Connect with us

Feature

’You’ Bisa Sekolah, Kerja, dan Usaha—Masa tidak Taat Pajak?

Aprilia Hariani K

Published

on

Cintanya kepada negara tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Pemikiran, harta, tenaga, dan terkadang kritik kerasnya hanyalah sebagian dari sumbangsihnya.

Suatu siang di tahun 2014, Sofjan Wanandi yang kala itu menjabat sebagai Ketua Apindo memenuhi undangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta untuk mendiskusikan roadmap perekonomian kabinet kerja. Salah satu di dalamnya, program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Di hadapan Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Sofjan memberi keyakinan bahwa para pengusaha akan mendukung penuh program ini.

Tax Amenesty upaya membangun kembali trust antara Wajib Pajak dan pemerintah,” kata Sofjan yang saat ini menjabat sebagai ketua staf ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengenang pertemuan itu di ruang kerjanya, pada Rabu sore (5/5).

Sofjan mengaku bangga dapat terlibat dalam pertemuan itu. Terlebih menurutnya, banyak pihak yang mengakui program pengampunan pajak di Indonesia yang paling berhasil.

“Saya menilai salah satu keberhasilan saya memimpin Apindo adalah mengusulkan tax amnesty,” katanya—sejak 2014 lalu tongkat estafet kepemimpinan Apindo berada di tangan Hariyadi Sukamdani.

Sofjan meyakini, tax amnesty merupakan lembaran baru Wajib Pajak untuk memulai kepatuhan pajak. Terlebih setelahnya Wajib Pajak tak bisa lagi bersembunyi. Sebab, 2018 era automatic exchange of information telah dimulai.

“Wajib Pajak tidak bisa kucing-kucingan lagi karena pemerintah bisa melakukan cek dan ricek pada siapa pun yang belum bayar pajak. Kekayaan warga Indonesia di luar negeri bisa diketahui dengan mudah dan cepat,” jelas Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) 2004-2014 ini.

Nama Sofjan juga masuk dalam jajaran 31 penerima penghargaan Wajib Pajak Patuh dan Berkontribusi Besar 2017 dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar Mekar Satria Utama pada Maret 2018 lalu.

“Saya juga tidak mengerti kenapa mendapatkannya. Saya pikir masih banyak pengusaha yang lebih kaya dari saya. Sejak dulu saya hanya mencoba berkontribusi untuk negara tercinta ini. Bayar pajak dengan benar, “ ungkap Sofjan.

Politik praktis

Jauh sebelum Sofjan menjadi pengusaha kelas kakap di Indonesia, rasa cinta pada tanah air diejawantahkannya melalui keterlibatannya dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) serta organisasi mahasiswa yang dibentuk Menteri Pendidikan Tinggi Dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Brigjen Syarief Thajeb bernama (KAMI) pada 1965.

Kala itu, Sofjan berstatus mahasiswa tingkat V Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menjabat sebagai Wakil Ketua PMKRI dan Ketua KAMI.

“Tidak ada alasan tertentu menjadi aktivis. Rasa cinta kepada negara saja, cinta apa bisa dijelaskan? Semua takdir sejarah,” kata Sofjan.

Sofjan kemudian mengenang, situasi genting terjadi di Indonesia ketika menjabat dua organisasinya, Gerakan 30 September 1965. Di bawah komandonya, KAMI bertekad bulat membantu ABRI dalam menumpas gerakan kontrarevolusi itu.

Kira-kira pada November 1965, Sofjan bersama kawan-kawan mengumpulkan 100 ribu mahasiswa untuk mengadakan rapat raksasa di Fakultas Kedokteran UI Salemba Raya, Jakarta. Tak jarang pula Sofjan menjadi koordinator demonstrasi di jalan.

“Kami menuntut Presiden Soekarno menertibkan aparat-aparat revolusi dari unsur-unsur koruptor, pencoleng, dan kaum revolusioner gadungan lainnya,” kata Sofjan mengenang isi hasil rapat akbar itu.

Pertemuan berlanjut. Sofjan bersama ketua presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara, perwakilan Ikatan Pers Mahasiswa Ismid Hadad, Mari’e Muhammad, aktivis PMKRI Savrinus Suardi, tokoh HMI Nazaruddin Nasution, menggelar rapat di markas PMKRI.

Pertemuan yang nyaris digelar setiap malam itu merupakan penyusunan konsep Tri Tuntutan Rakyat atau yang kita kenal sebagai Tritura. (Isi Tritura: bubarkan PKI, rombak kabinet, turunkan harga.)

Setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto, para aktivis 1966 diminta berjuang dari dalam pemerintahan, termasuk Sofjan. Tepat pada 1 Februari 1967, ia dilantik menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Komisi Keuangan sekaligus bergabung dengan partai Golongan Karya (Golkar).

“Saya berbeda paham dengan aktivis 1966 yang tetap ingin berjuang di jalanan. Saya memutuskan untuk bersuara dan berjuang dari dalam. Keputusan itu membuat saya dikirimi lipstick dan beha karena kami dianggap melacurkan diri,” kenangnya sembari tertawa kecil.

Lima tahun lamanya kala itu Sofjan menjadi anggota DPR-GR dan 20 tahun menjadi anggota MPR. Tahun 1987 ia pensiun. Pesangon Rp 1.5 juta per bulannya ia serahkan ke partai Golkar sebagai dana operasional partai. Setelah itu, Sofjan diminta oleh Staf Khusus Bidang Ekonomi Presiden Soeharto, Soedjono Hoemardani sebagai staf pribadi.

Sejak saat itu Sofjan mendampingi seluruh tugas negara Soedjono. Termasuk ketika Soedjono diutus oleh Presiden melobi pemerintah Jepang. “Kondisi Indonesia saat itu sudah bangkrut. Devisa sudah tidak ada,” ungkap Sofjan.

Ia menjadi saksi bagaimana Pak Djono—panggil Sofjan kepada Soedjono—memuluskan jalan supaya Indonesia mendapat bantuan Jepang senilai 30 juta dollar AS.

Selain itu, Soedjono membuka jalur investasi Jepang ke perusahaan Indonesia. seperti PT Astra, Panasonic Group, PT Indokaya, dan lain-lain.

“Saya belajar banyak dari Pak Djono. Beliau lincah, gesit, gemar bermain bola, tenis, golf. Orangnya religius,” kesan Sofjan.

Setelah Pak Djono tutup usia, Sofjan-lah yang meneruskan hubungan baik dengan Pemerintah Jepang. Tak pelak, Sofjan mendapat

penghargaan The Order of Rising Sun, Gold, Silver Star dari Pemerintah Jepang.

Saya sangat mendukung penetapan Hari Pajak 14 Juli sebagai simbol kepatuhan dan kesadaran pajak kita sebagai warga negara.

 Pebisnis-aktivis

Lepas dari itu, Sofjan justru ingin menanggalkan hiruk-pikuk dunia politik. Ia kemudian bicara empat mata dengan sang kakak yang menjabat sebagai Wakil Sekjen Golkar, Jusuf Wanandi.

“Saya tidak berminat lagi terjun dalam dunia politik praktis. Apa yang saya perbuat di parlemen? Tidak banyak yang bisa saya lakukan. Saya bisnis saja, kamu di politik,” tutur anak ketiga dari pasangan Lim Bian Khoen dan Lim Gim To ini di hadapan sang kakak.

Akhirnya, bermodal menggadaikan rumah orang tua di kawasan Menteng, Sofjan bersama kakak dan adiknya, Jusuf Wanandi, Biantoro Wanandi, Rudy Wanandi, Edward Ismanto Wanandi mendirikan Gemala Group.

Perusahaan mereka terus berkembang. Hingga membawahi 48 perusahaan yang terbagi dalam sembilan sektor usaha, yaitu, perdagangan, kimia, automotif, farmasi, produk metal, hotel, pariwisata, real estate, keuangan, dan transportasi.

“Keberhasilan saya mengonsolidasi Gemala Group tidak ada kaitan dengan kedekatan saya dengan pemerintah. Kunci bisnis ya, kerja keras, jujur, dan niat berkontribusi untuk negara. Pajak kita bayar, lalu mengurangi pengangguran,” jelas ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) tahun 2000-2007 ini.

Meski jadi pebisnis, darah aktivis masih cukup mengalir di tubuhnya. Ia memilih tetap berorganisasi dengan mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Nah, sewaktu Presiden Soeharto menjabat selama 26 tahun, Sofjan mulai kembali vokal melayangkan kritik atas kebijakan ekonomi pemerintah. Terutama soal kebijakan uang ketat (tight money policy) dan bunga yang tak kunjung turun.

“Saya vokal dan mengkritik kebijakan bukan untuk menjelekkan, tetapi untuk memperbaiki. Saya cinta Indonesia, harus ada pengusaha Indonesia yang berani bicara,” jelas Sofjan.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun Sofjan tak luput melemparkan protes, terutama terkait pernyataan Presiden SBY tentang berakhirnya upah buruh murah. Sofjan menilai, pernyataan itu dikhawatirkan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sejumlah perusahaan. Padahal, masih banyak rakyat yang belum bekerja. Pemerintah harus tetap mengategorikan buruh murah dan mahal berdasarkan kemampuan.

Kini, di usianya yang tak lagi muda. Sofjan tetap ingin mengabdikan diri pada tanah air tercinta melalui perusahaan-perusahaan yang ia rintis bersama keluarga. Namun, takdir di dunia politik ternyata belum berakhir. Tahun 2015 Sofjan diminta menjadi Ketua Tim Ahli Wakil presiden Jusuf Kalla.

“Sofjan, saya minta Anda mengabdikan diri untuk negara ini. Ini perjuangan kita selama 60 tahun. Sekarang saya minta Anda. Mari kita berbuat untuk bangsa dan negara dalam usia kita setua sekarang,” kata Sofjan menirukan kembali permintaan Jusuf Kalla.

Mendengar ucapan sahabatnya itu, Sofjan tak bisa menolak.

“Baiklah, apa pun untuk negara tercinta saya lakukan. Walaupun saya sedih, waktu bermain dengan cucu berkurang,” kata Sofjan sembari tertawa dan memperlihatkan foto keluarga di ruang kerjanya.

Sebelum mengakhiri perbincangan, Majalah Pajak juga sedikit menceritakan inisiatif Direktorat Jenderal Pajak mencanangkan tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak. Mendengar itu seketika Sofjan menegakan tubuhnya dari sandaran kursi kerjanya. Ia mengaku bangga dengan apa pun perayaan untuk mendukung kesadaran pajak.

“Saya sangat mendukung penetapan Hari Pajak 14 Juli sebagai simbol kepatuhan dan kesadaran pajak kita sebagai warga negara. You bisa usaha, sekolah, kerja di negara ini, you masa tidak taat pajak,” tutur pria kelahiran Sawahlunto 3 Maret 1941 ini.

Feature

Pengintai “the Next Big Thing”

Novita Hifni

Published

on

Bima Laga Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA)

Pengalaman meniti karier di industri digital dari satu perusahaan ke perusahaan lain selama sepuluh tahun terakhir membuat nilai-nilai profesionalisme dalam diri Bima Laga semakin teruji. Ketertarikannya yang sangat besar kepada industri agency atau marketing telah tumbuh sejak menggeluti dunia kerja di tahun 2006 hingga 2010.

Ayah satu anak yang tengah menyelesaikan pendidikan magister bidang Hukum di Universitas Pelita Harapan ini sekarang dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk periode 2020–2022. Sebelumnya ia pernah menjabat Divisi Public Policy and Government Relation Gojek, CFO PriceArea, dan Associate Vice President of Public Policy & Government Relation Bukalapak.

Bima yang sudah menjadi pengurus asosiasi selama lebih dari enam tahun merupakan sosok yang tidak asing di dunia teknologi dan e-commerce Indonesia.

Ia telah menyiapkan program yang mendukung peran strategis asosiasi dengan melibatkan banyak pemain baru dalam industri e-commerce, seperti keuangan, logistik, dan start up lainnya. Dengan pertumbuhan industri e-commerce Indonesia selama empat tahun terakhir yang mencapai 500 persen, ia berharap program tersebut nantinya dapat membuka peluang penambahan anggota yang lebih kaya dari sisi pengategorian sehingga akan membawa idEA memiliki posisi tawar yang makin mumpuni di masa mendatang. Sejak didirikan pada 2012 oleh sepuluh e-commerce besar, idEA telah melalui empat kepengurusan—Bima Laga ketua umum keempat.

Tergoda dunia marketing

Berdasarkan tahun kelulusannya, seharusnya ia sudah masuk kuliah pada 2004. Namun, ia lebih dulu berkecimpung di dunia kerja dan baru di tahun 2013 ia mulai mengikuti pendidikan di universitas. Ketika bekerja di agency, salah satu pengalaman yang dilaluinya adalah membuatkan situs web untuk para klien dengan teknologi 2.0 yang masih satu arah dan bersifat pemberitahuan. Ia bersama pucuk pimpinannya lalu berinisiatif untuk membuat dan memiliki satu situs web sendiri yang bisa diakses publik. Maka pada 2010, pricearea.com akhirnya hadir sebagai price comparison site.

“Jadi, kalau mau cari barang dan harga bisa cari di PriceArea. Nanti kami yang compare dari toko-toko on-line yang ada pada saat itu,” kenang Bima. PriceArea di tahun 2010 mendapatkan modal dari East Venture yang kala itu juga menginvestasikan dananya di Tokopedia. Lalu pada 2012 PriceArea memperoleh investasi seri A dari Gre dan Sonet yang juga merupakan salah satu investor Bukalapak. Melalui jalinan kemitraan dengan berbagai pihak, perusahaannya terus melakukan pengembangan bisnis.

Bima meyakini, hal yang paling relevan di dunia bisnis rintisan adalah bagaimana pelaku usaha bisa mengembangkan jaringan dan bermitra satu sama lain. Kecintaan terhadap dunia usaha ini pula yang mendorongnya mengambil jurusan bisnis di kampus pada jenjang Strata-1 sampai selesai.

Bima mengisahkan pengalamannya dalam mendapatkan klien di dunia marketing dan memberikan pemecahan masalah yang berbeda-beda pada setiap bidang usaha merupakan tantangan tersendiri. Baginya, tantangan tersebut membuatnya semakin menyukai marketing. Berbagai klien yang ditanganinya,  seperti bidang penerbangan, industri alas kaki, dan pelumas, semuanya mempunyai visi yang sama, yaitu bagaimana mempersiapkan perusahaan menuju era digital. Saat itu semua perusahaan berbondong-bondong mempunyai situs web. Beberapa yang menjadi klien perdana PriceArea adalah Bukalapak dan Bhinneka. Klien tersebut belakangan menjadi perusahaan tempat ia bekerja. Setelah dari PriceArea, Bima sempat pindah ke Gojek, Bukalapak, dan sekarang di Bhinneka.

Kejeliannya dalam melihat prospek bisnis di masa depan kini terbukti benar. Dunia digital yang pada sepuluh tahun lalu mulai dijajaki oleh pelaku bisnis sekarang semakin berkembang dan menjadi kunci untuk mempertahankan kelangsungan usaha.

“Di tahun 2010 hampir semua lini bisnis ingin bergerak ke arah digital dan saya melihat pada saat itu the next big thing adalah dunia digital,” ungkapnya.

Ia menjelaskan perkembangan transaksi e-commerce saat ini sebagai one stop portal yang memberikan berbagai layanan. Setelah one stop portal, perkembangan berikutnya adalah kemunculan super-app.

Mitra pemerintah

Sejak bergabung dengan idEA dari tahun 2014, Bima bersama rekan-rekannya merasakan urgensi dunia digital sebagai the next big thing. Melalui wadah asosiasi idEA, ia memandang perlu untuk terus memberikan masukan kepada pemerintah tentang kebijakan yang akan dibuat. Untuk itu idEA dapat menjadi mitra strategis bagi pemerintah dan bersama-sama membangun Indonesia sebagai ladang yang potensial. Bima berpandangan, saat ini banyak pebisnis yang ingin berinvestasi di Indonesia. Hampir semua brand terkenal sudah menanamkan investasi mereka. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah pasar yang menjanjikan sehingga banyak pebisnis tertarik untuk menanamkan modalnya. Anggota asosiasi idEA harus berbadan hukum di Indonesia.

Saat ini payung hukum yang melandasi kegiatan e-commerce telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 dan PP 71 Tahun 2019. Regulasi yang diatur oleh Kementerian Perdagangan dan Kominfo itu menjadi acuan dalam pelaksanaan aspek yang terkait dengan elektronik dan perdagangan. Namun, ternyata itu belum cukup. Masih ada wilayah abu-abu yang perlu ditangani dengan tepat dan cermat.

“Kalau ada wilayah abu-abu, itulah tugas asosiasi untuk dapat bekerja sama dengan pemerintah dan juga stakeholder lainnya melalui dialog dan memberikan masukan,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, penetrasi internet di Indonesia menurut data terakhir Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet telah mencapai 73 persen. Dari jumlah tersebut, sebagian masyarakat memanfaatkan untuk media sosial dan juga bertransaksi secara digital. Upaya pemerintah dalam memperluas jangkauan internet dinilainya sudah cukup baik hingga mencapai daerah di kawasan terpencil dan terluar.

Melalui idEA, ia juga banyak berdialog dengan pemerintah terkait regulasi perpajakan untuk transaksi perdagangan elektronik. Bima mengatakan, layanan internet bersifat borderless atau melampaui batas wilayah negara dan semua orang bisa mengakses. Untuk itu aturan yang dibuat harus bisa mengakomodasi layanan internet yang borderless dengan tetap memberikan kontribusi terhadap market yang dinikmati dari luar wilayah negara. Jika tidak ada regulasi yang mengatur secara adil, jelasnya, daya saing di antara para pelaku bisnis menjadi timpang.

Asosiasi yang dipimpinnya menjadi wadah komunikasi bagi para pebisnis untuk berdialog dengan pembuat kebijakan. Baru-baru ini idEA melaksanakan sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sebelumnya asosiasi mengirimkan surat ke DJP untuk memberikan sosialisasi UU HPP. Menurutnya, masih banyak literasi aturan yang harus ditingkatkan bersama. Melalui sosialisasi, kalangan pelaku usaha bisa mengetahui seperti apa nantinya penerapan aturan dan dampaknya terhadap dunia bisnis.

“Ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkan literasi tentang berbagai aturan,” kata Bima.

Bima mengingatkan, persaingan bisnis harus sesuai dengan aturan yang ada. Menurutnya persaingan yang terjadi saat ini lebih ke penerapan diskon, dan mekanisme bisnis ini memang sama sekali tidak diatur oleh asosiasi. Sejauh ini kewenangan asosiasi adalah menyampaikan imbauan terkait koridor maupun aturan hukum yang harus diikuti oleh seluruh anggota.

Anggota asosiasi idEA juga merespons dengan baik kebijakan pemerintah terkait Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan menunggu aturan turunannya. Selama ini asosiasi selalu menjalin komunikasi dengan DJP. Melalui P2Humas DJP, asosiasi selalu mendapat undangan dialog jika ada aturan baru yang akan diberlakukan.

Bima menyoroti kebijakan pemerintah dalam memberikan fasilitas kemudahan berusaha melalui peluncuran Nomor Induk Berusaha (NIB). Masyarakat yang menjalankan kegiatan usaha seperti berjualan berbagai kebutuhan pokok tentu akan lebih baik jika sudah memiliki izin usaha dan juga dapat mematuhi kewajiban pajaknya. Sedangkan untuk aturan pajak, menurutnya setiap kegiatan usaha yang berbadan hukum di Indonesia harus taat menjalankannya. Namun yang menjadi perhatian bagi kalangan pelaku usaha adalah apakah aturan itu memberatkan atau tidak dan bagaimana implementasinya beririsan dengan aturan lain.

Tantangan “start up”

Bima menceritakan pengalamannya membangun perusahaan rintisan dan tantangan yang dihadapi dalam mendapatkan investor. Ketertarikan investor ini akan menjadi supply and demand yang ditentukan oleh market. Jika pebisnis bisa membuktikan bahwa ada pasar yang bagus, maka investor dengan sendirinya akan datang.

Dalam siklus bisnis perusahaan rintisan, ungkapnya, selalu ada fase mengalami kondisi modal yang hampir habis. Situasi genting ini pada sebagian kasus bisa mengakibatkan start up harus tutup dan mengakhiri bisnisnya. Sebagiannya lagi bisa bertahan dan melanjutkan usaha.

“Saran saya, start up harus agresif di growth tapi juga harus memperhitungkan sustainability untuk jangka panjang, bukan hanya untuk jangka pendek lalu setelah itu tutup. Itu yang harus dijaga bersama,” jelasnya.

Perjalanan bisnis Bhinneka sudah berlangsung selama 29 tahun dan menurutnya ini merupakan salah satu bisnis yang paling sustain dari segi pasar dan selalu melihat prospek ke depan sampai akhirnya menjadi one stop solution. Ia mengutip pernyataan pakar marketing Hermawan Kartajaya tentang digital yang bukan lagi bahasa digital marketing karena sekarang bisnis marketing memang harus digital. Dunia digital yang berkembang pesat menjadi peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkannya sebagai lahan bisnis dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

“Berbeda saat saya mulai di tahun 2010 akses internet masih susah dan terbatas, sekarang di mana-mana sudah bisa internet. Ini adalah kesempatan dan momentum yang bagus untuk kita manfaatkan,” pesan Bima.

Continue Reading

Feature

Solusi bagi Problem Klasik CSR Kita

Majalah Pajak

Published

on

Mahir Bayasut Ketua Umum Forum CSR Indonesia

Program CSR belum optimal karena terhalang paradigma yang salah kaprah. CSR semestinya memberdayakan.

Dahlan Iskan duduk di deretan kursi paling depan. Menteri BUMN itu tampak khidmat menyimak penuturan Mahir Bayasut yang sedang diwawancara Andy F Noya dalam program acara reality show yang ia bawakan. Kala itu April 2014, dua bulan menjelang perhelatan akbar Piala Dunia FIFA di Rio De Janeiro, Brasil. Mahir bersama beberapa rekannya tengah menceritakan perihal perjuangannya hendak mengantar anak-anak jalanan Indonesia menjadi bagian dari Piala Dunia itu melalui ajang Street Child World Cup (SCWC).

Seperti namanya, Street Child World Cup merupakan ajang Piala Dunia bagi anak-anak jalanan dari seluruh dunia. Tahun itu adalah kali pertama Indonesia ikut berpartisipasi. Mahir, adalah salah sosok yang menginisiasi agar anak-anak jalanan di Indonesia ikut dalam ajang bergengsi itu. Ia dan rekan-rekannya berusaha keras mengumpulkan talenta emas anak-anak kurang beruntung itu yang selama ini tertutup oleh cerita kelam kehidupan mereka di sudut-sudut perkotaan. Pengamen, penjaja koran, pedagang asongan, atau pun gelandangan yang tinggal di jalanan diseleksi. Program itu untuk mereka yang masih berusia 12 hingga 16 tahun.

Saat itu Mahir dan timnya mampu menyeleksi anak-anak jalanan dari tujuh kota di Indonesia, yakni Jabodetabek, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, Makassar. Mahir yakin, di tengah segala keterbatasan yang mereka alami, anak-anak itu memiliki potensi yang jika diasah, kelak akan mengubah kehidupan mereka.

Dari penjaringan itu, hingga tahap akhir, Mahir mampu mengumpulkan 20 orang yang siap diberangkatkan ke Brasil. Sebelum berangkat, mereka mendapatkan pelatihan kedisiplinan di Mabes TNI Angkatan Udara, dan pelatihan sepak bola dari tim pelatih profesional.

“Ini ide yang brilian. Saya kagum dengan anak-anak muda ini, punya pikiran untuk memberikan hub yang sebesar-besarnya (untuk anak-anak jalanan). Hidup ini memang harus ada harapan karena tanpa harapan sudah bukan hidup lagi namanya. Mereka memberi harapan, dari anak jalanan tiba-tiba ke Brasil, ikut piala dunia,” kata Dahlah Iskan memuji upaya Mahir dan kawan-kawannya. Dahlan Iskan saat itu adalah salah satu orang yang turut membantu proses seleksi itu.

Mahir juga ikut mengurus administrasi keberangkatan anak-anak itu, di antaranya mencarikan akta kelahiran bagi anak-anak jalanan asal Surabaya yang sejak lahir tak memiliki akta. Saat itu ia meminta tolong Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang kini menjabat Menteri Sosial RI. Dari Jakarta, ada Gubernur DKI Jakarta yang saat itu masih dijabat oleh Joko Widodo. Ada pula Ridwan Kamil yang saat itu masih menjadi Wali Kota Bandung. Mereka bergotong royong mencari cara agar anak-anak kurang beruntung itu bisa menunjukkan kemampuannya di pentas dunia.

Singkat kisah, dengan segala dinamika yang dilewati, baik dari sisi administrasi dan pendanaan, Mahir dan tim berhasil memberangkatkan dua tim, terdiri dari putra dan putri ke Brasil. Mengusung bendera Garuda Baru yang dibentuk oleh tiga konsorsium lembaga sosial, yakni Yayasan Transmuda Energi Nusantara (TEN), Kampus Diakoneia Modern (KDM) dan Yayasan Sahabat Anak (YSA), anak-anak yang sebelumnya tak pernah bermimpi bisa ke luar negeri itu sampai juga ke Brasil, bahkan salah satu pemainnya bisa meraih prestasi sebagai top scorer.

Ajang itu hingga kini terus berlanjut, setiap empat tahun sekali, “garuda” muda dari lorong-lorong jalanan perkotaan di Indonesia selalu diikutkan dalam ajang internasional itu. Mereka diajak melihat luasnya dunia luar dan betapa harapan adalah milik siapa saja yang sungguh-sungguh mengejarnya. Anak-anak jalanan alumni Street Child World Cup itu rata-rata pulang dengan pribadi yang baru, mimpi-mimpi baru. Ada yang bisa melanjutkan sekolah hingga kuliah, ada yang bekerja di tempat yang lebih baik. Bagi Mahir, konsep membantu adalah memberi peluang, bukan uang. Semboyan itu hingga kini ia jadikan pegangan.

Pengabdian sosial

Sejak masih kuliah S1, Mahir memang aktif berkecimpung di dunia pemberdayaan sosial. Ketika kebanyakan anak-anak seusianya sibuk membangun strategi mencapai mimpi mereka sendiri, Mahir sudah akrab dengan anak-anak jalanan ibu kota. Di antara kesibukan kuliahnya Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta ia menyempatkan diri mengajar baca tulis anak-anak kurang beruntung itu. Ia ingin setidaknya anak-anak jalanan yang kebanyakan putus sekolah itu setidaknya tetap bisa mendapatkan pendidikan akademik, meski nonformal.

Tahun 2007 kegiatan sosial di tanah air sempat berhenti karena ia mendapatkan kesempatan beasiswa dan harus menempuh pendidikan Teknik Lingkungan di Saxion University Belanda. Namun, di Negeri Bunga Tulip itu pun ia aktif berorganisasi dan sempat menjabat ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Pulang ke tanah air, ia kembali mendapat beasiswa dan melanjutkan pendidikan S2 jurusan Corporate Social Responsibility (CSR) Universitas Trisakti, dan di umur 34 tahun ia telah menyelesaikan pendidikan doktoral bidang Strategic Management pada universitas yang sama. Tahun lalu, ia baru saja menyelesaikan pendidikan Profesi Insinyur pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hingga saat ini, di tengah kesibukannya sebagai pengusaha, Mahir Bayasut tetap melanjutkan kegiatannya melakukan pemberdayaan sosial. Ia merasa kegiatan di bidang sosial yang ia lakukan adalah panggilan hati yang harus ia lakukan.

“Mungkin ini panggilan dari Allah. Saya berpikir, barangkali jalan rezeki saya dari berkah dan doa-doa anak-anak itu. Apalagi, dulu saya mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri dengan beasiswa. Jadi, ini saatnya mengganti apa yang dulu diberikan Allah kepada saya,” kata Mahir kepada Majalah Pajak, Rabu (24/11).

Bulan November lalu pria kelahiran Surabaya 14 November 1985 ini juga terpilih sebagai Ketua Umum Forum CSR Indonesia yang dulu dikenal sebagai Forum CSR Kesejahteraan Sosial.

Forum CSR adalah Amanah Undang-Undang dan wadah berhimpunnya kalangan dunia usaha yang memiliki kepedulian dan komitmen kuat dalam penyelenggaraan program dan kegiatan CSR di bidang kesejahteraan sosial dan lainnya. Forum itu berdiri dan ditetapkan oleh Menteri Sosial Republik Indonesia pada 12 Juli 2012 lalu.

“Hub” data dan ide

Di bawah kepemimpinannya, Mahir ingin Forum CSR Indonesia bisa menjadi wadah yang menyajikan data dan ide untuk mengatasi masalah klasik pelaksanaan CSR di Indonesia. Untuk itu, membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengoptimalkan dampak program CSR menjadi keharusan.

“ Forum CSR Indonesia harus menjadi wadah solusi, data dan ide. Apabila ada perusahaan yang kesulitan dalam membuat program yang tepat sasaran, kami akan bantu memberikan data yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan untuk membuat program yang inovatif khususnya terkait kewirausahaan, sosial dan lingkungan,” kata Mahir.

Menurut Mahir, dengan kolaborasi, gagasan dan basis data yang kuat, pelaksanaan CSR akan menjadi optimal dan tepat sasaran. Apalagi, menurutnya, masih banyak pihak yang salah kaprah memaknai CSR.

“Ada yang bilang, CSR itu Cuma Soal Rupiah. Ada lagi yang bilang Cuma Sosial Ranahnya. Jadi, yang diurusin sosial melulu. Ada juga yang menyebut CSR itu Candu, Sandera, Racun. Candu, bagi masyarakat karena terbiasa ‘disuapi’. Sandera, bagi perusahaan karena terbiasa memberi sehingga tersandera—mau enggak mau harus ngasih terus, dan racun bagi keduanya—pemberi dan penerima,” tutur Mahir.

Mahir menjelaskan, menurut panduan ISO 26000 tanggung jawab sosial ini adalah tanggung jawab organisasi atas dampak. organisasi ini dikategorikan menjadi dua, yaitu organisasi profit dan nonprofit. Salah satu contoh organisasi profit adalah perusahaan dan nonprofit adalah yayasan. Apabila perusahaan memahami manfaat tanggung jawab sosial secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Memang di Indonesia masih perlu adanya dorongan regulasi lainnya misalnya Permen BUMN No. 5 tahun 2021 mengenai TJSL, Permen LHK 01 mengenai proper, Permen ESDM mengenai PPM, dan POJK 51 mengenai keuangan berkelanjutan. Jadi, perusahaan BUMN, swasta, keuangan, emiten dan non-LJK mau enggak mau sekarang mempraktikkan CSR sesuai panduan karena tuntutan regulasi dan tuntutan global,” jelas Mahir.

Menurut Mahir, selama ini pelaksanaan CSR di Indonesia belum optimal karena kebanyakan diberikan sekadar sebagai program bantuan, tanpa memikirkan jalan keluar agar penerimanya mampu mandiri. Misal, perusahaan memberikan CSR berupa mesin jahit bagi masyarakat, tapi setelah itu mereka ditinggalkan begitu saja tanpa pendampingan dan tidak disiapkan exit program-nya sehingga mereka bisa mandiri dan berkesinambungan. Padahal, alangkah lebih tepat jika pemberi CSR juga membantu mereka mencarikan pasarnya dan menjual produknya sehingga terjadi kesinambungan dampak (sustainability impact)—bukan kesinambungan program untuk orang yang sama.

Ke depan Mahir juga ingin Forum CSR Indonesia fokus kepada satu topik besar, yakni bagaimana membawa Indonesia menjadi negara maju.

Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan bahwa, jika Indonesia ingin menjadi negara maju, setidaknya ada 14 persen dari total penduduk Indonesia yang menjalani profesi sebagai wirausaha. Sementara di Indonesia, tahun lalu, jumlah entrepreneur baru 3,1 persen.

Kini Mahir tengah terlibat dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) membuat platform Kedaireka. Program ini dibuat untuk memudahkan sinergi antara perguruan tinggi dan industri agar hasil riset yang dilakukan akademisi dapat secara optimal dimanfaatkan oleh industri atau masyarakat.

Selain itu, Mahir berharap pemerintah pusat maupun daerah memberi apresiasi dan dukungan yang lebih optimal kepada perusahaan pelaku CSR.

Continue Reading

Feature

Jembatan Kasih untuk ‘Ibu Bumi’

W Hanjarwadi

Published

on

Andhyta Firselly Utami Founder Think Policy/Foto: Dok. Pribadi & Think Policy

Bersama para profesional muda lintas profesi, Think Policy mendorong lahirnya kebijakan publik berbasis bukti dan empati.

“Ibu Bumi, sejak Sapiens pertama menetap untuk menanam makanan mereka sendiri di tanah, kami telah mengecewakanmu berulang kali. Kami menjadi serakah. Kami pikir kami berhasil menjinakkan alamkami memiliki kekuatan super untuk membuat alam tumbuh, mekar dan memunculkan berbagai tanaman yang kami butuhkan. Kami menyebut tanah itu sebagai milik kami. Membuat seluruh sistem yang mengatur hak properti, lalu kami berperang dan saling membunuh untuk menjaga tanah itukadang untuk memperoleh lebih banyak lagi tanah…”

Prosa berjudul “Surat untuk Ibu Bumi” itu ditulis Andhyta Firselly Utami pada momentum MingguBumi atau EarthWeek tahun lalu dalam perjalanannya menuju puncak Gunung Pangrango. Kemudian dibacakan dan diunggah di kanal YouTube Frame & Sentences pada April lalu.

“Sebelum pandemi aku suka menulis, suka perform juga, suka spoken word poetry,kata Founder Think Policy peraih gelar master di bidang kebijakan publik dari Harvard University ini saat berbincang dengan Majalah Pajak, Rabu 27 Oktober lalu.

“Seni memang sering jadi medium untuk menyampaikan pesan secara lebih enak dan bisa diterima oleh publik. Jadi menyampaikan pesan enggak melulu harus serius—grafis, data. Sering kali lewat seni justru lebih efektif karena seni memang didesain untuk menyentuh emosi dan spiritual,” ujar Afu, sapaan akrab Andhyta Firselly Utami.

Pada surat yang dibacakan itu, Afu juga menyampaikan kegundahan hatinya melihat alam—dalam prosa itu ia sebut sebagai Ibu Bumi—yang kini kian rusak oleh ketamakan nafsu manusia yang tak terkendali. Semua demi berebut potongan-potongan kue ekonomi. Alam dieksploitasi sedemikian rupa tanpa berpikir dampaknya. Mineral terus digali dan diekstrak dari rahim Ibu Bumi. Pembalakan liar, pembakaran hutan terus terjadi. Pabrik-pabrik terus memproduksi emisi. Maka yang terjadi saat ini, manusia di ambang kehancuran akibat ulahnya sendiri. “…dalam kesunyian, Ibu melihat kami menghancurkan rumah kami sendiri, mengantarkan kami ke gerbang kepunahan kami sendiri.”

Ketertarikan dan kepedulian Afu terhadap lingkungan sudah ia miliki sejak masih kuliah S1 di Universitas Indonesia, sekitar delapan tahun lalu, meski saat itu ia mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Awalnya ia mengaku tak sengaja kecemplung karena sering membahas isu internasional, termasuk isu lingkungan di berbagai negara. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk semakin mendalami isu ini.

“Ternyata banyak negara di dunia itu tahu bahwa ada krisis iklim. Tapi mereka ingin negara lain yang bayar lebih banyak, ‘Saya mau nebeng saja. Saya enggak mau bumi hancur, tapi saya juga enggak mau bayar untuk aksi iklim,’ misalnya. Ini secara ilmu ekonomi adalah free rider problem,” kata perempuan yang pernah menjadi Analis Perubahan Iklim dan Isu-Isu Lingkungan di World Resources Institute ini.

Semakin banyak mengkaji, semakin Afu menyadari bahwa isu iklim adalah masalah sangat nyata. Penelitian sains menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, jika umat manusia gagal memitigasi masalah krisis iklim maka peradaban manusia bisa hancur—krisis air, krisis pangan, bencana, anomali cuaca dan lain-lain.

“Saya merasa—walaupun saya peduli dengan banyak isu lainnya—pada akhirnya isu lingkungan ini lumayan saya anggap sebagai prioritas karena ada time bound-nya juga. Kalau setelah 2030 ternyata solusinya sudah ada dan pekerjaan saya tidak relevan baru saya bisa mengerjakan hal lain. Tapi untuk sekarang saya merasa ini isu yang paling urgent untuk ditangani bersama,” ujar perempuan berwajah oriental yang pernah menempuh pendidikan program nongelar di Nanyang Technological University itu.

Gerakan kesadaran

Afu tak ingin diam saja menunggu kepunahan itu benar-benar terjadi. Menurutnya, manusia harus diselamatkan dari keserakahannya sendiri agar generasi berikutnya masih bisa menikmati keberlimpahan, juga menyaksikan keanggunan Ibu Bumi. Sebagai peneliti ekonomi lingkungan, ia terus mengkaji dan menyuarakan gerakan kesadaran bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia selalu memiliki dampak terhadap ekosistem. Maka kegiatan ekonomi yang dilakukan seyogianya tak mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

Afu merasa tak cukup hanya membuat prosa atau puisi untuk menyuarakan gerakan merawat “Ibu Bumi”. Ia juga melakukan kerja nyata di lapangan. Tahun 2019 lalu, ia bersama beberapa kawan yang sevisi membangun Think Policy sebagai wadah untuk saling bertukar ilmu, bersuara, dan berkolaborasi lintas sektor. Visi utama gerakan ini adalah mendorong para pemangku regulasi untuk membuat kebijakan publik berbasis bukti dan empati.

“Saya melihat bahwa kebijakan publik di Indonesia masih banyak bisa di-improve. Saya yakin teman-teman PNS, birokrat, teknokrat yang bekerja di pemerintahan itu sudah bekerja sangat keras. Saya mikir, ‘Mereka sudah kerja keras, tapi kok kebijakannya masih kurang tepat sasaran?’ Tentu ada beberapa diagnosisnya, mulai dari sistem politik yang memang tidak partisipatif in first place, sehingga tujuan kebijakan itu kadang tidak merepresentasikan kepentingan masyarakatnya sendiri.”

Selain itu, menurut Afu, para profesional muda, anak-anak muda yang sudah bekerja di institusi pemerintahan atau institusi mana pun yang berhubungan dengan kebijakan publik masih kekurangan support system. Mereka cenderung bekerja sendiri-sendiri dan lelah sendiri.

“Budaya pembuatan kebijakan publik itu sangat konvensional. Sedangkan masalah yang kita hadapi—seperti krisis iklim—itu enggak konvensional. Ini (krisis iklim) masalah baru yang mutakhir, frontier, isu baru yang bahkan kita enggak pernah hadapi sebelumnya. Its a big crisis. Kita perlu adaptif untuk bisa menghadapi. Jadi, Think Policy hadir untuk meng-address hal itu,” tutur Afu.

Melalui Think Policy, Afu dan kawan-kawan berusaha menciptakan support system untuk orang-orang muda yang sudah bekerja di pemerintahan atau sektor isu kebijakan publik, baik support system secara keilmuan atau keterampilan. Caranya antara lain dengan membuat akademi kegiatan pelatihan untuk membantu meningkatkan kemampuan yang diperlukan untuk membuat kebijakan publik. Kemudian, support system secara komunitas agar tercipta kebersamaan dan saling mendukung satu sama lain. “Jadi, biar tidak merasakan sendiri kalau ngerjain topik (kebijakan) ini. ‘Oh, banyak nih orang-orang muda kerja di pemerintahan sektor kebijakan publik yang sama-sama pusing bareng.’”

Yang tak kalah penting bagi Think Policy adalah upaya mereka untuk mengangkat aspirasi orang muda dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks krisis iklim, misalnya, menurut Afu, bagaimana mereka mendorong agar semua pihak lebih peduli lagi terhadap isu-isu lingkungan.

“Lewat Think Policy kami menjembatani, sebenarnya banyak orang muda yang punya berbagai concernenggak cuma krisis iklim, tetapi berbagai isu lain juga. Kami sering bikin diskusi publik antara pembuat kebijakan dan profesional muda. Kami kumpulkan orang muda yang memang sudah ahli dan fokus—aktivis atau analis, akademisi, atau apa pun yang punya sektor keahlian sendiri. Mereka akan menyampaikan concern mereka ke pembuat kebijakan yang kami hubungkan. Think Policy ingin bikin ruang, ekosistemnya untuk pembuat kebijakan publik yang lebih baik di Indonesia secara alternatif. Jadi, kami buka ruang informalnya untuk proses tersebut.”

Afu menjelaskan, pada intinya gerakan Think Policy ada untuk mendorong pembuatan kebijakan publik yang berbasis bukti dan empati dengan tiga pilar, yaitu insight, academy, dan community.

Continue Reading

Populer