Bisnis alat kesehatan meningkat tengah wabah. Namun, pengadaan bahan baku jadi kendala.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 telah membuat pendapatan di sejumlah bidang usaha menurun. Di sisi lain, pandemi juga memberi berkah kepada beberapa sektor.
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bagas Adhadirgha memaparkan pertumbuhan beberapa sektor usaha bahkan melonjak hingga 50 persen, seperti industri yang terkait dengan makanan dan perawatan personal terutama perawatan kesehatan maupun kebersihan. Menurutnya, pelaku usaha harus mampu berinovasi dan jeli melihat peluang baru di masa pandemi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
“Dengan big data bisa dilihat bahwa ada peluang-peluang baru yang muncul di era pandemi. Setiap pengusaha harus menerapkan digital marketing karena saat ini semua sudah bergerak ke digital,” jelas Bagas dalam webinar bertema “Tren dan Peluang Bisnis di Masa Pandemi”, Selasa (15/6).
Ia menjelaskan, teknologi cloud computing dapat dimanfaatkan untuk inovasi dan redefinisi ulang layanan serta bisnis dengan lebih cepat dan mudah. Selain itu, imbuhnya, penggunaan cloud computing juga mendukung target pemilik bisnis untuk melakukan ekspansi layanan dengan cepat dan mudah.
Hal senada disampaikan oleh pengusaha yang tergabung dalam HIPMI, Yudhi Andrianto. Menurutnya, aset pengusaha alat kesehatan masih tumbuh tinggi selama masa pandemi. Kenaikan permintaan untuk beberapa produk kesehatan seperti masker dan cairan pembersih tangan diakuinya menjadi peluang yang menggembirakan bagi pengusaha yang bergerak di sektor ini.
“Pengusaha telah berpindah ke pemasaran on-line dengan memanfaatkan internet dan e-commerce. Dengan inisiatif itulah pengusaha nasional dapat hidup di masa pandemi yang hingga sekarang masih melanda Indonesia,” papar Yudhi.
Kendala bahan baku
Pertumbuhan bisnis di sektor kesehatan selama pandemi mestinya menjadi berkah tersendiri bagi ekonomi nasional, tapi nyatanya kondisi ini bukan tanpa kendala. Selama setahun terakhir, kalangan pelaku usaha di bidang pengadaan alat-alat kesehatan masih sulit memperoleh pasokan alat-alat kesehatan, baik pengadaan dari jalur impor maupun dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium, Randy H. Teguh mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak 2019 telah menerbitkan 200 izin usaha produksi alat kesehatan sehingga jumlah seluruhnya saat ini mencapai 500 usaha. Namun meningkatnya jumlah produsen alat kesehatan di dalam negeri tidak diiringi dengan bertambahnya pasokan alat kesehatan.
Menurutnya, penambahan usaha baru masih didominasi oleh alat kesehatan dengan adopsi teknologi rendah. Sementara industri baru yang menggunakan teknologi tinggi masih terbatas karena pendalaman industri alat kesehatan tidak sederhana. Kini cukup banyak pelaku usaha yang mulai melirik bisnis produksi alat kesehatan di dalam negeri, tetapi pengadaan bahan baku masih menjadi kendala.
Bahan baku untuk industri alat kesehatan di Indonesia sebagian besar didatangkan dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan merupakan produsen utama. Negara pemasok ini menerapkan pajak yang tinggi untuk ekspor bahan baku, sehingga harga perakitan bahan baku di dalam negeri justru lebih mahal dibandingkan dengan impor barang jadi. Akibatnya, jelas Randy, harga produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor dan pihak rumah sakit tentu berpikir ulang untuk membeli produk yang lebih mahal.
Ia juga mengungkapkan kendala importasi yang masih terjadi adalah masa pemesanan yang terbatas karena sistem e-katalog yang sering terlambat. Selama ini rumah sakit membeli produk melalui katalog daring yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, terbatasnya masa pemesanan membuat pelaku usaha tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengantisipasi permintaan. Padahal, impor biasanya hanya dilakukan jika ada permintaan.
Terkait hal ini, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memastikan kebijakan kemudahan impor untuk alat kesehatan akan dipertahankan. Ia mengatakan, kelancaran rantai nilai produk-produk penting dalam penanganan Covid-19 telah menjadi norma yang disepakati dunia. Di masa pandemi yang penuh dengan segala permasalahan besar ini membuat tiap negara harus menerapkan strategi kebijakan dan cara-cara yang luar biasa.
“Semua negara keluar dari tupoksi biasa karena ini masalah luar biasa dan kita harus address secara luar biasa. Kita juga tidak bisa mengganggu mata rantai atau tambahan biaya dalam perdagangan karena menyangkut kepentingan kemanusiaan,” tegas Lutfi.
Koordinasi Kemenkes dengan kementerian/lembaga lainnya terus dilakukan untuk memastikan distribusi alat kesehatan dan obat-obatan bisa tersalurkan dengan baik selama kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Untuk mengatasi ketersediaan alat kesehatan dan obat-obatan yang akhir-akhir ini menipis, Kementerian Perdagangan akan membenahi semua penghambat kelancaran distribusi.
“Kita akan pastikan bahwa distribusi obat-obatan, alat kesehatan akan diperbaiki dan terus kita jalankan agar sesuai dengan koordinasi antara BPOM Kemenkes, Kemendag dan institusi terkait lainnya,” jelas Lutfi dalam konferensi pers “Ketersediaan Bahan Pokok dan Stabilitas Harga” di Jakarta, Senin (5/7).
Kemenkes mencatat dari 496 jenis alat kesehatan yang diperdagangkan dalam e-katalog pada 2019 sampai 2020, hanya 152 jenis produk yang bisa diproduksi di dalam negeri, sisanya harus diimpor. Di samping itu, hanya 2 dari 10 molekul obat dengan konsumsi terbesar yang diproduksi di dalam negeri; selebihnya masih harus diimpor. Namun, dari total 1.809 item obat yang diperdagangkan dalam e-katalog, hanya 56 item yang belum diproduksi di dalam negeri.
You must be logged in to post a comment Login