut pendiri Sekolah Baruku Sri Susanti Tjahja Dini adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi otak yang seakan meletup-letup karena terbiasa berinteraksi dengan layar gawai yang selalu merespons stimulus yang kuat dengan aktivitas dunia maya yang cepat dan terus menerus.
“Itu akan membuat anak mencari hal yang semakin lama semakin impulsif, semakin cepat, serta menarik untuk dirinya sendiri. Bahkan, ada beberapa literatur yang menyebutkan, anak jadi semakin brutal,” ungkapnya kepada Majalah Pajak, Sabtu (16/10).
Ia menambahkan, umumnya anak akan melakukan banyak hal sekaligus di perangkat digitalnya, membuka banyak layar, merespons media sosial, bermain games, membuat dorongan yang tidak tertahankan untuk selalu menatap layar gawai. Kondisi ini akan membuat mereka kesulitan beradaptasi dengan dunia nyata. Mereka tidak lagi dapat merespons stimulus dari luar yang tidak sekuat dan seresponsif gawai. Alhasil, mereka tidak lagi tertarik dengan aktivitas keseharian tanpa gawai. Bahkan, mereka akan cenderung tak mampu mengontrol emosi.
“Jadi, pada saat kondisi seperti itu biasanya pada anak-anak kendali emosi juga tidak terkontrol dan tidak merespons stimulus dari lingkungan. Misalnya, si anak sedang main game lalu diajak makan, maka dia akan langsung marah-marah. Padahal, makan adalah aktivitas rutin biasa yang harusnya dia lakukan,” tambahnya.
Dampak
Wanita yang menjadi salah satu pengurus di Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) ini mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang terjadi pada anak yang mengalami popcorn brain. Pertama, ia tidak bisa menahan diri, alias kecanduan. Ia akan kesulitan untuk tidak menggunakan telepon genggam walaupun saat liburan maupun sedang berkumpul dengan teman-temannya.
Kedua, terlihat asyik sendiri, sulit beradaptasi, malas bergerak. Aktivitas terkait motorik dan emosi sosial tidak terstimulasi sama sekali. Kalau anak-anak biasanya dapat menangkap keasyikan bermain, entah bermain bola atau bersepeda, anak yang mengalami popcorn brain tidak dapat menangkap keasyikan yang sama. Bagi mereka, asyik itu, ya, apa ada di gawai mereka.
“Mereka lebih merespons aktivitas digital di dunia maya. Orientasi otak hanya akan mencari stimulus yang kuat dan merespons datar terhadap aktivitas tanpa gadget,” ujarnya.
Ketiga, perilakunya akan berubah. Ia akan kian impulsif, mudah marah, dan mudah lelah.
Gawatnya lagi, popcorn brain juga dapat terjadi pada orang dewasa. Cirinya, hampir sama, yaitu mereka akan terus mencari stimulus yang kuat untuk otak mereka meskipun sedang berinteraksi dengan orang lain. Mereka enggak mampu menahan diri untuk mengecek gawai—“Aku mau cek e-mail, ah”, “Kepoin, medsos, ah,” dan seterusnya.
“Screen time”
Santi mengatakan berdasarkan rekomendasi dari para ahli, yang paling utama adalah para orangtua harus bisa memberikan batasan waktu yang sehat untuk menggunakan gawai (screen time). Stimulasi yang baik di usia dini adalah interaksi dengan orangtua dan ini tidak tergantikan oleh kehadiran gawai.
Pada usia anak di bawah 18 bulan, sebaiknya anak hanya diperbolehkan untuk video call atau face time. Itu pun tidak boleh terlalu lama. Anak pada usia ini tidak boleh dikenalkan intens dengan gawai.
Untuk usia 18–24 bulan, orangtua harus sudah mulai bijak mengenalkan program yang mengedukasi si kecil. Sebab, pada usia ini, yang dibutuhkan anak-anak adalah interaksi sehat dengan orangtua melalui sentuhan, suara orangtua, stimulus aktivitas fungsional sehari-hari seperti berlatih makan, minum dan lainnya. Jika memang ada kondisi anak harus berkenalan dengan gawai, tetap lakukan pembatasan dan pilihlah program/fitur yang edukatif untuk anak-anak dan tetap lakukan interaksi dengan orangtua melalui pendampingan.
“Melihat dari PC atau smartphone juga memungkinkan anak-anak membuka layar berikutnya,” kata Santi. Akhirnya, kanal yang dipilihkan orangtua menjadi tidak menarik. Anak pun akan jadi lebih impulsif, mencari yang lebih asyik.
Untuk anak di atas 6 tahun, orangtua sudah bisa membuat batasan dan kesepakatan yang konsisten, baik jenis maupun waktu anak-anak menggunakan gawai yang disepakati dan ditaati secara konsisten oleh seluruh anggota keluarga. Aturan ini pun tidak boleh memengaruhi atau menggantikan waktu tidur, istirahat, aktivitas fisik, dan interaksi dengan teman dan orangtua.
Untuk remaja, ajarkan mereka menggunakan gawai ke arah aktivitas fungsional, seperti bersama-sama mencari destinasi liburan, mencari jalan, cara memesan makanan lewat aplikasi on-line, dan lainnya.
Untuk menyelamatkan anak dari popcorn brain, orangtua sebaiknya mengajarkan agar gawai difungsikan untuk aktivitas keseharian, membagi waktu, dan juga menggali potensi lewat gadget.
“Misalnya, ada kursus coding atau membuat flyer, design dengan aplikasi. Ikutkan aja walaupun mungkin mereka bisa belajar sendiri. Dengan bergabung di kelas on-line, anak berlatih dengan panduan, ada capaian keberhasilan yang jelas dan terukur serta tetap dengan kontrol orangtua,” pungkasnuya.
You must be logged in to post a comment Login