Connect with us

Green Up

CSR Kesejahteraan Sosial bukan Derma

Novita Hifni

Published

on

Program CSR untuk penanganan kemiskinan harus memiliki “exit strategy” sebagai tolok ukur untuk menilai keberhasilan dalam menumbuhkan kemandirian masyarakat.

Persoalan kemiskinan yang merupakan isu utama dari masalah kesejahteraan sosial di Indonesia perlu ditangani dengan program CSR yang berbasis pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Pandangan ini disampaikan oleh Sekjen Forum CSR Kesejahteraan Sosial Iyuk Wahyudi kepada Majalah Pajak di Kantor Pusat Kementerian Sosial, Salemba, Jakarta, Senin (12/11).

Menurut Iyuk, penanganan kemisikinan di tahap awal memang masih membutuhkan bantuan yang sifatnya derma (charity) bagi kelompok masyarakat paling miskin. Namun di tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri dan tidak terus menerus diberi bantuan.

“Banyak orang menganggap program-program CSR kessos itu semuanya charity. Padahal, penanganan kemiskinan justru bukan dengan memberi bantuan saja, melainkan harus melalui kegiatan pemberdayaan,” jelas Iyuk.

Ia memberi contoh program untuk memberdayakan para difabel tidak sebatas hanya dalam bentuk bantuan kursi roda atau kaki palsu. Hal terpenting yang perlu diberikan adalah memberdayakan para difabel melalui berbagai program pelatihan dan keterampilan sehingga mereka bisa berwirausaha menghasilkan suatu produk bernilai jual tinggi untuk kemandirian dan kesejahteraan hidup. Menurutnya sejumlah perusahaan yang menjadi pemenang Padmamitra 2018 juga telah memiliki program inovatif dan berkelanjutan dalam memberdayakan masyarakat sekaligus menangani persoalan kemiskinan.

“Di Yogya ada kelompok difabel yang mampu membuat produk kerajinan berkualitas dan eksotik sehingga harga jualnya tinggi. Dengan penghasilan yang lumayan itu mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri,” imbuhnya.

Ia menekankan pentingnya merancang program CSR untuk penanganan kemiskinan dengan konsep berkelanjutan dan memiliki exit strategy sebagai tolok ukur bahwa program tersebut berhasil menumbuhkan kemandirian dan memberi manfaat bagi penerimanya. Selanjutnya si pemberi manfaat bisa memperluas kegiatannya untuk masyarakat di wilayah lain yang belum tersentuh.

Pemetaan masalah sosial sangat penting untuk menghindari ketimpangan penyaluran CSR.

Pemetaan masalah sosial

Menurutnya, CSR dari sudut pandang kesejahteraan sosial dimaknai bahwa begitu luasnya permasalahan kesejahteraan sosial membuat tidak ada satu pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bisa menyelesaikan sendirian sehingga perlu dukungan dari segenap pihak termasuk kalangan dunia usaha.

Melihat begitu luasnya persoalan kesejahteraan sosial, urainya, maka upaya pemetaan masalah sosial menjadi sangat penting. Hal ini untuk menghindari ketimpangan di satu daerah yang sebenarnya memiliki potensi CSR cukup besar tapi sebagian wilayahnya justru merupakan kantung kemiskinan.

“Peta permasalahan sosial ini masih jadi pekerjaan rumah dan merupakan salah satu program penting dari kami yang dinamai sistem informasi pemberdayaan sosial. Ini mempertemukan si penerima dengan pelaksana program,” paparnya.

Green Up

Telkomsel dan Ericsson Kerja Sama Penguatan Evolusi 5G dan Dukung Nol Emisi Karbon

Heru Yulianto

Published

on

Foto: Dok.Telkomsel

Telkomsel menjalin kolaborasi strategis dengan Ericsson dalam mengaktifkan fitur canggih Radio Access Network (RAN) Energy Efficiency, serta melakukan uji coba teknologi 5G Standalone (SA) pada jaringan Telkomsel. Kolaborasi ini diresmikan melalui penandatanganan Strategic Partnership Agreement (SPA) di Fira Gran Via, bertepatan dengan penyelenggaraan Mobile World Congress 2024 di Barcelona, Spanyol.

Direktur Network Telkomsel Indra Mardiatna mengungkapkan, Telkomsel berkomitmen untuk secara aktif berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon demi keberlanjutan lingkungan sesuai dengan target pemerintah Indonesia, melalui inisiatif program Environmental, Social, and Governance (ESG) kami, Telkomsel Jaga Bumi.

Menurutnya, melalui kolaborasi dengan Ericsson, Telkomsel dapat memperkuat keberlanjutan bisnis dalam aspek operasional dengan meningkatkan kemampuan teknisnya untuk menyediakan solusi telekomunikasi yang inovatif, andal, dan ramah lingkungan, yang disesuaikan dengan beragam kebutuhan masyarakat dan industri di Indonesia.

“Dengan memanfaatkan perkembangan terkini teknologi 5G dan mengadopsi praktik terbaik dalam efisiensi energi, Telkomsel terus berupaya untuk menjadi katalisator yang memberikan perubahan positif demi mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk masyarakat Indonesia,” ungkapnya dalam keterangan resmi, diterima Majalah Pajak pada Rabu (28/02).

Fitur RAN Energy Efficiency sendiri memungkinkan perangkat radio dari Ericsson dapat secara otomatis memasuki mode daya rendah pada saat traffic jaringan relatif rendah dan menonaktifkan fungsi tersebut ketika traffic tinggi. Dengan fitur ini, Telkomsel dapat menangani permintaan data yang meningkat, sekaligus mengurangi konsumsi energi tanpa mengurangi pengalaman digital pelanggan.

“Inisiatif ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kesepakatan bersama antara Telkomsel dan Ericsson untuk mencapai target Net Zero, serta diwaktu yang sama juga mengurangi pengeluaran operasional (OPEX),” tambahnya.

Berdasarkan Net Zero Summit & B20 Investment Forum, Indonesia berkomitmen untuk mencapai net-zero emissions pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Sejalan dengan Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berupaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui upaya domestik dan 41 persen melalui kerja sama internasional pada 2030.

Selain itu, kedua perusahaan telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan evolusi 5G, dari implementasi komersial 5G NSA (Non-Standalone) ke eksplorasi 5G SA, serta mendapatkan use cases baru dengan mengeksplorasi perangkat lunak Reduced Capability (RedCap) dari Ericsson. Ericsson RedCap merupakan solusi perangkat lunak RAN baru dalam use case 5G yang memungkinkan lebih banyak koneksi 5G dari perangkat seperti smartwatch, perangkat lainnya, sensor industri, dan perangkat AR/VR.

Indra menyampaikan, Telkomsel senantiasa menjadi penyedia layanan konektivitas digital terdepan dan ramah lingkungan di Indonesia sebagai wujud komitmen kami untuk mengimplementasikan prinsip ESG.

“Telkomsel berupaya untuk memajukan perubahan sosial dan lingkungan yang positif untuk berkontribusi pada masa depan yang lebih baik melalui pengembangan solusi inovatif dan menyediakan layanan digital terdepan guna mendorong pembangunan berkelanjutan, serta memperkuat kepemimpinan dalam praktik bisnis yang bertanggung jawab dalam industri telekomunikasi,” ujarnya.

Tidak hanya itu saja, kerja sama ini sejalan dengan komitmen Telkomsel sebagai digital telco service provider terbaik di Indonesia yang secara konsisten menyediakan layanan ramah lingkungan dan efisien melalui pemanfaatan teknologi terkini.

“Kolaborasi ini semakin menegaskan bahwa Telkomsel dan Ericsson terus mendukung Indonesia dalam mencapai target Net Zero 2060 dan mengurangi emisi karbon pada 2030,” imbuhnya.

Sementara itu, Head of Ericsson Indonesia Krishna Patil mengatakan bahwa Ericsson bangga dapat mendukung Telkomsel sebagai perusahaan telekomunikasi digital terdepan di Indonesia dengan menyediakan teknologi kelas dunia untuk mengoptimalkan peluang penggunaan 5G yang memungkinkan pertumbuhan berkelanjutan di Indonesia.

“Kolaborasi ini merupakan bagian dari komitmen Ericsson bersama mitra untuk merealisasikan pemanfaatan 5G secara maksimal dan mempercepat transformasi digital di Indonesia,” kata Khrisna.

Continue Reading

Green Up

Penerapan Pajak Karbon mesti Hati-Hati

Novita Hifni

Published

on

 

Penerapan pajak karbon akan dilakukan tanpa mendisrupsi agenda pemulihan ekonomi nasional.

 

Majalahpajak.net – Pemerintah akan menerapkan pajak karbon mulai Juli 2022. Pajak karbon menjadi isu prioritas dalam G20 Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG) yang berlangsung di Yogyakarta pada 21–24 Maret 2022 lalu.

Pertemuan G20 EDM-CSWG secara umum mengangkat tiga agenda utama. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi berkelanjutan berwawasan lingkungan pascaCovid-19 dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Kedua, peningkatan aksi berbasis daratan dan lautan untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim. Ketiga, peningkatan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup dan tujuan pengendalian perubahan iklim.

Baca Juga: Jangan Stop di Jargon

Selain ketiga isu utama itu, Pemerintah Indonesia juga membawa misi mendukung target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), menciptakan pembiayaan yang berkelanjutan dan inovatif untuk mendukung pemulihan ekosistem dan penguatan rencana aksi sampah laut. Isu prioritas dan misi utama EDM-CSWG akan dibahas dan dirumuskan menjadi komitmen kolektif dalam Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim G20 pada 31 Agustus 2022 di Bali.

“Pajak karbon untuk mendukung implementasi Nationally Determined Contribution melalui instrumen nilai ekonomi karbon dan transisi menuju rendah emisi dan ketahanan iklim,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi dalam Pertemuan G20 EDM-CSWG di Yogyakarta.

Pertemuan G20 EDM-CSWG dihadiri oleh 81 delegasi dari 20 negara anggota, 7 negara undangan dan 5 organisasi internasional. Rangkaian pertemuan EDM-CSWG tidak hanya akan dihadiri oleh anggota G20. Pemerintah Indonesia juga turut mengundang Spanyol sebagai negara undangan permanen, Belanda, Singapura, Fiji, Belize, Senegal, Rwanda, dan Uni Emirat Arab.

Sinkronisasi peta jalan

Terkait rencana penerapan pajak karbon, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan upaya pemerintah sejauh ini yang masih melakukan koordinasi peta jalan pajak karbon.

“Pemerintah saat ini masih terus melakukan sinkronisasi roadmap pajak karbon agar pelaksanaannya bisa berjalan baik dan tidak mendisrupsi agenda pemulihan ekonomi nasional,” kata Sri Mulyani saat menghadiri PPATK 3rd Legal Forum bertema “Mewujudkan Green Economy Berintegritas Melalui Upaya Disrupsi Pencucian Uang pada Pajak Karbon” di Jakarta, Kamis (31/03).

Baca Juga: “Lingua Franca” Ekonomi Hijau

Ia menjelaskan, penerapan pajak karbon berlandaskan UU HPP karena Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon yang juga perlu didukung oleh sektor swasta baik nasional maupun global. Ia memperkirakan nantinya akan muncul kerumitan dari mekanisme perdagangan karbon antarnegara sehingga mengharuskan adanya kesepakatan global.

Ia mencontohkan di satu negara harga karbon hanya 3 dollar AS, di negara lain 25 dollar AS, lalu ada lagi negara yang menetapkan harga 45 dollar AS. Bahkan jika dunia nantinya berhasil mengatasi perubahan iklim, terangnya, harga karbon bisa mencapai 125 dollar AS. Dalam situasi harga yang berbeda dan belum adanya kesepakatan dunia, potensi kebocoran atau tindak pidana korupsi karbon akan timbul.

“Rezim atau desain kebijakan yang disebut market for carbon itu sudah cukup rumit. Oleh karena itu, Indonesia akan melakukannya dengan sangat hati-hati dan bertahap. Apalagi sekarang kita masih dalam suasana pandemi dan sedang berupaya memulihkan ekonomi Indonesia,” terangnya.

Presidensi G20 Indonesia merupakan momentum penting dalam mewujudkan komitmen untuk mengurangi emisi dunia dan mencapai target Net Zero Emission di tahun 2060 mendatang. Upaya pengurangan emisi yang secara nyata telah dilakukan adalah di sektor kelistrikan melalui pengembangan energi baru dan terbarukan dan juga meningkatkan inovasi dan teknologi untuk pengurangan emisi karbon.

Continue Reading

Green Up

TJSL BUMN Menjawab Tantangan Global

Aprilia Hariani K

Published

on

Foto : Istimewa
Perusahaan-perusahaan pelat merah memfokuskan program tanggung-jawab sosial dan lingkungan pada tiga bidang yaitu pendidikan, UMKM, dan lingkungan hidup secara harmonis untuk menghadapi tantangan global dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

 

Majalahpajak.net – Berbagai inovasi dan terobosan program tanggung-jawab sosial dan lingkungan (TJSL) atau CSR (corporate social responsibility) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kolaboratif dapat berperan penting bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan global di bidang perdagangan, disrupsi digital, dan ketahanan kesehatan. BUMN bukan lagi pesaing bagi para inovator lokal melainkan menjadi bagian bersama dalam penguatan kedaulatan Indonesia di level global. Oleh karenanya berbagai program TJSL yang ada di lingkup BUMN harus dikelola dengan baik dan saling bersinergi agar dapat mencapai  tujuan pembangunan berkelanjutan dalam pemberdayaan masyarakat.

“Ingat, BUMN bukan lagi pesaing para kreator atau inovator lokal. Namun menjadi bagian bersama dalam penguatan Indonesia yang berdaulat. Inovasi TJSL BUMN bisa ambil peran penting dalam menghadapi tiga tantangan yakni pasar global, disrupsi digital, dan ketahanan kesehatan,” kata Menteri BUMN Erick Thohir dalam keterangan tertulis, Minggu (30/01).

Ia menekankan kepada jajaran manajemen BUMN untuk memfokuskan alokasi dana TJSL pada tiga bidang, yakni pendidikan, UMKM, dan lingkungan hidup. Program TJSL bidang pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dalam penyediaan pendidikan berkualitas agar anak-anak Indonesia mendapat kemudahan juga akses ilmu pengetahuan dan teknologi. Program TJSL bidang UMKM akan fokus pada kegiatan pendampingan bagi pelaku UMKM yang selama ini masih menjadi masalah klasik sehingga menghambat bisnis UMKM dalam meningkatkan skala usaha. Erick menjelaskan, UMKM tak sekadar hanya berkutat pada persoalan pembiayaan melainkan juga perlu pendampingan yang intensif dan melakukan transformasi bisnis. Adapun program TJSL bidang lingkungan hidup akan fokus pada upaya pelestarian alam dan penghijauan. BUMN diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian alam. Erick mendorong BUMN untuk melakukan program TJSL yang bersinergi dengan lingkungan hidup, pendapatan masyarakat, dan perubahan iklim.

Baca Juga : CSR UMKM harus Dikaitkan dengan Bisnis Inti

“Kita mendorong penanaman pohon yang bermanfaat, tidak hanya penghijauan untuk oksigen tapi juga pendapatan masyarakat seperti yang sudah kita lakukan di Danau Toba,”paparnya.

Seiring penguatan program prioritas tersebut, kementerian BUMN telah membentuk Forum TJSL pada akhir Januari 2022 lalu. Erick menyatakan, Forum TJSL merupakan implementasi konkret dari nilai dasar (core values) AKHLAK, yakni kata harmonis dan kolaboratif.

“Saya ingin TJSL BUMN tidak berjalan sendiri-sendiri maupun saling bersaing. Kegiatan TJSL BUMN harus disatukan dengan baik demi menciptakan harmoni dan bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat,” imbuhnya.

Menurut Erick, pelaksanaan TJSL harus selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam pemberdayaan masyarakat. Ia mencontohkan program yang dilakukan PLN dalam pengembangan PLTU yang menghasilkan limbah sisa pembakaran batu bara, namun bisa dimanfaatkan masyarakat membuat batako dan membangun rumah.

Paradigma investasi sosial

Terkait efektivitas program CSR di lingkungan BUMN, Jalal selaku peneliti sekaligus pendiri social enterprise A+CSR Indonesia menyampaikan kritiknya pada sejumlah BUMN yang menjalankan CSR hanya sebatas Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan belum mengaitkannya dengan bisnis inti perusahaan. Menurut Jalal, hal dominan yang tampak hingga sekarang di dalam laporan-laporan PKBL adalah paparan tentang aktivitas dan sumber daya finansial yang dikeluarkan. Kalaupun ada paparan tentang kinerja, hal itu hanya sebatas penjelasan tentang output saja. Sementara informasi tentang outcome dan impact dari program yang dijalankan tidak tersampaikan dengan baik. Ia melihat perlunya mengubah penekanan CSR BUMN dari sekadar PKBL menjadi program yang terintegrasi dengan bisnis inti. Pelaksanaan PKBL juga harus dilandasi dengan paradigma investasi sosial dan bukan sekadar pemberian donasi.

Jalal menjelaskan, baik CSR yang terkait dengan bisnis inti maupun PKBL BUMN seharusnya dilihat dengan perspektif kontribusi atas pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, dilaksanakan secara integral oleh seluruh bagian dalam perusahaan sebagaimana yang ditegaskan oleh ISO 26000, diukur kinerjanya dengan metodologi yang mumpuni seperti social return on investment (SROI), dan dilaporkan dengan standar Global Reporting Initiative (GRI) yang mutakhir.

“Tantangannya tentu saja apakah kementerian BUMN mau menegaskan agar CSR BUMN benar-benar menjadi seperti apa yang disepakati di level global. Di sisi lain, BUMN juga perlu memahami paradigma CSR strategis, bisnis sosial, juga berbagai standar dan metodologi yang terkait dengan sungguh-sungguh,” papar Jalal kepada Majalah Pajak melalui surat elektronik.

Baca Juga : Satu Proyek, Manfaat Ganda

Menyoroti CSR di bidang UMKM, ia melihat sudah banyak program pengembangan masyarakat yang menyasar kepada usaha mikro dan kecil. Namun, sebagian besar dari program tersebut belum menggunakan investasi sosial sebagai paradigmanya. Oleh karenanya banyak perusahaan yang menjalankannya secara terputus. Jika menggunakan investasi sosial sebagai paradigma, jelasnya, maka perusahaan akan berkonsentrasi pada manfaat di tingkat outcome dan impact yang benar-benar terjadi pada UMKM yang dibantunya sekaligus memberikan manfaat bagi perusahaan.

Jalal berpandangan, strategi terbaik untuk meningkatkan keberdayaan UMKM adalah dengan menggunakan bisnis inti perusahaan dan pendekatan creating shared value (CSV). Dengan CSV, perusahaan berusaha mengintegrasikan UMKM ke dalam rantai nilainya, baik sebagai pemasok maupun sebagai mitra pemasaran. Melalui pendekatan CSV, perusahaan bisa membantu UMKM dengan tiga strategi, yaitu menciptakan produk dan pasar, meningkatkan produktivitas, dan membangun klaster lokal.

Ia memberi contoh BRI sebagai BUMN yang berhasil dalam meningkatkan kinerja UMKM. BRI melihat UMKM sebagai mitra bisnisnya lantaran mayoritas kredit dan investasinya memang diletakkan di UMKM. Perusahaan lainnya yang sudah menerapkan CSV adalah Nestle yang bermitra dengan para petani dan peternak dalam rantai pasoknya, juga Unilever dan Danone.

“Kalau kita lihat perkembangan kinerja UMKM yang menjadi nasabah BRI dan menjadi sasaran investasi sosialnya, kita akan paham mengapa BRI menjadi bank dengan aset dan keuntungan terbesar di Indonesia,” ungkapnya.

Continue Reading

Populer