Kemacetan bukan harus diatasi dengan menambah ruas jalan, melainkan bagaimana memindahkan manusia secara pasti, aman, dan nyaman.
Tak sedikit warga Jakarta yang beranggapan, transportasi dalam kota adalah bagaimana mengatur perpindahan kendaraan dari satu titik ke titik lain. Alhasil, solusi kemacetannya adalah menambah ruas jalan. Sebuah kota megapolis (kota dan kota-kota satelitnya) harus difasilitasi oleh ketersediaan jaringan transportasi dengan kecepatan tinggi.
Yang luput disadari, yang berpindah adalah manusia sebagai subjek dari transportasi dalam kota. Sehingga, seharusnya solusi kemacetannya adalah bagaimana manusia bisa berpindah dari satu titik ke titik lain secara cepat dan pasti durasinya, aman, dan nyaman. Jawabannya adalah, sarana transportasi umum yang mampu bergerak cepat, tepat waktu, dan nyaman digunakan, misal, MRT (mass rapid transit).
MRT Jakarta tahap satu telah diresmikan pada 24 Maret 2019 sepanjang 15,7 km, dan akan dipercepat untuk pembangunan tahap duanya. Kehadiran MRT ini ditujukan agar masyarakat yang menggunakan mobil beralih menggunakan transportasi umum. Di balik investasi MRT sebesar Rp 16 triliun ini, ada banyak manfaat dengan menggunakan transportasi umum, antara lain.
Pertama, masyarakat dapat mengurangi waktu terbuang karena kemacetan, dan ada kepastian berapa lama jarak pada dalam kota dapat ditempuh. Terbukti, sekitar 60 persen waktu yang dihabiskan di jalan raya Jakarta adalah berhenti atau kecepatan rendah (delayed) karena macet (Taniguchi, 2014).
Kedua, ada kerugian ekonomi karena kepadatan dan kemacetan di Jakarta yang mencapai Rp 8,8 triliun tiap tahunnya (Susantono, 2018). Misalnya, karena menurunnya produktivitas yang disebabkan oleh banyaknya waktu terbuang di jalan.
Ketiga, mengurangi emisi dari kendaraan bermotor. Data dari IEA (International Energy Agency) tahun 2016, emisi CO2 di Indonesia sebesar 454,89 Metric Ton, merupakan setengah dari total emisi CO2 di Asia Tenggara. Berikutnya perlu dilakukan kajian berapa besar emisi CO2 berkurang dengan kehadiran MRT tahap satu dan pembangunan transportasi umum berikutnya.
Isu lingkungan hidup dan kepadatan lalu lintas disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, jumlah kendaraan, dan pembangunan sarana transportasi umum yang masih kurang. Selain ramah lingkungan, keuntungan lain dari MRT, LRT, dan transportasi umum dalam kota adalah tercapainya tiga target dari City Logistics, yaitu Mobility, Sustainability, dan Livability (Taniguchi, et al. 2001).
Mobility, yaitu prinsip menjamin lalu lintas yang lancar dan andal, yaitu transportasi umum dapat bergerak dengan waktu yang dapat diprediksi dan minim kerusakan dari sarana transportasi itu sendiri. Tidak jarang masyarakat Jakarta mengalami keterlambatan kedatangan dan keberangkatan moda transportasi, atau mogoknya moda transportasi karena kesalahan teknis. Hal ini membuktikan keandalan sarana transportasi umum masih rendah.
Sustainability, adalah mengurangi dampak polusi, emisi, dan penurunan kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh gas buang dari moda transportasi. Maka moda transportasi umum menggunakan tenaga listrik atau biofuel (misalnya kelapa sawit) adalah hal yang tepat. Selain itu, penggunaan tenaga listrik akan mengurangi ketergantungan terhadap pasokan dan fluktuasi harga minyak dunia.
Livability, yaitu meningkatkan kualitas hidup dari penduduk usia tua di perkotaan, dalam bentuk sarana transportasi yang ramah untuk orang tua dan pelayanan pengiriman barang-barang kebutuhan yang sulit diperoleh dengan mobilitas orang tua yang rendah. Kondisi ini dapat didukung dengan adanya e-commerce, maupun e-transportation service. Potensi berikutnya dari e-transportation service adalah memperluas jangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama penduduk usia tua.
Namun tahap awal sudah berhasil dicapai Jakarta dan Indonesia. Berikutnya dibutuhkan tekad dan komitmen dari semua pihak terkait agar pembangunan transportasi umum yang cepat dan pasti durasinya, aman, dan nyaman terjadi di semua kota di Indonesia.
Palembang telah beroperasi Light Rail Transit (LRT). Target berikutnya adalah di Surabaya, Medan, dan Makassar. Terlambatnya pembangunan MRT yang sudah direncanakan sejak pertengahan 1990-an menunjukkan bahwa selama ini komitmen pembangunan transportasi massal masih rendah.
Komitmen ini perlu didukung dengan perubahan budaya masyarakat Indonesia untuk mulai menggunakan transportasi umum. Bukan hanya mengurangi biaya transportasi, tapi yang paling penting adalah meminimalkan waktu dan tenaga terbuang dalam perjalanan dan kepastian waktu mencapai titik tujuan.
Ricky Virona Martono, Core Faculty PPM Manajemen
You must be logged in to post a comment Login