Majalah Pajak, Jakarta – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengubah kebijakan perpajakan atas penghasilan dividen, fundamental lanskap pemajakan global, dan keterbukaan informasi keuangan. Di samping itu, Nomor Identitas Kependudukan (NIK) telah terintegasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Akibatnya, model penghindaran pajak dengan skema pembentukan special purpose vehicles (SPV)/trusts di luar negeri yang terdapat dalam Panama Papers, Paradise Papers, dan Pandora Papers sudah tidak relevan lagi. Konsep family office diyakini dapat memberikan respons atas transformasi struktural penempatan dana dari luar negeri ke dalam negeri.
Business and Legal Advisor of TheTitan.asia Suharno menjelaskan, melalui Pasal 4 Ayat 3 UU Ciptaker tentang penghasilan, penghasilan berupa dividen bukan merupakan objek pajak. Hal inilah yang menjadi perubahan fundamental kebijakan pemajakan dividen, sehingga yang sebelumnya high wealth individual (HWI) lebih memilih memanfaatkan dananya ke luar negeri, kini memiliki opsi untuk menempatkan dananya di dalam negeri.
“Kaitannya dengan model penempatan dana, dapat kita kaitkan dengan transformasi struktural, maka kita bisa melihat datanya secara luas, yaitu bagi HWI. Kesempatan para HWI untuk bisa menempatkan dananya di Indonesia, karena ketika menempatkan di Indonesia dia juga bukan objek pajak, terutama bagi para entrepreneur, bagi para taipan-taipan, karena kalau bicara perusahaan, owner bagi perusahaan itu sendiri enggak perlu menempatkan dananya di luar negeri dalam rangka tax purpose,” jelas Suharno kepada Majalah Pajak, (20/1).
Di sisi lain, keuntungan bagi Pemerintah Indonesia, sesuai amanah Pasal 4 Ayat 3 UU Ciptaker, dana yang di bawa ke tanah air wajib diinvestasikan selama tiga tahun. Dalam UU tentang Pengampunan Pajak dan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), khususnya terkait Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dana itu harus disalurkan ke dalam sektor riil atau sektor moneter. Dan penempatan di Indonesia tidak dibatasi melalui sertifikat Surat Berharga Negara (SBN); serta disalurkan melalui investasi di bidang hilirisasi dan energi baru dan terbarukan (EBT).
“Jadi disinilah peranan dari dana itu yang kemudian ditempatkan di Indonesia selama tiga tahun dan Wajib Pajak HWI mendapatkan fasilitas, yaitu tidak dikenakan pajak. Negara mendapatkan value added economy, yaitu dananya akan tumbuh, baik itu yang ditempatkan pada sektor riil ataupun di sektor moneter. Negara pun untung, jadi win win solution,” jelas Suharno.
Perubahan lanskap pemajakan Indonesia juga akan tereskalasi dengan pengintegrasian NIK dan NPWP mulai Juli 2022 lalu. Integrasi ini juga merupakan ketentuan yang diatur dalam UU HPP. Senior Advisor of TheTitan.asia Muhamad Fajar Putranto mengapresiasi penyatuan NIK dan NPWP untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan. Ke depan, Indonesia juga berpotensi besar menerapkan skema single identity number (SIN).
Fajar memandang, ke depan, SIN dapat ditetapkan sebagai administrasi tunggal bagi setiap warga negara, sehingga menjadi satu data dan informasi yang terintegrasi. Sebab syarat dasar sebuah negara, utamanya harus mengatur orang/warga negara dengan pencatatan administrasi terkini (sistem teknologi), memiliki wilayah, dan pengakuan negara lain.
“SIN itu bisa kemana-mana, apalagi nanti Indonesia akan mengarah pada CBDC (Central Bank Digital Currency). SIN itu juga bukan soal pajak, tetapi menjadi sistem administrasi negara yang terintegrasi. Sejak bayi lahir, capture wajah, kemudian data dioptimasi direkam dalam satu data dan sistem. Kalau sudah SIN, semua kegiatan akan terekam, mau ngapa-ngapain juga membutuhkan satu sistem saja,” jelas Fajar.
Secara simultan, Indonesia juga telah melaksanakan konsensus global berupa pertukaran data informasi secara otomatis atau automatic exchange of information (AEoI) sejak tahun 2018. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), selama 2020, Indonesia telah menerima informasi keuangan dari 78 negara/yurisdiksi mitra atas pemegang rekening keuangan Indonesia/Wajib Pajak Indonesia.
Business and Legal Advisor of TheTitan.asia Nadia Ambar Shofiya meyakinkan, konsep family office dapat menjadi guideline atas transformasi struktural, pengintegrasian NIK dan NPWP, peluang penerapan SIN, dan AEoI. Sebab perubahan itu akan membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan DJP semakin prima, tidak ada lagi celah untuk Wajib Pajak menghindar dari pajak. Di sisi lain, perubahan struktural justru memberikan benefit bagi Wajib Pajak.
“Karena tidak hanya informasi basic identity, tapi transaksi keuangan, perpajakan, dan segala macam bisa dibuka. Jadi pergerakan Wajib Pajak akan terbatas dan mau tidak mau mereka harus pindahkan (dana yang sebelumnya di luar negeri). Misalnya, penempatan dana di Singapura, itu bukan cuma dari pajaknya yang dikenakan, tapi juga dari bisnis spending-nya di negara itu diperhitungkan. Jadi ujungnya, bisa jadi dia keluar uang lebih banyak daripada (menempatkan dana) di Indonesia sebenarnya. ” kata Nadia.
Business and Legal Advisor of TheTitan.asia Maisya Sabhira juga menambahkan, kedepannya TheTitan.asia berencana untuk menjalin partnership dengan beberapa stakeholders, seperti perbankan, asuransi, dan kantor hukum sebagai bentuk services yang terintegrasi dalam family office ini.
“Kita seperti one stop solution services untuk para HWI. Jadi kita construct sesuai dengan kebutuhan keluarga masing-masing. Mulai dari family constitution-nya, estate and succession planning, agar bisnis keluarga tersebut dapat bertahan antar generasi, termasuk memitigasi adanya risiko perselisihan dalam keluarga.” tambah Maisya.
Nah, apabila Anda ingin mengetahui konsep family office ini secara lebih komprehensif dalam merespons transformasi struktural, pengintegrasian NIK dan NPWP, peluang penerapan SIN, dan AEoI. Senior Advisor of TheTitan.asia Muhamad Fajar Putranto dan tim Business and Legal Advisor of TheTitan.asia (Suharno, Nadia Ambar Shofiya, dan Maisya Sabhira) akan memaparkannya dalam acara Diskusi Panel TaxPrime 2023 bertema Indonesia Tax Outlook 2023: Navigating Tax Opportunities and Risks. Secara keseluruhan, ada lima topik yang akan didiskusikan dalam acara Diskusi Panel TaxPrime 2023 yang diselenggarakan pada Kamis, 2 Februari 2023 pukul 09.00–12.00 WIB secara daring (webinar) melalui aplikasi Zoom.
Diskusi panel akan dihadiri oleh beberapa narasumber lain yang telah ahli di bidangnya. Berikut daftar lengkap narasumber:
- Machfud Sidik M.Sc. (Direktur Jenderal Pajak tahun 2000-2001, Senior Advisor TaxPrime).
- Robert Pakpahan (Direktur Jenderal Pajak tahun 2017-2019, Senior Advisor TaxPrime).
- Wawan Setiyo Hartono (Senior Advisor TaxPrime) dan Teguh Wisnu Purbaya (Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime).
- Emanuel Dewo Adi W. (Senior Advisor TaxPrime) dan Bayu Rahmat Rahayu (Transfer Pricing and International Tax Advisor TaxPrime).
Webinar yang menggandeng Majalah Pajak sebagai media partner ini gratis dan terbuka untuk umum. Ayo daftarkan diri Anda melalui tautan berikut https://bit.ly/TaxOutlook2023TaxPrime dan pastikan kehadiran Anda pada tanggal 2 Februari 2023 di Diskusi Panel TaxPrime 2023, Indonesia Tax Outlook 2023: Navigating Tax Opportunities and Risks.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi: +62 811-1390-4848 (Fisa Maharani) atau +62 811-1910-9889 (Friska Olivia) atau ikuti media sosial TaxPrime: Instagram (@taxprime_indonesia), dan LinkedIn (TaxPrime). See you there!
You must be logged in to post a comment Login