Connect with us

Up Close

Ekonomi Rakyat Sultan Yogya

Agus Budiman

Published

on

Juni lalu Majalah Pajak berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan Sultan Hamengku Bowono X di Yogyakarta. Pertemuan dilakukan dua kali. Yang pertama terjadi pada Selasa malam (17/6), tanpa protokoler, di sela jamuan pesta ulang tahun salah satu cucu Sri Sultan.

Malam itu, mengenakan kemeja bergaris biru-hitam-oranye yang dimasukkan dengan rapi ke dalam celana panjangnya, Ngersa Dalem melayani pertanyaan kami sembari menyilakan kami turut menikmati hidangan ulang tahun.

“Kalau untuk besok siang, di Kepatihan, saya pakai jas,” kata Sultan, seperti meyakinkan bahwa pertemuan esok harinya (18/6) tetap masuk dalam agendanya. Dan benar, esok siangnya Sultan menerima kami di Kantor Gubernur DIY, berjas dan berdasi.

Berikut petikannya:

Yogyakarta memiliki pembayar pajak yang luar biasa. Mereka sampai menabung buat bayar pajak. Kami ingin tahu, apa sih rahasianya?

Kalau saya yang terpenting itu adalah kesadaran masyarakat saja. Terkait pajak ini, dari zaman dulu kita biasa membangun dialog dengan masyarakat. Yang penting WP itu merasa diwongke, baik WP yang besar maupun yang kecil.

Dialog yang seperti apa yang paling efektif untuk masyarakat Yogya?

Pada awalnya dialog bersama pengusaha yang besar dulu, lalu dengan yang menengah. Sambil makan, jadi suasananya tidak terlalu formal. Kita perlu bicara bahwa WP harus begini dan begitu, yang penting ada komunikasi dulu. Orang tidak usah diajak, “Kamu harus bayar pajak.” Mereka, kan, sudah tahu. Kanwil Pajak yang menyelenggarakan sudah memberi tahu, tidak usah diulang. Dianggap mereka sudah tahu, jadi tidak merasa dipinteri. Yang penting kita memberikan perhatian kepada mereka. Dan mereka mau punya kesadaran melaksanakan kewajiban.

Pendekatannya seperti apa yang paling cocok untuk masyarakat Yogyakarta bila, misalnya, kita ingin menyosialisasikan ketentuan perpajakan?

Karena pajak adalah sebagai kewajiban yang harus dilakukan, mestinya Kanwil Pajak membangun komunikasi dengan masyarakat. Dengan karakter masyarakat Yogyakarta yang berbudaya, kritis, dan santun, berbagai program termasuk program perpajakan akan sangat diperhatikan dan dilaksanakan, meskipun perlu sosialisasi yang intensif.

Selama ini Pemerintah Daerah dalam menyosialisasikan program-progamnya lebih banyak menggunakan pendekatan dialogis, fragmentis—semacam “mbangundeso”—maupan cara-cara yang mengedepankan karakter DIY yang memiliki budaya yang adiluhung. Diskusi dan dialog interaktif tampaknya cukup efektif.

Kekayaan Pemda dan APBD Yogya itu milik rakyat Yogya. Kami ndak punya duit. Jadi, kalau itu kembali ke masyarakat Yogya untuk kepentingan apa pun, biarkan saja. Kenapa harus dipersoalkan? Hanya masalahnya bagaimana prosedurnya.

Di samping memang, kita juga harus memanfaatkan media massa dan teknologi informasi yang kian berkembang pesat di DIY. Jejaring sosial juga dapat digunakan sebagai salah satu cara menyosialisasikan peraturan, ide, dan gagasan. Sosialisasi tidak dapat kemudian distandarkan, tapi juga harus melihat segmen sasarannya. Contoh sederhananya kawula muda lebih cenderung pada media massa dan teknologi informasi yang disajikan lebih atraktif, sedangkan yang dewasa atau tua lebih cocok dengan melalui forum-forum kemasyarakatan.

Model pertemuannya seperti apa?

Dialognya bukan kita di sini kamu di sana. Kita duduk, pajak, kalangan pengusaha. Muspida duduk bersama pengusaha. Karena itu membangun psikologis orang, bahwa dia diperlakukan sama Dari situ terjadi dialog sendiri, antara aparat pajak dan WP. Awalnya yang datang tidak sampai seratus, tapi ini kita lakukan setiap tahun.

Hanya untuk orang kecil, nuansanya kan berbeda dengan golongan menengah ke atas. Menurut saya, untuk tidak menimbulkan rasa minder dan sebagainya, ya di-split. Dalam arti pada waktu orang-orang kecil ini, ya, pakaian bebas, tempatnya juga dipilih. Jangan di hotel. Mungkin di kantor, di aula, atau tempat lain terbuka. Kasarannya dia pakai sandal jepit suruh masuk perbankan, ya, enggak berani. Orang kecil ini, kan, tidak berani lobi. Orang kecil itu bisanya hanya menunggu. Kalau pengusaha menengah besar, kan, bisa punya kemauan lobi. Orang kecil, kan, enggak. Jadi, harus bisa Bapak bangun nuansa. Enggak usah harus pakai batik, belum tentu juga bisa. Nanti jadi formal dan malah mereka enggak datang.

Tadi kami berkeliling mendatangi Wajib Pajak yang luar biasa seperti penjual pecel, penjual batik di pasar. Mereka ikut bayar pajak. Ini bisa menjadi inspirasi buat masyarakat Indonesia lainnya.

Mereka merasa menjadi WP, walaupun penghasilannya tidak begitu besar. Tapi saya mengkritik pajak juga. Karena kalau mereka diperlakukan tidak semestinya, mereka omong itu juga ke saya. Begitu juga saya, mengingatkan pengusaha, jangan punya dua pembukuan.

Jadi, jangan terlalu kaku kita bicara bahwa WP harus begini-begitu, tapi petugas pajaknya juga harus manusiawi. Bagi saya services menjadi penting, bicaranya yang santun dalam memberikan penjelasan. Jangan mentang-mentang pejabat. Petugas, sebagai pelayan publik, harus beri pemahaman yang benar.

Apakritik yang paling utama dari masyarakat tentang pajak yang disampaikan melalui Sultan?

Dalam Pelayanan. Mereka pada dasarnya mengatakan, “Kami ingin jadi pembayar pajak yang baik.” Prinsip itu mereka ikuti. “Hanya tolong kami dibantu bagaimana caranya. Kami ingin diperlakukan dengan ramah dan santun.” Apalagi orang kecil, masuk ke kantor pajak pun takut.

Sektor lapangan usaha apa saja yang dominan di Daerah Istimewa Yogyakarta?

Lapangan usaha yang dominan di DIY, antara lain industri pariwisata, hotel dan restoran, serta lapangan usaha di sektor lain yang mempunyai potensi untuk ditingkatkan, seperti sektor pengangkutan, komunikasi, listrik, gas, dah air bersih serta sektor pertanian yang meskipun sumbangannya belum begitu besar, masih tetap tumbuh positif sampai dengan tahun 2013.

DJP sedang merintis program celengan pajak, mengajak WP menyisihkan satu persen dari penghasilan mereka untuk jadi tabungan pajak.

Kalau bisa, tidak dilakukan di kantor pajak, itu lebih bagus. Misalnya, bersama-sama kepala kantor pasar. Melakukan pendekatan, entah itu sosialisasi maupun terima laporan pembayaran pajak dari mereka, biarpun tidak seberapa. Tapi ini kan kesadaran, Ini bisa jadi alat campaign bagi mereka yang belum punya kesadaran untuk bayar pajak. Orang kecil saja mau bayar pajak. Praktiknya, di pasar meja dipasang berjejer, masyarakat dilayani petugas pajak untuk bayar pajak walau jumlahnya mungkin hanya Rp100 ribu. Masalahnya bukan uangnya, ini momentum yang bisa dijadikan alat komunikasi. Lihat saja yang besar-besar itu, mereka mendatangi lokasi bencana pun kalau bisa wartawan se-Jakarta dibawa semua, Yang namanya ikhlas, kan, tidak mesti harus seperti itu.

Ini pengalaman saya tahun 2006-2007. Ini mau membantu atau pilkada. Waktu mereka datang dengan berbagai aksesoris, saya minta turunkan umbul-umbul dan poster kalau mau datang membantu, ini maunya apa. Wong kalau tidak membantu, masyarakat Yogya juga bisa survive sendiri. Membantu jangan seperti pilkada. Kecuali bendera merah putih, bendera partai saya minta diturunkan semua. Karena masyarakat kecil ini merasa dieksploitasi. Hanya mereka tidak berani bersuara. Mereka menyampaikan keluhan ke saya.

Figur Sultan telah jadi teladan dan inspirasi masyarakat. Kalau tidak, kita tidak akan mendapatkan orang-orang kecil yang dengan kesadarannya mau bayar pajak.

Saya pun tidak pernah bicara APBD. Kekayaan Pemda dan APBD Yogya itu milik rakyat Yogya. Kami ndak punya duit. Jadi, kalau itu kembali ke masyarakat Yogya untuk kepentingan apa pun, biarkan saja. Kenapa harus dipersoalkan. Hanya masalahnya bagaimana prosedurnya.

 

Keraton identik dengan nilai-nilai luhurnya. Bagaimana keraton akan melestarikan nilai-nilai luhurnya?

Kraton itu, kan, hanya artefak saja. Dia punya nilai karena manusia yang ada di dalamnya. Kan begitu? Sekarang tinggal karakter manusianya—berperilaku mau memahami atau angkara murka? Kalau nuansa keratonnya angkara murka, rakyat akan meninggalkan keraton.

Apa nilai-nilai Jawa yang selaras dengan nilai Keraton itu yang Sultan pegang teguh apa?

Begini, masyarakat di Jogja dan mungkin masyarakat umum Jawa— mempunyai nilai luhur tapi mungkin dilupakan—memang kita sekarang melihat pembangunan ini ke arah materi sehingga bisa mengubah orientasi orang berfikir dan berperilaku. Sehingga integritas orang pun ditawarkan dengan sejumlah uang. Untuk kembali kepada nilai luhur tersebut, pada waktu 2006 bencana itu, saya hanya mengingatkan kembali kepada masyarakat Jogja yang kena bencana untuk kembali kepada jati dirinya. Yaitu filosofi di Jogja yang telah dilupakan saat itu.

Saya campign dari satu desa ke desa lain agar mereka survive menghadapi bencana itu. Tidak nglokro atau putus asa. Jadi kalau bahasa Indonesianya begini: “Kehilangan harta itu sama dengan tidak kehilangan apa-apa. Kehilangan nyawa itu sama dengan kehilangan separuh, kehilangan harga diri kehormatan itu sama dengan kehilangan segalanya.”

Tahun 2006 saya mengatakan, “Kamu jangan mengharap bantuan orang. Perkara ada orang membantu itu kamu harus mengucapkan terima kasih. Karena yang namanya bantuan itu tidak mungkin akan bisa memenuhi semua harapan kita. Sehingga satu-satunya cara untuk kita survive, ya, diri kita sendiri yang harus punya motivasi untuk survive itu sendiri.”

Pada waktu itu setiap kepala keluarga saya latih dua orang—entah bapak, entah anak—satunya training konstruksi, satunya training instalasi, ya mereka partisipasi. Jadi sebetulnya orang yang rumahnya hancur (173.00 ribu) itu, sebenarnya saat ini sudah bisa jadi tukang. Karena pagi siang, sore malam, kami punya 10 mobil itu, 5 mobil untuk training konstruksi, 5 mobil untuk training instalasi. Tapi waktu cara yang sama saya bawa ke tempat bencana di Padang ternyata tidak jalan.

Kenapa di tempat lain tidak bisa?

Mungkin tradisi dan orangnya berbeda. Di sini kan kebersamaan itu sesuatu yang sangat penting. Karena di daerah-daerah mungkin tidak bisa meniru Jogja. Jogja ini orang jualan gudeg berjajar tidak ada masalah. Orang buka tempat untuk persewaan IT, 1 jam Rp5 ribu atau Rp 3 ribu, berjajar pun enggak ada masalah. Jadi, sesama tetangga tidak saling mematikan.

Jadi, di sini perusahaan-perusahaan yang berfungsi seperti bos tidak bisa. Maunya, ya, besar, besar semua; kecil, kecil semua. Enggak bisa satu orang. Aku leading sector, kamu subcontracting semua. Enggak bisa. Enggak jalan. Sehingga pada waktu kami lihat seperti di Bandung, misalnya pengembangan industri kreatif, ya IT—di Bandung ITB itu sekolah kok malah jadi leading sector, pengusahanya jadi subcontracting? ITB-nya kok jadi bisnis? Mestinya, kan, hanya memproduksi teknologi saja? Enggak cocok di Jogja.

Maka, saya membangun inkubator kerja sama dengan Telkom. Di digital valey yang ada di Sagan itu. Bagaimana itu dibina oleh Telkom, 50 perusahaan per satu ruang itu IT untuk lima perusahaan, bukan untuk dijual kepada Telkom, tapi Telkom menghubungkan dengan pelanggan Telkom. Entah produk animasi, entah bikin portal entah macam-macam itu. Jadi mereka satu ruang untuk lima perusahaan pun enggak ada masalah bagi dia, biarpun produknya sama.

Ini contoh bahwa biarpun dia di bisnis, bahwa faktor kebersamaan itu jadi faktor utama di dalam berproses untuk maju bersama. Jadi dari format itu yang paling utama akhirnya yang terjadi, biarpun dia mahasiswa, ahli komputer sama orang SMA. Mungkin juga komputer hanya otodidak tapi untuk menjebol Pentagon bisa sama-sama. Iya. Saya banyak kenal sama teman-teman IT di Jakarta, Bandung, Surabaya, itu kalau bisa, bisa sendiri. Di Jogja enggak.

Misalnya saya sama Bapak masuk ke warnet. “Yuk kita satu jam, kira-kira bisa enggak kita terobos Pentagon?” Misalnya Bapak bisa, saya enggak bisa. Bapak mengatakan sama saya, “Kenapa kamu enggak bisa? Saya bisa karena begini-begini. Kalau kamu begitu-begitu enggak bisa masuk. Sebab, mestinya begini. Jadi, akhirnya kita masuk sama-sama akhirnya menjebol sama-sama. Berarti sehebat-hebatnya orang di Jogja, dia mau sharing kepandaiannya dengan yang lain. Itu tidak saya jumpai baik di Bandung, Surabaya, Semarang maupun Jakarta. Sehingga hacker itu yang paling terkenal mesti orang Jogja.

Saya pun kenal dengan orang-orang seperti itu. Untuk membangun komunikasi saja dengan harapan dia tidak merugikan orang lain. Akhirnya kita arahkan. Dia membuat 83 perusahaan, akhirnya mau di Telkom. Akhirnya menjadi sesuatu yang positif. Jadi orang-orang seperti itu jangan dijauhi. Preman-preman pun jangan dijauhi kalau saya. Yang penting kita bisa membangun komunikasi. Kita ingin tahu juga apa yang sebenarnya terjadi.

Bagaimana membangun komunikasi dengan mereka?

Ya harus sregep komunikasi saja. ya memang susah, berat, tapi ya dilakoni saja. ikhlas saja. soalnya kalau ada gejolak-gejolak kan yang disalahkan juga saya. Enggak pernah orang menyalahkan polisi, Korem. “Gimana Pak Sultan itu?” Nebang pohon yang dilindungi pun bukan menyalahkan dinas kehutanan. Orang asing yang kontrak sama pengusaha di Jogja pun antara contoh sama yang deliver itu tidak sesuai dengan bunyi contoh, yang disurati saya bukan pengusahanya. Alasannya, dengan Pak Sultan saya harap masalah ini bisa diselesaikan. Tapi enggak apa-apa bagi saya. Kalau ikhlas kan enggak beban.

Dari Ayahanda nilai apa yang paling Sultan kenang?

Kalau saya hanya dua. Setia sama janji dan prasaja (sederhana) saja. Kalau sudah janji harus dipenuhi. Apa pun janji itu, sedapat mungkin. Karena kepercayaan orang itu pada janji. Kalau surat-surat kontrak, MoU pun masih bisa batal. Kalau kita, kan, bukan kontrak bunyinya apa. Di mana kamu sudah berjanji, ya sudah. Kamu harus setia apa pun yang terjadi.

Kalau dari Ibunda, apa yang paling Sultan kenang?

Kalau ibu saya ini keras, disiplin. Jadi, saya tidak kalah sama Bapak-Ibu. Saya disuruh ngosek (membersihkan) kamar mandi bisa, disuruh membersihkan lantai bisa, suruh menata bedcover bisa. Apa pun bisa. Saya masak sendiri, bisa. Saya, kan, sehabis sunat hidup sendiri di Kasatrian. Yang wanita, kan, di Keputren. Berarti, kan, belajar mandiri. Jadi, saya sekolah-tidak sekolah pun belum tentu orangtua tahu. Di situ bagaimana saya harus mandiri.

Lantas, kontrol dari Ibunda bagaimana?

Saya kan dari kelas 6 SD sudah harus mandiri. Jadi, kecil itu, ya, begitu bangun tidur, bersihkan dulu, betulin dulu tempat tidur, baru boleh mandi. Jadi, begitu mandiri, ya, enggak ada masalah. Makanya bagi saya anak-anak memang pendidikannya luar negeri semua—wanita, ya— bukan karena bisa membiayai untuk pergi ke luar negeri untuk kebanggaan, enggak. Karena ternyata saudara-saudara saya yang wanita itu—kalau yang laki-laki, kan, akhirnya hidup sendiri, yang wanita bercampur orangtua—ternyata kemandiriannya kurang. Saya tidak mau anak-anak saya wanita ini seperti kakak-kakak saya yang kurang mandiri.

Saya melatihnya, “Kamu harus mandiri. Tidak hanya apa-apa minta sama pembantu.” Tapi karena sedikit-sedikit pembantu ya sudah, tidak ada pilihan begitu SMP kelas dua, SMA kelas tiga, pasti saya pindah ke Singapura supaya ada interaksi bahasa. Dari situ, lulus SMA baru, terserah mau ke mana. Sehingga di situ kan dia hidup sendiri. Masak sendiri. Tapi karena umur SMP sudah di luar, ya, punya konsekuensi. Begitu waktunya menikah, malah enggak mau. Pusing saya.”

Orang awam, kan, tahunya sini ada keraton, di sana ada NKRI yang menganut demokrasi. Bagaimana menyelaraskan dua sistem yang seperti ini?

Lho, sebetulnya enggak ada pemerintahan kesultanan. Pemerintahan kesultanan ya, di Kraton Yogya, di Kraton Solo di Kraton Cirebon. Di luar itu, ya, enggak ada. Kalau saya ini kebetulan karena pemerintah pusat itu menghargai hak asal-usulnya, dengan terbitnya UU No. 13 Tahun 2013 itu bahwa yang namanya Sultan menjadi gubernur, Pakualam menjadi wakil gubernur. Sudah, itu. Anak saya istri saya enggak ada hubungannya dengan Pemerintah Daerah. Nah, kecuali kalau di sini ada monarki konstitusional, ya, saudara saya, anak saya dapat gaji. Ini enggak kok. Jadi, enggak ada hubungannya. Ya, saya di sini ya, berfungsi sebagai gubernur.

Harapan Sultan untuk Indonesia pascapemilu 2014?

Kita harus berubah. Dalam arti begini: Dunia ini juga sudah berubah tantangannya. Untuk menghadapinya ya Indonesia harus berubah. Tahun 2015 sudah ada MEA, Masyarakat Ekonomi Asean), tahun 2020 sudah masyarakat dunia. Berubah ini jangan hanya tantangannya yang berubah tapi mindset kita, ya, berubah. Kita ini terlalu menggampangkan dalam sistem manajemen pemerintahan.

Tahun 2000 itu saya sudah menyelenggarakan reinventing government. Otomatis di dalamnya sudah ada reformasi birokrasi. Karena dalam reinventing government itu ditetapkan dulu tantangannya apa, sehingga kami harus mengubah mindset birokrat.

Pendidikannya delapan bulan. Sekarang, rata-rata kepala dinas saya ya yang angkatan pertama dari program reinventing government itu. Kalau pemerintah pusat itu pengertiannya reformasi birokrasi. Bukan mengubah mindset, tapi gajinya naik. Percuma. Gajinya naik tapi mindset tidak berubah, ya padha wae (sama saja).

Mungkin di republik ini yang punya cultural government ya, hanya Jogja. Yaitu, bagaimana pegawai negeri itu bangga dengan statusnya.

Penulis: Agus Budiman

 

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Up Close

Tak Berkiblat ke Untung Berlipat

W Hanjarwadi

Published

on

Foto: Riva Fazry

 

Sintesa Group tumbuh menjadi perusahaan terkemuka dengan ragam lini bisnis strategis yang tak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga pada keberlangsungan manusia dan lingkungan.

 

Tahun 1919 menjadi tahun penting bagi perjalanan panjang PT. Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group. Bermula dari perusahaan keluarga yang mengelola bisnis perkebunan karet bernama N.V Handelbouw en Cultuur Maatschappij yang dibangun oleh Oey Kim Tjiang, kini Sintesa Group telah berhasil menjadi perusahaan terkemuka yang memiliki empat pilar bisnis utama, yakni properti, energi, produk industri, dan produk konsumen.

Kesuksesan Sintesa Group itu tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Shinta Widjaja Kamdani yang tak lain adalah cucu Oey Kim Tjiang. Dengan kata lain, Shinta adalah generasi ketiga di perusahaan keluarga itu, setelah sebelumnya pada 1959 bisnis keluarga itu diturunkan kepada Johnny Widjaja, ayah Shinta

Tahun 1999, Shinta mendapatkan estafet kepemimpinan dari sang ayah. Namun, kepercayaan itu tidak diberikan begitu saja. Shinta bahkan harus memulai karier sebagai karyawan di perusahaan orangtuanya sendiri. Itu adalah cara sang ayah mendidik Shinta untuk pengusaha andal.

Saat diserahkan kepada Shinta, perusahaan-perusahaan yang dikembangkan sang ayah masih berjalan sendiri-sendiri, tanpa manajemen yang terpadu. Maka, pekerjaan rumah terbesar Shinta saat itu adalah melakukan restrukturisasi, mengonsolidasikan dalam satu holding company, yang kini dikenal dengan nama Sintesa Group.

Di bawah payung besar Sintesa Group itulah Shinta mulai mengelompokkan lini[1]lini usaha mereka yang ada. Kini, Sintesa Group memiliki 17 anak perusahaan yang setidaknya memperkerjakan lebih dari 4000 karyawan, baik outsourcing maupun karyawan tetap.

Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang energi adalah PT Meppo-Gen. Perusahaan ini berdiri tahun 2005 dengan fokus bisnis menyediakan pasokan listrik melalui pembangkit listrik berbahan dasar gas. Saat ini Meppo-Gen sebagai independent power producer mengoperasikan pembangkit listrik berkapasitas 110 MW di Gunung Megang, Muara Enim, Sumatera Selatan. Meppo-Gen menjadi perusahaan ramah lingkungan dengan konsisten mengadopsi Clean Development Mechanism (CDM) sebagai bagian dari sertifikasi pengurangan emisi gas buang yang dicanangkan oleh PBB.

Shinta mengaku, pembangunan usaha di bidang energi baru terbarukan memang penuh tantangan. Selain memakan biaya tinggi, sektor ini juga perlu sumber daya manusia dan teknologi yang mumpuni. Tak kalah penting adalah dukungan pemerintah dari sisi insentif dan kepastian regulasinya. Sejauh apa kiprah Shinta dalam mengembangkan Shintesa Group dan harapannya tentang sektor industri energi baru terbarukan?

Berikut ini petikannya

Sintesa Group kini sudah berusia 100 tahun atau satu abad dan terus berkembang. Bisa diceritakan seperti apa profil Sintesa Group dari sejak berdiri hingga kini?

Awalnya Sintesa Group dimulai oleh kakek saya (Oey Kim Tjiang). Pada 1919, beliau mendirikan perkebunan karet di Kota Tigaraksa (Tangerang). Makanya nama perusahaan waktu masih nama Belanda, NV Handelsbouw en Cultuur Maatschaapij. Kemudian, dikenal dengan nama Tigaraksa karena berada di Kota Tigaraksa.

Kakek saya mulai perkebunan karet pada 1919. Kemudian, tahun 1959.ayah saya masuk ke business trading, membawa produk-produk dari luar negeri masuk ke Indonesia. Nah, itu menjadi cikal bakal. PT Tigaraksa adalah cikal bakalnya Sintesa.

Jadi Tigaraksa itu awalnya perusahaan, kemudian masuk ke trading. Kami kerja sama dengan banyak sekali perusahaan asing, kami bawa produk ke Indonesia. Waktu itu juga ada perusahaan multinasional seperti Johnson & Johnson, Time-Warner, Wyeth-Ayerst Sterling, BASF of Germany, dan lain-lain. Waktu itu mereka belum bisa masuk langsung sendiri ke Indonesia, jadi membawa partner dari Indonesia.

Kemudian, dengan berjalannya waktu, bisnis pun berkembang. Kami dalam proses perkembangan perusahaan, mulai diversifikasi. Jadi, keluar dari bisnis trading, kemudian masuk ke dalam bisnis properti, masuk ke industri, mulai berkembang.

Saya mulai memimpin Sintesa itu di tahun 1999. Ini menarik karena kurun waktu (setiap fase perkembangan perusahaan) itu 40 tahun. Sebenarnya masing-masing waktu tahun itu enggak direncanakan sebelumnya. Kebetulan saja waktunya itu pas genap 40 tahun.

Saya sebenarnya sudah masuk di perusahaan ini dari saya masih kecil. Karena walaupun saya masih sekolah waktu itu, sudah suruh bantu kerja di perusahaan keluarga. Kemudian, saya juga kerja untuk perusahaan lain. Namun, waktu saya kembali ke Indonesia, lulus sekolah saya langsung berkecimpung (di perusahaan keluarga) dan mulai dari anak[1]anak perusahaan.

Jadi, di dalam 40 tahun berikutnya, di 1999 itu kemudian saya melihat bagaimana caranya kami bisa mengonsolidasikan anak-anak perusahaan yang ada. Makanya kami setup holding company, Sintesa investmen holding company namanya Sintesa Group.

Kemudian kami mulailah memperkuat struktur organisasi. Kami mulai dengan good governance yang lebih kuat. Setelah saya bekerja begitu lama di perusahaan keluarga—10 tahun—saya juga melihat banyak spirit enterpreuner, kewirausahaan. Waktu itu banyak perdebatan untuk bagaimana ke depannya perusahaan yang lain-lain kelompok ini. Di situlah kita mulai merencanakan transformasi bisnis dari bisnis keluarga kepada bisnis yang lebih professional management.

Di situ kami mulai merestrukturisasi organisasi kami bawa dengan visi misi, dengan culture dan dasar sistem KPI (Key Performance Indicator) dan lain-lain yang sebelumnya mungkin belum pernah ada. Kami bentuk juga organisasi di holding kami, ada executive committee dan lain[1]lain. Jadi, memang kepemimpinannya juga berubah. Ini yang menjadi awal kami bagaimana mentransformasi dari sebuah perusahaan keluarga menjadi manajemen yang lebih professional.

Saat ini Sintesa Group memiliki empat pilar bisnis. Ada consumer product, industry product, property dan clean energy. Nah di sini kami juga kemudian memfokuskan bahwa secara kelompok usaha kami tidak mau hanya memikirkan dari segi profit, tapi juga people and planet. Makanya kami selalu dasarnya Sintesa Group itu visinya sustainable excelent company. Itulah fase terakhir yang akan terus kami kembangkan untuk bagaimana Sintesa bisa menjadi sustainable excelent company.

Dari keempat pilar usaha itu sampai saat ini ada berapa anak perusahaan dan berapa karyawannya?

Saat ini total ada 17 perusahaan. Kami ada lebih dari 2.700 karyawan. Selain itu ada juga yang kontrak outsourcing. Yang karyawan (tetap) itu 2.700-anlah, tapi kalau total semuanya ada 4000-an mungkin.

Tadi Anda bilang mulai memimpin Sintesa di tahun 1999. Artinya, saat itu Indonesia tengah berada di tahun-tahun krisis moneter dan ekonomi. Bagaimana kondisi Sintesa saat itu?

Kebetulan perusahaan kami cukup konservatif. Kalau perusahaannya agresif tentu saja kondisi finansial itu krisis, dengan devaluasi rupiah yang saat itu begitu tinggi, ya pasti kenalah. Semua pasti terdampak. Namun, karena kami dari levelnya tidak begitu tinggi jadi enggak terlalu terpengaruh seperti banyak perusahaan besar lainnya. Jadi, terdampak, iya, dan kami harus mencari model yang terbaik untuk bisa keluar dari krisis, tentu saja yang terpenting adalah manajemen cashflow, dan itu yang kami utamakan.

Ada aset-aset juga yang terdampak, tapi pasti pentingnya saya rasa kita semua belajar bahwa krisis pada waktu itu membuat kita mulai berpikir, kita mau bawa ke mana perusahaan ini? Bagaimana perusahaan bisa terus resiliensi? Karena kadang-kadang kita operating business as ussual, tapi kita lupa bahwa ada hal[1]hal kunci. Bisa saja krisis itu terjadi kapan saja dan bisa ada monetary tightening, inflasi, dan lain-lain yang kita enggak biasa kontrol. Jadi, ini yang kemudian kita lebih membangun resiliensi perusahaan. Di sinilah kami benar-benar melihat bahwa planning—saat kita merencanakan itu harus ada kisi-kisi kita memastikan bahwa perusahaan itu harus balance, baik dari segi portofolio maupun dari segi cash flow.

Kalau kita liat memang banyak perusahaan sangat agresif, apalagi kalau generasi ketiga biasanya lebih agresif. Ya kebetulan saya di sini saya belajar bahwa saya rasa kita harus mengimbangi. Di sinilah kami memastikan bahwa Sintesa Group itu tumbuh tidak harus berkali[1]kali lipat, tapi harus stabil. Dengan kata lain, kami mesti long-lasting, mesti berkelanjutan. Oleh karenanya kami harus bangun resiliensi, dan mesti menjaga, make sure bahwa kami menyeimbangkan portofolio kami untuk ada yang short term dan long term. Ya, semoga kita bisa terus langgeng.

Untuk unit usaha sektor energi bersih apa saja produk yang dibuat oleh Sintesa?

Sebenarnya kami mulai—ini kan awalnya bukan bidang usaha kami. Pada waktu itu memang kami lihat peluang di bisnis kelistrikan itu tinggi, dan kami mulai belajar untuk masuk ke dalam infrastruktur juga. Nah, kami ada peluang waktu itu mengambil alih gas power plant partgas. Waktu itu Meppo-Gen kami mulai di Sumatera Selatan, Muara Enim. Nah dari situ kita mulai melihat—kebetulan saya, kan, championing renewable energi, dan lain-lain—apa sih opportunity yang ada? Kami mulai masuk ke geothermal energy kemudian kami lihat solar, dan lain-lain.

Dari yang Anda alami, apa saja kendala menjalankan usaha di bidang energi baru terbarukan ini?

Pertama, kita biasanya masih fossil fuel karena murah, gitu kan? Jadi, dari segi pricing competitiveness-nya bagaimana? Apalagi fossil fuel kita disubsidi. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dari segi harga? Kedua, kalau kita lihat (dari sisi) teknologi, memang teknologi ini sekarang, kan, sudah banyak sekali. Nah, Indonesia ini harus bisa terus menyerap teknologi yang kompetitif. Jadi, inovasi yang keluar ini harus bisa diimbangi dengan kapasitas yang kita ada juga di Indonesia. Jadi, kalau kita mau membawa teknologi masuk, bagaimana kita bisa mengadopsi dengan teknologi yang ada.

Saya juga melihat bahwa jelas regulasi sangat berperan. Selama regulasinya, kebijakannya belum kondusif, ya enggak mungkinlah. Kita mau apa juga susah. Kita mau usung jargon transisi energi juga susah—sekarang, kan, masih di DPR.

Mungkin terakhir yang menjadi kendala adalah people. Jadi, people ini kita melihat bahwa job yang berhubungan dengan teknologi baru ini harus dipikirkan. Transisinya tidak hanya dari segi transisi energi biasa, tapi transisi energi yang berkeadilan yang mempertimbangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat terdampak di setiap tingkatan perjalanan transisi energi. Sebab, akan banyak sekali berdampak pada pekerjaan.

Dan financing, saya rasa cost funding financing itu juga menjadi kunci. Availablity mungkin banyak untuk climate financing, tapi cost-nya seperti apa, itu harus dipikirkan. Dibutuhkan juga insentif dari pemerintah. Kalau kita lihat sekarang, tentu saja kita tahu di negara maju banyak juga kendala dari segi scarcity gas, dan lain-lain. Balik lagi, oh coal kita malah diminati, mau dibeli negara lain. Nah, itu kan hal-hal yang memang sangat sulit. Pada satu sisi kita mau masuk ke dalam energi bersih, mau masuk ke dalam net zero, tapi pada sisi yang lain kita juga harus melihat economic equality yang ada di Indonesia. Sebab, ekonominya, kan, tetap harus tumbuh. Jadi, ini semua harus jadi perhitungan.

Dengan kondisi dan kendala yang ada tadi, apa kemudian yang menjadi fokus dan target Sintesa Group ke depan, terutama jika dikaitkan dengan rencana pemerintah untuk fokus pada pengembangan energi bersih?

Kami komitmen untuk terus mendorong(energi bersih). Kita ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dan Sintesa sudah komit sebagai sustainable excelent company untuk pengadopsi poin[1]poin di dalam SDGs untuk diintegrasikan ke dalam model bisnis Sintesa. Dan itu termasuk dalam invesment side-nya. Nah, kami memiliki investment matrix yang masuk ke dalam impact investing dan itu hubungannya juga dengan green investment. Jadi, kami sudah komit dan ini yang mau kami masuki. Oleh karenanya, kami jelas di dalam energi bersih, baru dan terbarukan. Jadi, jelas kami akan berminat, yang pasti peluang ada tapi kita juga harus jelas dan prudent juga. Maksudnya, ya kami mau, tapi do we have the capacity? Pada akhirnya, kan, modeling-nya juga harus jalan.

Jadi, kalau ngikutin apa yang sekarang kami planning, ini masuk dalam portofolio kami. Namun, seberapa cepat ini bisa jalan, ini tergantung kendala di lapangan. Geotermal saja banyak lingkungan komunitas (masyarakat) enggak tahu kalau itu energi bersih—malah disangka mau jadi kayak Lapindo, dan lain-lain. Itu berarti sosialisasi dan edukasinya perlu berjalan. Jadi, it will take time dan kita harus sabar. Kadang kita sudah mau ini, mau itu, tapi pada dasarnya bagaimana keadaannya? Apakah ini memungkinkan? Jadi, kami perlu waktu, tapi jelas itu salah satu yang akan menjadi concern kami ke depan, rencana kami untuk mau terus berinvestasi di area ini

Apa saran Anda untuk pemerintah agar sektor energi baru terbarukan ini benar[1]benar bisa terealisasi, mampu menarik minat investor dan sebagainya?

Ada dua hal. Pertama, pajak sudah pasti, kan, fiskalnya. Namun, kita juga punya yang namanya energy transition mechanism, ada platform juga yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Keuangan, jadi itu sudah jelas, clear, insentif-insentif yang bisa didapatkan. Kedua, juga financing. Kalau kita lihat memang—tadi saya katakan cost of funding. Jadi, interest rate, apakah pada green investment ini kita bisa mendapatkan interest rate yang lebih kompetitif dibandingkan dengan proyek-proyek biasa? Jadi, untuk green investment ini, termasuk energi baru terbarukan, kalau investasi di situ apakah perbankan bisa memberikan kita dengan bunga yang lebih murah, misalnya kayak gitu. Ini yang mungkin dasar-dasar insentif yang perlu ada.

Yang tak kalah penting juga, tadi, support dari pemerintah, misalnya, sosialisasi. Kami ini, kan mengembangkan proyek geotermal. Itu harus ada dukungan pemerintah untuk lingkungan, untuk lain-lain, supaya komunitas itu enggak sembarang, mereka akan against investasi di proyek-proyek semacam ini kan? Nah ini perlu dukungan dari pemerintah juga. Jadi, insentif tidak hanya sekadar nilai insentif pajak atau apa, tapi juga yang nonfiskal juga sangat penting.

Anda sudah lama di Apindo, sekitar 20 tahun. Bagaimana Anda melihat iklim berusaha di Indonesia saat ini dan ke depan di tengah situasi global yang ada sekarang?

Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang ada, cukup bersyukur. Dibandingkan dengan situasi global saat ini, ekonomi kita masih salah satu yang paling baik. Cuma permasalahan utama buat Indonesia saat ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan. Sebab, kalau kita lihat dari investasi yang masuk, ini sudah mengarah ke target padat modal. Setiap Rp 1 triliun investasi di tahun 2013, itu menyerap 4000-an tenaga kerja. Namun, di tahun 2023 sekarang itu turun hampir seperempat—hanya 1000-an tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi. Ini kita mesti berhati-hati karena Indonesia punya bonus demografi. Jangan sampai tenaga kerja yang masuk itu tidak bisa diterima oleh industri. Jadi, ini harus menjadi perhatian kita bagaimana bisa menciptakan cukup lapangan pekerjaan dengan tren investasi yang masuk lebih kepada padat modal.

Kemudian, kita juga lihat dari adopsi teknologi. Itu, kan, juga sangat memengaruhi otomatisasi, dengan digitalisasi, kita enggak perlu orang sebanyak itu. Banyak perusahaan yang sudah streamlining, bisa otomatisasi. Itu pasti akan memengaruhi juga. Jenis pekerjaan yang dibutuhkan saat ini juga agak beda. Kita sudah masuk ke high skills, sementara Indonesia masih low skills. Ini hal-hal yang harus jadi perhatian kita.

Kita juga harus lihat positioning Indonesia sebagai negara tujuan investasi, dari segi pengupahan, cost of doing business dan lain-lain. Kita bisa berdaya saing atau enggak? Ini hal-hal yang harus jadi perhatian. Jadi, menurut saya Indonesia is on the right tract, pertumbuhan ekonomi baik,

perkembangan secara macro prudential kita positif, tapi ini ada pekerjaan rumah yang menjadi momok. Ini bisa menjadi kendala kalau enggak kita perhatikan

Kalau kita mau mencapai Indonesia emas 2045, mau jadi nomor 4 negara terbesar di dunia, ya ini pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Apakah kita bisa lebih mengembangkan UMKM yang lebih mapan untuk meningkatkan kewirausahaan mereka? Sebab, kalau kita enggak bisa menciptakan lapangan kerja berarti kita harus menciptakan pekerjaan itu sendiri melalui para wirausaha ini.

Nah, pendidikan juga menjadi faktor penting karena link and match-nya, apa yang keluar dari pendidikan harus masuk bisa diserap oleh industri. Jadi, ini juga dengan adanya perubahan cara kerja, pekerjaan masa depan harus jadi perhatian buat Indonesia. Dunia pendidikan juga harus melihat bagaimana karakter industri. Kita banyak masuk vokasi, tapi skill-nya enggak cukup banyak.

Continue Reading

Up Close

Memimpin Itu Meng-‘Handayani’

W Hanjarwadi

Published

on

Shinta Kamdani CEO Sintesa Group
Foto: Riva Fazry

Baginya, memimpin bukanlah sekadar memberi perintah. Memimpin juga berarti mengakomodasi kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.

 

“Wah, Majalah Pajak, ya? Kebanyakan orang yang diwawancara Majalah Pajak pasti ketakutan. Mereka menyangka mau dikejar pajak,” seloroh Shinta Widjaja Kamdani saat menyambut kami di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Menara Duta, Jalan H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat sore (5/5/23). Mendengar kelakar itu kami pun tertawa.

Kami mafhum. Mengenakan blus hijau cerah berpadu celana panjang warna lemon, Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group itu tampak anggun dan energik. Wajahnya tak mencerminkan kelelahan sedikit pun, meski sudah seharian berkutat dengan pekerjaan, dari rapat ke rapat yang sudah tentu menyita waktu dan pikirannya. Maklum, ia adalah pemilik sekaligus pemegang tampuk pimpinan tertinggi PT Widjajatunggal Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan nama Sintesa Group.

Sintesa Group, perusahaan investasi strategis terkemuka yang mengelola beragam portofolio bisnis di seluruh Indonesia ini bisa dibilang salah satu perusahaan tertua di negeri ini. Pada usianya yang kini genap mencapai satu abad, Sintesa Group telah menjadi rumah bagi 17 perusahaan di bawahnya dan menaungi setidaknya 2.700 orang karyawan.

Kepiawaian Sinta Kamdani mengelola bisnis tak perlu diragukan lagi. Ia pernah mendapatkan pengakuan dunia atas banyak perannya dalam komunitas bisnis karena semangat dan karyanya yang luar biasa dalam isu-isu keberlanjutan dan pemberdayaan perempuan. Berkat upayanya itu, Shinta Kamdani dinobatkan sebagai 20 Most Powerful Women 2022 oleh Fortune Indonesia. Ia juga mendapat penghormatan dari Forbes sebagai The Asia Corporate Excellence & Sustainability (ACES) Woman Entrepreneur of The Year pada 2019, Asia’s 50 Powerful Businesswomen pada 2012, 2013, dan 2016; 30 CEO Terbaik 2015 versi Business Indonesia Award; dan masih banyak lagi pengakuan yang melekat pada diri perempuan yang lahir di Jakarta pada tahun 1967 itu. Misalnya, ia dipilih oleh PBB sebagai salah satu dari 30 pemimpin perusahaan global untuk bergabung dengan Global Investors for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih for Sustainable Development (GISD Alliance). Ia juga terpilih untuk menjabat sebagai Ketua B20 Indonesia selama Presidensi Indonesia pada KTT G20 2022 lalu.

Baca Juga: Data Adalah Senjata Melawan Masalah

Sejak lama Shinta memang memegang keyakinan bahwa hidupnya harus selalu berdampak untuk kepentingan orang lain. Tak heran, ia juga pernah menerima penghargaan sebagai Komandan Bintang Kutub oleh Raja Carl XVI Gustaf dari Swedia dan Komandan Ordo Leopold dari Belgia atas keterlibatannya dalam meningkatkan hubungan ekonomi.

Tiga prinsip

Shinta adalah anak tertua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan pengusaha Indonesia Johnny Widjaja dan Martina Widjaja. Dari sang ayah ia banyak belajar ilmu bisnis, sementara dari sang ibu, ia belajar tentang ilmu sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.

“Saya datang dari latar belakang keluarga yang menekuni bidang bisnis. Kebetulan ayah saya sangat dominan bisnis. Namun, ibu saya ke sosial. Jadi, selain berbisnis, saya juga diajarkan untuk kerja sosial, harus dekat dengan komunitas, lingkungan dan lain[1]lain,” kata Shinta.

Shinta mengaku, sejak kecil sudah terbiasa dibawa ke kantor oleh sang ayah. Pada usia 13 tahun, ia bahkan sudah mulai ikut bekerja. Pada saat liburan sekolah, ia pun memanfaatkan waktunya untuk bekerja. Kebiasaan itu juga ia lakukan saat tengah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.

“Waktu saya di luar negeri, sambil sekolah saya juga sambil bekerja. Jadi, saya selalu tahu bahwa pada akhirnya saya akan bekerja dan melanjutkan usaha keluarga—kebetulan saya juga dari keluarga yang enggak punya anak laki-laki. Jadi, ya sudah, dengan sendirinya, anak perempuan harus jalanin usaha,” tutur lulusan Barnard College of Columbia University, New York pada tahun 1989; dan Harvard Business School Executive Education, Amerika Serikat pada 2002 itu. “Saya beruntung sekali mendapatkan banyak kesempatan, pengalaman, juga hidup berkecukupan, saya rasa bekerja itu adalah bagian dari hidup saya.”

Meski berlatar belakang dari keluarga mapan yang memiliki perusahaan, Shinta mengaku tetap meniti kariernya dari bawah sebagai karyawan. Ia tidak serta merta langsung menduduki jabatan strategis di perusahaan orangtuanya. Ayahnya ingin mendidiknya bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ia harus memperjuangkannya.

“Orangtua saya itu saklek, bahwa kita harus mulai dari bawah. Hidup itu tidak hanya begitu saja diberikan tetapi kita harus fight for it,” tutur Shinta.

Dalam menjalani hidupnya, Shinta memiliki tiga prinsip, yaitu purpose (tujuan), perseverance (ketekunan), dan passion (kecintaan terhadap bidang yang ditekuni).

Dalam konteks bisnis, purpose itu ia wujudkan dengan membangun bisnis yang berkelanjutan. Tidak semata[1]mata berorientasi pada profit, tapi juga membangun bisnis yang berdampak positif bagi lingkungan dan komunitas.

Sementara itu, kecintaan terhadap bidang yang ditekuni menurut Shinta akan menjadi motivator penting terutama ketika dihadapkan banyak tantangan, bahkan kegagalan. Bekerja dengan penuh passion, menurut Shinta juga dapat menghadirkan banyak ide baru serta pembelajaran dan kegigihan mencapai tujuan.

Adapun ketekunan, menurut Shinta adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan bisnis. Hanya mereka yang tekun melakukan eksperimen dan mau belajar dari kegagalan-kegagalan yang dihadapilah yang akan mencapai tujuannya. “Semua itu perlu kerja keras. Kita enggak pernah tahu, apa yang kita miliki sekarang, kapan saja itu bisa diambil dari kita,” ujar pendiri Koalisi Bisnis Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan (IBCWE) dan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) itu.

Baca Juga: Komunikasi dan Konsistensi Menjadi Kunci

Nilai 4E

Dalam menjalani usaha, Shinta juga selalu menekankan pentingnya memiliki sikap kemandirian dan selalu membumi. Hal itu juga yang sejak ia kecil selalu ditanamkan oleh kedua orangtuanya,

“Kita harus tahu dan sadar diri. Kaki kita harus ada di bumi. Karena kadang-kadang kita lupa. Kalau hidup terlalu enak, terlalu gampang, kita melayang-layang,” kata Shinta.

Hal lain tak kalah penting menurut Shinta adalah memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekitar. Nilai-nilai hidup yang ia dapatkan dari orangtua dan pengalamannya itu kemudian ia refleksikan menjadi corprate value di Sintesa Group yang ia sebut dengan 4E— empathy (kepedulian), empowerment (memberdayakan), excellent (memberikan yang terbaik) dan entrepreneurship (menumbuhkan jiwa kewirausahaan terhadap karyawan). Semua nilai itu kemudian ia proyeksikan sebagai visi bisnis untuk menjadikan perusahaan sebagai sustainable excellence company.

Dalam memimpin perusahaan, Shinta juga menerapkan prinsip kepemimpinan yang melayani. Artinya, pemimpin bukan hanya bertindak sebagai bos yang otoriter dalam memberikan perintah, tetapi juga melayani kepentingan orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.

“Konsep leadership saya, servant leadership. Jadi, sistem kepemimpinannya agak beda—demokrasinya lebih jalan. Jadi, decision making-nya juga enggak hanya di saya,” ujar Shinta.

Kini, Shinta telah dikaruniai empat orang anak dari pernikahannya dengan Irwan Kamdani. Selain memimpin perusahaan, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi bisnis dan sosial.

Ia tercatat sebagai Wakil Ketua Koordinator III Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Koordinator Regional untuk Asia-Pasifik dan Anggota Dewan Eksekutif Kamar Dagang Internasional (ICC), Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD). Ia akan terus berkiprah turut membangun negeri melalui caranya sendiri, yakni membangun bisnis yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi lingkungan dan sosial.

Continue Reading

Up Close

Data Adalah Senjata Melawan Masalah

Novita Hifni

Published

on

Foto: Riva Fazry

 

Majalahpajak.net – Terbitnya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal di daerah agar tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyambut baik UU ini sebagai suatu terobosan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggairahkan berbagai sektor usaha.

Dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak di ruang kerjanya, Gedung Balai Kota Bogor, Kamis (22/09), ia menyampaikan berbagai hal positif dari konsep UU HKPD meski di fase awal penerapannya akan mengurangi Pendapatan Asli Daerah. Politikus Partai Amanat Nasional yang memasuki periode kedua kepemimpinan di Kota Hujan ini memaparkan berbagai strategi kebijakan berbasis data dan inovasi layanan digital Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor selama pandemi Covid-19 sehingga Kota Bogor mampu pulih lebih cepat. Ia juga bicara tentang program penguatan sektor UMKM, peluang ekonomi dari Forum Presidensi G20, dan manfaat keberadaan Presiden RI yang saat ini menetap di Istana Bogor.

Berikut ini petikan wawancaranya.

Bagaimana evaluasi Anda tentang dampak pandemi terhadap perekonomian dan tingkat kesejahteraan di Kota Bogor? Sektor-sektor mana saja yang paling terdampak dan bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menyokong kegiatan bisnis agar tetap bertahan?

Kami melakukan dua kali survei di tahun 2020 dengan Nanyang Technology University Singapura dan 2021 dengan Institut Pertanian Bogor. Keduanya menghasilkan temuan sama terkait angka-angka dampak pandemi untuk kemudian mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang terpukul dan seberapa besar dampaknya. Data hasil survei menunjukkan bahwa 70 persen lebih warga Kota Bogor terdampak pandemi dan mengalami penurunan penghasilan. Hampir 40 persen warga kehilangan pekerjaannya. Sektor-sektor yang terpuruk adalah perdagangan dan jasa. Restoran, kafe, mal, toko-toko sangat terpukul waktu pandemi.

Tapi di 2021, kami menemukan hal yang membangkitkan optimisme yaitu ada bidang-bidang yang justru berkembang di masa pandemi, seperti urban farming, on-line shop, termasuk juga industri makanan sehat, alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan lainnya. Data dari dua survei ini menjadi acuan bagi kami untuk merumuskan strategi.

Kami berkolaborasi dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan berbagai pihak untuk fokus pada peluang yang tercipta. Pada 2020 kami menjalankan Program Bogor Berkebun yang membidik urban farming.

Ketika pandemi sedang berat, kemudian ada orang beralih kegiatannya ke taman, mengelola tanaman di pekarangan yang terbatas. Maka kami membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menciptakan apps (aplikasi) Bogor Berkebun. Jadi warga bisa masuk dan daftar ke apps, nanti dikirimi pupuk, benih, dan lainnya. Kemarin saya mempresentasikan aplikasi itu dalam rangkaian acara G20 di Bandung dan mendapat apresiasi dari salah satu lembaga pangan di Eropa karena mereka mengikuti juga pergerakan dari Bogor Berkebun. Perputaran uangnya lumayan dan kami dibantu juga oleh Bank Indonesia. Jadi, ini memberikan banyak multiplier effect berupa sufficient di daerah tertentu, menurunkan inflasi dan menguatkan kebersamaan. Sekarang muncul tren di kalangan mahasiswa untuk menekuni urban farming.

Kami juga melakukan pendampingan, coaching, terhadap UMKM yang prospektif. Ada hasil kajian yang mencatat bahwa komoditas yang mengalami booming seperti dekorasi rumah-tangga. Ini menjawab fakta kenapa IKEA dan sejumlah perusahaan furnitur mengalami booming. Di masa pandemi, orang berkegiatan di rumah saja. Akhirnya, kami adakan pelatihan bagi warga yang terdampak untuk diarahkan ke sana.

Yang ketiga adalah wisata tematik. Kami menghidupkan kawasan wisata tematik di beberapa titik seperti Bogor Selatan, Kampung Percak, dan Tajur Sindangsari. Itu semua merupakan hasil analisis karena saya selalu percaya bahwa menghadapi perang harus dengan data. Maka Covid-19 itu juga adalah tentang mengolah dan menganalisis semua data yang kemudian dikumpulkan untuk merumuskan kebijakan.

Seperti apa program dan kegiatan Pemkot Bogor dalam mendorong pengembangan sektor UMKM agar lebih berdaya saing?

Kami bekerja sama dengan HIPMI dan Dinas UMKM untuk memfasilitasi warga terdampak pandemi untuk dilatih. Misalnya ada kerajinan kulit, bambu, bahkan ada yang mengerjakan peti mati. Jadi, melihat demand yang ada saat itu, maka kami beri pelatihan di sektor yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk aplikasi, kami meluncurkan Program Bogor Hits yang targetnya ke anak-anak muda. Ada berbagai bidang usaha seperti kuliner dan kriya yang hasil karyanya kami kurasi untuk dimasukkan ke platform Bogor Hits. Ini adalah platform khas Bogor yang terintegrasi mulai dari kurasi, coaching, juga membantu penetrasi pasar. Dari kolaborasi di program ini kami banyak menemukan keajaiban bahwa sebetulnya tidak perlu dana dari APBD.

Kami bisa kerja sama dengan para pelaku fintech, Shopee, Tokopedia yang punya konsep dan anggaran untuk melakukan pembinaan. Mereka juga senang kalau mitra-mitra UMKM bisa masuk ke pasar.

Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di Kota Bogor saat ini? Apa saja tantangannya?

Data survei mengungkapkan dampak pandemi telah mengakibatkan sebanyak 70 persen warga Kota Bogor mengalami penurunan penghasilan, bahkan ada yang sampai nol. Sebanyak 42 persen karyawan mengangggur dan terkena PHK. Lalu 57 persen warga terpaksa menggunakan tabungan untuk bertahan hidup, sementara 30 persen responden mencairkan investasi untuk bertahan hidup. Angka pengangguran meningkat jadi 12,68 persen. Tenaga harian lepas termasuk yang sangat terdampak. Maka jika di awal pandemi kami menerapkan pembatasan yang ketat, tapi perlahan kami longgarkan. Setelah saya turun langsung, ini ibarat kita menembak nyamuk pakai meriam. Jadi tidak seimbang. Begitu kegiatan ditutup total, dampaknya sangat dahsyat. Terutama buruh berpenghasilan harian itu yang tidak bisa makan.

Waktu itu kami sempat meluncurkan Program Jaringan Keluarga Asuh Kota yang mendapat apresiasi dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini karena di tengah keterbatasan APBD untuk bantuan sosial (bansos) kami merumuskan satu sistem untuk warga bisa saling membantu melalui crowd funding. Jadi, warga yang tidak dapat bansos didata, diverifikasi, lalu dimasukkan di aplikasi. Kalau ada warga yang punya dana Rp 500 ribu–Rp 1 juta mau membantu, dia bisa cari tempat kediaman warga terdampak pandemi lewat aplikasi dan langsung transfer Rp 1 juta untuk dua bulan atau Rp 500 ribu untuk satu bulan. Program ini untuk mengatasi keterbatasan anggaran daerah dan membidik buruh harian lepas. Selama setahun kami fight menjalankan program itu.

Alhamdulillah, Bogor termasuk kota yang recover cepat karena berbagai langkah yang kami lakukan adalah berbasis data. Angka kemiskinan sempat anjlok di minus 0,41, tapi masih di atas Jawa Barat yang ketika pandemi mencapai minus 2,52. Sementara angka kemiskinan secara nasional minus 2,07. Tahun 2021 kami sudah recover di angka 3,76 di atas Jawa Barat dan nasional. Cepatnya pemulihan itu karena tulang punggung ekonomi ada di sektor UMKM, urban farming, wisata alam, dan program bansos.

Adakah program khusus untuk menyiapkan generasi Z (kelahiran 19962009) Kota Bogor agar mereka mampu memanfaatkan teknologi digital untuk kepentingan mereka dan kemajuan kotanya?

Kami mempunyai Program Taruna Digital yang berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memberikan pelatihan digital marketing. Lalu kami juga membentuk Komunitas Pemuda Kreatif (Reka Bogor). Kami bangunkan tempat untuk komunitas-komunitas agar bisa diskusi, saling berbagi mengasah kreativitas melalui Bogor Creative Center dalam upaya pemulihan ekonomi. Untuk mereka yang suka platform digital bisa memanfaatkan Bogor Hits.

Sektor-sektor ekonomi apa saja yang menjadi unggulan dan berkontribusi besar bagi Kota Bogor, bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam menjaga kesinambungan pertumbuhan sektor-sektor unggulan tersebut?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021 ada lima sektor ekonomi utama di Kota Bogor yaitu sektor industri pengolahan, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, transportasi dan pergudangan. Sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha Kota Bogor. Share terbesar terhadap PDRB menurut lapangan usaha terutama dari sektor perdagangan dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dengan nilai 19,52 persen. Maka kami mengidentifikasi, melakukan pendampingan dan saya minta juga supaya targetnya betul-betul selektif.

Selama ini kegiatan pelatihan kerap kali jatuhnya hanya pada lingkungan saudara dan kerabat. Sementara pelatihnya juga tidak terlalu memberikan motivasi dan hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Maka kami ubah paradigmanya agar betul-betul menyasar pada orang-orang yang potensial untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, bukan hanya orang-orang yang membutuhkan kegiatan untuk menambah penghasilan melalui pelatihan.

Desain APBD juga kami buat seperti itu. Kalau selama ini, misalnya anggaran di Kemenaker atau Dinas UMKM sebesar Rp 500 juta untuk dibelikan peralatan menjahit, saya ubah konsepnya, karena program pelatihan bukan memberikan lapangan pekerjaan tapi menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi, efeknya lebih masif.

Pemkot Bogor dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menjalin kolaborasi dalam program unggulan pengembangan desa wisata di Kecamatan Bogor Selatan pada Maret 2021. Bagaimana perkembangan pelaksanaannya sejauh ini?

Kelurahan Mulyaharja di Kecamatan Bogor Selatan berdasarkan data merupakan salah satu kawasan yang termasuk paling miskin di Kota Bogor. Alamnya indah, tapi karena kepemilikan terhadap lahannya sudah berubah maka banyak warganya menjadi buruh lepas dan kuli bangunan. Mereka tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Begitu muncul pandemi, dampaknya dahsyat sekali karena tidak ada lagi pekerjaan. Tapi semenjak kami intervensi dengan anggaran dana hibah dari APBD kurang dari Rp 3 miliar, kami bentuk kelompok masyarakat dan menggandeng berbagai pihak untuk memberikan pelatihan termasuk dari Kemenparekraf. Dampaknya luar biasa. Total wisatawan yang berkunjung ke kawasan agro edu wisata organik Ciharashas Mulyaharja sampai Juli 2022 sebanyak 76 ribu pengunjung. Pemasukan dari tiket masuk dalam seminggu bisa mencapai Rp 20 juta. Berbagai sektor usaha kini berkembang di kawasan wisata itu mulai dari kuliner, kerajinan, juga ada pelatihan bidang usaha on-farm dan off-farm seperti padi organik, peternakan, dan perikanan.

Konsepnya adalah wisata edukasi untuk belajar dan melihat pertanian organik sembari ngopi, makan, atau trekking. Kemarin kami juga baru menggandeng suatu perusahaan yang bergerak di bidang travel untuk melatih dan mengidentifikasi potensi hidden gems dari mutiara tersembunyi yang bisa dijual. Kami latih anak-anak muda di kelurahan itu untuk bisa menjadi tenaga marketing.

Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 membuka banyak peluang pasar dan potensi ekonomi. Bagaimana upaya Pemkot Bogor dalam memetik manfaat dari forum global tersebut?

Spirit dan tema besar G20 kami tangkap dalam hal kolaborasi dan inovasi di kalangan generasi muda melalui beberapa kegiatan seperti Youth20. Kegiatan untuk anak-anak muda kreatif itu diselenggarakan di Alun-alun Kota Bogor yang berkolaborasi dengan pemerintah provinsi. Lalu ada Mayors Retreat yang dihadiri para wali kota dari negara-negara G20. Kami membawa mereka untuk melihat potensi ekonomi kreatif di Bogor dan juga ke Kebun Raya. Ini dampaknya bisa membukakan jaringan dan potensi kerja sama di bidang tanaman dan ekonomi kreatif . Kami juga mendapatkan keuntungan dari okupansi hotel, kunjungan wisata, dan lainnya. Jadi ada keuntungan jangka pendek dan panjang.

Digitalisasi saat ini menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Seperti apa program Pemkot Bogor dalam mendukung transformasi digital?

Satu hal yang menjadi masterpiece dan layanan digital andalan di Kota Bogor adalah Mal Pelayanan Publik. Kami belajar dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur di tahun 2018. Tapi hari ini Mal Pelayanan Publik yang kami bangun menjadi rujukan nasional karena sudah seperti di luar negeri. Masyarakat bisa daftar pakai apps sehingga tidak perlu antre ketika mengurus berbagai keperluan, mulai dari paspor, perpanjangan Kartu Tanda Penduduk, juga akad nikah.

Untuk public compliance, kami melakukan inovasi melalui sistem yang memungkinkan warga menyampaikan aduan terhadap berbagai problem di Kota Bogor yaitu Sistem Berbagi Aduan dan Saran (Simbada). Aduan yang disampaikan seperti jalan bolong, tempat sampah penuh akan langsung masuk ke instansi terkait. Sistem ini membuat dinas-dinas pemkot terus bergerak merespons aduan warga. Adapun secara umum berdasarkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), tahun 2021 Kota Bogor berpredikat baik.

Kami melakukan inovasi e-SPPT sebagai solusi untuk mengurangi keborosan tiap tahun ketika mencetak tagihan pajak. Sistem ini menghemat banyak uang negara karena tidak perlu mencetak lagi dan langsung sampai. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan meningkat signifikan khususnya di Semester 1 2021 sebesar Rp 159,25 miliar. Berkat inovasi layanan yang memperluas kanal pembayaran lewat kemitraan dengan berbagai pihak, warga punya banyak opsi dan jadi lebih mudah. Inovasi ini masuk dalam Top 45 Inovasi Pelayanan Publik 2022 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Melalui UU HKPD, pemerintah memberi kesempatan kepada daerah untuk melakukan ekstensifikasi pajak. Bagaimana pandangan Anda terhadap UU HKPD tersebut dan langkah yang ditempuh dalam menggali potensi ekstensifikasi pajak di wilayah Kota Bogor?

UU HKPD ini terobosan yang luar biasa dan konsepnya bagus karena targetnya adalah meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Banyak daerah yang sangat bergantung kepada bantuan pemerintah pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak seberapa. Ada hal positif di UU ini, misalnya penambahan pajak sewa apartemen kondominium, penambahan pajak di usaha katering, penambahan definisi pajak reklame berjalan, juga ada bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk daerah yang lebih banyak.

Dalam catatan kami memang ada beberapa pajak yang saat ini berpotensi mengurangi pendapatan, seperti pajak kos-kosan yang dihilangkan, tarif parkir yang turun, juga tarif pajak bioskop dan pergelaran musik yang dikurangi. Namun, kami melihatnya in the long term dampaknya bagus karena untuk menggairahkan sektor-sektor usaha tadi. Tarif parkir memang turun dari 30 persen menjadi 10 persen, tapi targetnya ke depan adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jadi, ini konsepnya bagus untuk meningkatkan kemandirian walaupun di fase-fase awal cenderung bagi beberapa daerah bisa mengurangi PAD.

Bagaimana tingkat kesadaran pajak di masyarakat Kota Bogor saat ini, apa saja upaya yang dilakukan Pemkot Bogor dalam meningkatkan kesadaran pajak?

Ada dua hal yang menentukan efektivitas pajak, yakni sosialisasi dan transparansi. Sosialisasi itu sejauh mana warga bisa paham bahwa mereka punya kewajiban, apa saja kewajibannya dan caranya bagaimana. Ini kami koordinasikan dengan aparatur di wilayah kecamatan, RT/RW, tokoh masyarakat, termasuk Wajib Pajak seperti pengusaha restoran dan hiburan. Adapun terkait transparansi, warga harus yakin bahwa uang pajak ini akan kembali ke mereka. Kami menciptakan satu sistem terkait dua hal ini. Bagi lurah yang target pajaknya tercapai dan ini bisa dimonitor secara real time oleh wali kota, akan diberikan reward. Misalnya Kelurahan Katulampa tercapai target pajaknya, maka kami akan beri reward senilai Rp 350 juta. Silakan pak lurah bersama warga mengajukan proposal akan digunakan untuk kebutuhan apa. Jadi, langsung dimanfaatkan seperti membuat jembatan, posyandu, jalan setapak. Ketika pak lurah semangat untuk mendorong kepatuhan pajak, dia akan umumkan kelurahannya mencapai target dan mendapat reward. Ini bentuk transparansi.

Pemkot Bogor juga mencantumkan APBD secara on-line yang dapat diakses di website. Warga bisa melihat alokasi belanja sampai unit terkecil. Jadi, bisa tenang membayar pajak karena anggaran dijamin transparan dan akan kembali ke rakyat. Saya selalu mengatakan, “Uang rakyat harus memberikan manfaat, uang rakyat jangan mampir ke kantong pejabat.”

Dalam momentum 77 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini, pemerintah mengusung tema Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Menurut Anda, apa yang dibutuhkan agar Indonesia dapat pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat?

Kuncinya adalah di politik dan pemerintahan. Kalau politik stabil dan pemerintahan kondusif, maka semuanya akan bergerak cepat. Banyak yang menyampaikan tentang pentingnya kebersamaan. Sekarang ini civil society dan swasta itu berkembang cepat dan sudah terbiasa kolaborasi, tapi apakah pemerintah siap beradaptasi? Kalau aparat penegak hukum masih korup dan politikusnya konflik sengkarut tentu tidak bisa juga. Semua investor akan menunggu. Komunitas anak-anak muda sekarang tumbuh menjadi generasi yang siap menyambut masa depan. Jadi jangan dikembalikan ke masyarakat. Kalau pemerintahan dan aparat penegak hukum semuanya clear, betapa kita bisa menghemat banyak sekali anggaran pembangunan untuk rakyat. Kalau kita tidak rukun dengan kantor pajak, polisi, dan lainnya, untuk pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat tidak akan terjadi.Sementara pihak swasta sudah menunggu. Semuanya wait and see.

Anda memimpin kota yang saat ini menjadi tempat kediaman Presiden RI. Adakah manfaat dari keberadaan presiden di Kota Bogor?

Tentu ada. Hari kedua di sini, beliau memanggil saya. Saya sampaikan bahwa kami senang sekali beliau tinggal di sini. Tapi kalau berkenan kami ingin agar Kota Bogor sama indahnya seperti indahnya Istana dan Kebun Raya. Kalau di dalam itu hijaunya karena tanaman, di luar jangan hijau karena angkot. Jadi, kami ingin sekali dibantu. Dari situlah saya banyak sekali berkomunikasi dengan beliau. Jalur pedestrian seputar Istana Bogor dan Kebun Raya sepanjang 4,3 km itu adalah hasil proposal saya ke Pak Jokowi. Kemudian fly over yang melintas di Jalan RE Martadinata untuk memecahkan persoalan macet juga hasil lobi saya ke beliau. Jadi, keberadaan beliau di sini juga harus memberikan manfaat. Itu bentuk manfaat secara fisik. Sementara manfaat yang bersifat nonfisik, saya selalu sampaikan ketika berbicara di berbagai forum internasional dengan memperkenalkan diri sebagai Wali Kota Bogor, kota yang secara de facto merupakan capital city of Indonesia. Bogor juga mendapatkan international exposure karena banyak tamu negara yang berkunjung ke sini.

Continue Reading

Populer