Dunia merespons perkembangan kripto yang semakin bergairah melalui kebijakan pengawasan hingga pemungutan pajak.
Seandainya, mesin waktu milik Doraemon membawa kita ke tahun 1983. Barangkali kita akan menyaksikan, membaca, mendengar langsung di pelbagai media, pertama kali ahli kriptografi dari Amerika Serikat (AS), David Chaum, menggunakan uang elektronik kriptografi atau yang disebut e-cash.
Setelah itu, e-cash dikembangkan melalui digicash, yang merupakan bentuk awal pembayaran elektronik kriptografi. Pengguna membutuhkan perangkat lunak untuk menarik catatan dari bank dan menunjuk kunci terenkripsi tertentu sebelum dapat dikirim ke penerima. Melalui cara ini mata uang digital dimungkinkan tidak terlacak oleh bank penerbit, pemerintah, atau pihak ketiga mana pun.
Artinya, mata uang kripto memang merupakan aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan teknologi enkripsi atau kriptografi (kode rahasia). Secara teknis, kriptografi akan mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer. Singkatnya, kripto menggunakan kontrol terdesentralisasi, yang merupakan lawan dari mata uang digital terpusat dan sistem perbankan sentral. Namun, setiap kripto punya whitepaper yang dirilis oleh tim proyek. Dalam dokumen diuraikan konsep, tujuan, teknologi, dan roadmap yang direncanakan.
Pada 1998, Wei Dai menerbitkan deskripsi b-money yang memiliki ciri sebagai sistem kas elektronik terdistribusi. Tak lama setelah itu, Nick Szabo menggambarkan bit gold. Hingga akhirnya, pada 2009, bitcoin muncul sebagai mata uang kripto yang dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto. Bitcoin dibuat menggunakan SHA-256 dan hash kriptografis, sebagai skema pembuktian kerjanya. Puncak kejayaan bitcoin terjadi ketika Coinbase (perusahaan dompet bitcoin) melantai di bursa efek New York, Amerika Serikat, Nasdaq, pada (15/4/2021). Kala itu, harga bitcoin mencapai 64.711 atau sekitar Rp 946,63 juta (asumsi kurs Rp 14.620 per dollar AS).
Pamor bitcoin, turut mengerek popularitas kripto lainnya, seperti ethereum, dogecoin. Berkembangnya kripto didorong kesadaran investor bahwa emas, mata uang, serta properti memiliki keterbatasan dalam penyimpanan nilai.
Adopsi kripto dan NFT
Magnet kripto semakin mendunia, termasuk di Indonesia. Catatan Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Asparkrindo), ada lebih dari 11 juta investor kripto pada 2021, naik ketimbang tahun sebelumnya hanya 4 juta. Tak hanya jumlah pelanggan, nilai transaksi kripto bahkan meningkat 636,15 persen menjadi Rp 478,5 triliun hingga Juli 2021, dibandingkan periode yang sama di tahun 2020 sebesar Rp 65 triliun. Namun, perlu ditekankan kripto di Indonesia diperlakukan sebagai aset bukan mata uang dan diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Tren kripto semakin menggelora berkat kemunculan nonfungible token (NFT), sebagai bagian dari blockchain. Momen ini berawal dari November 2021, saat investor, gamer, seniman, pemrogram, dan penggemar kripto menghadiri diskusi panel di Midtown Manhattan, konferensi NFT New York City tahunan ketiga. Sejak itu, NFT menjadi tren baru yang berkembang dan menguntungkan di dunia blockchain.
Di Indonesia, tren NFT semakin memuncak sejak viralnya NFT buatan seorang pemuda asal Surakarta, yakni Sultan Gustaf AL Ghazali. Melalui akun Ghazali Everyday, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Prodi Animasi D-4 Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ini berhasil meraup penjualan total sebesar Rp 13,8 miliar di OpenSea.
Peluang
Potensi ekosistem kripto mayoritas ditangkap positif oleh dunia, termasuk Indonesia—melalui rencana pendirian Bursa Aset Kripto—yang akan diluncurkan tahun 2022. Beberapa manfaat dari pendirian bursa itu adalah menjamin keamanan investor sembari mengoptimalkan sumber penerimaan pajak. Negara G20 sepakat juga untuk mengawasi perkembangan aset kripto secara global, termasuk menyusun skema perpajakan. Kesepakatan ini ditetapkan dalam agenda reformasi sektor keuangan global Presidensi G20 Indonesia di Forum Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) pada Februari 2022.
“G20 sepakati perlunya kerangka pengaturan dan pengawasan pada aset kripto, karena perkembangannya cukup pesat, sehingga jika tidak dipantau bisa timbulkan instabilitas ke pasar keuangan global dan perekonomian,” ungkap Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, (18/2/2021).
Sementara, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, sebelum Indonesia mengenakan pajak penghasilan (PPh) final, pemerintah terlebih dahulu melakukan pendalaman pasar keuangan untuk melindungi konsumen kripto.
“Tetapi pemerintah tidak bisa sendiri. Jelas ini ranah paling banyak di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam konteks stabilitas sektor keuangan. Setelah perdagangan aset kripto dinyatakan sepenuhnya aman oleh otoritas terkait, barulah pemerintah akan membanderolnya dengan PPh final,” jelas Febrio, (10/2/2021).
Menurutnya, pemerintah kini masih menyusun skema pengenaannya. “Kita harapkan makin banyak, sehingga pendalaman pasar ke arah instrumen-instrumen yang sudah terbukti stabil menghasilkan prediktabilitas ini kita dukung. Ini kita coba dorong untuk pendalaman pasar.”
Sementara, sejumlah negara sudah merencanakan pemungutan pajak atas transaksi kripto. India sedang mempersiapkan aturan untuk menerapkan pajak berdasarkan pendapatan (capital gain) dari transaksi kripto, yakni sebesar 30 persen terhadap pendapatan atas aset dan transaksi kripto. Kemudian, Amerika Serikat (AS) telah mengatur kebijakan perpajakan serupa, yaitu mewajibkan transaksi kripto lebih dari 10 ribu dollar AS dilaporkan ke Internal Revenue Service (IRS)— otoritas pajak AS. Sementara, Korea akan mulai mengenakan pajak 20 persen untuk setiap keuntungan tahunan di atas 2,5 juta won Korea yang diperoleh dari perdagangan kripto mulai Januari 2023.
Co-founder CryptoWatch dan Pengelola Channel Duit Pintar Christopher Tahir menilai, besarnya penerapan pajak yang diusulkan beberapa negara, khususnya India, akan berpotensi mematikan gairah pengembangan ekonomi digital.
“Sederhananya, dengan pasar global yang tanpa batas ini berpotensi memicu uang untuk berpindah ke luar negeri mengingat bursa kripto lokal masih kalah saing baik dari segi fitur, UI (user interface), UX (user experience), dan range produknya,” tutur Christopher.
Ia berharap, Indonesia dapat mencari angka yang lebih seimbang sekaligus memikirkan cara untuk meretensi investor di bursa lokal. Menurutnya, hanya peraturan perpajakan yang bersaing yang akan menjadi alasan kuat investor untuk bertahan di bursa lokal.
“Di Indonesia, sebenarnya pembicaraan mengenai aturan pajak sedang dibicarakan antara bursa, asosiasi, dan pemerintah, tetapi belum ada titik temu. Dari semua pihak, lebih menginginkan aturan seperti investor di bursa saham. Dan itu menurut saya adalah pendekatan yang lebih adil dan masuk akal,” ungkap Christopher. “Jika penerapan pajak kripto yang dilakukan sama seperti di bursa saham maka akan memberikan kepastian pajak dan berpotensi membuat arus masuk kembali dana dari luar negeri ke Indonesia. Apalagi jika ditambah dengan adanya kripto amnesty.”
You must be logged in to post a comment Login