Penulis: Ajib Hamdani, Dewan Redaksi Majalah Pajak, Bidang Pengkaji Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI).
Majalahpajak.net – Industri halal menjadi ceruk baru untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang potensial di Indonesia. Menyadari potensi itu, pemerintah pun telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah 2019–2024 sebagai strategi mewujudkan Indonesia sebagai basis produk halal dunia. Sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, keinginan itu tentu saja masuk akal.
Kabarnya, 1,8 miliar penduduk Muslim di dunia mengonsumsi produk halal senilai setidaknya 2,2 triliun dollar AS, dan diperkirakan, konsumsi ini bakal meningkat 6,2 persen hingga 2024. Ini potensi yang tidak kecil bagi Indonesia yang berpopulasi Muslim sebesar 237 juta jiwa.
Dalam sebuah ekosistem bisnis, populasi masyarakat adalah sebuah captive demand. Maka, sebelum jauh-jauh bicara orientasi global, pekerjaan rumah terbesar Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan captive demand itu agar masuk dalam ekosistem industri halal dalam negeri. Ini penting. Berdasarkan data Global Islamic Economy Report 2020/2021, konsumsi produk halal Indonesia pada tahun 2019 mencapai 144 miliar dollar AS. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen terbesar di sektor industri halal.
Di sektor busana Muslim, Indonesia merupakan konsumen ke-3 dunia dengan total konsumsi 16 miliar dollar AS. Sektor farmasi dan kosmetika halal Indonesia menempati peringkat ke-6 dan ke-2 dengan total pengeluaran masing-masing 5,4 miliar dollar AS dan 4 miliar dollar AS.
Pertanyaannya, dari nilai kue miliaran dollar AS itu, berapa persen tingkat konsumsi yang diserap oleh captive demand itu dari produk halal dalam negeri? Faktanya, melihat data perbandingan ekspor-impor produk halal yang ada, kita masih defisit.
Menilik laporan Pasar Halal Indonesia 2021/2022 yang diterbitkan Bank Indonesia bersama Indonesia Halal Lifestyle Center, Indonesia masih tertinggal. Pada 2020 lalu, ekspor produk halal Indonesia baru mencapai sekitar 8 miliar dollar AS. Sedangkan impor produk halal sudah mencapai 10 miliar dollar AS. Artinya, banyak konsumsi produk dari industri halal masih berasal dari luar negeri. Maka mimpi Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia masih jauh panggang dari api. Padahal, dengan segala kekayaan sumber daya alam dan manusia yang ada saat ini, seharusnya Indonesia bisa menciptakan berbagai macam produk halal yang dibutuhkan penduduknya, bahkan dunia, baik di sektor gaya hidup halal (fesyen dan kosmetik), kesehatan, dan pariwisatanya.
Maka, tugas bersama pemangku kepentingan saat ini adalah bagaimana menyatukan serakan puzzle sektor industri halal ini agar tertata dan menjadi serangkaian ekosistem yang terintegrasi dan saling terhubung, tergantung satu sama lain, sehingga menjadi nilai tambah bagi tumbuh kembangnya industri halal di tanah air.
Dari sisi upaya pengembangan bisnis, misalnya, bagaimana membuat para pelaku bisnis industri halal ini mendapatkan kemudahan dan insentif tertentu untuk mengembangkan usahanya. Misalnya, kemudahan perizinan, pendampingan untuk mendapatkan literasi di bidang bisnis industri halal, dan sebagainya.
Demikian halnya sektor perbankan dan keuangan syariah. Bagaimana mereka bisa memberikan kemudahan dari sisi akses permodalan. Setidaknya, jasa keuangan dan perbankan syariah bisa memberikan layanan yang kompetitif dibandingkan jasa keuangan dan perbankan yang konvensional. Pembiayaan syariah juga bisa lebih fokus pada usaha kecil menengah (UKM) karena sektor ini memberikan kontribusi paling signifikan terhadap PDB.
Jadi, jika ingin pembiayaan syariah juga memberikan kontribusi maksimal terhadap PDB maka alokasi untuk UKM harus berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Saat ini rasio kredit masih di bawah 20 persen. Jika ini dilakukan, maka mimpi menjadi pusat industri halal akan menjadi keniscayaan.
You must be logged in to post a comment Login